Kajian Online WA Hamba الله SWT
Selasa, 16 Februari 2017
Rekapan Grup Nanda 1
Narasumber : Ustadz Dodi
Tema : Ekonomi Islam
Editor : Rini Ismayanti
Dzat
yang dengan Kebesaran-Nya, seluruh makhluk menyanjung dan mengagungkan-Nya...
Dzat
yang dengan Keperkasaan-Nya, musuh-musuh dihinakan lagi diadzab-Nya...
Dzat
yang dengan Kasih dan Sayang-Nya, kita semua mampu mengecap manisnya Islam dan
indahnya ukhuwah di jalan-Nya, memadukan hati kita dalam kecintaan kepadaNya,
yang mempertemukan kita dalam keta'atan kepadaNya, dan menghimpunkan kita untuk
mengokohkan janji setia dalam membela agamaNya.
AlhamduliLlah...
tsumma AlhamduliLlah...
Shalawat
dan salam semoga tercurah kepada tauladan kita, Muhammad SAW. Yang memberi arah
kepada para generasi penerus yang Rabbaniyyah bagaimana membangkitkan ummat
yang telah mati, memepersatukan bangsa-bangsa yang tercerai berai, membimbing
manusia yang tenggelam dalam lautan syahwat, membangun generasi yang tertidur
lelap dan menuntun manusia yang berada dalam kegelapan menuju kejayaan,
kemuliaan, dan kebahagiaan.
Amma
ba'd...
Ukhti
fillah sekalian. Agar ilmunya barokah, maka alangkah indahnya kita awali dengan
lafadz Basmallah
Bismillahirrahmanirrahim...
CONTOH DARI PRAKTEK RIBA DI JAMAN
SEKARANG...
Sudah tahukan bahaya akan Riba...?
Dalam bahasa arab riba bermakna
tambahan boleh jadi tambahan pada suatu benda semisal makna kata riba dalam QS
alHajj:5 atau pun tambahan pada kompensasi dari benda tersebut semisal barter
seribu rupiah dengan dua ribu rupiah.
Dalam syariat, riba bermakna tambahan
atau penundaan tertentu yang dilarang oleh syariat.
Salah satu bukti otentik antusias
Nabi صلى الله عليه وسلم dalam memperingatkan umatnya
dari keburukan muamalah ribawi, adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
radhiyallahu anhu, bahwa Beliau ﷺ bersabda:
« اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ ؟ قَالَ : « الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ »
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara
yang menghancurkan (maksudnya 7 dosa besar). Mereka (para sahabat) bertanya;
‘Apa saja, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda; ‘Menyekutukan اللّهُ , sihir, membunuh jiwa yang diharamkan اللّهُ , memakan riba, makan harta anak yatim, berpaling dari medan
perang, dan menuduh wanita mukminah yang baik-baik berbuat kekejian (zina).”
(HR. al-Bukhari III/1017 no.2615, dan Muslim I/92 no.89).
Hadist diatas menyebutkan memakan
RIBA... Bagaimana sih praktek riba yang terjadi dijaman sekarang....?
Begitu pesatnya pertumbuhan ekonomi
makro dan mikro yang terjadi mendunia dan juga memberikan dampak terhadap
perekonomian yang sesuai dengan syariat yang tentunya akan bersentuhan dengan
aktifitas kita seharian.
Untuk menumbuhkan kewaspadaan
terhadap ancaman riba, diharapkan para Bunda dan Nanda dapat sedikit
memahami praktik riba yang telah merajalela dan mengalami modernisasi.
Yang akan kita kupas tuntas dalam
praktek yang sering terjadi dan kita kelompokkan menjadi :
1. Kredit segitiga (Kajian)
2. Pergadaian
3. Mengkaitkan Nilai Piutang dengan Harga Barang.
4. Tukar tambah Emas
5. Kartu Kredit
6. Sukuk
2. Pergadaian
3. Mengkaitkan Nilai Piutang dengan Harga Barang.
4. Tukar tambah Emas
5. Kartu Kredit
6. Sukuk
Yang akan kita bahas dalam kajian ini
adalah yang berhubungan dengan kredit segitiga dulu ya Para Bunda dan Nanda
A. KREDIT SEGITIGA
Praktik riba berupa piutang yang
mendatangkan keuntungan sering kali dikemas dalam bentuk jual beli walaupun
sejatinya jual beli yang terjadi hanyalah kamuflase belaka.
Di antara bentuk kamuflase riba dalam
bentuk jual beli ialah dalam bentuk perkreditan yang melibatkan tiga pihak
antara lain :
1. Pemilik barang,
2. Pembeli dan
3. Pihak pembiayaan.
1. Pemilik barang,
2. Pembeli dan
3. Pihak pembiayaan.
Pihak pertama sebagai pemilik barang
mengesankan bahwa ia telah menjual barang kepada pihak kedua, sebagai pemilik
uang dengan pembayaran tunai.
Selanjutnya pembeli menjualnya kepada
pihak ketiga dengan pembayaran diangsur, dan tentunya dengan harga jual lebih
tinggi dari harga jual pertama.
Sekilas ini adalah jual beli biasa,
namun sejatinya tidak demikian. Sebagai buktinya :
• Barang tidak berpindah kepemilikan
dari penjual pertama.
• Bahkan barang juga tidak berpindah tempat dari penjual pertama
• Segala tuntutan yang berkaitan dengan cacat barang, penjual kedua tidak bertanggung jawab, namun penjual pertamalah yang bertanggung jawab.
• Sering kali pembeli kedua telah membayarkan uang muka (DP) kepada penjual pertama
• Bahkan barang juga tidak berpindah tempat dari penjual pertama
• Segala tuntutan yang berkaitan dengan cacat barang, penjual kedua tidak bertanggung jawab, namun penjual pertamalah yang bertanggung jawab.
• Sering kali pembeli kedua telah membayarkan uang muka (DP) kepada penjual pertama
Indikator-indikator tersebut
membuktikan bahwa sejatinya pembeli pertama, yaitu pemilik uang hanyalah
memiutangkan sejumlah uang kepada pihak ketiga. Selanjutnya dari piutangnya
ini, ia mendapatkan keuntungan.
Jauh-jauh hari Rasulullah ﷺ telah melarang praktik semacam ini,
sebagaimana disebutkan pada hadits berikut.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَنْ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : وَأَخسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ
“Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu
anhuma menuturkan, “Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Barangsiapa membeli bahan makanan, maka
janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya’. “Ibnu Abbas
Radhiyallahu anhuma berkata, “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya
seperti bahan makanan”. [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim no. 3913]
Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu
anhuma menjelaskan alasan dari larangan ini kepada muridnya, yaitu Thawus.
Beliau menjelaskan bahwa menjual barang yang belum diserahkan secara penuh
adalah celah terjadinya praktik riba.
قُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ : كَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ : ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأ
Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas
Radhiyallahu anhuma, “Mengapa demikian?” Beliau (Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma)
menjawab. “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah mejual dirham dengan
dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda (hanya kedok belaka)”. [Riwayat
Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim hadits no. 3913]
Contoh sederhananya :
Dalam sebuah showroom dealer sepeda
motor, dipajang sebuah motor dengan harga 10 juta tunai dan 17 juta kredit.
Datang pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil (kredit).
Setelah deal transaksi, beliau akan diminta mengisi formulir plus tanda tangan,
dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.
Setelah akad jual-beli ini selesai
dan pembeli-pun membawa pulang motor yang dibeli, selanjutnya beliau
berkewajiban menyetorkan uang cicilan motor ke bank atau lembaga pembiayaan,
dan bukan ke dealer tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang
dibeli.
Keberadaan dan peranan pihak ketiga
ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa Pak Ahmad harus membayarkan
cicilannya ke bank atau lembaga pembiayaan, bukan ke dealer tempat ia
bertransaksi dan menerima motornya?
Jawabannya sederhana, karena Bank
atau lembaga pembiayaan telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak
dealer, yang intinya, bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank
berkewajiban melunasi harga motor tersebut, konsekwensinya pembeli secara
otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya.
Praktik semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan
piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.
Pada dasarnya, akad hawalah
dibenarkan dalam syariat. Akan tetatapii permasalahannya menjadi lain, tatkala
hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Bila kita
mencermati kredit segitiga yang dicontohkan di atas, dapat dipahami dari dua
sudut pandang :
Pertama, Bank mengutangi pembeli
motor tersebut Rp 10 juta, dalam bentuk Bank langsung membayarkannya ke dealer.
Kemudian pak Ahmad dituntut untuk melunasi cicilan piutang Rp 17 juta tersebut
ke bank.
Bila demikian yang terjadi, maka
transaksi ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Tujuh juta yang
menjadi tambahan adalah riba yang diserahkan ke bank. Hukum transaksi ini
terlarang, sebagaimana ancaman dalam hadis dari sahabat Jabir radhiallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ telah melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang
memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua
orang saksinya. Beliau juga bersabda: “Mereka semua dosanya sama.” (HR.
Muslim)
Kedua, Bank membeli motor tersebut
dari dealer dan menjualnya kembali kepada pak Ahmad. Hanya saja bank sama
sekali tidak menerima motor tersebut. Bank hanya mentransfer sejumlah uang
seharga motor tunai, kemudian pembeli membayar cicilan ke bank. Bila realita
bank membeli motor ini benar, maka Bank telah menjual motor yang dia beli
sebelum menerima motor tersebut. Sehingga Bank atau lembaga pembiayaan telah
menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu
buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan atas nama
pembeli, dan bukan atas nama bank yang kemudian dibalik nama ke pembeli.
Bagaimana kalau Hukum Kredit Langsung
dan tanpa segitiga...?
Kredit yang dilakukan secara langsung
antara pemilik barang dengan pembeli merupakan transaksi perniagaan yang
dihalalkan dalam syariat.
Bahkan meskipun harga beli kredit
lebih tinggi dibandingkan harga harga beli tunai. Inilah pendapat yang paling
kuat, yang dipilih oleh mayoritas ulama.
Kesimpulan hukum ini berdasarkan
beberapa dalil berikut:
1. Perhatikan Firman اللّهُ ,
">يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)
Akad kredit termasuk salah satu
bentuk jual beli utang. Dengan demikian, keumuman ayat ini menjadi dasar
bolehnya akad kredit.
2. Perhatikan hadis dari Aisyah
radhialahu ‘anha, bahwa Rasulullah ﷺ membeli sebagian bahan makanan dari seorang Yahudi
dengan pembayaran diutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.
(Muttafaqun ‘alaih)
3. Perhatikan juga hadis Abdullah bin
Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu,
“Rasulullah ﷺ memerintahkanku untuk mempersiapkan pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan. Nabi ﷺ memerintahkan Abdullah bin Amr bin ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran tertunda, hingga datang saatnya penarikan zakat. Kemudian Abdullah bin Amer bin Ash membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan dihasankan oleh Al-Albani).
“Rasulullah ﷺ memerintahkanku untuk mempersiapkan pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan. Nabi ﷺ memerintahkan Abdullah bin Amr bin ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran tertunda, hingga datang saatnya penarikan zakat. Kemudian Abdullah bin Amer bin Ash membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan dihasankan oleh Al-Albani).
Kisah ini menunjukkan, boleh
menaikkan harga barang yang dibayar secara kredit, bahkan meskipun dua kali
lipat dari harga normal.
Adapun hadis yang menyatakan,
“Barangsiapa yang melakukan jual beli dua kali dalam satu transaksi maka dia
hanya boleh mengambil harga yang paling rendah, kalau tidak, maka dia
terjatuh ke dalam riba.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan dishahihkan Al-Albani)
Hadis ini shahih, namun tafsir yang
tepat adalah sebagaimana yang dijelaskan Ibnul Qayyim dan lainnya, bahwa hadis
ini merupakan larangan jual beli dengan cara ‘inah.
Jual beli ‘Inah adalah si A menjual
HP kepada si B seharga Rp 1,2 juta kredit. Kemudian si B menjual kembali
HP itu kepada A seharga 1 juta tunai. Kemudian si A menyerahkan uang 1 juta
kepada si B dan membawa HP tersebut. Sementara si B wajib membayar cicilan
utang 1,2 juta kepada si A.
Kita cukupkan kajian ini sampai
disini dahulu, next session kita akan masuk satu persatu kedalam point2 yang
sudah disebutkan diatas.
(To be continued in sha اللّهُ )
والله أعلم بالصواب
TANYA JAWAB
Q : untuk
contoh pertama ustadz, kan tambahan 7 juta jadi riba, tapi kan sudah ada akad
sebelumnya sama dealer? Masih gak
ngerti ko jadi riba ustadz...
A : Contoh 1 itu. Sebenernya bukan
akad jual beli. Tetapi akad pinjaman. Maka setiap akad pinjaman dan ada
kelebihan masuk kategori riba
Q : Trus kalo jadi reseller barang
ustadz, sekarang marak yang jadi reseller online tnpa pegang barang tapi sudah
d jual k pembeli, hkumnya bgaimana?
A : Istilah lagi ngetrend adalah
DROPSHIP maka syaratnya pembeli tidak boleh DP. Harus bayar lunas dahulu ke
dropshipper. Harga 10 juta. Dp misalnya 3 juta. Maka pokok hutang 7 juta. Dan
setujui jadi 17 Juta. Akad jual beli memang untuk DP kedealer. Tetapi setelah
itu ada akad pinjaman ke leasing atau bank. Pinjamnya 7 juta untuk bayar dan
nyicilnya lebih dari 7 juta dan ini RIBA. Kalau Bank beli ke dealer langsung
dan pembeli belinya ke Bank. Maka ini murni akad jual beli
Q : Jadi kalo kredit lebih mahal dari
harga asli masuknya riba ya ustadz?
A : Tidak. Tolong yang diperhatikan AKAD nya. Bukan nilainya. Riba ini bukan hanya untuk dimengerti tetapi untuk dipahami. Sekilas membaca saja ngga bisa langsung mengerti. Dimana اللّهُ Ta'ala Berfirman : وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا → “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. [al Baqarah : 275].
A : Tidak. Tolong yang diperhatikan AKAD nya. Bukan nilainya. Riba ini bukan hanya untuk dimengerti tetapi untuk dipahami. Sekilas membaca saja ngga bisa langsung mengerti. Dimana اللّهُ Ta'ala Berfirman : وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا → “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. [al Baqarah : 275].
Perhatikan kalimatnya dengan baik →
“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
Sekali lagi, mohon dipahami ini baik
baik ya. KEUNTUNGAN itu akan TERCIPTA dengan adanya JUAL BELI
Jadi keuntungan yang tercipta dari AKAD PINJAM jelaslah bahwa itu adalah RIBA
Jika saya gabung kalimatnya maka menjadi demikian :
KEUNTUNGAN itu akan TERCIPTA dengan adanya JUAL BELI | Jadi keuntungan yang tercipta dari AKAD PINJAM jelaslah bahwa itu adalah RIBA
Jadi keuntungan yang tercipta dari AKAD PINJAM jelaslah bahwa itu adalah RIBA
Jika saya gabung kalimatnya maka menjadi demikian :
KEUNTUNGAN itu akan TERCIPTA dengan adanya JUAL BELI | Jadi keuntungan yang tercipta dari AKAD PINJAM jelaslah bahwa itu adalah RIBA
Alhamdulillah, kajian kita hari ini
berjalan dengan lancar. Semoga ilmu yang kita dapatkan berkah dan bermanfaat.
Aamiin....
Segala yang benar dari Allah semata, mohon
maaf atas segala kekurangan. Baikloah langsung saja kita tutup dengan istighfar
masing-masing sebanyak-banyakanya dan do'a kafaratul majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu
allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan
memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan
diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT



0 komentar:
Post a Comment