Selasa, 2 & 8 Agustus 2016
Narasumber : Ustadz
Farid Nu’man Hasan
Kajian LINK Bunda dan
Nanda Pekan pertama-kedua Agustus 2016
Tema : Tabarruj
Editor : Rini Ismayanti
Puji syukur kehadirat
Allah SWT yang masih memberikan kita nikmat iman, islam dan Al Qur'an semoga
kita selalu istiqomah sebagai shohibul qur'an dan ahlul Qur'an dan dikumpulkan
sebagai keluarga Al Qur'an di JannahNya.
Shalawat beriring salam
selalu kita hadiahkan kepada uswah hasanah kita, pejuang peradaban Islam, Al
Qur'an berjalan, kekasih Allah SWT yakaninya nabi besar Muhammad SAW, pada
keluarga dan para sahabat nya semoga kita mendapatkan sayaafaat beliau di hari
akhir nananti. InsyaAllah aamiin.
DANDAN SIH DANDAN TAPI .........
Farid Nu'man Hasan
Bagi wanita, mempercantik diri adalah hal yang biasa bahkan
menjadi kebutuhannya. Islam memandang jika tujuannya untuk menyenangkan hati
suami maka itu akan dinilai sebagai ibadah. Mempercantik diri, selama dengan
cara yang wajar dan tanpa merubah ciptaan Allah Ta’ala dalam diri kita,
tidaklah mengapa. Namun, ketika sudah ada yang ditambah-tambahkan atau
dikurang-kurangkan maka itu terlarang kecuali perubahan yang diperintahkan
syariat, sebab seakan dia tidak mensyukuri nikmat yang ada pada dirinya. Itulah
yang oleh hadits disebut ‘Dengan tujuan mempercantik diri mereka merubah
ciptaan Allah Ta’ala.’ Bagaimanakah bersolek yang terlarang? Dalam hal ini
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah memberikan panduannya untuk
kita.
Tegas Sekali Larangan Itu Berikut ini adalah berbagai riwayat
tentang bersolek yang bisa menurunkan laknat Allah Ta’ala atas pelakunya.
Diriwayatkan oleh beberapa sahabat nabi seperti Abu Hurairah, Aisyah, Asma,
Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Mu’awiyah. Berikut ini adalah beberapa hadits
tersebut. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ
“Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung
rambutnya, wanita pembuat tato dan yang bertato.” (HR. Bukhari [5589, 5602] )
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
أَنَّ جَارِيَةً مِنْ الْأَنْصَارِ تَزَوَّجَتْ وَأَنَّهَا مَرِضَتْ فَتَمَعَّطَ شَعَرُهَا فَأَرَادُوا أَنْ يَصِلُوهَا فَسَأَلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ “Seorang wanita
Anshar hendak menikah, dia dalam keadaan sakit dan rambutnya rontok, mereka
hendak menyambungkan rambutnya (seperti wig, konde, dan sanggul), lalu mereka
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau menjawab:
“Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya.” (HR.
Bukhari [5590], Muslim [2123], Ibnu Hibban [5514] )
Dari Asma’ Radhiallahu ‘Anha dia berkata:
سَأَلَتْ امْرَأَةٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنَتِي أَصَابَتْهَا الْحَصْبَةُ فَامَّرَقَ شَعَرُهَا وَإِنِّي زَوَّجْتُهَا أَفَأَصِلُ فِيهِ فَقَالَ لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمَوْصُولَةَ
“Ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, anak gadis saya terkena penyakit yang
membuat rontok rambutnya dan saya hendak menikahkannya, apakah boleh saya
sambung rambutnya?” Beliau bersabda: “Allah melaknat wanita penyambung rambut
dan yang disambung rambutnya.” (HR. Bukhari [5597], Al Baihaqi, As Sunan Al
Kubra, [4025] )
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ
Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung
rambutnya, dan wanita pembuat tato dan yang bertato.” (HR. Bukhari [5595, 5603,
5598, 5596], Muslim [2124], At Tirmidzi [1814] )
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ تَعَالَى
“Allah melaknat wanita pembuat tato dan yang bertato,
wanita yang dicukur alis, dan dikikir giginya, dengan tujuan mempercantik diri
mereka merubah ciptaan Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari [4604, 5587], Muslim [2125],
Ibnu Hibban [5504], Ad Darimi [2647], Abu Ya’la [5141] )
Pada tahun haji, Muawiyah naik ke mimbar sambil membawa jalinan
rambut, lalu dia berkata:
أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ مِثْلِ هَذِهِ وَيَقُولُ إِنَّمَا هَلَكَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ حِينَ اتَّخَذَ هَذِهِ نِسَاؤُهُمْ
“Di mana ulama kalian? Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang semisal ini, dan Beliau bersabda:
Sesungguhnya binasanya Bani Israel adalah ketika kaum wanita mereka menggunakan
ini.” (HR. Bukhari [5588], Muslim [2127] )
Demikianlah di antara hadits-hadits tentang laknat Allah
Ta’ala dan RasulNya, atas wanita yang menyambung rambut, bertato, mengkikir
gigi, dan mencukur alis. Jadi, ‘ilat (sebab) dilaknatnya perbuatan-perbuatan
ini adalah karena demi kecantikan mereka telah merubah ciptaan Allah Ta’ala
yang ada pada diri mereka. Maka perbuatan apa pun, bukan hanya yang disebut
dalam riwayat-riwayat ini, jika sampai merubah ciptaan Allah Ta’ala demi tujuan
kecantikan adalah terlarang, seperti menggunakan bulu mata palsu (sama halnya
dengan menggunakan rambut palsu alias wig, konde dan sanggul), operasi plastik,
operasi silikon payudara, dan semisalnya. Namun, jika untuk tujuan kesehatan,
pengobatan, dan maslahat kehidupan, seperti cangkok jantung, kaki palsu untuk
berjalan, tangan palsu untuk memegang, gigi palsu untuk mengunyah, atau operasi
pelastik untuk pengobatan akibat wajah terbakar atau kena air keras, itu semua
bukan termasuk merubah ciptaan Allah Ta’ala.
Itu semua merupakan upaya mengembalikan fungsi orangan tubuh seperti
semula, bukan merubah dari yang aslinya. Ini semua sesuai dengan hadits
berikut:
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
لُعِنَتْ الْوَاصِلَةُ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ وَالنَّامِصَةُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ وَالْوَاشِمَةُ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ مِنْ غَيْرِ دَاءٍ
“Dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang disambung
rambutnya, wanita pembuat tato dan yang bertato, kecuali karena berobat.” (HR.
Abu Daud [4170], Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan sanadnya hasan, Fathul Bari,
10/376. Darul Fikr. Syaikh Al Albani mengatakan hasan shahih, lihat Shahih At
Targhib wat Tarhib, No. 2101)
Penjelasan Ulama Tentang Kosa Kata Penting Tentang makna-makna
penting pada hadits-hadits di atas telah jelaskan oleh para ulama di berbagai
kitab syarah, di antaranya yang cukup lengkap namun ringkas adalah dari Imam
Abu Daud berikut ini.
وَتَفْسِيرُ الْوَاصِلَةِ الَّتِي تَصِلُ الشَّعْرَ بِشَعْرِ النِّسَاءِ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ الْمَعْمُولُ بِهَا وَالنَّامِصَةُ الَّتِي تَنْقُشُ الْحَاجِبَ حَتَّى تُرِقَّهُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ الْمَعْمُولُ بِهَا وَالْوَاشِمَةُ الَّتِي الْخِيلَانَ فِي وَجْهِهَا بِكُحْلٍ أَوْ مِدَادٍ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ الْمَعْمُولُ بِهَا
“Tafsir dari Al Washilah adalah wanita penyambungkan rambut
dengan rambut wanita lain, dan Al Mustawshilah adalah wanita yang menjadi
objeknya (yang disambung rambutnya). An Namishah adalah wanita pencukur alis
mata sampai tipis, dan Al Mutanammishah adalah wanita yang dicukur alisnya. Al
Wasyimah adalah wanita yang pembuat gambar di wajahnya dengan celak atau tinta
(yakni tato), dan Al Mustawsyimah adalah wanita yang dibuatkan tato.” (lihat
Sunan Abu Daud, pada keterangan hadits no. 4170.
Juga lihat As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi [14611],
Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 8/67. Al Maktabah As
Salafiyah) Sedangkan makna Al Mutafalijat, sebagaimana yang dikatakan oleh Al
Hafizh sebagai berikut:
والمتفلجات جمع متفلجة وهي التي تطلب الفلج أو تصنعه، والفلج بالفاء واللام والجيم انفراج ما بين الثنيتين والتفلج أن يفرج بين المتلاصقين بالمبرد ونحوه وهو مختص عادة بالثنايا والرباعيات
Al Mutafalijat adalah jamak dari mutafalijah artinya membuat
atau menciptakan belahan (pembagian). Al Falju dengan fa, lam, dan jim adalah
membuat jarak antara dua hal, At Tafalluj adalah membagi antara dua hal yang
berdempetan dengan menggunakan alat kikir dan semisalnya, secara khusus
biasanya pada gigi yang double dan bagian depan di antara taring. ” (Al Hafizh
Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/372. Darul Fikr)
Jadi, Al Mutafalijat adalah upaya merenggangkan gigi yang
tadinya berdempetan, agar kelihatan lebih bagus.
Penjelasan Ulama Tentang Hukumnya Hadits-hadits di atas tidak
hanya menggunakan kata-kata larangan tetapi laknat. Tentunya itu lebih keras
dibanding sekedar larangan. Hal itu menunjukkan keharaman melakukan hal-hal di
atas, sebab tidak ada laknat kecuali untuk hal-hal yang diharamkan.
Menyambung Rambut (Al Washilat wal Mustawshi\at) Menyambung
rambut seperti memakai wig dan konde adalah haram secara mutlak. Hal ini
ditegaskan oleh Al ‘Allamah Asy Syaukani Rahimahullah berikut ini:
والوصل حرام لأن اللعن لا يكون على أمر غير محرم
“Menyambung rambut adalah haram, karena laknat tidaklah terjadi
untuk perkara yang tidak diharamkan.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 6/191.
Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Bahkan Al Qadhi ‘Iyadh menyebuntukan hal itu sebagai maksiat dan
dosa besar, lantaran adanya laknat bagi pelakunya. Termasuk juga orang yang
ikut serta dalam perbuatan ini, maka dia juga mendapatkan dosanya, sebagaimana
orang yang ikut serta dalam kebaikan, maksa dia juga dapat pahalanya. (Imam An
Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/236. Mawqi’ Ruh Al Islam. Al Qadhi
‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim, 6/328. Maktabah Al Misykah)
Begitu pula yang difatwakan oleh Imam An Nawawi Rahimahullah:
وَهَذِهِ الْأَحَادِيث صَرِيحَة فِي تَحْرِيم الْوَصْل ، وَلَعْن الْوَاصِلَة وَالْمُسْتَوْصِلَة مُطْلَقًا ، وَهَذَا هُوَ الظَّاهِر الْمُخْتَار
“Hadits-Hadits ini dengan jelas mengharamkan secara mutlak
menyambung rambut, dan terlaknatnya orang yang menjadi penyambungnya dan orang
yang disambung rambutnya, dan inilah yang benar lagi menjadi pendapat pilihan.”
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/236).
Beliau juga menyebuntukan rincian yang dibuat oleh madzhabnya,
Syafi’iyah, yakni jika rambut tersebut adalah rambut manusia maka sepakat
keharamannya, baik itu rambut laki atau wanita, rambut mahramnya, suaminya,
atau selain keduanya, maka haram sesuai keumuman haditsnya. Alasannya, karena
diharamkannya pemanfaatan rambut manusia baik keseluruhan atau bagian-bagiannya
itu dalam rangka memuliakannya. Bahkan seharusnya dikubur, baik rambut, kuku
atau bagian-bagian keseluruhannya. Jika rambut tersebut adalah bukan rambut
manusia, rambut tersebut najis seperti rambut bangkai dan rambut hewan yang
tidak dimakan, maka dia haram juga menurut hadits, sebab dengan demikian secara
sengaja dia membawa najis dalam shalat dan di luar shalat. Sama saja dua jenis
ini, baik untuk dipakai pada orang yang sudah kawin atau belum, baik laki-laki
atau wanita.
Ada pun rambut suci selain rambut manusia, jika dia (pelakunya)
belum kawin dan tidak punya tuan, maka haram juga. Jika dia sudah kawin atau
punya tuan, maka ada tiga pendapat: Pertama, tetap tidak boleh juga, sesuai
zahir hadits tersebut. Kedua, tidak haram. Dan yang shahih menurut mereka
–syafi’iyah- adalah jika melakukannya dengan izin dari suaminya atau tuannya,
maka boleh. Ketiga, jika tidak diizinkan maka haram. (Ibid) Demikian rincian
yang dipaparkan Imam An Nawawi. Namun, jika kita merujuk hadits yang ada maka
rambut apa pun, dan dari siapa pun adalah haram. Sebab, tak ada perincian ini dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka larangannya berlaku umum.
Menyambung Rambut Bukan Dengan Rambut Bagaimana jika menyambung rambut dengan
selain rambut seperti dengan benang sutera, wol, atau yang semisalnya? Para
ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Imam An Nawawi menyebuntukan bahwa, Imam
Malik, Imam Ath Thabari, dan kebanyakan yang lainnya mengatakan, tidak boleh
menyambung rambut dengan apa pun juga, sama saja baik dengan rambut, wol, atau
kain perca.
Mereka berdalil dengan hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan peringatan
bagi seorang wanita yang telah menyambung rambutnya dengan sesuatu. Sementara
Imam Laits bin Sa’ad, dan Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari banyak fuqaha,
mengatakan bahwa larangan tersebut hanyalah khusus untuk menyambung dengan
rambut. Tidak mengapa menyambung dengan wol, secarik kain perca, dan
semisalnya. Sebagian mereka mengatakan: semua hal itu boleh, sebagaimana
diriwayatkan dari ‘Aisyah. Tetapi itu tidak shahih dari Aisyah, bahkan
sebaliknya, diriwayatkan darinya sebagaimana pendapat mayoritas (yaitu
terlarang). (Ibid. Lihat juga Tuhfah Al Ahwadzi, 8/66) Syaikh Sayyid Sabiq juga
menyebuntukan bahwa jika menyambung rambut dengan selain rambut manusia seperti
benang sutera, wol, dan yang sejenisnya, maka Said bin Jubeir, Ahmad dan Laits
bin Sa’ad membolehkannya. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, 3/496. Darul
Kitab Al ‘Arabi)
Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat mayoritas ulama, yang
menyatakan keharamannya. Karena dua hal, pertama, kaidah fiqih: al umuru bi
maqashidiha (permasalahan dinilai berdasarkan maksudnya). Walau tidak
menggunakan rambut, tetapi pemakaian wol, kain perca, dan sejenisnya diniatkan
oleh pemakainya sebagai sambungan bagi rambutnya, maka hal itu termasuk bagian
dari Al Washl – menyambung rambut. Kedua, keumuman makna hadits tersebut
menunjukkan segala aktifitas menyambungkan rambut tidak terbatas pada jenis
rambutnya, baik asli atau palsu, sama saja.
Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan, ada pun mengikatkan benang sutera
berwarna warni di rambut, dan apa saja yang tidak menyerupai rambut, itu tidak
termasuk kategori menyambung rambut yang terlarang. Hal itu sama sekali tidak
ada maksud untuk menyambung rambut, melainkan untuk menambah kecantikan dan
keindahan, sama halnya dengan melilitkannya pada pinggang, leher, atau tangan
dan kaki. (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim, 6/328. Maktabah Al Misykat) Apa
yang dikatakan oleh Al Qadhi ‘Iyadh ini, untuk makna zaman sekarang adalah
seperti seorang wanita yang mengikatkan pita rambut, bandana, bando, atau syal.
Ini memang bukan termasuk menyambung rambut –berbeda dengan wig dan konde- dan
tentu saja boleh. Tetapi, pembolehan ini hanyalah di depan suami atau mahramnya
seperti kakek, ayah, paman, kakak, adik, keponakan, anak, dan mahram lainnya.
Sedangkan di depan non mahram, maka hukumnya sama dengan hukum menutup aurat
bagi wanita di depan non mahram, yakni tidak boleh terlihat seluruh tubuhnya
kecuali wajah dan dua telapak tangan, sebagaimana pendapat jumhur.
Minta dibuatkan Tato dan Si Pembuat Tato (Al Wasyimat wal
Mustawsyimat)
Sebagaimana hukum menyambung rambut, maka hukum membuat tato
atau bagi si pembuatnya adalah sama haram dan termasuk maksiat kepada Allah
Ta’ala. Lantaran keduanya diathafkan (dikaitkan) dalam satu hadits sebagaimana
riwayat Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma. Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma,
katanya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ
“Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung
rambutnya, dan wanita pembuat tato dan yang bertato.” (HR. Bukhari [5595, 5603,
5598, 5596], Muslim [2124], At Tirmidzi [1814] )
Imam Ibnu Baththal memberikan syarah terhadap hadits ini:
لأنهما تعاونا على تغيير خلق الله ، وفيه دليل أن من أعان على معصية ، فهو شريك فى الأثم
“Karena keduanya saling tolong menolong dalam merubah ciptaan
Allah, dan hadits ini merupakan dalil bahwa siapa saja yang menolong perbuatan
maksiat, maka dia ikut serta dalam dosanya.” (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih
Bukhari, 9/174. Maktabah Ar Rusyd)
Lalu, bagaimana jika seorang ingin menghilangkan tato, tetapi
kesulitan karena dikhawatirkan kerusakan pada tubuhnya? Imam Al Khathib Asy Syarbini
mengatakan:
وتجب إزالته مالم يخف ضرراً يبيح التيمم، فإن خاف ذلك لم تجب إزالته ولا إثم عليه بعد التوبة
“Wajib baginya menghilangkannya selama tidak ditakuntukan adanya
bahaya dan dibolehkan tayammum, jika dia takuntukan hal itu, maka tidak wajib
menghilangkannya dan tidak berdosa baginya setelah tobatnya.” (Imam Muhammad Al
Khathib Asy Syarbini, Mughni Muhtaj, 1/191. Lihat juga Fathul Bari, 10/372)
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah
mengatakan dalam fatwanya:
فإنه يلزمه إزالته بعد علمه بالتحريم ، لكن إذا كان في إزالته مشقة أو مضرة فإنه يكفيه التوبة والاستغفار ، ولا يضره بقاؤه في جسمه .
“Maka, hendaknya dia menghilangkan tato tersebut setelah dia
mengetahui keharamannya. Tetapi jika dalam penghapusannya itu mengalami kesulitan
atau mudharat (bahaya), maka cukup baginya untuk bertobat dan istighfar, dan
tidak mengapa sisa tato yang ada pada tubuhnya.” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat
Ibnu Baz, Juz. 10, No. 218)
Menurut pendapat yang benar, tato tidaklah menghalangi wudhu
atau mandi janabah, sebab tato tidak melapisi kulit, melainkan meresap ke
dalamnya. Sehingga, tidak perlu ada kekhawatiran bagi orang yang memiliki tato
lalu setelah dia tahu keharamannya dia bertobat ingin menjalankan shalat.
Wallahu A’lam
Mencukur Alis Mata (An Namishat wal Mutanamishat)
Sebagaimana yang lain, maka An Namishah (pencukur alis) dan Al
Mutanamishah (orang yang alisnya dicukur) juga haram dan mendapatkan laknat
Allah Ta’ala.
قال الطبري: لا يجوز للمرأة تغيير شيء من خلقتها التي خلقها الله عليها بزيادة أو نقص التماس الحسن لا للزوج ولا لغيره
“Berkata Imam Ath Thabari: Tidak boleh bagi wanita merubah
sesuatu dari bentuk yang telah Allah ciptakan baginya, baik dengan tambahan
atau pengurangan dengan tujuan kecantikan, tidak boleh walau untuk suami dan tidak
juga untuk selain suami.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/377. Darul
Fikr. Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 8/67. Al Maktabah
As Salafiyah)
Imam Ibnu Jarir Ath Thabari ini tidak memberikan pengecualian,
bahkan seandainya wanita memiliki kumis dan jenggot pun –menurutnya- tidak
boleh dihilangkan sebab hal itu termasuk merubah ciptaan Allah Ta’ala. Namun,
pandangan ini ditanggapi oleh Imam An Nawawi sebagai berikut:
وَهَذَا الْفِعْل حَرَام إِلَّا إِذَا نَبَتَتْ لِلْمَرْأَةِ لِحْيَة أَوْ شَوَارِب ، فَلَا تَحْرُم إِزَالَتهَا ، بَلْ يُسْتَحَبّ عِنْدنَا . وَقَالَ اِبْن جَرِير : لَا يَجُوز حَلْق لِحْيَتهَا وَلَا عَنْفَقَتهَا وَلَا شَارِبهَا ، وَلَا تَغْيِير شَيْء مِنْ خِلْقَتهَا بِزِيَادَةِ وَلَا نَقْص . وَمَذْهَبنَا مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ اِسْتِحْبَاب إِزَالَة اللِّحْيَة وَالشَّارِب وَالْعَنْفَقَة ، وَأَنَّ النَّهْي إِنَّمَا هُوَ فِي الْحَوَاجِب وَمَا فِي أَطْرَاف الْوَجْه
“Perbuatan ini (mencukur alis dan tukang cukurnya) adalah
haram, kecuali jika tumbuh pada wanita itu jenggot atau kumis, maka tidak haram
menghilangkannya, bahkan itu dianjurkan menurut kami. Ibnu Jarir mengatakan:
“Tidak boleh mencukur jenggot, kumis dan rambut di bawah bibirnya, dan tidak
boleh pula merubah bentuknya, baik dengan penambahan atau pengurangan.”
Madzhab kami, sebagaimana yang telah kami kemukakan,
menganjurkan menghilangkan jenggot, kumis, dan rambut di bawah bibir .
Sesungguhnya larangan hanya berlaku untuk alis dan bagian tepi dari wajah.” (Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/421. Mawqi’ Ruh Al Islam) Yang benar, jenggot dan
kumis bagi wanita adalah suatu keadaan yang tidak lazim dan tidak normal.
Sebab, wanita diciptakan Allah Ta’ala secara umum tidaklah demikian. Oleh
karena itu, mencukur keduanya bukanlah termasuk kategori merubah ciptaan Allah Ta’ala,
melainkan menjadikannya sebagaimana wanita ciptaan Allah Ta’ala lainnya. Maka,
pendapat yang menyatakan bolehnya mencukur kumis dan jenggot bagi wanita adalah
pendapat yang lebih kuat. Ada pun mencukur bagian alis yang tumbuhnya tidak
kompak dibagian sudut-sudutnya saja. Maka para ulama berbeda pendapat. Imam
Ahmad membolehkan dengan syarat itu bertujuan menyenangkan suami. Namun, yang
benar adalah tidak boleh sebagaimana larangan tegas dalam hadits tersebut yang
tidak membedakan antara mencukur sedikit atau banyak walau pun bertujuan
menyenangkan hati suami. Hal ini juga dikuatkan oleh kaidah bahwa niat yang
baik (seperti menyenangkan hati suami) tidaklah merubah sesuatu yang haram.
Sebagaimana seorang penjudi berniat menyumbang masjid, maka tidaklah merubah
judinya menjadi halal.
Mengkikir Gigi (Al Mutafalijah)
Sebagaimana yang lain pula, hal ini juga diharamkan. Sebagaimana
penjelasan para ulama. Hanya saja diberi keringanan bagi yang berpenyakit, atau
jika mengganggu aktiitas mengunyah. Berkata Imam Ath Thabari Rahimahullah:
ويستثنى من ذلك ما يحصل به الضرر والأذية كمن يكون لها سن زائدة أو طويلة تعيقها في الأكل
“Dikecualikan dari hal itu, yakni apa-apa yang bisa mendatangkan
bahaya dan gangguan seperti wanita yang memiliki gigi yang lebih atau kepanjangan
(tonggos) yang dapat menghalanginya ketika makan.” (Al Hafizh Ibnu Hajar,
Fathul Bari, 10/377. Darul Fikr)
Maka, aktifitas memperbaiki gigi seperti menambal, memasang
kawat gigi dan gigi palsu, tidaklah termasuk mutafallijah. Tetapi, jika dia memasangnya
untuk bergaya-gaya, dan mempercantik diri semata, bukan untuk berobat, maka itu
terlarang karena niatnya yang tidak benar dan termasuk pemborosan. Hal ini
sesuai kaidah:
الأمور بمقاصدها
Permasalahan dinilai sesuai maksudnya. (Imam As Suyuthi, Al
Asybah Wan Nazha-ir, kaidah ke 5)
Wallahu A’lam
TANYA JAWAB GRUP BUNDA
M17
Q : Assalamualaikum wr wb. Bagaimana kalo mewarnai rambut,
bolehkah?
A : Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
إن اليهود والنصارى لايصبغون فخالفوهم
“Sesungguhnya Yahudi dan Nasrani tidak menyemir (rambut),
maka berbedalah dengan mereka.” (HR. Abu Daud No. 4203, An Nasa’i No. 5069,
Ibnu Majah No.3621. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya)
Hadits ini menunjukkan; Pertama, anjuran berbeda dengan Yahudi
dan Nasrani dengan cara menyemir rambut, dan ini sunah. Kedua, secara mutlak
dibolehkan menyemir rambut dengan warna apa saja, karena hadits ini tidak
mengkhususkan warna tertentu. Tetapi dalam riwayat Abu Umamah Radhiallahu
‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya menyebut dua warna:
خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم على مشيخة من الأنصار بيض لحاهم فقال: يا معشر الأنصار حمروا وصفروا وخالفوا أهل الكتاب
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar bersama seorang
tua dari Anshar yang rambutnya putih merata. Maka dia bersabda: “Wahai orang
Anshar, warnailah dengan merah dan kuning, dan berbedalah dengan ahli kitab.”
(HR. Ahmad, sanadnya hasan. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari 10/354)
Bahkan, dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam secara khusus melarang warna hitam. Ketika datang Abu Quhafah (ayah Abu
Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu) pada hari Fathul Makkah, yang rambutnya
sudah memutih seluruhnya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
"غيروا هذا بشىءٍ، واجتنبوا السواد".
“Rubahlah rambutnya ini dengan sesuatu, dan jauhilah warna
hitam.” (HR. Abu Daud No. 4204, An Nasa’i No. 5076, Dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4204)
Dari hadits ini merupakan petunjuk yang jelas bolehnya menyemir
rambut beruban dengan berbagai warna, tetapi haram menyemir
dengan hitam sebagaimana pendapat kalangan Syafi’iyah. Ada pun hadits
sebelumnya masih bersifat umum (muthlaq), sedangkan hadits ini adalah muqayyad
(spesisifik). Oleh karena itu, sesuai kaidah Hamlul Muthlaq Ilal Muqayyad, yang
mutlak (umum) harus dibawa/dibatasi (taqyid) kepada yang muqayyad. Hadits ini
menjadi pengecualian atas hadits sebelumnya. Ringkasnya, kita katakan: semua
warna boleh kecuali hitam. Wallahu A’lam
Selanjutnya, apakah larangan ini menunjukkan makna haram
–sebagaimana pendapat kalangan Syafi’iyah dan sebagian Hambaliyah kontemporer,
seperti Syaikh ‘Utsaimin?
Jika kita lihat manath (objek hukum), maka kita paham bahwa
larangan warna hitam itu berlaku buat kasus Abu Quhafah saja, lantaran usianya
yang sudah sangat tua, sehingga tidak pantas lagi memiliki rambut berwarna
hitam. Oleh karena itu pelarangan ini lebih tepat hanya sampai makruh, sebab
kita menemukan data lain yang juga shahih bahwa para sahabat dan tabi’in
menyemir dengan hitam.
Imam Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:
ولهذا اختار النووي أن الصبغ بالسواد يكره كراهية تحريم. وعن الحليمي أن الكراهة خاصة بالرجال دون النساء فيجوز ذلك للمرأة لأجل زوجها. وقال مالك: الحناء والكتم واسع، والصبغ بغير السواد أحب إلي.
“Oleh karena itu pendapat yang dipilih oleh An Nawawi adalah
bahwa menyemir dengan warna hitam adalah makruh, dengan makruh tahrim
(mendekati haram). Dari Al Halimi, bahwa kemakruhannya khusus bagi laki-laki
dan tidak bagi wanita, hal itu boleh bagi wanita demi membahagiakan suaminya.
Malik berkata: diberikan keluasan bagi Inai dan Al Katam, dan menyemir dengan
selain hitam lebih aku sukai.” (Fathul Bari, 6/499. Darul Fikr)
Keterangan ini menunjukkan, bahwa dalam madzhab Syafi’i warna
hitam adalah haram, paling tidak makruh tahrim (makruh mendekati haram),
ini bagi kaum laki-laki dan wanita. Tetapi, bagi Al Halimi wanita
bersuami boleh memakai hitam untuk menyenangkan suaminya. Ada pun bagi Imam
Malik, semua warna baginya tidak ada masalah, lapang-lapang saja, tetapi selain
hitam dia lebih menyukainya. Apa yang dikatakan oleh Al Halimi, bahwa makruh
warna hitam hanya bagi laki-laki dan tidak bagi wanita demi membahagiakan suaminya,
tentu membutuhkan dalil, dan masih bisa didiskusikan lagi. Sebab kita tidak
temukan dalil itu melainkan bahwa larangan itu bersifat umum bagi laki-laki dan
wanita. Ada pun selain warna hitam,maka kebolehannya berlaku umum bagi
semuanya.
Sebagian Sahabat dan Tabi’in Ada yang Menyemir dan Ada Yang
Tidak
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu,
bahwa Abu Bakar dan Umar Radhiallahu ‘Anhuma menyemir rambutnya dengan inai.
(HR. Muslim No. 2341)
Berkata Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah:
اختلف السلف من الصحابة والتابعين في الخضاب وفي جنسه فقال بعضهم ترك الخضاب أفضل وروى حديثًا عن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم في النهي عن تغيير الشيب ولأنه صلى اللَّه عليه وآله وسلم لم يغير شيبه روي هذا عن عمر وعلي وأبي بكر وآخرين .
وقال آخرون الخضاب أفضل وخضب جماعة من الصحابة والتابعين ومن بعدهم للأحاديث الواردة في ذلك ثم اختلف هؤلاء فكان أكثرهم يخضب بالصفرة منهم ابن عمر وأبو هريرة وآخرون وروي ذلك عن علي .
وخضب جماعة منهم بالحناء والكتم وبعضهم بالزعفران وخضب جماعة بالسواد روي ذلك عن عثمان والحسن والحسين ابني علي وعقبة بن عامر وابن سيرين وأبي بردة وآخرين .
“Para salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in berbeda pendapat
tentang menyemir itu sendiri. Sebagian mereka mengatakan bahwa meninggalkannya
adalah lebih utama. Dan diriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tentang larangannya merubah uban, dan lantaran Beliau juga
tidak merubah ubannya. Ini diriwayatkan dari Umar, Ali, Abu Bakar, dan
lainnya.
Ada pun yang lainnya mengatakan, menyemir adalah lebih utama.
Segolongan sahabat dan tabi’in dan orang setelah mereka telah
melakukannya, lantaran adanya hadits-hadits tentang hal itu. Kemudian,
mereka berbeda pula, kebanyakan mereka menyemir dengan warna kuning,
diantaranya Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan lainnya, dan juga diriwayatkan
Ali melakukannya.
Di antara segolongan mereka ada yang menyemir dengan inai dan Al
Katam (sejenis tumbuhan), dan sebagian lagi dengan za’faran, dan segolongan ada
yang menggunakan warna hitam dan diriwayatkan hal itu dari Utsman, Al Hasan, Al
Husein, Uqbah bin Amir, Ibnu Sirin, Abi Burdah, dan lainnya.” (Imam Asy
Syaukani, Nailul Authar, 1/118).
Maka, apa yang dilakukan sebagian sahabat dan tabi’in ini;
mereka menggunakan warna hitam, lalu dikompromikan (taufiq) dengan dalil
larangan menggunakan warna hitam, menunjukkan bahwa ia lebih tepat dihukum
makruh. Seandainya itu haram, pastilah sahabat nabi menjadi generasi yang
paling sigap menghindarinya apalagi cucu nabi seperti Al Hasan dan Al Husein
juga menyemir dengan hitam.
Kesimpulan
Ada pernyataan bagus yang disampaikan Imam Ibnu Jarir Ath
Thabari, yang dikutip oleh Imam Asy Syaukani, yaitu pembolehannya mesti
dilihat dulu kondisi orangnya. Imam Asy Syaukani mengutip dari Imam Ath Thabari
Rahimahullah, katanya:
الصواب أن الأحاديث الواردة عن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم بتغيير الشيب وبالنهي عنه كلها صحيحة وليس فيها تناقض بل الأمر بالتغيير لمن شيبه كشيب أبي قحافة والنهي لمن له شمط فقط
“Yang benar adalah hadits-hadits yang datang dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berupa perintah untuk merubah uban dan berupa larangannya,
semuanya adalah shahih, satu sama lain tidak saling menganulir. Tetapi perintah
merubah uban adalah bagi siapa yang ubannya sudah seperti Abu Qahafah dan
larangannya bagi siapa yang ubannya masih bercampur.” (Nailul Authar,
1/118)
Namun, pembedaan yang dikatakan oleh Imam Ath Thabari ini bahwa
penyemiran uban baru boleh jika sudah seperti Abu Quhafah yang rambutnya
memutih semua, tentu tidak sesuai fakta sejarah para sahabat nabi. Faktanya
tidak sedikit para sahabat yang menyemir rambutnya, walau mereka belum
sampai seperti Abu Qahafah. Kesimpulannya, sebagaimana yang dikatakan oleh
Syaikh Wahbah Az Zuhaili berikut:
والصواب جواز تغيير الشيب وجواز تركه، وجواز الخضاب بأي لون كان، مع كراهة الخضاب بالسواد.
“Yang benar adalah boleh merubah uban dan boleh juga
membiarkannya, dan dibolehkan menyemirnya dengan warna apa saja, namun makruh
menggunakan warna hitam.” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/228. Maktabah Al
Misykah)
Inilah pendapat yang lebih memadukan semua dalil yang ada, baik
bagi laki-laki dan wanita untuk menyenangkan suaminya. Ada pun bagi wanita yang
belum bersuami, terlarang secara mutlak, dan itu sia-sia, buat menyenangkan
siapa dia? Wallahu A’lam
Catatan:
Saat ini menyemir rambut dengan berbagai warna telah dilakukan
oleh anak-anak muda ‘gaul’, mereka melakukannya bukan karena menghidupkan
sunah tetapi untuk gaya-gayaan dan mengikuti mode tren penyanyi kafir.
Maka, untuk saat ini, mewarnai rambut menjadi merah atau lainnya bagi
aktifis Islam, bisa membawa masalah tersendiri lantaran pandangan
masyarakat telah berubah, walau niat mereka adalah untuk menghidupkan sunah.
Oleh karena itu dituntut kearifan dan kejelian mereka ketika berniat untuk
melakukannya.
Q : Bagaimana dengan rambut yang berjatuhan (rontok)
seorang perempuan yang sedang haid... Apakah harus ikut dicuci saat mandi
besar... Bagaimana dengan rambut yang tidak disadari jatuh
nya...Jazakillah khoir ustdaz...
A : Di beberapa kitab para ulama memang ada anjuran untuk tidak
memotong rambut dan kuku ketika haid atau junub, seperti Imam Al Ghazali dalam
Ihya ‘Ulumuddin-nya. Sehingga hal ini menjadi keyakinan sebagian kaum muslimin.
Sebenarnya, hal ini tidak memiliki dasar dalam Al Quran, As Sunnah, dan ijma’.
Baik secara global dan terperinci, langsung dan tidak langsung, tersurat dan
tersirat. Oleh karena itu pada dasarnya tidak apa-apa, tidak masalah memotong
rambut dan kuku baik yang haid dan junub. Hal ini merupakan bara’atul ashliyah,
kembali kepada hulum asal, bahwa segala hal boleh-boleh saja selama tidak ada dalil
khusus yang melarangnya dari pembuat syariat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه
“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang
haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di
diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.”
(HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya: hadits
gharib. Ibnu Majah No. 3367, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al
Kabir No. 6124. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan.
Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1726. Juga dihasankan
oleh Syaikh Baari’ ‘Irfan Taufiq dalam Shahih Kunuz As sunnah An
Nabawiyah, Bab Al Halal wal Haram wal Manhi ‘Anhu, No.
1)
Kaidah ini memiliki makna yang sangat besar dalam kehidupan
manusia. Mereka dibebaskan untuk melakukan apa saja dalam hidupnya baik dalam
perdagangan, politik, pendidikan, militer, keluarga, penampilan, dan
semisalnya, selama tidak ada dalil yang mengharamkan, melarang, dan mencelanya,
maka selama itu pula boleh-boleh saja untuk dilakukan. Ini berlaku untuk urusan
duniawi mereka. Tak seorang pun berhak melarang dan mencegah tanpa dalil syara’
yang menerangkan larangan tersebut.
Oleh karena itu, Imam Muhammad At Tamimi
Rahimahullah sebagai berikut menjelaskan kaidah itu:
أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه
“Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan
oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh
bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau
memakruhkan.” (Imam Muhammad At Tamimi, Arba’u Qawaid Taduru al
Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3. Maktabah Al Misykah)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:
وهو سبحانه لو سكت عن إباحة ذلك وتحريمه لكان ذلك عفوا لا يجوز الحكم بتحريمه وإبطاله فإن الحلال ما أحله الله والحرام ما حرمه وما سكت عنه فهو عفو فكل شرط وعقد ومعاملة سكت عنها فإنه لا يجوز القول بتحريمها فإنه سكت عنها رحمة منه من غير نسيان وإهمال
Dia –Subhanahu wa Ta’ala- seandainya mendiamkan tentang
kebolehan dan keharaman sesuatu, tetapi memaafkan hal itu, maka tidak boleh
menghukuminya dengan haram dan membatalkannya, karena halal adalah apa-apa yang
Allah halalkan, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan, dan apa-apa yang
Dia diamkan maka itu dimaafkan. Jadi, semua syarat, perjanjian, dan muamalah
yang didiamkan oleh syariat, maka tidak boleh mengatakannya haram, karena
mendiamkan hal itu merupakan kasih sayang dariNya, bukan karena lupa dan
membiarkannya. (I’lamul Muwaqi’in, 1/344-345)
Pandangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Tertulis
dalam Majmu’ Al Fatawa-nya:
وَسُئِلَ: عَنْ الرَّجُلِ إذَا كَانَ جُنُبًا وَقَصَّ ظُفْرَهُ أَوْ شَارِبَهُ أَوْ مَشَطَ رَأْسَهُ هَلْ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي ذَلِكَ؟ فَقَدْ أَشَارَ بَعْضُهُمْ إلَى هَذَا وَقَالَ: إذَا قَصَّ الْجُنُبُ شَعْرَهُ أَوْ ظُفْرَهُ فَإِنَّهُ تَعُودُ إلَيْهِ أَجْزَاؤُهُ فِي الْآخِرَةِ فَيَقُومُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهِ قِسْطٌ مِنْ الْجَنَابَةِ بِحَسَبِ مَا نَقَصَ مِنْ ذَلِكَ وَعَلَى كُلِّ شَعْرَةٍ قِسْطٌ مِنْ الْجَنَابَةِ: فَهَلْ ذَلِكَ كَذَلِكَ أَمْ لَا؟ .
فَأَجَابَ
قَدْ ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ حَدِيثِ حُذَيْفَةَ وَمِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا {: أَنَّهُ لَمَّا ذَكَرَ لَهُ الْجُنُبَ قَالَ: إنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ} . وَفِي صَحِيحِ الْحَاكِمِ: {حَيًّا وَلَا مَيِّتًا} . وَمَا أَعْلَمُ عَلَى كَرَاهِيَةِ إزَالَةِ شَعْرِ الْجُنُبِ وَظُفْرِهِ دَلِيلًا شَرْعِيًّا بَلْ قَدْ {قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلَّذِي أَسْلَمَ: أَلْقِ عَنْك شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ} فَأَمَرَ الَّذِي أَسْلَمَ أَنْ يَغْتَسِلَ وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِتَأْخِيرِ الِاخْتِتَانِ. وَإِزَالَةِ الشَّعْرِ عَنْ الِاغْتِسَالِ فَإِطْلَاقُ كَلَامِهِ يَقْتَضِي جَوَازَ الْأَمْرَيْنِ. وَكَذَلِكَ تُؤْمَرُ الْحَائِضُ بِالِامْتِشَاطِ فِي غُسْلِهَا مَعَ أَنَّ الِامْتِشَاطَ يَذْهَبُ بِبَعْضِ الشَّعْرِ. وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
Ditanyakan:
Tentang seorang laki-laki yang junub dia memotong kukunya, atau
kumisnya, atau menyisir kepalanya apakah dia terkena suatu hukum? Sebagian
orang telah mengisyaratkan hal demikian dan mengatakan: “Jika
seorang junub memotong rambut atau kukunya maka pada hari akhirat nanti
bagian-bagian yang dipotong itu akan kembali kepadanya dan akan menuntutnya
untuk dimandikan, apakah memang demikian?”
Jawaban:
Telah shahih dari Nabi ﷺ yang diriwayatkan dari Hudzaifah dan Abu Hurairah
Radhiallahu ‘Anhuma, yaitu ketika ditanyakan kepadanya tentang status
orang junub, maka Beliau ﷺ bersabda: “Seorang mu’min itu tidak najis.” Dalam riwayat
yang Shahih dari Al Hakim: “Baik keadaan hidup dan matinya”
Saya tidak dapatkan dalil syar’i yang memakruhkan memotong
rambut dan kuku bagi orang yang junub. Justru Nabi ﷺ memerintahkan orang
yang masuk islam, “Hilangkan darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.” Beliau
juga memerintahkan orang yang masuk Islam untuk mandi. Dan beliau tidak
memerintahkan agar potong rambut dan khitannya dilakukan setelah mandi. Tidak
adanya perintah, menunjukkan bolehnya potong kuku dan berkhitan sebelum mandi.
Begitu pula diperintahkannya (oleh Nabi) kepada wanita haid untuk
menyisir rambutnya padahal menyisir rambut akan merontokan sebagian rambutnya.
Wallahu A’lam.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/121)
Ada pun mencuci darah dari pembalut sebelum dibuang, hanyalah
kepentingan kebersihan dan sanitasi semata.
Q : Sekarang sudah ada kutek kuku yang bisa menyerap air wudhu..
itu bagaimana hukumnya?
A : Kalau betul begitu, selama bahannya suci, gak papa.
Q : Perawatan ke dokter kulit tuk peremajaan kulit apakah
termasuk juga yang dilarang?
A : Jika hanya menggunakan ramuan, lotion, tidak apa-apa .. itu
merupakan riayah-perawatan yang dibolehkan, tidak ada dalil yang melarang.
Tapi, jika meremajakan dengan operasi plastik, maka tidak boleh, itu
jelas merubah.
Q : Jika jadi pengantin biasanya dipasang konde dan dicukur
alisnya gimana hukumnya??
A : Ya terlarang, lihat kembali hadits tentang wanita yang mau
menikahkan anak gadisnya, anaknya sakit rambutnya rontok, lalu dibuat sambungan
rambut, ini jelas dilarang saat itu. Padahal dia ada alasan untuk itu. Nah,
saat ini rambut tidak rontok dibuat sambungan atau konde juga, padahal tidak
ada alasan untuk disanggul sebagaimana gadis dalam hadits tsb, maka lebih layak
lagi untuk dilarang. Wallahu a'lam
Q : Aku mau nanya, misal kita pakai behel tujuan awalnya
untuk merapikan gigi tapi setelah gigi sudah rapi kita udah terlalu suka dengan
behel ini dan ga mau dilepas, kalo seperti itu bagaimana ya ust?
A : Jika tujuan sudah tercapai, maka behel hendakjya dilepas. Di
pakainya behel karena adanya 'illat (sebab), ketika sebab sudah tidak ada maka
hukum boleh juga tidak ada.
Q : Jika pada saat acara resepsi pernikahan apakah perlu
menghapus make up nya terlebih dahulu untuk berwudhu atau tidak? Terkadang saya
mendengar make up nya ga dihapus tidak apa.
A : Jika make upnya menghalangi wudhu ya mesti dihapus, kalo
make upnya tidak menghalangi tidak papa. Itulah saya sebut make up itu tipis
agar mudah wudhu. Atau pilih waktu resepsi yang masih bisa shalat, seperti jam
11 sampai 13. Sebagian ust ada yang membolehkan jamak zuhur ashar di waktu
ashar, karena nabi pernah menjamak di rumah dalam keadaan tidak ada apa-apa.
Sesekali saja. Tapi, saya tidak rekomendasikan jamak jika masih bisa normal.
M11
Q : Apakah yang di maksud Al wasyimah? Apakah memakai celak mata
juga termasuk al wasyimah?
A : Memakai celak bukan al wasyimah istilahnya tapi al iktihaal,
dan itu justru sunah. Celak mata merupakan budaya Nabi Shallallahu
'Alaihi Sallam, yang umumnya tidak dilakukan oleh umat Islam di
Indonesia. Alangkah bagusnya jika kita memulainya. Sunnah ini merupakan sunnah
fi’liyah (perbuatan nabi) dan qauliyah (perkataan nabi). Nabi Shallallahu
'Alaihi Sallam biasa memakainya tiap malam menjelang tidur, dan
beliau menganjurkan menggunakan bercelak dengan itsmid. Dari Ibnu Abbas
Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
كَانَتْ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُكْحُلَةٌ، يَكْتَحِلُ بِهَا عِنْدَ النَّوْمِ ثَلَاثًا فِي كُلِّ عَيْنٍ
Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki celak
yang Beliau pakai menjelang tidur sebanyak tiga kali di masing-masing matanya.
HR. Ahmad No. 3317. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: hasan. Lihat Ta’liq
Musnad Ahmad No. 3317.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu: aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْإِثْمِدِ عِنْدَ النَّوْمِ، فَإِنَّهُ يَجْلُو الْبَصَرَ، وَيُنْبِتُ الشَّعَرَ
Hendaknya kalian bercelak menggunakan itsmid ketika menjelang
tidur, karena itu bisa mencerahkan penglihatan dan menumbuhkan rambut. HR. Ibnu
Majah No. 3496, At Tirmdzi No. 1757, Abu Ya’la No. 2057, Ath Thabarani,
Al-Awsath No. 6151, Al-Baghawi, Syarhus Sunnah No. 3202. Syaikh Husein Salim
Asda mengatakan: para perawinya terpercaya. Syaikh Al-Albani menshahihkan dalam
Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3496
Imam Al-Munawi Rahimahullah menjelaskan bahwa anjuran dalam
hadits ini menandakan bimbingan, pembiasaan, dan sunah bercelak. Sebagian orang
memakruhkan bercelak bagi laki-laki di siang hari, ini pendapat yang keliru,
dilakukannya di malam hari karena itu lebih bermanfaat. Hadits ini dishahihkan
oleh Imam Ibnu Abdil Bar. At Taisir bi Syarhi Al-Jami’ Ash-Shaghir, 2/139.
Ada pun itsmid adalah serbuk untuk celak yang telah dikenal.
Terbuat dari batu hitam yang dihaluskan, yang adanya di Hijaz, dan yang mutunya
paling bagus didatangkan dari Ashbahan. Fathul Bari, 10/158
Untuk laki-laki hendaknya meniatkan memakainya karena mengikuti
sunah nabi, dan mencerahkan mata, bukan karena bersolek. Sebab jika tujuannya
bersolek, itu menyerupai kaum wanita yang justru terlarang seperti yang
dikatakan Syaikh Utsaimin Rahimahullah.
Disebuntukan oleh para ulama:
ولا خلاف في جواز الاكتحال للنساء ولو بقصد الزينة ، وكذلك للرجال بقصد التداوي
Tidak ada perbedaan pendapat atas kebolehan bercelak bagi
kaum wanita walau bermaksud untuk berhias, demikian juga bagi kaum laki-laki
dengan bermaksud sebagai pengobatan. Al Hathab, 1/265, Ibnu ‘Abidin, 2/113, Al
Bujairumi ‘Alal Khathib, 4/291, Al Mughni, 1/93, Al Fatawa Al Hindiyah,
5/259.
Wallahu A'lam
Q : Apabila ada fulanah yang di cukur alisnya tanpa
sepengetahuannya di acara walimahan fulanah. Apakah itu akan menjadi dosa
ustdz? Bisakah bertaubat?
A : Apa pun alasannya itu terlarang, kecuali untuk
menyenangkan suami, ini khilafiyah. Imam Ahmad membolehkan, yang lain ttap
melarang sbagaimana teks hadits. Atau tidak disengaja, misal ada yang
usil, alisnya dicukur saat dia tidur. Ini bukan kemauan dia. Wallahu a'lam
Q : Mau tanya ustadz bagaimana hukumnya wanita yang memakai
alis tapi tanpa mencukur alis...apa itu termasuk tabaruj?
A : Itu sama dengan pensil alias, prinsipnya boleh, karena bukan
mencukur atau mencabut. Tapi, tetap ahsannya untuk menyenangkan suami. Bukan
untuk bergaya-gaya di luar.
Q : Dan tentang make up yang bisa memutihkan. Cream, suntik
ini itu dll. Apakah termasuk kategori merubah ciptaan Allah? Mohon
penjelasannya ustadz?
A : Cream sama dengan sabun perawatan, lulur, tidak papa, kalau
suntik konteksnya pengobatan gak papa, kalau untuk kecantikan semata maka
jangan.
M15
Q : Bagaimana nasib saya yang udah dengan keras melarang agar
alis tdak dicukur waktu nikah smpe nangis-nangis tetap diabaikan? Karena
memang ada aja yang membela untuk di cukur..
A : Terpaksa ya atau dipaksa? Tidak ada dosa buat orang
yang dipaksa untuk berbuat salah. Laa tuakhidzna inna siina aw akhtha'na.
Q : Mencukur ataupun mencabut alis itu hukumnya Sama-sama harom
ya? Bagaimana kalau ada wanita mencabut atau mencukur bulu kaki yang lebat
seperti lelaki? Apakah hukumnya sama seperti wanita yang memiliki kumis
dan jenggot?
A : Bulu kaki bagi wanita memang tidak lazim, sebagaimana
kumis dan jenggot, dan itu jadi aib bagi mereka .. saya ikut pendapat yang
membolehkan untuk dicukur.
M9
Q : Apakah memakai bedak untuk menutup pori-pori yang besar atau
bekas jerawat diperbolehkan?
A : Boleh selama dari bahan yang suci dan halal, untuk
menyenangkan suami (bukan untuk menyenangkan suami orang ya). Kalo ke luar
rumah, dan termasuk yang tidak bercadar, ahsannya buat wara'/kehati-hatian
terhadap larangan juga tidak melakukan itu. Kalau pun terpaksa memakai ya
tipis-tipis saja, bahkan lebih jempol lagi kalo pakai niqab jadi gak pusing ama
bekas jerawat. Wallahu a'lam
Q : Apakah memakai kaus kaki dengan tujuan supaya kaki nya tidak
pecah-pecah jadi beda niat? Bukan menutup aurat tapi menutupi kekurangan?
A : Kaki itu aurat menurut jumhur/myritas ulama, kecuali Imam
Abu Hanifah. Maka, mau mulus atau pecah-pecah, tetap wajib di tutup. Bahkan ada
ulama yang ekstra hati-hati, kaoskaki pun tidak boleh sbb itu masih membentuk
tubuh, yang benar adalah menjulurkan sampai sejengkal dibawah mata kaki. Tentu
pendapat ini masih debatable. Tapi, hendaknya meluruskan niat untuk nutup
aurat, kalau ternyata ada hal yang malu dilihat, maka .. bukankah menjadikannya
sebagai aurat sudah cukup bagi wanita untuk malu ditampakkan? Wallahu a'lam
M10
Q : Bagaimana gigi yang memakai kawat gigi itu ustadz? Ada yang
bertujuan tuk merapikan gigi yang menonjol tapi ada juga yang cuma buat hiasan.
A : Kalau untuk pengobatan, agar lebih mudah dalam mengunyah,
maka merapikan gigi dengan behel gak papa, sbagaimana yang sudah saya
bahas dalam artikel. Tapi, Kalau untuk gaya semata maka jangan, tidak perlu,
dan sayang harta alias tabdzir. Masuk kategori hadits lilhusni muhhayyirat
alkhalqallah - mengubah ciptaan Allah demi kecantikan.
Wallahu a'lam
Q : Bagaimana dengan memontokkan payudara, dengan
cara mengoleskan cream atau meminum kapsul, supaya suami senang.
Bagaimana hukumnya?
A : Gak papa bu, itu sama dengan peremajaan kulit dengan
lotion dan ramuan tradisional, selama bukan operasi plastik, implan, dan
semisalnya.
Q : Lalu bagaimana seharusnya wanita bersuami berdandan ketika
keluar rumah? Tidak dipungkiri kita harus bersosialisasi misal arisan,
kondangan, ke pasar. Apa harus polos tanpa make up atau boleh dandan
sewajarnya. Saya kebiasaan dr kecil pakai celak (mata bag bawah) ustadz..
Bolehkah?
A : Jika memang ingin hati-hati secara syariat ya memang polos,
cuci muka saja di rumah. Saat ini kan memang tebalik, di rumah kusam, padahal
ada suami, sementara di luar rumah menor. Padahal kalo di rumah menor untuk
suami itu jadi ibadah. Menor di luar hujan ibadah malah fitnah. Akhirnya wajah
yang menor itu membayang pada laki-laki, lalu laki-laki pulang ke rumah dan
membayangkan istrinya dandan yang cakep, tapi ternyata istrinya kusam.
Akhirnya, suami membayangkan wanita lain. Inilah hikmah karena anjuran berias
dihadapan suami dalam rangka menyelamatkan mata mereka dan pikiran mereka dari
wanita yang bukan haknya. Wallahu a'lam
Q : Kalau istri tidak suka berdandan, jadi tampil apa adanya
bila keluar rumah gitu, sedangkan suami inginkan istrinya untuk berdandan bila
keluar rumah... berdosakah bila istri menolak?
A : Kalau dandannya menor, sampai menabrak prinsrip syariat,
maka tolak .. tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah.
Tapi, jalan tengahnya adalah pahamkan ke suami tentang hukum tabarruj, atau
makeup yang tipis aja. Sebab make up itu kadang menipu, tidak alami.
M4
Q : Boleh ga wanita potong rambut yang pendek kaya laki-laki?
A : Tidak apa-apa memendekkan rambut bagi wanita selama tidak
menyerupai orang kafir dan tidak menyerupai laki-laki. Sebagaimana riwayat
berikut:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
Bukan golongan kami orang yang menyerupai selain kami. (HR. At Tirmdizi No. 2695. Ath Thabrani, Musnad Asy Syamiyyin No. 503, juga dalam Al Awsath No. 7380, Al Qudha’i, Musnad Asy Syihab No.1191, Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahihul Jami’ No. 5434)
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَرَجِّلاتِ مِنَ النِّسَاءِ، وَالْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالَ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat wanita yang menyerupai laki-laki, dan laki-laki yang menyerupai wanita. (HR. Ahmad No. 2006. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnadnya shahih sesuai standar Imam Al Bukhari. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 2006)
Bagi wanita hanya dibolehkan memendekkan (at taqshir) saja, tidak dibolehkan menggundulinya. Hal ini berdasarkan hadits berikut ini. Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَيْسَ عَلَى النِّسَاءِ حَلْقٌ ، إِنَّمَا عَلَى النِّسَاءِ التَّقْصِيْرُ
Wanita tidaklah dicukur habis rambutnya, tetapi hanyalah dipendekkan saja. (HR. Abu Daud No. 1983, Ad Darimi No. 1936, Ad Daruquthni No. 2666, 2667, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 9404, Ath Thabarani, Al Kabir No. 13018. Syaikh Husein Salim Asad Ad Darani mengatakan dalam tahqiqnya atas Sunan Ad Darimi: isnadnya shahih. Syaikh Al Albani juga menshahihkan. Lihat Shahihul Jami’ No. 5403)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
نهى أن تحلق المرأة رأسها
Nabi melarang kaum wanita menggunduli kepalanya. (HR. At Tirmidzi No. 915)
Menurut Imam At Tirmdizi sanad hadits ini idhtirab – guncang (Ibid), sehingga dia dhaif. Idhtirab-nya sanad hadits ini karena Hamam meriwayatkannya kadang katanya dari Ali, kadang dari ‘Aisyah. Lalu, hadits ini juga terputus sanadnya (munqathi’) antara Qatadah kepada Aisyah, bahwa Qatadah tidaklah mendengarkan hadits ini dari ‘Aisyah.(Silsilah Adh Dha’ifah No. 278)
Namun, demikian hadits ini telah diamalkan oleh para ulama sebagaimana dijelaskan oleh Imam At Tirmidzi sendiri, sebagai berikut:
والعمل على هذا عند أهل العلم لا يرون على المرأة حلقا، ويرون أن عليها التقصير.
Para ulama mengamalkan hadits ini, bagi mereka tidak boleh wanita menggunduli kepalanya, bagi mereka yang benar adalah memendekkan saja. (Sunan At Tirmidzi No. 915)
M16
Q : Bagaimana menyampaikan kepada orang yang lebih tua, biasanya
nenek-nenek, tentang larangan konde, terutama di daerah Jawa yang masih kental
tradisi adatnya. Satu lagi, ada mitos terhadap anak balita jika dipotong
sedikit bulu matanya, nanti biar tumbuhnya lebih panjang dan lentik, apakah itu
boleh menurut syariat?
A : Ini memang sulit ya, biasanya hilang sendiri seiring zaman.
Dulu ibu-ibu jarang pakai jilbab besar, paling hanya selendang dan kupluk, saat
ini jilbab besar sudah umum. Kalau kita punya kemampuan, hujjah, dan wibawa
maka sampaikan saja. Paling mungkin memang bukan kita yang menyampaikan tapi
orang yang sebaya agar penerimaannya lain. Itu perlu ditanyakan ke pakar,
mitoskah atau ilmiyah? Sama dengan kumis dan janggut pria jika semakin
rajin dicukur semakin lebat. Tapi untuk anak-anak, belum dibebankan hukum
syariah, mereka belum bisa disalahkan. Yang salah adalah orang dewasanya.
M5
Q : Bagaimana hukumnya jika seseorang bekerja di tempat
pembuatan wig tapi tidak memakainya..
A : Ini pekerjaan termasuk delik ayat laa ta'awanu 'alal itsmi
wa 'udwaan- jangan saling memfasilitasi/menolong dalam dosa dan kejahatan ..
Sebaiknya jangan, ini sama seperti pekerjaan dipabrik rokok, khamr, bartender,
narkoba, walau dia tidak memakainya. Sama saja.
M20
Q : Apa boleh seorang wanita menggunakan bulu mata palsu ? Apa
hukumnya bila seseorang menggunakan gigi palsu yang di tanam (implant teeth) ,
dilihat dari sudut pandang islam?
A : Mempercantik diri, selama dengan cara yang wajar dan tanpa
merubah ciptaan Allah Ta’ala dalam diri kita, tidaklah mengapa. Namun, ketika
sudah ada yang ditambah-tambahkan atau dikurang-kurangkan maka itu terlarang,
sebab seakan dia tidak mensyukuri nikmat yang ada pada dirinya. Itulah yang
oleh hadits disebut ‘Dengan tujuan mempercantik diri mereka merubah ciptaan
Allah Ta’ala.’
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ
“Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: “Allah
melaknat wanita yang betato dan si tukang tatonya, wanita yang mencukur
alisnya, dan mengkikir giginya, dengan tujuan mempercantik diri mereka merubah
ciptan Allah Ta’ala.”
Sementara ada riwayat lain dengan redaksi yang agak berbeda:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ
“Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
melaknat wanita yang menyambung rambutnya (wig, konde, sanggul, pen) dan si
tukang sambungnya, wanita yang bertato dan si tukang tatonya.”
Jadi, ‘ilat (sebab) dilaknatnya perbuatan-perbuatan ini adalah
karena demi kecantikan mereka telah merubah ciptaan Allah Ta’ala yang ada pada
diri mereka. Maka perbuatan apa pun, bukan hanya yang disebut dalam
riwayat-riwayat ini, jika sampai merubah ciptaan Allah Ta’ala demi tujuan
kecantikan adalah terlarang, seperti menggunakan bulu mata palsu (sama halnya
dengan menggunakan rambut palsu alias wig, konde dan sanggul), operasi plastik,
operasi silikon payudara, dan semisalnya. Namun, jika untuk tujuan kesehatan
dan maslahat kehidupan, seperti cangkok jantung, kaki palsu untuk berjalan,
tangan palsu untuk memegang, gigi palsu untuk mengunyah, atau operasi pelastik
untuk pengobatan akibat wajah terbakar atau kena air keras, itu semua bukan
termasuk merubah ciptaan Allah Ta’ala. Itu semua merupakan upaya mengembalikan
fungsi orangan tubuh seperti semula, bukan merubah dari yang aslinya. Demikian.
Untuk GIGI PALSU .
Memakai gigi palsu, jika tujuannya untuk mengembalikan fungsi
pencernaan seperti semula, atau untuk pengobatan, tidak apa-apa. Hal ini
sama seperti seseorang yang telah putus kakinya lalu dipasangkan kaki palsu
baik permanen atau sementara.
Berkata Imam Ath Thabari Rahimahullah, sebagaimana dikutip Imam
Ibnu Hajar:
ويستثنى من ذلك ما يحصل به الضرر والأذية كمن يكون لها سن زائدة أو طويلة تعيقها في الأكل
“Dikecualikan dari hal itu, yakni apa-apa yang bisa mendatangkan
bahaya dan gangguan seperti wanita yang memiliki gigi yang lebih atau
kepanjangan (tonggos) yang dapat mengganggunya ketika makan.” (Al Hafizh
Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/377. Darul Fikr)
Dalilnya adalah, dari Urfujah bin As’ad Radhiyallahu ‘Anhu,
أَنَّهُ أُصِيبَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ
Bahwa hidung beliau terkena senjata pada peristiwa perang Al
Kulab di masa jahiliyah. Kemudian beliau tambal dengan perak, namun
hidungnya membusuk. Kemudian Nabi ﷺ memerintahkannya untuk
menambal hidungnya dari emas. (HR. An Nasa’i 5161, Abu Daud 4232, Al
Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 4392, Ath Thabarani, Al Kabir No. 370,
Ahmad No. 19006, 20271, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan.
Ta’liq Musnad Ahmad No. 19006. Dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban).
Bagaimana jika wafat? Jika dicabut gigi palsu permanen tesebut
justru merusak mulutnya maka tidak boleh. Sebab itu menyakitinya, dan seorang
muslim baik hidup matinya adalah terhormat.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Mematahkan tulang seorang mayit, sama halnya dengan
mematahkannya ketika dia masih hidup.” (HR. Abu Daud No. 3207, Ibnu Majah No.
1616, Ahmad No. 24783, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Para perawinya
terpercaya dan merupakan perawi hadits shahih, kecuali Abdurrahman bin Ubay,
yang merupakan perawi kitab-kitab sunan, dan dia shaduq (jujur).” Lihat Tahqiq
Musnad Ahmad No. 24783. Syaikh Al Albani juga menshahihkannya. Lihat Shahihul
Jami’ No. 2132)
Maka menyakitinya ketika sudah wafat adalah sama dengan
menyakitinya ketika masih hidup, yaitu sama dalam dosanya. (Imam Abu Thayyib
Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 9/18) karena mayit juga merasakan sakit. (Ibid)
Menyakiti seorang mukmin ketika matinya, sama dengan
menyakitinya ketika dia masih hidup. (Lihat Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah
No. 12115)
Dengan demikian, pada dasarnya adalah hal yang terlarang
menyakiti dan melukai mayit muslim menurut keterangan-keterangan di atas,
termasuk melakukan anestesi saat mencabut gigi palsu permanen tersebut.
KECUALI, jika tidak permanen, maka hendaknya dicabut apalagi jika dari emas,
maka itu pemborosan jika dikubur bersama mayatnya.
Wallahu A’lam
Q : Bismillah.. Assalamualaikum...afwan ijin bertanya apa
hukumnya bila wanita memakai pensil alis dan ayeliner apa termasuk tato dan
bila berdadan agar muka tidak terlihat kusam apa dibolehkan ?
Jazaakillah...
A : Itu bukan tato, ga papa, yang penting jangan dibentuk
aneh-aneh, wajar aja. Tapi, ini dilakukan dihadapan suami dan mahram, sepakat
ulama atas hal itu. Ada pun ketika keluar dan bersosialiasasi dengan
laki-laki bukan mahram, maka umumnya ulama melarang.
M19
Q : Assalamu'alaikum bagaimana dengan hiasan pada
wajah pengantin...
A : Wa'alaikumussalam, Aisyah saat nikah juga dirias, jadi gak
papa. Tapi, seperti yang saya jelaskan sebelumnya, jangan ada berhias yang
melanggar syariah seperti pembahasan yang sebelumnya. Tipis-tipis aja
riasannya. Wallahu a'lam.
TANYA JAWAB GRUP NANDA
M114
Q : Jika gigi bagian depan bolong, dan terlihat tidak bagus,
kemudian kalo dibiarkan bolong maka akan membuat gigi yang lain tertular
bolong. Keadaan demikian apakan boleh menambal gigi bagian depan tersebut?
A : Wa'alaikumussalam .., jika gigi bolong, bagian mana pun itu
lalu ditambal lagi untuk mengembalikan bentuk dan fungsi seperti semula maka
tidak apa-apa, bukan termasuk kategori mutafalijah/mengkikir gigi. Wallahu
a'lam
Q : Mau tanya kalau berdandan lalu diupload di medsos untuk
dilihat banyak orang itu gimana?
A : Jika memang itu tujuannya, jangan deh .. kalau hukumnya jelas
larangannya, tapi juga dampaknya mesti diperhatikan.
M110
Q : Bagaimana dengan me-rebonding/meluruskan rambut, apakah hal
tsb diharamkan juga ustadz?
A : Rebounding, secara lugas memang tidak ada hadits yang
memerintah atau membolehkan, atau yang melarangnya, sehigga menjadi hal yang
kontroversi. MUI jawatimur sudah mengeluarkan fatwa haramnya rebounding, tapi
ini belum diikuti oleh lainnya. Jika mau ambil hati-hati dan wara' memang tidak
melakukannya. Wallahu a'lam
M103
Q : Ustd, ana kan pakai kacamata soalnya mata ana minus. Nah ana
itu kalo beli kacamatanya kadang sering juga ngikut trend gitu. Itu hukumnya
gimana?
A : Kaca mata trend, jika trend bentuknya .. kalau dulu kacamata
lebar-lebar .. sekarang oval-oval .. ya ga papa, dulu trennya frame plastik,
sekarang besi misalnya, ini gak masalah. Yang penting warna warninya aja yang
wajar dan tidak aneh, jangan kaya kacamata suporter bola atau dimensi 3.
Wallahu a'lam
M105 & 108
Q : Kalo perempuan yang pakai eyeliner atau maskara waterproof (yang tidak luntur kalo terkena air alias anti air) trus mau wudhu apa harus di hapus dulu eyeliner/maskaranya??
A : Sebaiknya dilepas dulu, sebab wajah itu wajib dibasuh semua, jangan sampai ada yang luput dari air wudhu. Jika eyeliner dan maskara itu menghalangi wudhu, dikhawatiri wudhunya tidak sah, sebab membasuh semua bagian wajah adalah wajib. Wallahu a'lam
Q : Kalo perempuan yang pakai eyeliner atau maskara waterproof (yang tidak luntur kalo terkena air alias anti air) trus mau wudhu apa harus di hapus dulu eyeliner/maskaranya??
A : Sebaiknya dilepas dulu, sebab wajah itu wajib dibasuh semua, jangan sampai ada yang luput dari air wudhu. Jika eyeliner dan maskara itu menghalangi wudhu, dikhawatiri wudhunya tidak sah, sebab membasuh semua bagian wajah adalah wajib. Wallahu a'lam
M111
Q : Aku suka banget dandan, pake pensil alis dll. Nah klo untuk penggunaan kosmetik, sejauh mana yang dibolehkan or ga boleh? Trus klo kluar rumah dandan, perginy ga sama suami, tapi sudah diijinkan, bolehkah??
A : Ada 4 aspek ya ..
1. Aspek bahanhya. Tidak ada bahan yang haram atau najis, dan tidak menghalangi wudhu
2. Aspek caranya. Tidak ada hal yang tegas dilarang syariat seperti mencukur alis, menyambung rambut, tato, kikir gigi, atau merubah ciptaan Allah padahal baik-baik saja dan dalam keadaan normal, tidak ada cacat.
3. Aspek tujuan. Apa maksudnya berias, apakah untuk suami, atau sekedar tampak cantik saja, atau apa, ini juga beda hukum.
4. Aspek dampak. Apakah riasan kita berdampak madharat atau tidak.
Semua ini mesti diperhatikan. Wallahu a'lam
Q : Aku suka banget dandan, pake pensil alis dll. Nah klo untuk penggunaan kosmetik, sejauh mana yang dibolehkan or ga boleh? Trus klo kluar rumah dandan, perginy ga sama suami, tapi sudah diijinkan, bolehkah??
A : Ada 4 aspek ya ..
1. Aspek bahanhya. Tidak ada bahan yang haram atau najis, dan tidak menghalangi wudhu
2. Aspek caranya. Tidak ada hal yang tegas dilarang syariat seperti mencukur alis, menyambung rambut, tato, kikir gigi, atau merubah ciptaan Allah padahal baik-baik saja dan dalam keadaan normal, tidak ada cacat.
3. Aspek tujuan. Apa maksudnya berias, apakah untuk suami, atau sekedar tampak cantik saja, atau apa, ini juga beda hukum.
4. Aspek dampak. Apakah riasan kita berdampak madharat atau tidak.
Semua ini mesti diperhatikan. Wallahu a'lam
M116
Q : Ustadz apakah mengukir gambar/ memakai hena/pacar di lengan saat menikah itu termasuk tato yang di larang? Lalu, apakah klo pakai hena untuk wanita diperbolehkan walaupun bukan untuk di pernikahan?
A : Memakai henna, atau pacar cina, atau apa saja yang mewarnai tangan atau kuku, selama berasal dari bahan suci dan tidak mencelakan kulit, serta tidak menghalangi wudhu tidak apa-apa.
Q : Ustadz apakah mengukir gambar/ memakai hena/pacar di lengan saat menikah itu termasuk tato yang di larang? Lalu, apakah klo pakai hena untuk wanita diperbolehkan walaupun bukan untuk di pernikahan?
A : Memakai henna, atau pacar cina, atau apa saja yang mewarnai tangan atau kuku, selama berasal dari bahan suci dan tidak mencelakan kulit, serta tidak menghalangi wudhu tidak apa-apa.
Dasarnya adalah ayat :
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Dan janganlah mereka (kaum mu’minah) Menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya (QS. An Nuur: 31)
Apakah yang biasa nampak atau terlihat dari kaum mu’minah?
Abdullah bin Abbas mengatakan maksud kalimat itu adalah celak,
pewarna tangan, dan cincin. Mujahid berkata: cincin, pewarna
tangan, dan celak mata. Ibnu Zaid mengatakan: celak mata, pewarna tangan, dan
cincin, mereka mengatakan demikianlah yang dilihat oleh manusia.
Sedangkan Imam Ibnu Jarir, setelah dia memaparkan berbagai tafsir ini, beliau
mengatakan:
وأولى الأقوال في ذلك بالصواب: قول من قال: عنى بذلك: الوجه والكفان، يدخل في ذلك إذا كان كذلك: الكحل، والخاتم، والسوار، والخضاب.
“Pendapat yang paling unggul dan benar adalah pendapat yang
mengartikannya dengan wajah dan dua telapak tangan, dan jika demikian maka
celak, cincin, gelang, dan pewarna tangan termasuk di dalamnya.” (Detilnya
lihat Tafsir Ath Thabari, 19/156-158)
Dalil lain, dahulu Nabi ﷺ merasa
heran ketika ada tangan wanita yang tidak memakai henna, dan itu menunjukkan
memakai henna adalah umum bagi wanita saat itu,
Lengkapnya sebagai berikut, Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha,
Beliau bercerita:
أن امرأة مدت يدها إلى النبي صلى الله عليه و سلم بكتاب فقبض يده فقالت يا رسول الله مددت يدي إليك بكتاب فلم تأخذه فقال إني لم أدر أيد امرأة هي أو رجل قالت بل يد امرأة قال لو كنت امرأة لغيرت أظفارك بالحناء
Ada seorang wanita yang menjulurkan tangannya kepada Nabi ﷺ dengan memegang sebuah kitab, lalu nabi menahan tangannya.
Wanita itu bertanya: “Wahai Rasulullah, aku julurkan tanganku
kepadamu dengan memberikan kitab, tapi engkau tidak mengambilnya?”
Nabi menjawab: “Aku tidak tahu ini tangan laki-laki atau tangan
wanita?”
Wanita itu menjawab: “Ini tangan wanita.”
Lalu Nabi bersabda: “Jika kamu wanita maka ubahlah warna kukumu
dengan henna.” (HR. An Nasa’i No. 5089, Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 6002,
hadits ini hasan.)
Demikian. Wallahu A’lam
Alhamdulillah, kajian kita hari ini berjalan dengan lancar. Semoga
ilmu yang kita dapatkan berkah dan bermanfaat. Aamiin....
Segala yang benar dari Allah semata, mohon maaf atas segala
kekurangan. Baiklah langsung saja kita tutup dengan istighfar masing-masing
sebanyak-banyaknya dan do'a kafaratul majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta
astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa
tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon
pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment