Kajian
Online WA Hamba الله SWT
Rabu, 14 Februari 2018
Rekapan
Grup Nanda dan Bunda G6
Narasumber
: Ustadz Doli
Tema : Kajian Umum
Dzat
yang dengan Kebesaran-Nya, seluruh makhluk menyanjung dan mengagungakan-Nya...
Dzat
yang dengan Keperkasaan-Nya, musuh-musuh dihinakan lagi diadzab-Nya...
Dzat
yang dengan Kasih dan Sayang-Nya, kita semua mampu mengecap manisnya Islam dan
indahanyaa ukhuwah di jalan-Nya, memadukan hati kita dalam kecintaan kepadaNya,
yang mempertemukan kita dalam keta'atan kepadaNya, dan menghimpunkan kita untuk
mengokohkan janji setia dalam membela agamaNya.
AlhamduliLlah...
tsumma AlhamduliLlah...
Shalawat
dan salam semoga tercurah kepada tauladan kita, Muhammad SAW. Yang memberi arah
kepada para generasi penerus yang Rabbaniyyah bagaimana membangakitkan ummat
yang telah mati, memepersatukan bangsa-bangsa yang tercerai berai, membimbing
manusia yang tenggelam dalam lautan syahwat, membangun generasi yang tertidur
lelap dan menuntun manusia yang berada dalam kegelapan menuju kejayaan,
kemuliaan, dan kebahagiaan.
Amma
ba'd...
Ukhti
fillah sekalian. Agar ilmunya barokah, maka alangakah indahanyaa kita awali dengan
lafadz Basamaallah
Bisamaillahirrahmanirrahim...
NADZAR
Ta’rif (definisi)
Secara bahasa (etimologi) nadzar adalah An-Nahbu (النَّحْبُ) yaitu meratap. Para ahli bahasa
menjelaskan:
وهو ما ينذره الإنسان فيجعله على نفسه نحبا واجبا
Yaitu sesuatu yang diperingatkan oleh manusia, lalu dia
menjadikan atas dirinya itu menjadi kewajiban. (Al–Mausu’ah, 40/126)
Secara istilah (terminologi), Syaikh Abu Bakar bin Jabir
Al-Jazairi menjelaskan:
الزام المسلم نفسه طاعة لله تعالى لم تلزمه بدونه – أى النذر – كأن يقول : لله علي صيام يوم أو صلاة ركعتين مثلا
Seorang muslim mewajibkan sesuatu pada dirinya karena
ingin ketaatan kepada Allah Taala, di mana tanpa hal itu –yaitu nadzar- dia
tidak melakukan hal itu. Seperti perkataannya: “Demi Allah Taala, wajib bagiku
shaum dalam sehari, atau shalat dua rakaat.” (Lihat Minhajul Muslim, Hal. 394.
Darus Salam)
Hukumnya
Nadzar ada beberapa hukum tergantung keadaannya:
Nadzar Muthlaq
Yaitu nadzar yang didasari ketaatan kepada Allah Taala
semata, maka ini diperbolehkan. Seperti seseorang yang berinisiatif untuk
melakukan shalat, i’tikaf, shaum, dan kebaikan lainnya yang berfungsi untuk
qurbah (mendekatkan diri kepada Allah). Hanafiyah mengkategorikan nadzar dengan
qurbah adalah hal yang disyariatkan (masyru’). Bahkan kalangan Malikiyah
mengkategorikannya mustahab (disukai/sunah). Berikut ini keterangannya:
وذهب المالكية إلى أن النذر المطلق – وهو الذي يوجبه المرء على نفسه شكرا لله على ما كان ومضى – مستحب
Kalangan Malikiyah berpendapat bahwa nadzar muthlaq (yaitu
seseorang mewajibkan dirinya disebabkan rasa syukur kepada Allah atas apa yang
sedang terjadi dan telah lalu) adalah mustahab (sunah). (Al-Mausu’ah, 40/138)
Nadzar Muqayyad
Yaitu seorang yang bernadzar disebabkan karena terikat
oleh suatu keadaan atau keinginan tertentu. Nadzar seperti ini makruh, sebab
seolah dia baru ingin mendekatkan diri kepada Allah Taala dengan amal shalih
itu, jika keinginannya terpenuhi dulu. Jelas sekali kesan dia bakhil terhadap
amal shalih. Seperti ungkapan: “Saya akan shaum dua hari, jika anak saya lulus
ujian sekolah.” Ucapan ini mengandung makna bahwa dia tidak akan shaum jika
ternyata anaknya tidak lulus. Jadi, ibadah yang dilakukannya bukan karena Allah
Taala, tapi jika keinginannya terpenuhi dulu.
Inilah yang disindir oleh riwayat dari Ibnu Umar berikut:
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنِ النَّذْرِ، وَقَالَ: «إِنَّهُ لَا يَأْتِي بِخَيْرٍ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ»
Dari Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Beliau
melarang bernadzar, Beliau bersabda: “Nadzar itu tidaklah mendatangkan
kebaikan, itu hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil.” (HR. Muslim No.
1639)
Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi mengatakan:
و يكره النذز المقيد كأن يقول : ان شفا الله مريضى صمت كذا او تصدقت بكذا
Dimakruhkan nadzar muqayyad, seperti ucapan: “Jika Allah
sembuhkan penyakitku aku akan puasa sekian, atau aku akan sedekah sekian.
(Minhajul Muslim, Hal. 394)
Namun demikian, baik nadzar muthlaq dan muqayyad, keduanya
wajib dipenuhi jika sudah direncanakan oleh seseorang dan jelas nadzarnya.
Nadzar yang diharamkan
Keharamannya disebabkan oleh dua faktor, atau salah
satunya.
Pertama, orientasi dan tujuannya bukan karena Allah Taala,
bukan karena mentaati-Nya, bukan pula bersyukur kepada-Nya, bukan juga untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Seperti bernadzar untuk mendekatkan diri kepada
ruh nenek moyang, untuk mengabdi kepada penghuni kubur, dan semisalnya.
Misalnya perkataan seseorang kepada orang shalih yang sudah wafat: “Wahai Tuan
Guru, jika penyakitku sembuh aku akan menyembelih kambing di kuburmu.”
Ini terlarang bahkan dosa besar, sebab mengarahkan
peribadatan kepada selain Allah Taala, yang membuat pelakunya jatuh pada
kubangan kesyirikan.
Berkata Syaikh Hasan Al-Banna Rahimahullah:
وزيارة القبور أيا كانت سنة مشروعة بالكيفية المأثورة , ولكن الاستعانة بالمقبورين أيا كانوا ونداؤهم لذلك وطلب قضاء الحاجات منهم عن قرب أو بعد والنذر لهم وتشيد القبور وسترها وأضاءتها والتمسح بها والحلف بغير الله وما يلحق بذلك من المبتدعات كبائر تجب محاربتها , ولا نتأول لهذه الأعمال سدا للذريعة
Berziarah kubur, siapa pun itu, adalah sunah yang
disyariatkan dengan cara-cara yang sesuai tuntunan. Tetapi meminta pertolongan
kepada penghuni kubur, siapa pun itu, dan memanggil-manggil mereka untuk tujuan
memenuhi kebutuhannya, baik dari dekat atau dari jauh, nadzar untuk mereka,
meninggikan kuburan, membuat penutup, memberikan penerangan, mengusap-usapnya,
dan bersumpah dengan selain nama Allah, dan hal-hal lain yang terkait dengan
ini, semuanya termasuk bid’ah besar yang wajib untuk diperangi, dan perbuatan
ini janganlah dicari-cari pembenarannya agar tidak terjadi sesuatu yang lebih
parah lagi. (Ushul ‘Isyrin No. 14)
Hal di atas berbeda maksud dengan menjalankan nadzarnya
orang yang sudah wafat. Jika seorang muslim bernadzar, lalu dia wafat dalam
keadaan belum sempat menjalankan nadzarnya, dan dia pun tidak pernah
membatalkannya, maka wajib bagi ahli warisnya menjalankan nadzarnya itu. Hal
ini sesuai hadits berikut:
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ، اسْتَفْتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ لَمْ تَقْضِهِ؟ فَقَالَ: رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْضِهِ عَنْهَا
Bahwa Sa’ad bin ‘Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, katanya: “Ibuku telah wafat, dan dia memiliki
nadzar yang belum dijalankan?” Maka Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Penuhi nadzarnya!” (HR. Abu Daud No. 3308. An-Nasa’i dalam As-Sunan
Al-Kubra No. 3732, Ath-Thabarani, Al-Mu’jam Al-Kabir No. 5371. Imam Al-Baghawi
mengatakan: hadits ini disepakati keshahihannya. Lihat Syarhus Sunnah, 10/38)
Imam Muhammad bin Al-Hasan Rahimahullah mengatakan,
sebagaimana dikutip Imam Malik Rahimahullah:
مَا كَانَ مِنْ نَذْرٍ، أَوْ صَدَقَةٍ، أَوْ حَجٍّ قَضَاهَا عَنْهَا أَجْزَأَ ذَلِكَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ، وَالْعَامَّةِ مِنْ فُقَهَائِنَا رَحِمَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى
Apa saja yang berupa nadzar, atau sedekah, atau haji, yang
dijalankan untuk wanita itu maka itu akan mendapatkan ganjaran Insya Allah.
Inilah pendapat Abu Hanifah dan umumnya ahli fiqih kami, semoga Allah merahmati
mereka semua. (Imam Malik, Al-Muwaththa’, dari riwayat Muhammad bin Al-Hasan,
No. 7)
Sumber : dakwatuna
TANYA JAWAB
G6
Q : Ustadz. Jika dikemudian hari ternyata kita tetap tidak mampu
menjalankan nazar tersebut, apakah bisa diganti dengan fidyah saja, agar tidak
merepotkan ahli waris?
A : Jika mampu menunaikan nazar, maka wajib untuk menunaikannya.
Namun jika nazar itu di luar kemampuan, maka wajib membayar kaffarah sumpah
yaitu:
1. Memberi makan 10 orang miskin (fidyah 10 orang miskin).
2. Memberi pakaian 10 orang miskin (pakaian yang bisa digunakan
untuk shalat, misalkan sarung sekaligus baju atasan, tidak cukup hanya kaos),
atau
3. Membebaskan budak
Pilihlah salah satu dari tiga point di atas. Jika tidak mampu
memilih salah satu dari ketiganya, silahkan berpuasa tiga hari (tanpa harus
berurutan) menurut pendapat ulama yang lebih kuat.
Dalilnya surat Al-Maidah ayat 89, Allah ta’ala berfirman:
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
“Kaffarahnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan
yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu
adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu langgar. ”
[QS. Al-Maidah: 89].
Q : Apakah timbulnya nadzar itu akibat manusia ini yang selalu
punya banyak keinginan dunia? Misal jika seorang siswa pengen lulus sma sudah
bernadzar, padahal nilai shodaqoh dimata Allah lebih bermakna daripada nilai
raport.
A : Manusia memang punya banyak keinginan, selama ditujukan kepada
Allah dan semua demi akhirat yang lebih baik, tentu boleh-boleh saja.
Q : Bagaimana bila sebelum nazar dilakukan sudah meninggal dunia
dan ahli waris tidak tau dengan nazar tersebut, apakah itu akan memberatkan di
akhirat kelak ?
A : Allahu a`lam. Saya tidak tahu. Semoga Allah memaafkan
kekurangan-kekurangan kita.
Q : Maaf mau tanya agak diluar tema, Kalau sering bergumam,
misalnya, pokoknya nanti enggak akan ngeluh apa-apa lagi ke siapapun, eh taunya
tetep ngeluh, dosa enggak, ustadz?
A : Bergumam itu wajar terjadi, bukan nazar. Namun hendaknya kita
menguatkan azam untuk lebih baik lagi.
Q : Bagaimana jika berniat haji tapi keburu wafat, kemudian
putranya mau memenuhi nadzar almh. ibunya. Ini pahalanya buat siapa ustadz?
Buat yang meninggal enggak mungkin kan, karena kan kalau sudah
meninggal putus segala amal-amal kecuali 3 perkara itu. Sementara putranya kan
nyuruh atau bayar orang untuk menjalankan ritual badal haji. Kemudian ada teman
serombongan yang menghajikan ibunya
Nah, kembali, itu pahala buat siapa ustadz??
A : Boleh badal haji, ada haditsnya shahih. Pahalanya bagi yang
diniatkan dan pelakunya juga mendapatkan pahalanya, insya Allah. Terlebih jika
merupakan bentuk bakti kepada kedua orang tua. Ada seorang wanita berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku bernadzar untuk berhaji. Namun beliau
tidak berhaji sampai beliau meninggal dunia. Apakah aku mesti menghajikannya?”
“Berhajilah untuk ibumu”, jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Ahmad
dan Muslim).
Namun perlu diingat yang boleh membadalkan haji hanya orang yang
sebelumnya sudah berhaji lebih dulu.
Q : 1. Apa syarat sahnya sebuah nadzar itu?Apakah diucapkan dengan
lisan dan ada saksinya atau cuma terucap dalam hati sudah dikategorikan nadzar?
2. Apakah kalau nadzar itu dalam bentuk ibadah sunnah tetap harus
dikerjakan ustadz? Misal puasa sunnah selama 2 minggu. Walau terucap dalam hati
beberapa tahun lalu.
A : 1. Nazar adalah janji dengan Allah, ulama mensyaratkan
talaffuzh, melafazkannya di lisan, tidak sah jika hanya dalam hati.
Imam Nawawi dalam Al-Majmuk berkata:
أنه لا يصح إلا بالقول ولا تنفع النية وحدها
Artinya: Nadzar tidak sah kecuali dengan ucapan. Sedangkan niat
nadzar saja tidak ada gunanya.
2. Amalan sunnah berubah menjadi wajib jika dengan nazar.
Alhamdulillah,
kajian kita hari ini berjalan dengan lancar. Semoga ilmu yang kita dapatkan
berkah dan bermanfaat. Aamiin....
Segala
yang benar dari Allah semata, mohon maaf atas segala kekurangan. Baikloah
langsung saja kita tutup dengan istighfar masing-masing sebanyak-banyakanya dan
do'a kafaratul majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma
wabihamdika asayahadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha
Suci Engakau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan
yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat
kepada-Mu.”
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT



0 komentar:
Post a Comment