Home » , , , » HAKIKAT RIZKI DALAM PERSPERKTIF ISLAM

HAKIKAT RIZKI DALAM PERSPERKTIF ISLAM

Posted by Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT on Monday, August 8, 2016

Kajian Online WA  Hamba الله SWT

Senin, 1 Agustus 2016
Narasumber : Ustadz Syahrowi
Rekapan Grup Bunda M8
Tema : Kajian Umum
Editor : Rini Ismayanti


Puji syukur kehadirat Allah SWT yang masih memberikan kita nikmat iman, islam dan Al Qur'an semoga kita selalu istiqomah sebagai shohibul qur'an dan ahlul Qur'an dan dikumpulkan sebagai keluarga Al Qur'an di JannahNya.
Shalawat beriring salam selalu kita hadiahkan kepada uswah hasanah kita, pejuang peradaban Islam, Al Qur'an berjalan, kekasih Allah SWT yakaninya nabi besar Muhammad SAW, pada keluarga dan para sahabat nya semoga kita mendapatkan syafaat beliau di hari akhir nananti. InsyaAllah aamiin

HAKIKAT RIZKI DALAM PERSPERKTIF ISLAM

Hakikat rezeki memang selalu menarik untuk diperbincangkan, bahkan dari kalangan petani, pedagang hingga cendekiawan sering menjadikan topik pembahasan.

Rezeki juga seringkali menjadi satu permohonan yang dipanjatkan di dalam doa, hal itu menunjukkan bagaimana pentingnya rezeki bagi kita manusia.

Namun sayangnya, banyak terjadi kesalahkaprahan ketika perihal rezeki ini menjadi topik bahasan.

Sebagian kalangan ada yang terjebak ke dalam satu area yang keliru sehingga membuat mereka kemudian mengambil jalan yang berbeda yang tidak berpedoman kepada al-Qur’an dan al-Hadits. kaum muslim seringkali “rela” meninggalkan apa yang sudah menjadi kewajibannya hanya untuk mengejar rezeki.

Kata rezeki atau rizki sendiri dipercaya merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Arab “razaqa” yang artinya memberi sesuatu.

Ada dua bagian di dalam rezeki yaitu rezeki yang halal dan rezeki yang haram. Baik halal maupun haram memang adalah hasil pemberian Allah SWT, karena bagaimanapun juga mereka yang berupaya untuk mendapatkannya telah bersusah payah dan rela berkeringat, sehingga Allah mengganjarnya dengan rezeki tersebut.

Saat ini banyak orang yang mengira bahwa rezeki yang mereka dapatkan adalah hasil jerih payah mereka sendiri atau hasil dari pekerjaan yang mereka jalani. Misalnya saja, ada seorang karyawan yang menerima gaji setiap bulan karena telah bekerja keras selama satu bulan penuh.

Ketika mereka menerima uang gaji tersebut, mereka mengira bahwa itu semata – mata adalah hasil jerih payah mereka karena telah bekerja selama sebulan penuh.

Contoh lainnya adalah seorang pedagang yang mendapatkan keuntungan dari perdagangan yang dia lakukan, namun kemudian mengira bahwa apa yang dia dapatkan adalah murni hasil kerja keras dia. Banyak lagi contoh yang lain yang menunjukkan kekeliruan dalam menyikapi rezeki yang diterima.

Sebagai muslim, kita diwajibkan dan “dipaksa” untuk meyakini bahwa segala yang kita miliki dan dapatkan adalah hasil pemberian Allah SWT. Kita harus percaya dan yakin bahwa besar kecilnya rezeki yang kita dapatkan bukan semata – mata karena apa yang telah kita kerjakan, namun juga berkah dari Allah SWT.

Di dalam al-Qur’an surat:
Adh- Dzariyat ayat 22-23: “Dan di langit ada (sebab-sebab) rezeki kamu, juga apa saja yang telah dijanjikan kepada kalian. Maka, demi Tuhan, langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan”.

Surat Hud ayat 6: “Dan tidak ada satupun hewan melata di muka bumi ini, kecuali rezekinya telah ditetapkan oleh Allah. Dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”

Dari kedua ayat tersebut jelas diterangkan bahwa Allah memang adalah pemilik dari segala rezeki. Di dalam surat Hud tersebut bahkan Allah SWT secara gamblang menegaskan bahwa binatang melata sekalipun diberikan-Nya rezeki, apalagi kita sebagai manusia.

Selain kedua surah di atas, ada pula beberapa surah lain yang menegaskan bahwa rezeki adalah mutlak milik Allah dan manusia tidak perlu mengkhawatirkannya, seperti:

Al Isra ayat 31: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberikan rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”

Al-An’am ayat 151: “…Dan janganlah kamu membunuh anak – anakmu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan juga kepada mereka…”

Kesimpulannya, keyakinan mengenai rezeki di tangan Allah adalah keyakinan yang wajib dimiliki oleh setiap muslim, tanpa terkecuali. Kaum muslim juga harus yakin bahwa segala sesuatu yang diberikan oleh Allah SWT, baik berupa materi maupun non – materi adalah murni pemberian-Nya bukan semata – mata hasil dari usaha kita.

Pekerjaan yang kita lakukan bukanlah penyebab datangnya rezeki namun hanya merupakan satu media agar Allah berkenan untuk memberikan sedikit yang dimiliki-Nya kepada kita.

Meski demikian, kita sebagai manusia juga tetap diwajibkan untuk tetap berusaha sekuat tenaga dalam upayanya mencari ridho Allah. Jadi, dalam hal ini manusia juga sekaligus diwajibkan untuk selalu bersikap tawakal dan istiqomah, dalam artian mengembalikan segala sesuatunya hanya kepada pemilik alam semesta ini, yaitu Allah SWT.
Wallahu'alam

TANYA JAWAB

Q : Ustadz mau nanya.... Besar kecilnya rejeki kita sudah ditetapkan Allah ketika kita dalam kandungan ya ustadz.  Berarti pemikiran tentang pendidikan yang menentukan kaya miskin orang salah kan ustadz. Jadi kalo kita memasukan anak ke sekolah khusus hafal quran, bukan berarti kita tidak memikirkan kehidupan dunia anak kan ustadz...
A : Pada hakikatnya setiap kita sudah ditentukan kadar rizkinya, dan Allah Maha Tahu ukuran rizki yang layak bagi setiap hambanya.  Jangankan yang muslim, yang kafir pun Allah sudah sediakan rizkinya. Setiap keturunan Adam lahir kedunia, sdh menjadi kewajiban Allah menyediakan rizki baginya karena itu merupakan haknya seorang hamba. 4 hal yang sdh ditakdirkan saat masih di alam rahim yaitu rizki, azal, amalnya, celaka atau bahagia (HR. Bukhori Muslim). Tetapi yang harus dipahami adalah ikhtiar setiap hamba, sebab ikhtiar harus sebanding dengan doa. Dalam ikhtiar ada kesungguhan, penambahan skill, kesabaran dan muamalah yang baik dengan sesama manusia. Adapun jika anak kita disekolah untuk jadi hafizh qur'an, maka sangat bagus. Tidak usah khawatir, Allah akan menjamin rizki baginya.
Wallahu'alam

Q : Assalamualaikum, ustadz, saya mau bertanya saya seorang karyawan swasta. Tapi perusahaan sedang pailit, saya ingin sekali untuk usaha bisnis tapi kenapa selalu gagal ya? Saya udah beli beberapa barang untuk dijual tapi yang beli hanya sedikit, misal nya punya barang 20, yang laku hanya 1, padahal di setiap sholat saya meminta diberikan petunjuk tentang rezqi usaha apa, bingung harus bagaimana? Terima kasih sebelum nya
A : Wa'alaykumussalam wr wb. Sekalipun Allah sudah takdirkan ukuran rizki setiap hamba, tetapi berapa kah ukurannya itu tidak ada yang tau, atau ghaib. Sama halnya dengan ajal termasuk rahasia Allah. Terkait dengan ikhtiar yang kita lakukan, teruslah berusaha karena dalam ikhtiar dituntut kesabaran, peningkatan skill/ketrampilan hidup, muamalah, dsb. Batas kesabaran mencari rizki adalah pada saat mencari rizki yang halal untuk keluarga, Allah jadikan ia syahid dalam perjuangan mencari rizki tsb. Sabarlah...karena setiap usaha melakukan kebaikan, Allah akan beri jawaban dengan keajaiban yang terkadang kita tidak sadar. Dan kita tidak boleh menganggap rizki hanya sekadar harta. Mencari harta dan mencari rizki itu beda. Cakupan rizki sangat luas. Misal seorang kaya raya dengan penghasilan milyaran, tetapi kena diabet dan penyakit gula, maka rizkinya sangat terbatas sekalipun hartanya banyak.  Wallahu'alam.

Q : Ustdz mau tanya...kondisi perekonomian seseorang tidak begitu baik namun dia selalu bilang dia ikhlas hidup seperti itu. Padahal dia punya kemampuan untuk berikhtiar lebih. Jika ditanya alasannya rezeki sudah ada yang atur tinggal dijalani saja. Apakah konsep pemahaman tersebut benar? Bagaimana sebenarnya konsep ideal mendapatkan rezeki yang berkah?
A : Dalam  Islam, konsep sabar adalah sabar yang proaktif. Sabar proaktif maknanya menerima dengan ikhlas apa yang terjadi padanya lalu berusaha sekuat tenaga untuk meraih yang diinginkan. Makanya diharamkan berputus asa dari mencari karunia Allah. Jadi kita disuruh terus berusaha untuk kehidupan yang lebih baik. Wallahu'alam.

Q : Ustadz mau tanya, bagaimana caranya agar bisa menjadi orang yang pandai bersyukur? Rasanya kok berapapun rezeki yang di dapat tidak pernah cukup.. Apakah kurang keras usahanya? Bagaimana pula kalau di rasa sebagai istri kita bisa lebih lagi membantu suami tapi tidak diperbolehkan. Trm ksh..
A : Bersyukur itu sebenarnya sangat mudah. Salah satu caranya seringlah silaturahim dengan orang yang tak punya, insyaAllah akan  timbul sifat syukur seiring dengan kisah kehidupan mereka. Jika pergaulan kita hanya dengan orang berharta maka rasa syukur akan hilang karena biasanya hanya untuk membandingkan apa yang kita punya dengan orang lain punya. Banyaknya harta memang tidak akan pernah membuat orang berpuas diri, karena semakin banyakpun harta maka akan muncul niat menambah dan menambah lagi. Sebagaimana Rasullah SAW bersabada:
" Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari )
Wallahu'alam.

Q : Bagaimana menghibur adik yang tidak punya anak sampai usianya sudah tua?
Adik sering mengeluh dan sedih, siapa nanti yang mengurus dia klo sudah gak bisa apa-apa
A : Silahkan dibaca penjelasan berikut jika suami/istri tidak dikaruinai keturunan. Allah SWT berfirman :
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia ciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha kuasa.” (QS. asy-Syura [42]: 49-50)
Ibnu Katsir rahimahullah saat menafsirkan ayat tersebut, "Jadi, Allah 'Azza wa jalla menjadikan manusia itu empat golongan, ada yang diberi anak-anak perempuan, ada yang diberi anak-anak lelaki, ada yang diberi dua jenis anak-anak lelaki dan perempuan, dan ada yang Dia cegah (anak-anak) darinya yang laki-laki maupun yang perempuan. Sehingga Allah jadikan ia mandul, tidak punya keturunan dan tidak diturunkan anak buatnya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui, yaitu terhadap siapa yang berhak mendapatkan masing-masing bagiannya dari keempat bagian tersebut. Maha Kuasa, yaitu atas apa yang Dia kehendaki berupa (menjadikan) manusia berbeda-beda seperti tersebut."
Beberapa Hikmah Tidak Punya Anak
Berikut ini beberapa hikmah di balik kehendak Allah 'Azza wa jalla tidak memberi anak kepada sebagian manusia:
1. Sebagai tanda kekuasaan Allah 'Azza wa jalla. Sebagaimana Dia kuasa menciptakan manusia dengan keempat golongannya tersebut.
Ketika Allah 'Azza wa jalla menciptakan Nabi Isa 'Alaihissalam dari seorang ibu tanpa ayah Allah 'Azza wa jalla sebuntukan hikmahnya agar menjadi tanda dan sebagai rahmat. (QS. Maryam: 21)
Pun dalam hal tidak memberi anak, Allah 'Azza wa jalla hendak menunjukan kekuasaan-Nya yang mutlak atas seluruh makhluk, agar makhluk meyakini dan bertambah iman dengan mengetahui hikmah ini. Sebab, di antara hal yang menambah iman ialah mentadabburi tanda-tanda kekuasaan Allah atas makhluk-Nya. Tentu bertambahnya iman merupakan kebaikan yang diharapkan layaknya seorang anak yang diidamkan.
2. Agar Allah 'Azza wa jalla memberikan pahala yang lebih baik.
Tidak dipungkiri bahwa anak merupakan kebaikan. Namun tidak tentu kehadiran anak akan membuahkan pahala yang lebih baik. Bisa jadi tidak dianugerahi anak justru membuahkan pahala yang lebih baik dan lebih banyak lagi, hal ini sebagaimana yang tersirat dalam QS. al-Anfal [8]: 28).[3]
Mengenai QS. al-Anfal: 28 Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan adalah sebagai berikut, "Yaitu, pahala-Nya, pemberian-Nya serta surga-Nya jauh lebih baik bagi kalian daripada harta maupun anak-anak. Sebab, terkadang ada anak-anak yang justru menjadi musuh, sedangkan kebanyakannya tidak memberi kecukupan bagimu sedikit pun (dari adzab-Nya). Sementara Allah 'Azza wa jalla, Dialah yang Maha mengatur, Maha merajai dan Pemilik dunia serta akhirat, juga dari-Nya ada pahala yang sangat besar, kelak di hari kiamat."
3. Menguatkan semangat beramal baik.
Ketika seorang mukmin mengetahui bahwa seluruh aktivitas kehidupannya merupakan ujian dan cobaan dari Allah, agar diketahui siapa yang paling baik amalannya, maka bagi yang tidak memiliki anak akan semakin semangat beramal kebaikan. Sebab, saat ia melihat saudaranya yang diberi anugerah anak oleh Allah 'Azza wa jalla, dia tahu bahwa itu ibarat medan amal bagi saudaranya. Medan untuk menambah amal shalih dengan memenuhi hak-hak anaknya. Sementara dia diberi medan amal yang berbeda. Dengan mengetahui hal ini seseorang akan terpupuk semangatnya untuk tidak mau kalah beramal meski ia tidak memiliki medan amal shalih seperti milik saudaranya.
4. Agar Allah mengingatkan kelemahan hamba-Nya sehingga tidak takabur lagi sombong.
Tatkala seseorang mengetahui saudaranya memiliki anak, dengan husnuzhan kepada Allah dan kepada saudaranya berarti ia mengetahui bahwa saudaranya itulah yang lebih layak mengasuh anak, mendidiknya serta mencukupi hak-haknya sehingga dianugerahi anak, bukan dirinya. Dengan begitu ia tidak akan sombong, namun tawadhu' di hadapan saudaranya semata-mata karena Allah, dan lebih dari itu ia semakin
merendahkan diri di hadapan Allah 'Azza wa jalla.
5. Agar hamba-Nya memperbanyak memohon ampunan-Nya.
Tatkala seorang tahu bahwa dirinya banyak kelemahan dan kekurangan, ia akan memperbanyak istighfar. Memperbanyak istighfar merupakan sebab dianugerahkannya anak, selain merupakan kebaikan di atas kebaikan anak. Sehingga Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا
"Berbahagialah orang yang kelak mendapati lembaran catatan amalnya terdapat istighfar yang banyak. " (HR. Ibnu Majah: 3818, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami': 3930.)
6. Agar Allah menunaikan hak-hak anak-anak yatim dan fakir miskin.
Bagi rumah tangga yang tidak dikaruniai anak akan mencari obat rindunya terhadap kehadiran anak dengan berbagai cara yang dibenarkan syariat. Di antara yang bisa jadi pilihan adalah menyantuni anak-anak yatim dan terlantar lantaran miskin. Sehingga dengannya Allah 'Azza wa jalla memenuhi hak-hak mereka untuk disantuni.
7. Agar Allah 'Azza wa jalla melihat siapa yang berusaha mendapatkan anugerah anak dengan cara yang diridhai-Nya dari siapa yang bermaksiat kepada-Nya.
Syaikh Abu Bakar al-Jazairi mengatakan, "Dan tidak mengapa melakukan terapi penyembuhan dengan cara yang disyariatkan tatkala dirasa ada kemandulan. Adapun apa yang sekarang mulai bermunculan berupa bank-bank mani, atau mengusahakan kehamilan dengan cara menuangkan ovum (orang lain) yang telah dibuahi air mani orang lain (bukan suaminya) ke dalam farji perempuan mandul dan semisalnya maka itu semua merupakan perbuatan orang-orang ateis yang tidak beragama untuk Allah dengan ketaatan dan berserah diri terhadap qadha'-Nya, meski pelakunya puasa, shalat dan mengaku beriman. Sebab, tiada lagi rasa malu bagi mereka, dan tidak ada iman bagi orang yang tidak punya malu. Cukuplah keburukan perilaku kaum ini tatkala mereka membuka aurat-aurat tidak untuk menyelamatkan kehidupan dan bukan atas keridhaan Allah Rabb langit dan bumi."
8. Agar Allah tetapkan halalnya poligami dan haramnya zina.
Sebab poligami merupakan alternatif yang baik untuk usaha memiliki anak. Poligami dihalalkan, adapun selingkuh, berzina dan semisalnya adalah haram.
9. Menguatkan kualitas kesabaran seorang hamba.
Tatkala tidak punya anak dinilai sebuah keburukan, maka ia merupakan cambuk yang menggiatkan hamba agar meningkatkan kesabarannya. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan surat al-Anbiya' ayat 35, "Yaitu Kami uji kalian terkadang dengan berbagai musibah dan terkadang dengan berbagai kenikmatan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dari yang kufur dan siapa yang bersabar dari yang berputus asa."
Inilah sebagian hikmah dari rumah tangga yang belum memiliki anak. Tentunya masih terlalu banyak hikmah yang hanya Allah 'Azza wa jalla saja yang mengetahuinya sehingga hanya berserah diri kepada qadha'-Nya dengan berharap seluruh kebaikan yang harus kita upayakan.
وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia  Amat buruk bagimu; Alla h mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 216)


Alhamdulillah, kajian kita hari ini berjalan dengan lancar. Semoga ilmu yang kita dapatkan berkah dan bermanfaat. Aamiin....

Segala yang benar dari Allah semata, mohon maaf atas segala kekurangan. Baiklah langsung saja kita tutup dengan istighfar masing-masing sebanyak-banyakanya dan do'a kafaratul majelis:


سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك

Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika

“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”

​السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ





Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT

0 komentar:

Post a Comment

Ketik Materi yang anda cari !!