Rekap Kajian Online HA
(Umum) G1-G6 & Akhwat
Hari, Tgl: Selasa, 5
Februari 2019
Nara Sumber: Ustadzah
Maryam, Ustadzah Enung,
Ustadzah Tribuwhana, Ustadzah Riyanti, Ustadzah Lien,
Ustadzah Rini, Ustadzah Lillah
Ustadzah Tribuwhana, Ustadzah Riyanti, Ustadzah Lien,
Ustadzah Rini, Ustadzah Lillah
Notulen: Bunda Betty,
Bunda Saydah, Bunda Tati,
Bunda Sasi, Bunda Dyah, Restu
Bunda Sasi, Bunda Dyah, Restu
***************************************************************
KAJIAN RUTIN HAMBA اللَّهِ SWT ONLINE
EDISI KE 12
TAK ADA ALASAN UNTUK BERHENTI
==============================
Ada syair Arab yang
isinya memuji kemunculan uban di rambut orang-orang yang sudah mulai berumur.
Syair itu menganalogikan tumbuhnya uban yang menyelingi hitamnya rambut
seseorang, sebagai cahaya dan kemuliaan. Kata syair itu, “Maa Khairu Lailin
Laisa Fiihi Nujuum’, malam takkan menjadi indah tanpa cahaya bintang. Bintang yang dimaksud adalah uban. Malam yang
kelam itu, adalah warna rambut yang dominan masih hitam.
Abu Bakar ra pernah
bertanya kepada Rasulullah SAW :
“Wahai Rasulullah,
sungguh rambutmu telah ditumbuhi uban, “ Rasul menjawab : “Surat Hud dan
saudara-saudaranya yang telah menyebabkan aku beruban, “ (HR. Turmudzi).
Helai-helai rambut
putih yang muncul di antara rambut hitam Rasulullah saw, menandakan bobot
perhatian dan pikiran Rasul yang begitu terkuras untuk urusan keimanan.
Surat Hud dan
saudara-saudaranya, menurut tafsir Ibnu Katsir adalah surat Al Waqi’ah, surat
Al Mursalat, surat An Naba dan surat At Takwir. Seluruh surat itu bercerita
tentang dasyat dan kerasnya hari kiamat yang sudah pasti tiba. Rasulullah saw
sangat dalam menyelami kandungan firman-firman Allah SWT tersebut.
Maka tumbuhnya uban,
selama dalam urusan keimanan, adalah symbol yang patut dibanggakan. Seperti
kebanggaan Rasulullah yang jelas diterangkan dalam sabdanya, :
“Barang siapa yang tumbuh uban di dalam keislaman, ia akan memperoleh
cahaya di hari kiamat.” (HR. Turmudzi dan Nasa’I, dishahihkan oleh Al
Albani dalam Shahih al Jama’i)
Rasulullah dalam
hadits lainnya juga menyebutkan yang hampir mirip. Katanya, “Barangsiapa yang
tumbuh uban di jalan Allah, ia pasti akan mendapatkan cahaya di hari kiamat.”
(HR. Ahmad, Turmudzi dan Nasa’i).
Perhatikanlah
bagaimana Rasulullah saw dalam sabda-sabdanya, mengibaratkan uban putih dalam
rambut di kepala orang beriman itu sebagai cahaya di tengah gelapnya hari
kiamat. Cahaya itu, adalah uban yang tumbuh dari orang yang mencurahkan
pikiran, tenaga, jiwa dan raganya untuk jalan iman.
Dalam rambut yang
mulai beruban ternyata menyimpan banyak keistimewaan yang banyak kita tidak sadari.
Diantara nya adalah sebagai berikut :
Pertama, uban mengingatkan
seorang akan dekatnya ajal.
Dalam Al Quran
disebutkan :
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ ۖ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِير
Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk
berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu
pemberi peringatan? maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang
yang zalim seorang penolong pun. (QS. Fathir: 37)
Apakah yang dimaksud
Sang Pemberi peringatan dalam ayat di atas?
Ibnu Katsir
rahimahullah, menerangkan dalam kitab tafsir beliau, bahwa para ulama tafsir
seperti Ibnu Abbas, Ikrimah, Qatadan, Ibnu ‘Uyainah dan yang lainnya, menjelaskan
bahwa maksud Sang Pemberi peringatan dalam ayat di atas adalah uban. (Tafsir
Ibnu Katsir 6/542)
Karena lumrahnya uban
muncul di usia senja. Jadilah uban itu sebagai pengingat manusia bahwa ia
berada dipenghujung kehidupan dunia, menanti tamu yang pasti datang dan tak
disangka-sangka.
Nabi Muhammad
shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
أعمار أمتي ما بين الستين إلى لسبعين، وأقلهم من يجوز ذلك
Umur umatku di antara 60 ke 70 tahun, dan tidak banyak yang melebihi
daripada itu. (HR. Imam Tirmizi)
Kedua, uban menjadikan seorang
tak lagi rakus terhadap dunia.
Munculnya uban membuat
seorang sadar, bahwa keberadaannya dunia ini tidaklah selamanya. Hanya sebentar
bila dibandingkan kehidupan selanjutnya; yaitu alam akhirat. Yang satu hari di
sana sama dengan lima puluh ribu tahun di dunia. Angan-angan kosongnya pun
pupus. Ketamakannya terhadap kemilau harta mulai berkurang. Ia lebih disibukkan
oleh hal-hal yang pasti. Hari-harinya menjadi lebih produktif untuk
mempersiapkan bekal akhirat.
Sufyan Ats-Tsauri
berkata,
الزهد في الدنيا قصر الأمل، ليس بأكل الغليظ ولا لبس العباء
“Zuhud terhadap dunia akan
menupuskan Angan-angan kosong. Ia tak lagi berlebihan dalam hal makanan dan
pakaian.”
Ketiga, uban akan menjadi cahaya
di hari kiamat.
Dari Amr bin Syu’aib,
dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيبُ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ إِلَّا كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَة
“Janganlah mencabut uban.
Tidaklah seorang muslim yang memiliki sehelai uban, melainkan uban tersebut
akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat nanti.” (HR. Abu Daud 4204.
Hadis ini dishahihkan al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib, 2091)
Dalam riwayat lain
disebutkan,
أنه نور المؤمن
“Sesungguhnya uban itu cahaya
bagi orang-orang mukmin.”
Ka’b bin Murroh
radhiallahu’anhu berkata,”Saya pernah mendengar Rasulullah sallallahu’alaihi wa
sallam bersabda:
مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي الإِسْلامِ كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang telah
beruban dalam Islam, maka dia akan mendapatkan cahaya di hari kiamat.” (HR.
Tirmidzi no. 1634. Dishahihkan oleh AL-Albany dalam shohih Tirmizi)
Oleh karena itu, orang
yang mencabut ubannya, ia akan kehilangan cahaya di hari kiamat.
Keempat, munculnya uban akan
mendorong seorang untuk lebih giat beramal.
Uban menyadarkan
orang-orang yang berakal untuk lebih semangat dalam kebajikan. Membuatnya
semakin peka terhadap hak-hak Rabnya dan hak-hak sesama makhluk. Waktunya ia
habiskan untuk kebaikan. ibadahnya menjadi lebih baik dan sempurna.
Ibnu Abid Dun-ya
meriwayatkan dengan sanadnya. Bakr bin Abdillah Al-Muzani berkata,
إذا أردت أن تنفعك صلاتك فقل: لعلي لا أصلي بعدها
“Bila Anda ingin mendapat
manfaat dari shalat Anda, maka katakanlah pada diri Anda,” Barangkali setelah
ini aku tidak akan shalat lagi.”
Kelima, uban akan memancarkap
sikap tabah dan wibawa.
Rupanya uban membuat
seorang lebih tampak tabah dan berwibawa. Sikapnya tenang ketika berbicara,
berbuat serta bermuamalah dengan orang lain. Oleh karena itu, islam
memerintahkan kepada kita untuk menghormari orang-orang yang sudah tua.
Dari Abu Musa
Al-‘Asy’ari radhiyallahu’anhu, dia berkata,”Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
إِنَّ مِنْ إِجْلَالِ اللهِ إِكْرَامَ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ
“Sesunguhnya termasuk dari
pengagungan kepada Alloh ialah menghormati orang muslim yang sudah beruban
(orang tua). (HR. Abu Dawud dari hadits Abu Musa ra; hadits hasan)
Yaitu dengan
memuliakannya bila ia berkumpul dengan kita dalam satu majelis, bersikap sopan
dan santun kepadanya dan berusaha menjadi pendengar yang baik ketika dia
berbicara, serta mengambil faidah dari lika-liku kehidupan yang telah ia lalui.
(Lihat: ‘Aunul Ma’buud 13/192)
Dalam riwayat lain
dijelaskan, dari Sa’id bin Musayyib, beliau berkata:
كام ابراهيم أول من ضيف الضيف وأول الناس كَانَ إِبْرَاهِيمُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلَ النَّاسِ ضَيَّفَ الضَّيْفَ وَأَوَّلَ النَّاسِ اخْتَتَنَ وَأَوَّلَ النَّاسِ قَصَّ الشَّارِبَ وَأَوَّلَ النَّاسِ رَأَى الشَّيْبَ فَقَالَ يَا رَبِّ مَا هَذَا فَقَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَقَارٌ يَا إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ يَا رَبِّ زِدْنِي وَقَارًا
“Ibrahim adalah orang pertama
yang menjamu tamu, orang pertama yang berkhitan, orang pertama yang memotong
kumis, dan orang pertama yang melihat uban lalu berkata: Apakah ini wahai
Tuhanku? Maka Allah berfirman: kewibawaan wahai Ibrahim. Ibrahim berkata: Wahai
Tuhanku, tambahkan aku kewibawaan itu.” (HR. Bukhori dalam Al-Adabul Mufrod
120, Imam Malik dalam Al-Muwatto’ 9/58)
Biarkanlah jika uban
yang sudah pasti tumbuh itu kelak atau telah menghiasai kepala kita. Selama
kita berada dalam golongan orang yang beriman dan tumbuh berjuang dalam
keimanan, kita tidak perlu terlalu menghiraukan tumbuhnya uban demi uban yang
kelak menjadi cahaya di kegelapan itu.
Kita sudah banyak
merugi dengan beranggapan bahwa orang yang usianya mencapai 60 tahun sudah
tinggal menunggu ajal. Karena anggapan itu, tidak sedikit orang yang berasumsi,
bahwa mereka sudah selesai peran-perannya dalam hidup.
Uban sebagai bagian
tanda keletihan berpikir, atau pertanda usia bertambah tua, tidak pernah
menjadi alasan untuk berhenti dan memutuskan peran-peran besar dalam hidup ini.
Jika kita mau, meski berusia lanjut dan banyak ditumbuhi uban, kita masih bisa
melukiskan sejarah agung dalam hidup ini tentunya dengan pertolongan Allah SWT.
Jika desakan cita-cita telah meninggi, didukung semangat yang kuat, tidak ada
lagi yang membedakan orang muda ataupun orang berusia tua.
Wallahu a'lam
bisshowab
--------------------
##### -----------------------
TANYA JAWAB
G1 (Ustadzah Lillah)
1. Afwan Ustadzah ijin
bertanya. Saya termasuk yang agak telat beruban, jadi takut apakah saya
termasuk orang yang terlambat dapat peringatan?
Jawab:
Ada yang sampai
meninggal tidak beruban. Uban hanya salah satu bentuk peringatan, sementara
diluar sana masih banyak ciptaan allah yang bisa kita jadikan peringatan.
****************
G2 (Ustadzah Maryam)
1. Bagaimana jika
berhadapan dengan orang yang lebih muda, tapi punya kecenderungan enggan
mendengarkan kepada yang lebih tua, bahkan kurang adab sopan santun?
Jawab:
Berhadapan dengan anak
muda yang seperti itu harus sabar menghadapinya, dan cari tahu anak siapa kah, apabila
ternyata kita tahu orang tuanya baik maka perlu diberitahu, semoga ada
perbaikkan kedepan.
2. Tanya ustadzah, bagaimana
dengan anak muda yang sudah beruban karena faktor genetik, apakah sama hikmahnya
seperti yang sudah tua?
Jawab :
Jelas beda, karena bukan
faktor umur. Karena kalau faktor umur dan dia orang sholih, maka yang terpancar
ada perilaku baiknya dan orang akan menghargai perilakunya karena kesholihannya.
3. Boleh kah uban kita
cat warna?
Jawab :
Boleh, tapi harus
sesuai yang d rekomendasikan Rasulullah ya, dengan inai, seperti pacar kuku
#seperti warna pacar
kuku
4. Ustadzah afwan
bertanya, ini tema materi: tak ada alasan untuk berhenti, tapi yang
kita bahas adalah makna dibalik uban. Gimana penjabarannya ustadzah?
Jawab:
Sepertinya Tim
kurikulum ingin menyampaikan bahwa intinya, kalau sudah beruban tidak ada
alasan untuk berhenti berbuat baik. Justru seharusnya lebih banyak dan kenceng,
karena uban salah satu tanda bahwa ajal sudah dekat
************
G3 (Ustadzah Tribuwhana)
1. Ustadzah izin
bertanya, penyebab tumbuhnya uban karena beban pikiran dan usia. Tapi ada juga
yang usianya masih muda tapi sudah ubanan, sedangkan yang tua ada juga yang belum
ubanan. Apakah termasuk orang yang beruntung kalau sudah tumbuh uban itu
ustadzah?
Jawab:
MasyaAllah, uban hanya
salah satu tanda saja bunda, bukan berarti yang belum beruban belum dibilang tidak
memikirkan iman, tetap beramal sholih setiap hari meski belum numbuh uban.
2. Terkadang tangan
gatel banget pingin mencabut uban itu ustadzah, kesenangan tersendiri kalau berhasil
menemukan uban dan dicabut. Apa memang uban itu membuat kepala gatal ustadzah? Bolehkan
kita men cat rambut utk menutupi uban tersebut? Syukron ustadzah.
Jawab:
Beberapa kasus tumbuh
uban gatal, lain kali digaruk saja jangan dicabut
3. Bolehkah di cat ustadzah?
Jawab:
Boleh, asal bukan
warna hitam
4. Ustadzah, ada teman
saya yang rambutnya di cat warna hitam, tapi ada jangka waktunya, tidak
permanen, misal 2 minggu di cat lagi, apakah masih boleh?
Jawab:
Dalam hadits yang saya
baca tidak boleh warna hitam
إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ ، فَخَالِفُوهُمْ
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya
orang-orang Yahudi dan Nasrani itu tidak menyemir uban. Oleh karena itu
selisihilah mereka.” (HR Bukhari no 3275 dan Muslim no 80)
Hadits ini adalah yang
menunjukkan adanya anjuran untuk mengubah warna uban dengan yang lainnya dalam
rangka menyelisihi orang-orang Yahudi yang memiliki ciri khas tidak mau
mengubah warna uban.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أُتِىَ بِأَبِى قُحَافَةَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « غَيِّرُوا هَذَا بِشَىْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ ».
Dari Jabir bin
Abdillah, Abu Quhafah (bapak dari Abu Bakr, pent) didatangkan ke hadapan Nabi
saat Fathu Makkah dalam kondisi rambut kepala dan jenggotnya putih semua
bagaikan tsaghomah (pohon yang daun dan bunganya berwarna putih, pent). Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda: “Ubahlah uban ini dengan
sesuatu namun jauhilah warna hitam.” (HR Muslim no 5631).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِى آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لاَ يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ »
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Di akhir zaman nanti akan ada sekelompok orang yang
menyemir rambutnya dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka
tidak akan mencium bau surga.” (HR Abu Daud no 4212, dinilai shahih
oleh al Albani).
Dua hadits shahih di
atas menunjukkan dengan tegas bahwa menyemir uban dengan warna hitam itu
dilarang secara umum baik orang yang sudah sangat tua ataupun tidak. Di samping
itu larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
salah satu umatnya itu berlaku untuk seluruh mereka kecuali ada dalil yang
mengkhususkannya.
Bahkan hadits yang kedua
menunjukkan bahwa menyemir uban dengan warna hitam itu termasuk dosa
besar. Oleh karena itu Ibnu Hajar al Haitami al Makki mengkategorikan
perbuatan ini sebagai dosa besar sebagaimana dalam al Zawajir.
Pernyataan beliau tersebut dikuatkan oleh hadits berikut ini.
وعن أبي الدرداء قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
“من خضب بالسواد سود الله وجهه يوم القيامة”.
Dari Abu Darda’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Barang siapa yang menyemir uban dengan warna hitam
maka Allah akan menghitamkan wajahnya pada hari Kiamat nanti.” (Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari 10/355 mengatakan, “Diriwayatkan oleh
Thabrani dan Ibnu Abi Ashim dari Abu Darda’ secara marfu’ dan sanadnya
lembek/tidak terlalu lemah”).
عن مجاهد قال : يكون في آخر الزمن قوم يصبغون بالسواد ، لا ينظر الله إليهم – أو قال : لا خلاق لهم -.
Dari Mujahid, seorang tabiin, “Di akhir zaman nanti ada sekelompok
orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam. Allah tidak akan memandang
mereka atau tidak ada bagian dari akherat untuk mereka.” (Riwayat Abdur
Razaq dalam al Mushannaf no 20182).
عن معمر أن رجلا سأل فرقد السبخي عن الصباغ بالسواد ، قال : بلغنا أنه يشتعل في رأسه ولحيته نار ، يعني يوم القيامة.
Dari Ma’mar, ada seorang yang bertanya kepada Farqad al Sibkhi tentang
menyemir rambut dengan warna hitam. Beliau berkata, “Ada riwayat yang
mengatakan bahwa hukuman perbuatan tersebut adalah rambut kepala dan jenggot
orang yang melakukan hal itu akan dibakar dengan api pada hari Kiamat nanti.”
(Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq no 20189).
عَنْ اِبْن شِهَاب قَالَ ” كُنَّا نُخَضِّب بِالسَّوَادِ إِذْ كَانَ الْوَجْه جَدِيدًا ، فَلَما نَغَصّ الْوَجْه وَالْأَسْنَان تَرَكْنَاهُ ”
Dari Ibnu Syihab az Zuhri, beliau berkata, “Kami semir uban dengan
warna hitam ketika wajah masih tampak muda. Namun ketika wajah sudah tidak lagi
muda dan gigi sudah ompong maka kami biarkan sebagaimana apa adanya.”
(Riwayat Ibnu Abi Ashim dalam kitab al Khidhab dan dinukil oleh Ibnu Hajar
dalam Fathul Bari).
Berdasarkan riwayat
ini sebagian orang mengatakan bahwa larangan menyemir dengan warna hitam itu
hanya berlaku untuk orang yang sudah sangat tua yang semua rambut kepala dan
jenggotnya sudah beruban sedangkan orang yang keadaan dan usianya belum
sebagaimana Abu Quhafah maka tidak dosa jika menyemir uban dengan warna hitam.
Namun pendapat semacam
ini jelas kurang tepat dengan beberapa alasan.
Pertama, riwayat tersebut
adalah perkataan seorang tabiin dan pendapat seorang tabiin sama sekali tidak
bisa dijadikan sebagai dalil.
Kedua, perkataan dan
perbuatan siapapun tidak bisa menjadi dalil jika bertolak belakang dengan
hadits Nabi. Tiga hadits yang telah kami sampaikan di atas adalah dalil yang
menunjukkan kelirunya orang-orang yang mengatakan adanya rincian dalam masalah
ini. SabdaNabi kepada Abu Quhafah, ‘Jauhilah warna hitam’ tidaklah menunjukkan
adanya rincian dalam masalah ini. Terlebih lagi jika mencermati dua hadits
berikutnya.
Ketiga, al Albani
mengomentari perkataan az Zuhri, “Di samping riwayat ini tidak layak dijadikan
hujah karena faktor yang telah kami sebutkan (yaitu pendapat tabiin, pent),
secara makna riwayat tersebut juga tidak menunjukkan adanya rincian dan juga
tidak menunjukkan bahwa az Zuhri berpendapat haramnya semir dengan warna hitam
untuk orang yang semua rambutnya sudah memutih. Karena riwayat tersebut hanya
menceritakan perbuatan dan sikap az Zuhri dan hal ini semata tidaklah
menunjukkan haramnya bersemir dengan warna hitam untuk orang yang semua
rambutnya sudah memutih.
Secara implisit
riwayat tersebut menunjukkan bahwa az zuhri sama sekali belum menjumpai hadits
yang melarang bersemir dengan warna hitam. Oleh karena itu, beliau mengambil
tindakan hanya dengan dasar perasaan. Bersemir dengan warna hitam ketika wajah
masih nampak muda dan tidak lagi bersemir dengan warna hitam setelah berusia
lanjut.
قَالَ مَعْمَرٌ وَكَانَ الزُّهْرِىُّ يَخْضِبُ بِالسَّوَادِ.
Bahkan Ma’mar, salah seorang murid az Zuhri malah mengatakan, “Az Zuhri
itu bersemir dengan warna hitam.” (Riwayat Imam Ahmad 2/309 dengan sanad
yang shahih sampai kepada Ma’mar).
Dalam riwayat ini
Ma’mar menjelaskan bahwa Az Zuhri bersemir dengan warna hitam, tanpa memberi
rincian atau mengkhususkannya dalam kondisi tertentu.
Ditambah lagi, aku
tidak tahu secara persis, apakah sanad Ibnu Abi Ashim sampai ke Zuhri itu
shahih ataukah tidak” (Ghayatul Maram karya Al Albani hal 70-71, cetakan al
Maktab al Islami 1414 H)
Ini Juga Berlaku untuk
Perempuan?
Sebagian ulama
berpendapat bahwa larangan menyemir uban dengan warna hitam itu hanya berlaku
untuk laki-laki dan tidak berlaku untuk wanita.
عن قتادة قال : رخص في صباغ الشعر بالسواد للنساء.
Dari Qatadah, seorang tabiin, beliau berkata, “Dibolehkan menyemir uban
dengan warna hitam bagi perempuan.” (Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam
al Mushannaf no 20182).
Dalam Tahdzib as
Sunan, Ibnul Qoyyim berkata, “Sebagian ulama membolehkan bersemir dengan warna
hitam untuk wanita dengan tujuan berdandan untuk suami namun hal ini terlarang
untuk laki-laki. Inilah pendapat Ishaq bin Rahuyah. Seakan-akan beliau
berpendapat bahwa larangan semir rambut dengan hitam itu hanya untuk laki-laki.
Wanita dibolehkan mewarnai kuku tangan dan kakinya, suatu yang tidak dibolehkan
untuk laki-laki” (Aunul ma’bud 9/251, Syamilah).
Akan tetapi larangan
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersifat umum, berlaku
untuk laki-laki dan wanita. Sehingga pendapat yang lebih tepat, larangan
ini tidak membedakan antara laki-laki dan wanita. Wallahu a’lam.
************
G4 (Ustadzah Lien/Yeni)
1. Ijin bertanya
ustadzah. Bagaimana dengan manusia yang sudah beruban ketika umur 20 tahun,
apakah bisa dikatakan ini uban kebanggaan?
Jawab:
Bismillah. Tergolong
normal, dan secara umum disebabkn faktor genetik. Selain faktor genetik, stres
juga dapat mengambil peran tumbuhnya uban lebih cepat. Walaupun tidak ada bukti
yang jelas bahwa stres dapat menyebabkan munculnya uban. Namun, hormon stres
dapat mempengaruhi melanosit, sel penghasil melanin di rambut yang juga
mendorong tumbuhnya uban lebih cepat.
2. Ustadzah apakah benar
uban tidak boleh dicabut? Ada orang yang tidak mencabutnya, tapi mewarnai
rambut, boleh juga kah ustadzah?
Jawab:
Dari sisi kesehatan :
Uban yang muncul
sebaiknya memang tidak dicabut, karena bisa merusak folikel, saraf-saraf dan
juga akar rambut. Jika akar rambut ini rusak nantinya dapat memicu terjadinya
infeksi. Selain itu kebiasaan mencabut uban juga bisa membuat rambut menjadi
tipis yang menyebabkan rambut uban akan terlihat lebih banyak, meskipun
sebenarnya jumlah uban yang muncul di rambut itu tetap.
Dari sisi syariat islam:
“Uban adalah cahaya
bagi seorang mukmin. Tidaklah seseorang beruban –walaupun sehelai- dalam Islam
melainkan setiap ubannya akan dihitung sebagai suatu kebaikan dan akan
meninggikan derajatnya.” (HR. Al Baihaqi dalamSyu’abul Iman. Syaikh Al Albani
dalam Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Mewarnai uban secara
hukumnya makruh. Selain hitam sunnahnya mewarnai.
Allahu'alam
3. Izin bertanya, uban
yang dicabut bisa tumbuh lagi dengan yang hitam?
Jawab:
Awal rambut tumbuh
hitam tapi akan mempercepat rambut hitam yang lain menjadi uban, jadi tidak
sebanding dengan yang tumbuh, bahkan saya baca artikelnya bisa terjadi
penghambatan tumbuhnya rambut.
4. Mengapa tidak boleh
di cat hitam, apa ada hadist/dalil nya kah?
Jawab:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani itu
tidak menyemir uban. Oleh karena itu selisihilah mereka.” (HR Bukhari
no 3275 dan Muslim no 80)
Hadits itu adalah yang
menunjukkan adanya anjuran untuk mengubah warna uban dengan yang lainnya dalam
rangka menyelisihi orang-orang Yahudi yang memiliki ciri khas tidak mau
mengubah warna uban.
5. Berarti boleh
nyemir tapi tidak boleh warna hitam ya Bunda?
Jawab:
Iya Mbak Nur
6. Tapi kalau di semir
apa nanti kita tidak mendapatkan cahaya dari uban kita Bunda?
Jawab:
Berbeda kata mencabut
dengan menyemir/mewarnai, kata mencabut artinya menghilangkan, kalau mewarnai
rambut, hakikatnya rambut itu masih tertanam dikulit kepala dan masih ada
wujudnya dikepala.
***********
G5 (Ustadzah Enung)
1. İjin bertanya. Bagaimana
yang menyemir ubannya, karena usia belum lagi tua tapi uban sudah merata?
Jawab:
Bunda Erti yang
dirahmati Allah, kalau menyemirnya dengan warna selain hitam boleh.
2. Afwan alasan warna
hitam tidak di bolehkan ustadah, karena ini teman saya sudah saya beritahukan
tapi tidak percaya?
Jawab:
Saya luruskan sedikit
ya, yang dilarang itu sebenarnya, mengecat rambut sesuai warna fitrahnya, untuk
kita yang tinggal di Indonesia, fitrah warna rambut kita mayoritas hitam, jadi
boleh diwarnai dengan selain warna hitam. Karena mewarnai rambut dengan warna
hitam sama dengan menipu diri sendiri. Bila uban sudah mulai tumbuh, biarkan
saja, karena uban bisa jadi pengingat, bahwa usia kita semakin bertambah.
3. Ada orang-orang tua
yang meminta tolong untuk dicabuti ubannya dengan alasan gatal. Apakah mencabut
uban karena alasan gatal diperbolehkan?
Jawab:
Bunda Dila yang
dirahmati Allah, sebagian ulama menyebutkan mencabut uban hukumnya makruh
(tidak disukai), karena itu perbuatan yang tidak disukai Rasulullah SAW. Sebenarnya
pelarangan pencabutan uban adalah sebagai perintah agama kepada manusia untuk
menyadari kalau uban ternyata adalah bagian dari tanda menuanya usia. Orang
yang sudah tua usianya, diharapkan untuk semakin bijak, arif, dan terwujud
lewat tumbuhnya uban. Meskipun, agama juga menyuruh untuk menjaga kebersihan
dengan tidak membiarkan uban terlihat tidak rapih dan pantas. al-Ghazali pun
menegaskan dalam Ihya bahwa beruban yang diniatkan agar terlihat zuhud, atau
terlihat orang saleh, maka hukumnya haram. Wallahu A’lam
4. Izin bertanya
ustadzah. Menurut catatan hadist yang diriwaytakan Imam Tarmizi d atas, Umur
Umat Nabi Muhammad shallallahu'alaihiwasalam, antara 60 ke 70 tahun.
Pertnayaannya adalah, lalu bagaimana dengan orang muslim yang umurnya di atas 80 sampai ada yang diatas
100 tahun?
Jawab :
itu salah satu
'karunia' yang Allah berikan pada hamba yang dikehendaki-Nya.
5. Izin bertanya
Ustadzah. Jika menyemir rambut dengan warna selain hitam, otomatis uban pun
tertutup warna aslinya. Lalu bagaimanakah dihari kiamat kelak apakah si uban
ini masih bisa bersinar dan memberikan cahaya bagi kita?
Jawab:
Kalau seperti ini, ubannya
tersamarkan, tapi tetap ada ya, jadi insya Allah masih bisa menjadi cahaya. Yang
akan hilang manfaatnya bila uban itu dicabut.
6. Mohon bertanya,
jika sudah terlanjur dicabut karena belum mengerti bagaimana ustadzah?
Jawab:
Insya Allah tak ada
dosa bagi yang tidak tahu.
7. Ikut bertanya
masalah uban, ibu saya suka minta tolong untuk mencabut ubannya yang pendek dan
lebih kasar, karena katanya gatal. Dia sebenarnya sudah tahu juga tentang
larangan tersebut, tapi karena gatal, kadang-kadang dicabut juga. Bagaimana
ustadzah?
Jawab:
Hukumnya seperti yang
disebutkan diatas, makruh/tidak disukai .
8. Kalo rontok sendri bagaimana
ustadzah?
Jawab:
Insya Allah tidak apa-apa,
bukan disengaja.
************
G6 (Ustadzah Riyanti)
1. Assalamualaikum
ustadzah. Saya mau bertanya. Bagaimana seseorang yang berusaha menghitamkan
rambutnya yang beruban itu. Saya pernah dengar hal tersebut boleh asalkan
menggunakan warna hitam atau memakai inai yang menjadikan rambut kemerahan.
Jawab:
Dalam hadis Nabi SAW
disebutkan, "Ubah warna uban kalian
dan jauhi warna hitam." (HR Muslim). Hadis ini menjadi dalil
pembolehan untuk mewarnai rambut. Hadis ini juga sebagai anjuran Rasulullah SAW
agar umatnya berbeda dari Yahudi dan Nasrani yang dikenal tidak mewarnai rambut
mereka. "Ubahlah (warna) uban dan
jangan serupa dengan Yahudi." (HR Nasai dan Tirmizi).
Soal warna rambut,
para ulama bersepakat membolehkan seluruh warna, kecuali warna hitam. Adapun
warna hitam, terdapat perbedaan pendapat para ulama berdasarkan tujuan dari
mewarnai rambut tersebut.
Ulama bersepakat, jika
bertujuan untuk penipuan, mayoritas ulama mengharamkannya. Orang yang sejatinya
sudah tua bisa menipu agar tampak muda kembali karena rambutnya tak beruban.
Jika tujuannya seperti ini, tentu tidak diperbolehkan. Demikian diterangkan
dalam Al-Fatawa Al-Hindiyah (44/45) dari kalangan Mazhab Hanafiyah, Al-Fawakih
Ad-Dawani (8/191) dari kalangan Mazhab Maliki, Matolib Ulin Nuha (1/195) dari
kalangan Mazhab Hanbali.
Demikian juga, jika
mewarnai rambut dengan warna hitam untuk berangkat berperang, seluruh ulama
sepakat untuk membolehkannya. Pada zaman Rasulullah SAW, para tentara yang akan
berangkat berperang punya tradisi mewarnai rambut dengan warna hitam. Tujuannya
untuk menaikkan wibawa di hadapan musuh-musuh Islam. Kendati mewarnai rambut
dengan warna hitam mengandung unsur penipuan, untuk berperang seluruh tipu daya
bisa ditolerir. Sabda Nabi SAW, "Peperangan itu adalah tipu daya."
(HR Ibnu Majah).
Jika pemakaian warna
hitam hanya untuk berhias dan pemakaian sehari-hari tanpa ada maksud untuk
penipuan, disinilah perbedaan pendapat ulama muncul. Ulama kalangan Hanabilah,
Malikiyah, dan Hanafiyah hanya sebatas memakruhkan. Kalangan ini berdalil,
sabda Nabi SAW hanya sebatas anjuran untuk menjauhi atau menghindari warna
hitam. Ijtanibu (jauhi atau hindari) dalam lafaz hadis bermakna hanya sebatas
anjuran. Maka hukumnya pun tidak bisa melebihi makruh.
2. Bagaimana dengan
mereka yang mencabuti uban (karena belum tahu kalau sebenarnya itu dilarang), apakah
mereka termasuk orang-orang yang tidak mendapat cahaya di hari kiamat kelak?
Jawab:
Orang yang tidak tahu
itu tidak bisa dihukumi. Namun orang yang berilmu lebih tinggi derajatnya
dibandingkan orang yang tidak berilmu.
Menurut ulama dari
kalangan madzhab syafi’i—sebagaimana dikemukakan oleh Muhyiddin Syarf an-Nawawi
dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab— bahwa mencabut uban hukumnya adalah
makruh. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah saw:
لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Jangan kalian mencabut uban
karena uban itu adalah cahaya orang muslim kelak di hari kiamat” (HR. Abu
Dawud, at-Tirmidzi, dan Nasa’i)
Pandangan ini
ditegaskan oleh al-Ghazali, al-Baghawi dan ulama lainnya. Bahkan Muhyiddin
Syarf an-Nawawi menyatakan: “Jika dikatakan haram mencabut uban karena adanya
larangan yang jelas dan sahih maka hal itu tidak mustahil”. Kemakruhan mencabut
uban di sini tidak dibedakan antara mencabu uban jenggot dan uban kepala.
Dengan kata lain, mencabut uban yang ada di jenggot dan uban yang ada di kepala
hukumnya adalah sama-sama makruh.
يَكْرَهُ نَتْفُ الشَّيْبِ لِحَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَدِيثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذُّي وَالنَّسَائِيُّ وَغَيْرُهُمْ بِأَسَانِيدَ حَسَنَةٍ قَالَ التِّرْمِذِيُّ حَدِيثٌ حَسَنٌ هَكَذَا. قَالَ أَصْحَابُنَا يَكْرَهُ صَرَّحَ بِهِ الْغَزَالِيُّ كَمَا سَبَقَ وَالْبَغَوِيُّ وَآخَرُونَ. وَلَوْ قِيلَ يَحْرُمُ لِلنَّهْيِ الصَّرِيحِ الصَّحِيحِ لَمْ يَبْعُدْ. وَلَا فَرْقَ بَيْنَ نَتْفِهِ مِنَ الْلِحْيَةِ وَالرَّأْسِ
“Makruh mencabut uban karena
didasarkan kepaa hadits riwayat ‘Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya
dari Nabi saw beliau bersabda: ‘Jangan kalian mencabut uban karena uban itu
adalah cahaya orang muslim kelak di hari kiamat’. Ini adalalah hadist hasan
yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud at-Tirmidzi, Nasai, dan lainnya dengan
sanad hasan. At-Tirmidzi berkata: ‘Bahwa hadits ini adalah hadits hasan. Para
ulama dari madzhab kami (madzhab syafi’i) berpendapat bahwa makruh mencabut
uban. Pandangan ini ditegaskan oleh al-Ghazali sebagaimana keterangan yang
terdahulu, al-Baghawi dan ulama lainnya. Seandainya dikatakan haram mencabut
uban karena adanya larangan yang jelas maka mungkin saja. Dan tidak ada perbedaan
hukum kemakruhanya antara mencabut uban jenggot dan kepala” (Muhyiddin
Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, juz,
I, hlm. 293)
Namun ada pandangan
lain yang dikemukakan oleh imam Abu Hanifah yang terdapat dalam
kitab al-Khulashah yang dinukil dari kitab al-Muntaqa.
Menurutnya, hukum mencabut uban tidaklah makruh kecuali jika bertujuan untuk
berhias diri (tazayyun). Pandangan ini menurut ath-Thahawi sebaiknya tidak
dipahami secara literalis. Beliau memberi catatan, bahwa pandangan imam Abu
Hanifah tersebut seyogyanya dipahami ketika uban yang dicabut adalah sedikit,
tetapi jika banyak maka hukumnya tetap makruh karena adanya hadits yang
melarang untuk mencabut uban yang diriwayatkan Abu Dawud sebagaimana disebutkan
di atas.
وَفِي الْخُلَاصَةِ عَنِ الْمُنْتَقَى كَانَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُكْرِهُ نَتْفَ الشَّيْبِ إِلَّا عَلَى وَجْهِ التَّزَيُّنِ اه وَيَنْبَغِي حَمْلُهُ عَلَى الْقَلِيلِ أَمَّا الْكَثِيرُ فَيُكْرَهُ لِخَبَرِ أَبِي دَاوُدَ لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Di dalam
kitab al-Khulashah yang dinukil dari
kitab al-Muntaqa terdapat keterangan yang menyatakan bahwa imam Abu
Hanifah tidak memakruhkan mencabut uban kecuali dengan tujuan berhias diri. Dan
seyogynya pandangan ini dipahami ketika uban yang dicabut adalah sedikit, namun
jika banyak maka hukumnya tetap makruh berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud:
‘Jangan kalian mencabut uban karena uban itu adalah cahaya orang muslim kelak
di hari kiamat” (Lihat, ath-Thahawi, Hasyiyah ‘ala Maraqi al-Falah
Syarh Nur al-Idlah, Bulaq-Mathba’ah al-Amiriyah al-Kubra, 1318 H, h. 342).
Demikian jawaban yang
dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik.
3. Bismillah. Ustadzah,
afwan bertanya, bagaimana Islam memandang laki-laki yang tidak mau memelihara
jenggot walaupun sedikit saja?
Jawab:
Saat ini ramai
diperbincangkan masyarakat mengenai hukum memelihara jenggot bagi laki-laki.
Tak hanya itu, bahkan ada yang menyatakan bahwa mencukur jenggot itu adalah
haram. Jika jenggot itu tumbuh lebat dalam dagu maka biarkanlah. Namun benarkah
itu?
Jika kita
berbicara tentang hukum jenggot, ada baiknya kita mulai dari nash-nash yang
terkait dengan jenggot. Setelah itu kita kutip pendapat para ulama tentang
hukum memelihara atau memotong jenggot bagi laki-laki
A. Nash-nash Tentang Jenggot
Ada banyak nash syar’i
yang berderajat shahih tentang jenggot kita temukan, berupa sabda Rasulullah
SAW Di antaranya dalil-dalil berikut ini :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
Dari Ibnu Umar
radhiyalahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Berbedalah dengan
orang-orang musyrik. Panjangkanlah jenggot dan potonglah kumis. (HR. Bukhari)
عن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ : جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
Dari Abi Hurairah
radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah berdabda,”Pendekkan kumis dan panjangkan
jenggot, berbedalah kalian dari orang-orang majusi”. (HR. Muslim)
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ فَعَدَّ مِنْهَا إِعْفَاءَ اللِّحْيَةِ
Dari Aisyah
radhiyallahuanha dari Nabi SAW,”Ada sepuluh perkara yang termasuk fithrah, di
antaranya memanjangkan jenggot. (HR. Muslim)
Sebenarnya masih
banyak lagi nash-nash terkait dengan jenggot, namun saya cukupkan tiga hadits
saja.
B. Hukum Berjenggot
Meski dalil-dalil di
atas semua termasuk hadits shahih, namun ketika menarik kesimpulan hukum, para
ulama ternyata berbeda pendapat, yaitu apakah memelihara jenggot hukumnya
menjadi wajib, sunnah atau mubah. Sebagian mengatakan hukum wajib, seperti yang
antum baca di media sosial itu.
Tetapi ternyata ada
juga pendapat yang berbeda, sebagian bilang hukumnya sunnah, bahkan ada yang
bilang hukumnya mubah.
1. Wajib Memelihara Jenggot
Sebagian kalangan
mengambil kesimpulan bahwa memelihara jenggot hukumnya wajib, dan berdosa bisa
mencukur atau menghilangkannya. Dasar pengambilan hukum wajibnya memanjangkan
jenggot ini antara lain didasarkan pada hal-hal berikut :
a. Dzhahir Nash
Tidak bisa ditolak
kenyataan begitu banyaknya hadits yang memerintahkan kita memelihara jenggot
dan mencukur kumis, dimana hadits-hadis itu umumnya hadits yang shahih. Dan
karena hadits-hadits di atas datang dengan lafadz amr (perintah), dan secara
baku setiap perintah berarti kewajiban, maka kesimpulannya, memanjangkan
jenggot dan memotong kumis itu hukumnya menjadi wajib.
Pendapat seperti ini
umumnya menggunakan metode yang biasa digunakan oleh mazhab Dzhahiri, dimana
dzhahir nash memang memerintahkan untuk memanjangkan jenggot.
b. Para Ulama
Mengharamkan Cukur Jenggot
Selain dhzahir nash,
kewajiban memelihara jenggot itu juga didasari oleh begitu banyaknya pendapat
para ulama tentang haramnya mencukur jenggot.
Tiga mazhab besar
yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah tegas-tegas mengharamkan
seseorang yang memiliki jenggot untuk mencukurnya hingga habis plontos. Karena
tindakan itu jelas-jelas bertentangan dengan hadits-hadits nabawi.
Mazhab Al-Hanabilah
menyebutkan bahwa dilarang mencukur jenggot. Dalam mazhab Al-Malikiyah,
mencukur jenggot bukan saja haram, bahkan pelakunya harus dihukum agar mendapat
pelajaran.
Sedangkan mazhab
Asy-Syafi’iyah tidak sampai mengharamkan cukur jenggot. Mazhab ini hanya sampai
memakruhkan saja.
2. Sunnah Memelihara Tapi Tidak
Sampai Wajib
Sebagian kalangan yang
lain menyebutkan bahwa memelihara jenggot itu hukumnya sunnah dan bukan wajib.
Sehingga apabila seorang laki-laki muslim secara sengaja tidak memelihara
jenggot, tidak berdosa, namun dia telah menyalahi sunnah Rasulullah SAW
Dasar pendapat ini
untuk tidak mewajibkan laki-laki harus berjenggot antara lain adalah:
a. Tidak Semua
Perintah Berarti Wajib
Pendapat kedua menolak
bahwa memelihara dan memanjangkan jenggot itu dianggap sebagai kewajiban. Meski
nash-nash yang kita temui secara dzhahirnya memang memerintahkan, namun tidak
semua fi’il amr selalu mengandung makna kewajiban.
Bukankah kita menemukan
cukup banyak dasar masyru’iyah ibadah seperti shalat sunnah atau puasa sunnah
yang menggunakan sighat amr, padahal para ulama sepakat tidak mewajibkannya.
b. Fithrah Tidak Wajib
Memelihara jenggot
menurut salah satu hadits shahih disebutkan sebagai salah satu dari sepuluh
fithrah.
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ فَعَدَّ مِنْهَا إِعْفَاءَ اللِّحْيَةِ
Dari Aisyah
radhiyallahuanha dari Nabi SAW,”Ada sepuluh perkara yang termasuk fithrah, di
antaranya memanjangkan jenggot. (HR. Muslim)
Dan umumnya apa-apa
yang termasuk fithrah itu hukumnya bukan kewajiban, melainkan sunnah. Kalau
kita bandingkan memelihara jenggot ini dengan sunnah fithrah yang lain misalnya
memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, bersiwak dan
lain-lain, maka kedudukannya sama, yaitu sama-sama sunnah dan bukan kewajiban.
c. Tidak Semua Orang
Bisa Punya Jenggot
Tidak semua orang
ditakdirkan tumbuh jenggot di dagunya. Maka dalam hal ini hukumnya harus dilihat
dari masing-masing kasus.
Kalau ada orang yang
punya jenggot, lalu dia ingin menjalankan apa yang menjadi perintah Nabi SAW
sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di atas, maka tentu berpahala. Namun
sebaliknya, bila seseorang ditakdirkan tidak tumbuh jenggot di dagunya, tentu
dia tidak bisa dibilang berdosa. Sehingga kesimpulannya, berjenggot itu tidak
wajib tetapi disunnahkan.
Sedangkan mereka yang
berbakat punya jenggot lalu mencukur habis tanpa ada alasan yang syar’i, maka
hukumnya kurang disenangi alias makruh.
3. Boleh Memelihara dan Boleh
Tidak Memelihara
Sebagian dari kalangan
punya pendapat yang berbeda, yaitu memelihara jenggot hukumnya bukan wajib atau
sunnah, namun hukumnya hanya mubah. Kalau mau tampil berjenggot, tidak ada
larangan, tetapi kalau mau tampil tanpa jenggot, atau mencukur jenggot,
hukumnya tidak terlarang.
Ada beberapa dalil
yang mereka kemukakan ketika berpendapat bahwa jenggot bukan urusan syariat,
yaitu :
a. ’Illatnya Adalah
Berpenampilan Berbeda
Ada pun dalil-dalil
dari hadits di atas, tidak mereka tolak keberadaannya, hanya saja yang menjadi
masalah adalah ’illat atau penyebab datangnya perintah untuk memelihara
jenggot, yang dalam hal ini sekedar bisa berbeda penampilan dengan orang-orang
musyrikin atau orang-orang majusi.
Menurut pandangan ini,
kebetulan secara ’urf atau kebiasaan, orang-orang musyrikin dan majusi di masa
Rasulullah SAW punya penampilan yang menjadi ciri khas, yaitu mereka terbiasa
memanjangkan kumis dan memotong atau mencukur habis jenggot.
Maka agar penampilan
umat Islam berbeda dengan penampilan mereka, yang paling mudah adalah mengubah
penampilan yang sekiranya berbeda secara signifikan. Dan cara itu tidak lain
adalah dengan cara memelihara jenggot dan memotong kumis.
Namun ketika ’urf atau
tradisi orang-orang musyrik dan majusi berubah, seiring dengan berjalannya
waktu dan penyebaran budaya mereka, maka mereka pun punya penampilan dan ciri
fisik yang berbeda juga. Ketika banyak dari orang-orang musyrik dan majusi yang
tidak lagi memanjangkan kumis dan memotong jenggot, sebagaimana yang mereka
lakukan di masa hidup Rasulullah SAW, maka dalam logika mereka, hukumnya pun
juga ikut berubah juga.
Dalam pandangan
mereka, yang menjadi ’illat dari dalil-dalil di atas bukan masalah memelihara
jenggotnya, melainkan perintah untuk berbeda penampilan dengan orang-orang
musyirikin dan majusi.
b. Masalah
Ketidak-adilan
Selain menggunakan
logika perbedaan ’illat, mereka tidak mewajibkan atau menyunnahkan memelihara
jenggot karena masalah ketidak-adilan.
Kalau memelihara
jenggot dianggap sebagai ibadah, entah hukumnya wajib atau sunnah, maka betapa
agama Islam ini sangat tidak adil. Sebab hanya mereka yang ditakdirkan punya
bakat berjenggot saja yang bisa mengamalkannya.
Hal itu mengingat
keberadaan jenggot amat berbeda dengan rambut pada kepala manusia, dimana
setiap bayi yang lahir, sudah dipastikan di kepalanya tumbuh rambut. Demikian
juga dengan kuku, setiap manusia tentu punya kuku yang terus tumbuh sejak lahir
hingga mati.
Namun tidak demikian
halnya dengan jenggot. Ada berjuta-juta manusia di dunia ini yang secara
sunnatullah memang tidak tumbuh jenggotnya. Dan hal itu terjadi sejak dari
lahir sampai tua dan mati. Allah SWT mentaqdirkan memang tidak ada satu pun
jenggot tumbuh di dagu mereka.
Maka kalau berjenggot
panjang itu diwajibkan atau sunnahkan, apakah mereka yang ditakdirkan punya
wajah tidak tumbuh jenggot lantas menjadi berdosa atau tidak bisa mendapatkan
pahala? Dan apakah ukuran ketaqwaan seseorang bisa diukur dengan keberadaan
jenggot?
Kalau memang demikian
ketentuanya, maka betapa tidak adilnya syariat Islam, karena hanya memberi
kesempatan bertaqarrub kepada orang-orang tertentu saja dengan menutup
kesempatan buat sebagian orang.
Memang buat
bangsa-bangsa tertentu, seperti bangsa Arab, semua laki-laki mereka lahir
dengan potensi berjenggot, bahkan sejak dari masih belia, sudah ada tanda-tanda
akan berjenggot. Namun buat ras manusia jenis tertentu, seperti umumnya
masyarakat Indonesia, tidak semua orang punya bakat berjenggot, bahkan meski sudah
diberi berbagai obat penumbuh dan penyubur jenggot, tetap saja sang jenggot
idaman tidak tumbuh-tumbuh juga.
Betapa malangnya
orang-orang Indonesia, yang lahir tanpa potensi untuk memiliki jenggot. Lantas
apakah dosa mereka sehingga ’dihukum’ Allah sehingga tidak bisa berjenggot?
Sumber: rumahfiqih.com
Sumber:
https://www.islampos.com/mencukur-jenggot-apa-hukumnya-dalam-islam-48931/
4. Bismillah. Ustadzah,
mohon ijin bertanya. Kalau dari kecil rambutnya sudah beruban itu bagaimana
ustadzah? Apa masuk di semua kategori itu ya?
Jawab:
Apabila uban sudah ada
sejak kecil ini tidak berlaku hukum di atas karena ubannya muncul karena
kelainan pigmen.
5. Ustadzah, ijin
bertanya. Saya lagi suka mewarna rambut non hitam, bolehkah? Pertanyaan kedua
agak keluar jalur: saya ingin pakai gelang kaki, bolehkah?
Jawab:
Boleh. Asal tujuannya
untuk menyenangkan suami.
~ Tujuan memakai
gelang dikaki untuk apa Bund?
Hukum Memakai Gelang Kaki Pada Wanita Dalam Islam
Wanita memang
diciptakan dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dan untuk menutupi
kekurangannya biasanya wanita akan berhias diri. Tabarruj dalam Islamatau
berhias diri atau berdandan diperbolehkan, asalkan tidak berlebihan, karena
memang telah menjadi sifat wanita bahwa mereka suka berhias.
Dan dalam berhias
diri, wanita seringkali memakai perhiasan atau aksesoris pelengkap, baik
seperti kalung, gelang tangan, gelang kaki, anting-anting dan cincin. Dan
seperti yang dijelaskan dalam Islam bahwa hukum memakai perhiasan dalam
Islam adalah diperbolehkan, namun apakah dalam Islam wanita diperbolehkan
memakai gelang kaki?
Menurut para ulama,
hukum memakai gelang kaki bagi wanita menurut Islam adalah diperbolehkan, namun
hal tersebut tetaplah ada batasannya. Wanita diperbolehkan memakai gelang kaki,
namun jangan sampai berlebihan dan dilarang bagi wanita yang memakai gelang
kaki untuk sengaja menghentakan kaki mereka dihadapan laki-laki yang bukan
mahramnya (baca : pengertian mahram dalam Islam).
Dan didalam Islam
terdapat firman Allah yang mengenai persoalan tersebut, sebagai berikut :
“Dan janganlah mereka (kaum
wanita) memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan.” (QS. An-Nur ayat 31)
Dalam terjemahan ayat
tersebut telah dikatakan, bahwa Islam tidak melarang umatnya untuk memakai
gelang kaki namun seorang wanita dilarang untuk menghentakan kaki mereka agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan, karena dikhawatirkan hal tersebut
akan mengundang zina dalam Islam, dan memperdengarkannya sama saja dengan
menampakan perhiasan tersebut.
Dari Ibnu Abbas ra.,
ia berkata :
Seseorang mendatangi Rasulullah SAW. sedangkan ia telah melakukan
dzihar (menyamakan istrinya dengan mahram perempuannya, sembari berniat dan
bersumpah untuk tidak menggauli istrinya sebelum membayar kaffarat dzihar
tersebut. Ia berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah melakukan
dzhihar terhadap istriku, namun aku menggaulinya sebelum aku membayar
kaffarat.” Beliau bersabda: “Apa sebab yang membuatmu melakukan itu ?”, ia
menjawab: “Aku (tergiur karena) melihat KHALKHAAL (gelang kakinya) dibawah
sinar bulan.” Maka beliau bersabda: “Janganlah engkau mendekatinya hingga
engkau melakukan perintah Allah (yaitu bayar kaffarat).” (HR Abu Daud, At-
Tirmidzi dan An-Nasa’i)
Dikisahkan dalam
Islam, dulu pada zaman jahiliyah, para wanita apabila berjalan dengan gelang
kakinya tidak berbunyi, maka mereka akan memukulkan kakinya ke tanah dengan
tujuan agar perhiasan yang mereka pakai berbunyi dan dilihat oleh kaum
laki-laki. Tindakan yang dilakukan oleh wanita-wanita jahiliyah tersebut
merupakan hal yang tidak boleh ditiru oleh wanita muslimah.
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa memakai gelang kaki menurut Islam adalah diperbolehkan namun
jangan sampai berlebihan dan tetap dalam batasan-batasan. Wanita cantik
dalam Islam tidaklah harus berias diri dengan semaksimal mungkin dan
berpenampilan semenarik dan sebagus mungkin, namun yang paling penting adalah
iman dan ketaatan mereka terhadap Allah SWT.
6. Assalamu'alaykum
ustadzah, ijin bertanya, dihukumi apa jika kita mewarnai rambut untuk
menyenangkan hati suami dengan warna selain warna hitam. Mubahkah ustadzah?
Jawab:
Betul. Mewarnai
rambutnya hukumnya mubah. Menyenangkan suami itu sedekah hasanah.
7. Assalamualaikum. Bertanya
ustadzah, kalau suami atau orang tua minta dicabutkan ubannya sebaiknya gimana
ustadzah? Terimakasih.
Jawab:
Orang yang tahu
memberitahu yang tidak tahu. Coba bunda kabarkan kebaikan jika uban itu muncul
dan tidak dicabut. Wallahu alam
************
Akhwat (Ustadzah Rini)
1. Assalamu'alaikum
ustadzah, kata ibu saya ketika uban sudah mulai tumbuh, kepalanya terasa pening
dan ketika uban dicabut terasa lebih ringan rasanya. Apakah pening tersebut
benar karena tumbuh uban? Dan bagaimana hukumnya pada waktu itu ketika saya dan
ibu saya belum tahu hukum mencabut uban?
Jawab:
Wa'alaikumussalam
warahmatullahi wabarakatuh. Dalam hidup, kita diminta untuk melakukan proses
yang terus menerus sampai suatu saat merasakan hasilnya. Proses yang dijalani
dengan baik pasti akan mengantarkan kepada kebaikan,begitu juga sebaliknya. Rasa
sakit, pusing dll adalah salah satu proses yang harus kita jalani agar kita
bisa memahami hikmah yang ada dibalik proses tersebut. Semoga akhir yang indah
ketika kita mau menikmati dan mensyukuri setiap proses yang kita jalani dalam
kehidupan. Tidak ada dosa dari sebuah ketidaktahuan. Allahua'lam
2. Assalamualikum Bunda
mau bertanya, bagaimana orang yang mewarnai rambut dair uban dan melakukan
perawatan misal menghilangkan kerut seperti botox, tanam benang agar supaya
telihat muda?
Jawab:
Wa'alaikumussalam
warahmatullahi wabarakatuh. Untuk mewarnai masih diperkenankan asal tidak
dengan warna hitam,untuk selainnya lebih baik dihindari karena mengubah ciptaan
Allah adalah sesuatu yang tidak disyariatkan dalam agama. Tua itu pasti, sabar
itu pilihan. Lebih disarankan menjaga amanah berupa kesehatan dengan
memperbanyak olahraga sedari muda,mengkonsumsi makanan makanan yang tidak cepat
membuat sel mati. Ini bisa menjaga seseorang terlihat lebih awet muda secara
alami dan tidak perlu mengeluarkan biaya yang mahal. Allahua'lam.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Kita
tutup dengan membacakan hamdalah..
Alhamdulillahirabbil'aalamiin
Doa
Kafaratul Majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا
أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma
wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha
Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang
haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat
kepada-Mu.”
Wassalamu'alaikum
warahmatullaahi wabarakaatuh
★★★★★★★★★★★★★★
Badan
Pengurus Harian (BPH) Pusat
Hamba
اللَّهِ SWT
Blog:
http://kajianonline-hambaallah.blogspot.com
FanPage
: Kajian On line-Hamba Allah
FB
: Kajian On Line-Hamba Allah
Twitter:
@kajianonline_HA
IG:
@hambaAllah_official
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment