Rekap
Kajian Online HA Ummi G2
Hari/Tgl:
Rabu, 3 Oktober 2018
Materi:
Memaknai Musibah
Narasumber:
Ustadzah Riyanti
Waktu
Kajian: 10.00- 12.00
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Bulir
Ibrah dan Hikmah_
(Dinukil
dan diselia dari, "Coretan Kecil Mengingat Peristiwa Gempa Palu"
Syahrul
Fahmi, Makassar, 1 Oktober)
*
Laa
ilaaha illallah, astaghafirullah alazim, menjadi kalimat yang tak pernah putus
saya ucapkan sejak hari Jumat, 28 Agustus. Padahal kalimat itu sangat jarang
saya ucapkan.
Ini
mungkin menjadi titik balik buat saya dalam mengingat Sang Pencipta. Sebab, saya
yang selama ini masih terbuai oleh dunia dikagetkan dengan bencana yang hampir
merenggut nyawa saya beserta anak, istri, dan mama.
Bagaimana
tidak, pasca-kejadian bencana alam gempa bumi dengan kekuatan mencapai 7,7 SR
sehingga menghasilkan tsunami di Kota Palu menjadi kisah paling menakutkan dan
mencekam dalam hidup. Mungkin rasa itu tidak bisa saya buang jauh. Masih
teringat jelas peristiwa yang telah merenggut nyawa ribuan orang tersebut.
*
Kejadiannya
pun tepat suara adzan tengah berkumandang di masjid-masjid. Saat kejadian saya
pun, tengah membakar ikan untuk menjamu pelanggan saya. Saya baru merintis
usaha kuliner di kota Palu.
Istri
yang tengah hamil tua, anak, dan mama pun saat itu masih di kamar. Tiba-tiba
terdengar suara gemuruh dari bawah tanah.
Ratusan
pengendara motor yang lalu lalang di jalan raya tiba-tiba ambruk sendiri dan
listrik langsung padam. Seketika itu pun tanah bergetar. Yang pertama terasa
pijakan kakiku seperti turun kemudian tanah naik dan disusul goyangan yang
durasinya pun sangat panjang, lebih dari lima menit.
Seketika
itu saya teringat keluarga saya yang ada di kamar. Mungkin istilah penerbangan
selamatkan diri sendiri lebih utama baru selamatkan nyawa orang lain tak
berlaku lagi buat saya. Sebab dalam pikiran, lebih baik saya mati bersama
keluargaku daripada meninggalkan mereka dalam ruko yang masih bergetar akibat
guncangan kuat tersebut.
Teriakan
orang yang melarang saya untuk tidak masuk dalam rumah. “Pak jangan masuk,
bahaya, Pak. Oi, Pak di luar saja.” itu teriakan orang yang saya sendiri
tidak tahu darimana asalnya.
Sesampai
depan pintu kamar, saya berusaha meraih mama, anak, dan istri. Saya tak ingat
bagaimana saya bisa meraih mereka dan membawa mereka keluar rumah. Mungkin
pikiran jernih sudah tak ada dalam kepala, yang hanya ada dalam pikiranku untuk
menolong mereka semua.
Dengan
sekuat tenaga, saya menuntun mereka keluar dari rumah. Kami berjalan perlahan
dari kamar yang jaraknya 20 meter menuju pintu masuk, meski badan tidak bisa
mengimbangi kuatnya getaran tanah. Sesekali kami terpental ke tembok. Tapi kami
terus berusaha untuk keluar rumah.
Alhamdulillah,
mereka semua selamat hingga keluar rumah. Di pinggir jalan kami menyaksikan
sendiri bangunan-bangunan bergerak ke arah tidak jelas, kiri kanan ke depan dan
belakang. Orang-orang tergeletak di jalanan dengan teriakan histeris.
Ada
yang sudah mengingat keluargannya di rumah, dan banyak pula orang yang
tiba-tiba terpisah oleh sanak keluarganya. Padahal saat itu mereka masih
bersama di atas kendaraan masing-masing.
Mamaku
dan istriku pun tidak ada habisnya menangis. Anakku yang masih berumur 2 tahun
terus kudekap. Kutuntun mereka agar mencari tempat yang terbuka agar tak ada
reruntuhan yang menimpa kami.
Kerabat
yang telah lama menetap di kota Palu, yang kebetulan tinggal dua rumah dari
saya pun memanggil kami agar berkumpul. Kami semua saling merangkul. Istighfar
tidak ada habis kami ucapkan.
*
Hampir
dua jam gempa tak berkesudahan terjadi. Dengan kekuatan yang perlahan menurun.
Setelah itu kembali disusul gempa-gempa kecil, kalau dihitung mungkin mencapai
ratusan kali hingga pagi hari.
Parahnya
lagi, akses komunikasi dari empat provider di Palu putus sama sekali. Listrik
padam pun tak tahu sampai kapan. Hal ini membuat kami semakn terisolasi.
Sekira
jam 7 malam, ribuan orang berbondong-bondong mencari tempat aman. Ada yang
berjalan kaki hingga puluhan kilometer. Ada pula yang naik mobil dan motor.
Saat saya menanyai mereka hendak kemana, jawabannya sama, “Ikut saja orang.
Mungkin ke gunung untuk cari tempat lebih tinggi.”
Saya
dan keluarga pun sempat terpikir untuk ikut. Namun melihat istriku yang tengah
hamil tua (sebab perkiran dokter HPL-nya 28 September) saya urungkan niatan
itu.
Ancaman
tsunami yang menjadi momok bagi warga coba kusembunyikan dari sanak keluargaku.
Saya
pun mencoba berpikir positif. Letak geografis rumah saya berada di tempat
tinggi. Jadi ancaman tsunami sangat kecil. Apalagi kota Palu merupakan daerah
perairannya penuh teluk. Jadi kemungkinan tsunami tidak akan separah di Aceh.
Selain
tawakkal kepada Allah, hal ini menjadi acuan untuk memilih menetap di depan
rumah. Alhamdulillah, keputusan yang saya ambil itu tepat. Allah masih
menyayang kami. Kami semuaa selamat, meski trauma mendalam masih kami rasakan.
*
Pasca
gempa yang terjadi sekira 2 jam lebih tanpa henti itu, kami pun kembali dibuat
panik, sebab gempa susulan hingga pagi masih terus terjadi. Sesekali orang
kembali berbondong-bondong untuk mengungsi.
Ketakutan
sanak keluarga pun menjadi. Tapi saya berusaha menenangkan mereka. Saya melihat
anak saya yang sangat takut. Dia tak henti saya dekap menenangkannya. Hingga
tengah malam tak terhitung jumlah gempa yang terjadi.
Saya
pun mengambil tikar dan membentangnya ke bahu jalan. Istri dan Mama
beristirahat di sana. Anak yang saya gendong mulai tertidur. Dia pun bisa
diletakkan di tikar. Hal ini pun menjadi pengalaman pertamanya tidur di luar
kamar.
*
Hingga
pagi hari gempa tak berhenti. Tapi kekuatannya mulai berkurang. Saya pun
memiliki niatan untuk meninggalkan kota Palu secepatnya. Saya mencari koneksi
ke semua jaringan.
Carteran
mobil tak ada, sebab semua jalanan untuk keluar masuk kota Palu tidak ada.
Longsor di mana-mana.
Belum
lagi penerbangan umum yang tidak ada karena falitas bandara rusak parah.
Di
sepanjang perjalanan mencari akses keluar palu, saya dikagetkan melihat ratusan
mayat yang tergelatak di sejumlah titik. Jalanan yang terbelah, bangunan yang
rata dengan tanah.
Bahkan
Mall Tatura (Ramayana) yang letaknya hanya 50 meter dari rumahku rusak parah.
Rarusan mayat jelas terlihat di sana. Bahkan ada beberapa mayat yang
bergelantungan di beberapa sudut mall yang masih berdiri miring.
Hal
ini semuanya saya sembunyikan dari istri dan Mama. Saya tak ingin membuat
trauma mereka menjadi parah. Sebab getaran kecil saja membuat mereka ketakutan.
*
Hingga
malam hari, kami pun belum bisa meninggalkan Palu. Kami pun masih tinggal di
depan jalan. Tak ada satu pun orang yang berani masuk ke dalam rumah.
Parahnya
lagi, saat kami beristirahat di tengah malam, hujan malah turun. Kami tak
memiliki tenda. Langit yang menjadi atap kami selama dua malam malah membasahi
kami.
Parahnya
lagi, selama tiga jam sekira pukul 02.00 Wita gempa berkekuatan sedang kembali
terjadi selama empat kali. Disusul gempa ukuran kecil yang tak ada putusnya.
Saya
pun khwatir dengan anak istriku, saya mencoba melihat-lihat rumah sakit. Sebab
saya khawatir istriku bisa saja melahirkan kapan saja. Alangkah terkejutnya
saya saat melihat ribuan pasien yang tergeletak di halaman rumah sakit. Bahkan
kuburan Cina yang ada di dekatnya pun penuh.
Saya
kian cemas. Istri yang bisa melahirkan kapan saja pasti tak akan mendapatkan
pelayanan yang maksimal. Bahkan kemungkinan terburuk dirawat di rumah kuburan
seperti pasien lainnya bisa terjadi.
*
Keesokan
paginya (pada hari kedua pascagempa) saya kembali berusah mencari koneksi.
Mencari kabar, apakah akses keluar kota Palu sudah bisa digunakan atau belum.
Ternyata longsor masih terjadi dimana-mana.
Saya
mencoba peruntungan ke bandara Sis Al Jufri. Di sana saya melihat ada proses
evakuasi terjadi dengan pesawat Heecules milik TNI AU. Cukup sedikit informasi
yang saya dapatkan dan kuputuskan untuk menjemput anak, istri dan mama saya.
Mereka
saya ajak ke bandara dan mengambil pakaian seadanya dalam rumah. Mereka saya
bawa ke bandara. Perjuangan untuk masuk ke area bandara pun sangat sulit.
Desak-desakan warga terus terjadi.
Saya
berusaha melindungi istri. Setiap ada orang yang mendorong saya maki. Bahkan
ada beberapa orang yang saya pukul, saking cemasnya apabila perut istriku
terdorong.
Allah
Mahakuasa. Berkat perlindungannya, kami bisa melalaui gerbang dengan keadaan
sudah sangat lemas. Petugas penjaga dari satuan TNI pun tampak kewalahan
menjaga dorongan warga.
Kondisinya
yang hamil tua pun membuatnya mendapatkan prioritas untuk proses evakuasi. Tapi
tidak bagi saya yang merupakan suaminya. Sesuai SOP laki-laki sehat tidak
diizinkan berangkat. Prioritas utama adalah kaum perempuan, anak-anak, lansia,
dan orang sakit.
Hal
ini pun membuat saya sempat pasrah. Saya mengikhlaskan anak, istri, dan mama
saya berangkat terlebih dahulu menuju Kota Makaassar. Rasa putus asa membuatku
berserah kepada Allah.
Bukti
kecintaan allah kepada kami kembali terlihat. Seorang dokter dari TNI yang
mengevakuasi istri saya menghampiri dan membisikkan ke saya untuk menyelundup
masuk ke dalam pesawat Hercules.
Saya
diperintahkannya untuk lari ke sana melewati penjagaan kemudian masuk ke dalam
pesawat. “Bang, saya pernah merasakan istri melahirkan tanpa kehadiran suami.
Saya mengajari Abang untuk melanggar SOP yang saya pegang. Abang lari ke
pesawat dan kalau ditahan bilang saja istriku tak ada yang dampingi. Tapi kalau
tak diizinkan itu perjuangan terakhir kita agar bisa sama-sama istri. Cepat
lari sana,” katanya sambil menepuk pundakku.
Saya
pun yang tak sempat melihat papan namanya dan mengucapkan terimakasih
kepadannya, langung mengikuti intruksinya. Allah memperlihatkan kuasa-Nya.
Di
saat puluhan orang dihentikan petugas, saya malah leluasa lari sekira 500 meter
jauhnya hingga tiba di pantat pesawat hingga naik dan menemukan isteriku.
Tak
lama kemudian pintu pesawat tertutup dan lepas landas. Di kaca pesawat Hercules
saya meilhat ke bawah dan mengucapkan salam perpisahan kepada petugas yang
membantu.
Di
situ pula saya baru melihat dengan jelas betapa parahnya kota Palu yang dilanda
duka. Saya yang menjadi salah satu saksi hidup pun hanya bisa tawakkal kepada
Allah. Ini teguran nyata buat umatnya.
=======
TANYA
JAWAB
T:
Ustadzah,
di sosmed ramai dibicarakan tentang perilaku warga palu, ada yang menantang
Allah, perayaan yang bercampur syirik, pembiaran perkumpulan LGBT. Apakah boleh
kita menghubungkan kemungkaran mereka itu dengan bencana dahsyat yang terjadi sebagai
pelajaran bagi penduduk di wilayah lain? Apakah itu tidak menyakiti para korban
bencana?
J:
Sebenarnya
yang terpenting bukan musibahnya, tetapi apa alasan Allah menimpakan musibah
itu kepada kita. Untuk di ingat, jika musibah itu terjadi, disebabkan dosa-dosa
kita, maka segera-lah bertobat kepada Allah. Kalau musibah yang terjadi karena
ujian keimanan kita, maka kuatkan iman dan berpegang teguhlah kepada Allah.
Bolehkah
kita menghakimi? oh ya dia si Fulan itu kan memang banyak dosanya, pantas kalau
dia dapat musibah. Ops, tunggu dulu, tugas kita bukanlah menghakimi dia,
penilaian diatas adalah untuk diri kita sendiri. Tentang si Fulan? biarlah
Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Menghakimi. Kalau saya pribadi lebih tidak
memberi penilaian atau penghakiman. Saya lebih memilih untuk menahan diri untuk
bicara sebab musabab suatu hal. Yang lebih penting adalah sikap peduli dan
empati kita. Talk les do more.
T:
Komentar: Tidak dapat dibayangkan. Kalau saya ada pada kondisi yang terjadi,
entah kepasrahan tertinggi kepada Allah semata sebagai bukti iman di hati, atau
ketakutan luar biasa atas ketidaksiapan dijemput Allah, karena kurangnya amal
sholeh dan banyaknya dosa. Apakah rasa takut dan cinta yang takut terpisah
dengan keluarga akan masih ada atau malah fokus untuk selamatkan diri lebih
utama. Allahu Akbar, Allah tunjukkan keMaha Perkasaan-Nya. Semoga musibah ini
menambah keimanan kita dan membuat kita semakin mendekat kepada Nya.
J:
Aamiin.
Selalu ada kebaikan dalam sebuah musibah. Bukankah saat kita mampu mengambil
hikmah dan pelajaran dari apa yang terjadi itu juga sebuah kebaikan?
T:
Naam ustadzah, saya setuju. Lebih baik kita melihat diri kita sendiri,
mempersiapkan diri bila musibah itu menimpa kita dan keluarga. Kemudian kita
membantu mereka semampunya.
J:
Nah..
Setuju
T: Izin
bertanya ustadzah, ada yang mengatakan orang muslim yang meninggal karena
bencana ini meninggalnya syahid, benarkah ustadzah?
J:
Informasi
tentang syahidnya orang-orang yang meninggal karena bencana memang didasarkan
pada hadits yang shahih. Paling tidak, di dalam kitab tershahih kedua di muka
bumi setelah Al-Quran, Al-Bukhari meriwayatkan hal itu dari mulut manusia
utusan Allah SWT.
عن أبي هريرة أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم قال:(الشهداء خمسة: المطعون، والمبطون، والغريق، وصاحب الهدم، والشهيد
في سبيل الله
Dari
Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Syuhada’ (orang-orang yang
mati syahid) ada lima. Wafat karena wabah, wafat karena penyakit di perut,
wafat karena tenggelam, wafat karena tertindih/ tertimpa bangunan, wafat karena
perang di jalan Allah. (HR Bukhari dan Muslim)
Para
ulama memberi komentar atas hadits ini bahwa mereka yang wafat oleh sebab-sebab
di atas, akan mendapatkan balasan yang sama dengan orang-orang yang berjihad
dan wafat di jalan Allah di akhirat. Namun demikian, proses pengurusan
kematiannya tetap berbeda dengan mereka yang mati syahid dalam keadaan perang
membela agama Allah SWT.
Di
antara perbedaannya adalah bahwa mereka yang mati syahid bukan karena perang,
tetap wajib dimandikan dan dikafani. Sedangkan yang mati syahid karena perang,
tidak perlu dimandikan dan juga tidak perlu dikafani.
Mereka
cukup dikuburkan begitu saja dengan pakaian dan luka-lukanya, karena justru
keadaannya saat meninggal itulah yang nanti akan menjadi saksi di akhirat,
bahwa yang bersangkutan telah mati dalam rangka membela ajaran Islam. Adapun
mereka yang wafat karena wabah yang melanda suatu daerah, atau wafat karena tenggelam
di laut atau banjir tsunami dan lainnya, atau karena tertimpa bangunan lantara
gempa bumi atau longsor, insya Allah mereka akan mendapatkan tempat yang baik
di sisi Allah SWT, sebagaimana sabda Rasul-Nya bahwa mereka akan mendapatkan
pahala sebagaimana pahala para syuhada’.
Mari
kita doakan suadara-saudara kita yang atas kehendak-Nya telah dipanggil
menghadap-Nya, semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa mereka, semoga Allah
memberikan kasih sayang kepada mereka, memaafkan kesalahan mereka, dimulaiakan
tempat mereka, diluaskan tempat masuk mereka, dimandikan mereka dengan air,
salju dan embun.
Semoga
Allah SWT berkenan menerima mereka di sisi-Nya, ditinggikan derajat mereka, dan
dijadikan alam kubur mereka sebagai raudhah min riyadhil jannah dan
bukan hufrah min hufarin niran. Amien ya rabbal ‘alamin.
T:
Apakah semua muslim memenuhi syarat untuk syahid karena bencana ustadzah? Ataukah
ada syarat-syaratnya?
J:
Iya.
Semua muslim. Tidak terkecuali. Karena kematian tersebut menyakitkan. Tentunya
status muslim tersebut jelas. Minimal tidak meninggalkan sholat. Di Saudi Arab,
pelaku zina yang dirajam setelah itu dimakamkan satu komplek dengan makam
Khadijah. Ini artinya agama menghormati pelaku zina yang dihukum rajam.
T:
Berarti sebagai muslim kita tidak perlu takut dengan bencana, cukup waspada. Syahid
itu balasannya syurga. Bukan begitu ustadzah? Tapi selama kita bisa
menyelamatkan diri, ada baiknya kita menyelamatkan diri? Bila sedang shalat,
apakah kita lanjutkan shalat kita atau kita sebaiknya menyelamatkan diri
ustadzah?
J:
Insya
allah. Janji Allah itu pasti bunda. Buatlah keputusan saat kejadian itu benar
benar menimpa kita. Karena keduanya baik insya allah.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Kita tutup dengan
membacakan hamdalah..
Alhamdulillahirabbil'aalamiin
Doa Kafaratul Majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك
أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma
wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya
Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah
melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
Wassalamu'alaikum
warahmatullaahi wabarakaatuh
================
Website: www.hambaAllah.net
FanPage: Kajian On line-Hamba Allah
FB: Kajian On Line - Hamba Allah
Twitter: @kajianonline_HA
IG: @hambaAllah_official
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT



0 komentar:
Post a Comment