21. وَعَنْ أَبِيْ ثَعْلَبَةَ الخُشْنِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسولَ اللهِ، إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ، أَفَنَأْكُلُ فِيْ آنِيَتِهمْ؟ قَالَ: "لاَ تَأْكُلُوْا فِيْهَا، إِلاَّ أَنْ لاَ تَجِدُوْا غَيْرَهَا، فَاغْسِلُوْهَا، وَكُلُوْا فِيْهَا" متفق عليه.
21. Dari Abu Tsa’labah Al Khusyaniy radliallahu ‘anhu ia berkata: Aku pernah bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami berada di suatu negeri Ahli Kitab, apakah kami boleh makan dengan piring-piring mereka?” Beliau menjawab, “Janganlah kamu makan dengannya kecuali bila kamu tidak mendapatkan yang selainnya, maka cucilah, lalu makanlah dengannya.”
Muttafaq alaihi.
Biografi Perawi Hadits
Abu Tsa’labah al-Khusyani sahabat yang mulia terkenal dengan gelarannya ini. Al-Khusyani adalah nisbah kepada Khusyain bin an-Namir dari kabilah Qudha’ah. Para ulama berbeda pendapat tentang nama beliau dan nama ayah beliau, namun kabanyakan ulama menyebut namanya Jurtsuum.
Abu Tsa’labah termasuk yag berbai’at kepada nabi di bai’atur ridhwaan dan mendapat bagian rampasan perang di Khaibar. Rasulullah mengutus beliau menjadi da’i pada kaumnya sehingga kaumnya masuk islam. Beliau tinggal dipedalaman dan bekerja sebagai pemburu. Beliau tinggal do negeri Syam dan meninggal pada tahun 75 H dalam keadaan sujud.
Takhrijul Hadits:
Hadits ini diriwayat Bukhari dalam tiga kali (no: 5478, 5488, 5496), Muslim (6/58 di kitab Ash Shaid no. 1930), Abu Dawud no. 2852, at-Tirmidzi no. 1464, an-Nasa'i no. 4266, Ibnu Maajah no. 3207dan lain-lain dari jalan periwayatan Abu Idris al-Khaulani dari Abu Tsa'labah al-Khasyani dengan beberapa redaksi lafazh, namun al-Haafizh ibnu Hajar mencukupkan dengan tema pertanyaannya tentang bejana saja tanpa pertanyaan Abu Tsa’labah tentang berburu dengan panah dan anjing pemburu. Lafadz hadits yang beliau sampaikan dalam kitab bulughul maram ini tidak sama persis dengan yang di Shahihain. Lafadz yang paling mirip adalah :
عَنْ أَبِيْ ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ قَالَ: قُلْتُ يَانَبِيَّ اللهِ، إِنَّا بِأرْضِ قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ أَفَنَأكُلُ فِيْ آنِيَتِهِمْ؟ قَالَ: فَإِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَلاَ تَأكُلُوْا فِيْهَا، وَإِنْ لَمْ تَجِدُوْا فَاغْسِلُوْهَا وَكُلُوْا فِيْهَا.
Dari Abu Tsa’labah Al Khusyaniy, ia berkata: Aku pernah bertanya: Ya Nabi Allah, sesungguhnya kami berada di negeri kaum ahli kitab, maka bolehkah kami makan dengan bejana mereka (yakni dengan memakai piring-piring mereka)? Beliau menjawab: “Maka jika kamu mendapatkan yang selainnya, maka janganlah kamu makan dengan bejana mereka, dan jika kamu tidak mendapatkan (yang lain kecuali bejana mereka), maka cucilah lalu makanlah dengan bejana tersebut.” Lafazh Bukhari dalam salah satu riwayatnya.
Dalam lafazh yang lain: Berkata Abu Tsa’labah Al Khusyaniy:
يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا بِأرضِ قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ نَأكُلُ فِيْ آنِيَتِهِمْ؟ فَقَالَ: فَإِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَآنِيَتِهِمْ فَلاَ تَأكُلُوْا فِيْهَا، وَإِنْ لَمْ تَجِدُوْا فَاغْسِلُوْهَا ثُمَّ كُلُوْا فِيْهَا.
Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami berada di negeri kaum ahli kitab, bolehkah kami makan dengan bejana-bejana mereka? Beliau menjawab: “Maka jika kamu mendapatkan (bejana) selain dari bejana-bejana mereka, maka janganlah kamu makan dengannya. Dan jika kamu tidak dapat, maka cucilah bejana tersebut, kemudian makanlah dengannya.” (HR Bukhari).
Dan dalam lafazh yang lain: Berkata Abu Tsa’labah Al Khusyaniy:
يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّا بِأَرْضِ أَهْلِ الكِتَابٍ فَنَأكُلُ فِيْ آنِيَتِهِمْ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَلاَ تَأكُلُ فِيْ آنِيَتِهِمْ ، إِلاَّ أَنْ لاَ تَجِدُوْا بُدًّا. فَإِنْ لَمْ تَجِدُوْا بُدًّا فَاغْسِلُوْهَا وَكُلُوْا فِيْهَا.
Ya Rasulullah, sesungguhnya kami berada di negeri ahli kitab, maka bolehkah kami memakan dengan bejana-bejana mereka? Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Janganlah kamu makan dengan bejana-bejana mereka kecuali kalau kamu tidak mendapatkan sama sekali (bejana yang lain), maka kalau kamu tidak mendapatkannya, cucilah bejana tersebut lalu makanlah dengannya.” (HR al-Bukhari)
Demikian juga dengan redaksi Muslim, at-Tirmidzi (no: 1560 dan 1797)), Ibnu Majah (no: 3207) dan Ahmad (4/194-195) kurang lebih sama.. wallahu a’lam.
Dalam salah satu redaksi yang dibawakan at-Tirmidzi (no:1797) dan Ahmad (4/195):
عَنْ أَبِيْ ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ أَنَّهُ قَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّا بِأَرْضِ أَهْلِ الكِتَابٍ فَنَطْبُخُ فِيْ قُدُوْرِهِمْ وَنَشْرَبُ فِيْ آنِيَتِهِمْ؟ فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ لَمْ تَجِدُوْا غَيْرَهَا فَارْحَضُوْهَا بِالمَاءِ فَاغْسِلُوْهَا وَكُلُوْا فِيْهَا. (وَاطْبَخُوْا فِيْهَا).
Dari Abu Tsa’labah Al Khusyaniy, ia berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya kami berada di negeri ahli kitab, maka bolehkan kami memasak dengan memakai periuk-periuk mereka dan kami minum dengan bejana-bejana mereka?
Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Jika kamu tidak mendapatkan yang selainnya, maka cucilah dengan air dan masaklah dengannya (yakni dengan memakai panci-panci mereka)”
Dan dalam salah satu riwayat Ahmad (4/194): Berkata Abu Tsa’labah:
يَانَبِيَّ اللهِ، إِنَّ أَرْضَنَا أَرْضُ أَهْلِ كِتَابٍ وَإنَّهُمْ يَأكُلُوْنَ لَحْمَ الْخِنْـزِيْرِ وَ يَشْرَبُوْنَ الْخَمْرَ، فَكَيْفَ أَصْنَعُ بِآنِيَتِهِمْ وَقُدُوْرِهِمْ؟ قَالَ: إِنْ لَمْ تَجِدُوْا غَيْرَهَا فاَرْحَضُوْهَا وَاطْبَخُوْا فِيْهَا وَاشْرَبُوْا.
Ya Nabi Allah, sesungguhnya negeri kami negeri ahli kitab, dan sesungguhnya mereka biasa memakan daging babi dan meminum khamr, maka apa yang harus aku perbuat dengan bejana-bejana mereka dan panci-panci mereka?
Beliau menjawab: “jika kamu tidak mendapatkan yang selainnya, maka cucilah dan masaklah dengannya dan minumlah.”
Abu Dawud dalam sunannya (no: 3839) meriwayatkan dari jalan yang lain dengan sanad yang shahih dengan lafazh:
عَنْ أَبِيْ ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ أَنَّهُ سًأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّا نُجَاوِرُ وَهُمْ يَطْبَخُوْنَ فِيْ قُدُوْرِهِمْ الْخِنْـزِيْرِ وَ يَشْرَبُوْنَ فِيْ آنِيَتِهِمْ الْخَمْرَ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَكُلُوْا فِيْهَا وَاشْرَبُوْا وَإِنْ لَمْ تَجِدُوْا غَيْرَهَا فاَرْحَضُوْهَا بِالْمَاءِ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا.
Dari Abu Tsa’labah Al Khusyaniy, ia pernah bertanya kepada Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya kami bertetangga dengan ahli kitab sedangkan mereka memasak (daging babi) di panci-panci mereka dan meminum di bejana-bejana mereka?
Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Jika kamu mendapatkan (panci dan bejana) yang selainnya, maka makanlah dan minumlah dengannya. Jika kamu tidak mendapatkan yang selainnya, maka cucilah dengan air, lalu makanlah dan minumlah (dengan bejana mereka).”
Ada Syahid penguat dari hadits Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya dan berisi :
"إذا اضْطررتم إليها فاغسلوها بالماء واطبخوا فيها"
apabila kamu terdesak memakainya maka cucilah dengan air lalu masaklah padanya. (HR Ahmad 2/184 dan Abu Dawud no. 2857 dari jalan periwayatan Hubaib al-Mu'allim. Sedangan an-Nasaa'i 7/191 ,meriwayatan dari Ubaidillah bin al-AKhnas dan keduanya Hubaib al-Mu'allim dan Ubaidillah meriwayatkannya dari Amru bin Syu'aib).
Penjelasan Kosa Kata
(إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ) : kami dan kabilah kami Khusyain. Yang dimaksud dengan (بِأَرْضِ) adalah negeri Syam dan (أَهْلِ كِتَابٍ) adalah Yahudi dan Nashrani, namun disini nampaknya adalah nashrani, karena sejumlah kabilah arab yang tinggal di Syam beragama Nashrani; diantaranya adalah Alu Ghassaan. Tanukhi, Bahz dan beberapa bagian dari kabilah Qudha’ah seperti Bani Khusyain.
(فَاغْسِلُوْهَا) nampaknya perintahnya adalah kewajiban dan perintah mencucinya sebelum menggunakannya karena praduga najisnya; karena mereka tidak lepas dari najis-najis berupa daging babi atau sejenisnya.
(وَكُلُوْا فِيْهَا) perintah ini bersifat mubah; karena ada setelah pertanyaan dalam hadits (أَفَنَأْكُلُ فِيْ آنِيَتِهمْ؟) dan setelah larangan pada sabda beliau: (لاَ تَأْكُلُوْا فِيْهَا).
Pengertian Umum Hadits
Sahabat yang mulia Abu Tsa’labah al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu yang tinggal bersama kaumnya yang masih beragama ahli kitab merasakan adanya masalah dalam penggunaan bejana mereka untuk makan dan minum, karena melihat mereka memasak daging babi dan meminum khomr dengan bejana-bejana tersebut. Kemudian beliau bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam tentang hukum menggunakan bejana ahli kitab untuk makan dan minum. Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam membolehkan penggunaan bejana ahli kitab dengan dua syarat:
1. Tidak mendapatkan yang lainnya.
2. Dengan mencucinya hingga bersih dan bila telah bersih maka menjadi suci kembali.
Persyaratan ini disebabkan karena ahli kitab tersebut menggunakan bejananya untuk memasak babi dan untuk minum khomr.
Fiqih Hadits:
1. Semangat sahabat bertanya tentang semua yang berguna dan menjadi permasalahan mereka. Ini adalah kewajiban setiap muslim dengan bertanya masalah agamanya dan semua yang tidak diketahuinya agar dapat beribadah kepada Allah diatas ilmu. Oleh karena itu Allah berfirman:
Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (Qs al-Anbiya’ : 7).
2. perhatian seorang dengan pengetahuan dan ilmu yang dibutuhkannya pada kehidupan sehari-hari yang kadang ilmunya itu fardhu 'ain atasnya. Seorang tabib membutuhkan ilmu tentang hukum-hukum yang tidak dibutuhkan seorang insinyur dan juga seorang insinyur membuthkan ilmu tentang hukum syar'i yang tidak dibutuhkan seorang pedagang. Demikianlah keadaan seluruh spesialisasi dan perubahan keadaan dan kondisi membutuhkan pengetahuan yang mmendorong seseorang diwajibkan mengetahuinya.
3. Bejana orang-orang kafir dari kalangan Yahudi, Nashrani (kristen), Majusi dan kaum musyrikin apabila diketahui mereka gunakan pada berang-barang najis dan terlarang seperti babi dan sejenisnya maka disunnahkan untuk dicuci sebelum digunakan apabula tidak ada najis padanya. Apabila ada najisnya maka wajib dicuci secara ijma'.
4. Bejana-bejana yang digunakan untuk barang-barang terlarang dimakruhkan digunakan bagi yang mendapatkan selainnya dari bejana-bejana kaum muslimin atau bejana-bejana kaum musyrikin yang tidak digunakan dalam keharomanpun dimakruhkan.
5. Menjauhi makan pada bejana ahli kitab, karena mereka tidak berhati-hati dari najis dan kadang meletakkan khamr padanya dan memasak daging babi padanya. Disini ada kontradiksi (pertentangan) anatara kaedah “pada asalnya pada sesuatu itu suci” (الأصل في الأشياء الطهارة) dengan hipotesa dan praduga kuat, karena mereka tidak berusaha bersih dari najis. lalu dirojihkan praduga kuat tersebut. Hal ini didukung dengan lafazh Abu Dawud :
عَنْ أَبِيْ ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ أَنَّهُ سًأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّا نُجَاوِرُ وَهُمْ يَطْبَخُوْنَ فِيْ قُدُوْرِهِمْ الْخِنْـزِيْرِ وَ يَشْرَبُوْنَ فِيْ آنِيَتِهِمْ الْخَمْرَ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَكُلُوْا فِيْهَا وَاشْرَبُوْا وَإِنْ لَمْ تَجِدُوْا غَيْرَهَا فاَرْحَضُوْهَا بِالْمَاءِ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا.
Dari Abu Tsa’labah Al Khusyaniy, ia pernah bertanya kepada Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya kami bertetangga dengan ahli kitab sedangkan mereka memasak (daging babi) di panci-panci mereka dan meminum di bejana-bejana mereka?
Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Jika kamu mendapatkan (panci dan bejana) yang selainnya, maka makanlah dan minumlah dengannya. Jika kamu tidak mendapatkan yang selainnya, maka cucilah dengan air, lalu makanlah dan minumlah (dengan bejana mereka).”
6. Bolehnya menggunakan bejana ahli kitab dengan dua syarat:
a. Tidak ada yang lainnya dalam rangka berhati-hati, sehingga tidak menggunakannya kecuali tidak ada yang lainnya lagi.
b. Mencucinya,agar mendapatkan keyakinan atas kesuciannya. Perintah mencucinya bukan bersifat wajib hanya bersifat sunnah, dengan dalil bahwa makanan ahli kitab halal bagi kita seperti dijelaskan dalam firman Allah:
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, (QS al-Maa’idah : 5).
Makanan mereka tentunya dimasak dalam bejana mereka. Hal ini memalingkan perintah tersebut dari makna wajib.
Syaikh Al-Fauzan berkata, “Diperbolehkan menggunakan bejana-bejana orang kafir yang biasa mereka gunakan selama diketahui dia tidak terkena najis. Kalau diketahui dia terkena najis maka bejananya dicuci terlebih dahulu baru kemudian digunakan.” (Al-Mulakhkhash: 1/20)
7. Berisi penjelasan cara yang pas dalam pertanyaan, dimana Abu TSa'labah menyebutkan dalam pertanyaannya keadaan tetangganya yang ahli kitab dan mereka selalu melewati mereka, kemudian menyebutkan perbuatan mereka yang minum khamr dan memasak babi, kemudian baru bertanya yang diinginkan yaiatu: Bolehkan kami memakan menggunakan bejana mereka?. ini mirip dengan perbuatan sahabat lainnya dalam bertanya tentang kesucian air. (telah lalu dijelaskan dalam hadits pertama pada bab air).
Masaa’il Hadits
1. Sebab Pelarangan Menggunakan Bejana Ahli Kitab.
Kita telah mengetahui bahwa ‘illat atau sebab larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas karena kebiasaan mereka memakan babi dan minum khamr di piring dan gelas mereka, maka apakah larangan beliau disebabkan karena najisnya babi dan khamr atau dikhawatirkan termakan sisa dari makanan mereka, yaitu babi dan khamr?
Yang rojih adalah yang kedua, karena hukum asal segala sesuatu itu suci sampai ada dalil yang mengatakannya najis. Seperti khamr, maka tidak ada satu pun dalil yang mengatakannya najis, oleh karena itu kembali kepada hukum asal yaitu suci.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mempergunakan atau memakai panci (tempat memasak), piring dan gelas dari ahli kitab (Yahudi dan Nashara) dan orang-orang kafir secara umum apabila mereka biasa memakainya untuk memasak daging babi, memakannya dan meminum khamr dengannya. Sebagaimana telah dijelaskan oleh salah satu riwayat Ahmad dan riwayat Abu Dawud di atas dengan lafazh muqayyad. Sedangkan lafazh yang sebelumnya mutlak. Dalam kaedah ushul Fikih bila ada lafazh yang mutlak dan ada yang Muqayyad maka pada asalnya dibawa kepada yang muqayyad. lihatlah sabda beliau "kecuali tidak mendapatkan yang lain, maka cucilah dengan air kemudian makanlah dan minumlah dengan piring dan gelas mereka".
Inilah ‘illat atau sebab larangan di atas, dalam kaedah disampaikan: "Apabila sebabnya telah hilang, maka kembali kepada hukum asalnya". Hukum bejana mereka pada asalnya adalah suci yang dapat dimanfaatkan dan dipakai oleh kaum muslimin berdasarkan beberapa hadits lainnya, diantaranya:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ يَهُودِيًّا دَعَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى خُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ فَأَجَابَهُ
Dari Anas radliyallahu ‘anhu (ia berkata): Bahwa seorang Yahudi pernah mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk makan roti dari gandum dan lemak yang telah berubah baunya. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengabulkan undangannya. (HR Ahmad (no: 13896) dengan sanad yang shahih).
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنُصِيبُ مِنْ آنِيَةِ الْمُشْرِكِينَ وَأَسْقِيَتِهِمْ فَنَسْتَمْتِعُ بِهَا فَلاَ يَعِيبُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ
Dari Jabir radliyallahu ‘anhu , ia berkata: Kami pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu kami memperoleh sebagian dari bejana-bejana orang-orang musyirikin dan tempat-tempat air minum mereka, lalu kami memanfaatkannya, maka beliau tidak mencela perbuatan mereka. (HR Abu Dawud (no: 3838) dengan sanad yang shahih).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُم قَالَ لَمَّا فُتِحَتْ خَيْبَرُ أُهْدِيَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةٌ فِيهَا سُمٌّ
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اجْمَعُوا لِيْ مَنْ كَانَ هَا هُنَا مِنْ يَهُودَ فَجُمِعُوا لَهُ...ثُمَّ قَالَ هَلْ أَنْتُمْ صَادِقِيَّ عَنْ شَيْءٍ إِنْ سَأَلْتُكُمْ عَنْهُ فَقَالُوا نَعَمْ يَا أَبَا الْقَاسِمِ! قَالَ: هَلْ جَعَلْتُمْ فِي هَذِهِ الشَّاةِ سُمًّا قَالُوْا: نَعَمْ
قَالَ: مَا حَمَلَكُمْ عَلَى ذَلِكَ قَالُوا أَرَدْنَا إِنْ كُنْتَ كَاذِبًا نَسْتَرِيحُ وَإِنْ كُنْتَ نَبِيًّا لَمْ يَضُرَّكَ
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Ketika Khaibar telah dimenangkan, dihadiahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam daging kambing yang telah diberi racun kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (kepada para sahabat): Kumpulkanlah kepadaku semua orang yang ada di sini dari orang-orang Yahudi. Lalu mereka dikumpulkan menghadap beliau,
Kemudian beliau bersabda: “Apakah kamu (orang-orang Yahudi) akan membenarkan tentang sesuatu yang akan aku tanyakan kepada kamu?
Mereka menjawab: Benar, ya Abul Qasim!
Beliau bertanya: Apakah kamu yang memasukkan racun ke dalam daging kambing ini?
Mereka menjawab: Betul! Beliau bertanya lagi: Apa yang membawa kamu untuk melakukan hal yang demikian?
Mereka menjawab: Kalau engkau seorang pembohong, maka kami akan istirahat (dari kebohonganmu) dan kalau engkau memang sebagai seorang Nabi, pasti tidak akan membahayakanmu. (HR Bukhari (no: 3169, 4249, 5777).
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ امْرَأَةً يَهُودِيَّةً أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مَسْمُومَةٍ فَأَكَلَ مِنْهَا فَجِيءَ بِهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهَا عَنْ ذَلِكَ. فَقَالَتْ: أَرَدْتُ لأَقْتُلَكَ. فَقَالَ: مَا كَانَ اللَّهُ لِيُسَلِّطَكِ عَلَى ذَلِكَ أَوْ قَالَ عَلَيَّ. فَقَالُوْا: أَلاَ نَقْتُلُهَا؟ قَالَ: لاَ فَمَا زِلْتُ أَعْرِفُهَا فِي لَهَوَاتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رواه البخاري (رقم: 2617) ومسلم (7/14-15 واللفظ له(
Dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu (ia berkata): Bahwasanya seorang perempuan Yahudi pernah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa daging kambing yang telah diberi racun, lalu beliau memakan sebagiannya (setelah beliau mengetahui bahwa daging itu beracun), lalu perempuan itu segera dibawa menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
Kemudian beliau bertanya “Kepadanya apa maksudnya!”
Maka perempuan itu menjawab: Aku mau membunuhmu!
Beliau bersabda: “Allah tidak akan memberikan kekuasaan kepadamu melaksanakan maksudmu untuk membunuhku.
Para sahabat bertanya: Bolehkah kami membunuhnya?
Beliau menjawab: Jangan!.
Berkata Anas bin Malik: Senantiasa aku mengetahui bekas racun itu nampak di langit-langit mulut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR Bukhari (no: 2617) dan Muslim (7/14-15 dan ini lafazh-nya).
Hadits-hadits ini jelas menunjukan bejana orang-orang kafir itu, baik ahli kitab dan yang selain mereka pada dasarnya adalah suci yang dapat dimanfaatkan.
faedah:
Adapun tentang najisnya babi berdasarkan nash Al Quran surat Al An’am ayat 145:
قُل لآأَجِدُ فِي مَآأُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَّكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَعَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (Q.S Al An'am ayat 145)
2. Hukum Najis orang Kafir Apakah Najis Hukmiyah atau 'Ainiyah?
Para ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat:
pendapat pertama: Najisnya orang kafir adalah najis 'ainiyah. Inilah pendapat madzhab Zhahiriyah seperti ibnu Hazm (lihat al-Muhalla 1/129) dan satu riwayat dari imam Maalik (lihat al-Qawanin al-Fiqhiyah karya ibnu Juzzi hlm 26).
Pendapat ini juga dinisbatkan kepada al-Hasan al-Bashri. Abu as-Syeikh meriwayatkan sebagaimana dalam ad-Durul Mantsur 4/165 dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah, beliau berkata: Siapa yang bersalaman dengan orang musyrik maka hendaknya berwudhu.
Pendapat ini berdalil dengan beberapa dalil diantaranya:
1. Firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis (QS at-Taubah/9 :28)
Ibnu Hazm rahimahullah menyatakan: Air liurnya orang kafir baik lelaki maupun wanita baik ahli kitab ataupun selain mereka semuanya najis, Demikian juga keringat dan air matanya dan semua yang termasuk dari mereka.. Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis (QS at-Taubah/9 :28)
Dengan yakin wajib bahwa sebagian najis adalah najis; karena semua itu tidak dikatakan sesuatu kecuali karena elemennya. (lihat al-Muhalla 1/129).
2. Hadits Abu Hurairoh radhiyalahu 'anhu, Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ المُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ
Sesungguhnya Muslim itu tidak najis. (muttafaqun 'alaihi).
Ini secara tersurat bermakna muslim tidak najis dan secara tersirat menunjukkan yang non muslim adalah najis.
pendapat kedua: Najisnya orang kafir adalah najis maknawi bukan najis dzat nya. Inilah pendapat mayoritas ulama (lihat Nihayatul Muhtaaj 1/221).
Pendapat ini berargument dengan banyak dalil, diantaranya:
1. Hadits Imron bin Hushain radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:
أنَّ النَّبِيَّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ تَوَضَّئُوْا مِنْ مَزَادَةِ إِمْرَأَةٍ مُشْرِكَةٍ
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berwudlu’ bersama dengan para sahabatnya dari tempat air kepunyaan seorang wanita musyrik.”Muttafaq ‘alaihi,
2. Kehalalan sembelihan ahli kitab dan kebolehan menikahi wanita ahli kitab, seperti dijelaskan dalam firmanNya:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِاْلإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan-nya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (Q.S Al Maidah ayat 5).
Sudah dimaklumi bahwa pernikahan dengan wanita ahli kitab tidak akan lepas dari bersentuhan dengan keringat dan air liurnya di badan, di pakaian atau di kasurnya. Seandainya itu najis tentulah syariat menjelaskankanya dan tentunya dinukilkan dari para sahabat berhati-hati terhadap para budaknya yang masih kafir.
3. Sebagaimana juga telah ditunjuki oleh beberapa hadits di atas dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah memakan sesembelihan mereka dan memenuhi undangan mereka. diantaranya hadits Abu Hurairoh radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:
لَمَّا فُتِحَتْ خَيْبَرُ أُهْدِيَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةٌ فِيهَا سُمٌّ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اجْمَعُوا إِلَيَّ مَنْ كَانَ هَا هُنَا مِنْ يَهُودَ» فَجُمِعُوا لَهُ، فَقَالَ: «إِنِّي سَائِلُكُمْ عَنْ شَيْءٍ، فَهَلْ أَنْتُمْ صَادِقِيَّ عَنْهُ؟»، فَقَالُوا: نَعَمْ، قَالَ لَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ أَبُوكُمْ؟»، قَالُوا: فُلاَنٌ، فَقَالَ: «كَذَبْتُمْ، بَلْ أَبُوكُمْ فُلاَنٌ»، قَالُوا: صَدَقْتَ، قَالَ: «فَهَلْ أَنْتُمْ صَادِقِيَّ عَنْ شَيْءٍ إِنْ سَأَلْتُ عَنْهُ؟»، فَقَالُوا: نَعَمْ يَا أَبَا القَاسِمِ، وَإِنْ كَذَبْنَا عَرَفْتَ كَذِبَنَا كَمَا عَرَفْتَهُ فِي أَبِينَا، فَقَالَ لَهُمْ: «مَنْ أَهْلُ النَّارِ؟»، قَالُوا: نَكُونُ فِيهَا يَسِيرًا، ثُمَّ تَخْلُفُونَا فِيهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اخْسَئُوا فِيهَا، وَاللَّهِ لاَ نَخْلُفُكُمْ فِيهَا أَبَدًا»، ثُمَّ قَالَ: «هَلْ أَنْتُمْ صَادِقِيَّ عَنْ شَيْءٍ إِنْ سَأَلْتُكُمْ عَنْهُ؟»، فَقَالُوا: نَعَمْ يَا أَبَا القَاسِمِ، قَالَ: «هَلْ جَعَلْتُمْ فِي هَذِهِ الشَّاةِ سُمًّا؟»، قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: «مَا حَمَلَكُمْ عَلَى ذَلِكَ؟»، قَالُوا: أَرَدْنَا إِنْ كُنْتَ كَاذِبًا نَسْتَرِيحُ، وَإِنْ كُنْتَ نَبِيًّا لَمْ يَضُرَّكَ
Ketika Khaibar ditaklukkan maka diberikan kepada Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam seekor kambing matang yang berisi racun. Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kumpulkan kepadaku semua Yahudi yang ada disini". Lalu mereka dikumpulkan dihadapan beliau, lalu beliau berkata: Sesaungguhnya aku bertanya kepada kalian tentang sesuatu, Apakah kalian mau jujur menjawabnya? maka mereka berkata: Ya, Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam pun berkata kepada mereka: Siapakah bapak kalian? mereka menjawab: Fulan, maka Nabi berkata: Kalian telah berdusta, Bapak kalian adalah Fulan. mereka menjawab: Engkau benar. Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam berkata: Apakah kalian akan jujur menjawab apabila aku tanyakan? mereka menjawab: Iya wahai Abul Qasim, Apabila kami berdusta pasti engkau mengetahuinya sebagaimana kamu mengetahuinya pada bapak kami. Maka beliau berkata kepada mereka: Siapakah penduduk neraka? mereka menjawab: Kami berada disana sebentar kemudian kalian yang menggantikan kami disana. Maka Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tinggallah dengan hina didalamnya dan demi Allah kami tidak akan menggantikan kamu selamanya disana. kemudian beliau bertanya lagi: Apakah kalian menjawab jujur jika aku bertanya sesuatu? mereka menjawab : Iya wahai Abul Qasim. beliau berkata: Apakah kalian letakkan pada kambing tersebut racun? mereka menjawab: Iya. Beliau bertanya: Apa yang membuat kalian berbuat demikian? mereka menjawab: Kami ingin apabila kamu pendusta maka kami istriahat darimua dan bila kamu benar maka itu tidak merugikanmu. (HR al-Bukhari).
Jawaban pendapat kedua atas dalil pendapat pertama:
Pertama: Maksud dengan firman Allah Tala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis” (Q.S At Taubah ayat 28).
bukan najis badan, akan tetapi najis agama dan keyakinan mereka. (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/331-332)
kedua: Hadits Abu Hurairoh radhiyallahu 'anhu yang dimasud adalah muslim atau mukmin biasa menghindari najis sehingga anggota tubuhnya suci. Berbeda dengan orang kafir yang tidak menjaga dirinya dari najis.
Pendapat yang rojih;
Dari sini jelaslah kuatnya pendapat jumhur ulama dan lemahnya pendapat sebagian ulama yang menyatakan najisnya bejana orang-orang kafir berdasarkan hadits di atas dan najisnya badan dan air liur mereka berdasarkan firman Allah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis” (Q.S At Taubah ayat 28).
Wallahu a'lam.
semoga bermanfaat dan mohon maaf baru bisa posting materinya.
Doa penutup majelis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ ٭
Artinya:
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Wassalamualaikum wr.wb
--------------------------------------------------
Hari / Tanggal : Jum'at, 27 November 2015
Narasumber : Ustadz Kholid Syamhudi Al Bantani Lc
Tema :Hadist
Notulen : Ana Trienta
Narasumber : Ustadz Kholid Syamhudi Al Bantani Lc
Tema :Hadist
Notulen : Ana Trienta
Kajian Online Telegram Hamba اَﻟﻠﱣﻪ Ta'ala
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment