NOTULENSI
KONSULTASI SYARI'AH DAN UMUM
Bersama
Asatidz dan Asatidzah Hamba اللَّهِ
SWT (HA) Online
Kamis,
31 Januari 2019
Pukul
15.00 sd 18.00 WIB
Group
Ummi G1-G6 dan Akhwat
PJ
: Ummi G3
******************************************
NO
|
PERTANYAAN & JAWABAN
|
1
|
G2
Assalammualaikum. Mau tanya. Kalau kita mau
kredit motor biar tidak kena riba, bolehkah kreditnya sama saudara. Maksudnya
cicilnya ke saudara.
Jawab (Ustadzah
Syaikul): Jual beli kredit halal. Asal
harga tidak berubah setelah akad. Saudara kita beli motor 10 juta dari
dealer lalu dia jual ke kita 12 juta cicil 12 bulan. halal. Harga jangan
berubah lagi walaupun misalnya cicilan telat
|
2
|
G6
Bismillaah. Ada suami istri dengan 1 anak tinggal
terpisah beda pulau. Si istri tinggal dengan orang tuanya dan melarang untuk
tinggal bersama suaminya yang hidup sederhana. Belum lagi, istri selalu
mendengar suaminya dibanding-bandingkan dengan yang berstatus sosial tinggi
dan orang tua istri ingin anaknya bekerja karena sudah dibiayai mahal
sekolahnya. Apakah salah jika istri memilih ikut suami namun orangtuanya
tidak ridho? Terima kasih.
Jawab (U
Endang): Bismillah. Setelah menikah, seorang wanita berada dalam tanggung
jawab suaminya dan orang tuanya sudah melepas tanggung jawab anak perempuan
yang telah dinikahi seorang laki-laki. Dan kewajiban seorang wanita yang
bersuami adalah mentaati suaminya, tinggal bersama suaminya dan mengurus anak-anak
dirumah tangga bersama suaminya. Dalam keadaan demikian maka tidak boleh
orang tua terlibat dan ikut campur urusan rumah tangga anaknya selama rumahtangga
tersebut dalam keadaan yang berjalan baik. Merupakan suatu kesalahan besar
bagi orangtua, yang melarang anaknya ikut suaminya dengan alasan suaminya
orang sederhana. Rumahnya sederhana. Wajib
bagi seorang istri ikut suaminya,
walaupun orang tuanya melarang. Dalam hal ini ketaatan kepada suami
harus didahulukan daripada keinginan orangtua. Jika tidak bisa pergi dengan
baik-baik dan diizinkan dengan baik-baik dari orangtua, pergilah kepada
suaminya dan beritahukan melalui saudara atau keluarga yang lain bahwa ia
tinggal bersama dengan suaminya. Kemarahan orang tua dalam hal ini in syaa
Allah bukan merupakan masalah yang mengundang marah Allah. Wallahu a'lam.
|
3
|
G5
Bila kita ada di suatu tempat atau di kendaraan,
kita sholat tidak tahu dimana kiblatnya, apakah sah sholatnya, takutnya habis
waktu sholatnya?
Jawab (Ustadz
Endang): Bismillah. Sholat dalam kendaraan adalah dengan menghadap kemana
kendaraan itu berjalan. Tidak harus mengusahakan ke arah kiblat. Wallahu
a'lam
|
4
|
G5
Assalamualaikum warohmatullahi wabrokatuh. Izin
bertanya ustadz. Apakah boleh berzakat untuk Korban Bencana Alam, seperti
Tsunamai, lonhsir, banjir dan lain lain?
Jawab (Ustadz
Syaikul): Korban bencana alam yang termasuk kategori fakir miskin maka
termasuk mustahik. Boleh berzakat ke mereka. Adapun korban bencana alam yang
sebenarnya masih kaya, masih punya rumah di kota lain dan lain-lain, maka
bukan mustahik zakat.
|
5
|
G1
Asalamualaikum ustadz/ah. Bolehkah kita
bermuamalah jual barang/jasa dengan fulan yang pendapatannya murni hasil
riba?
Jawab (Ustadz
Syaikul): Harap baca link berikut ini agar mendapatkan pemahaman utuh:
https://berkebunsejuk.blogspot.com/2018/11/menerima-hadiah-dari-pelaku-riba.html
|
6
|
G3
Assalamu'alaikum. Izin bertanya, apabila kita sedang
safar. Misal kita sampai di daerah tersebut pada waktu zuhur. Apakah boleh
kita jamak sholat ashar di waktu zuhur, sedangkan pada saat azan ashar ternyata
kita masih berada di tempat tersebut? Atau kita sholat ashar kembali? Syukron
atas penjelasannya.
Jawab (Ustadz
Dodi): Boleh.
|
7
|
G6
Ustadz/ustadzah, saat ini kan sedang musim
pemilihan pemimpin mulai dari Kades sampai presiden.
Sepasang suami istri memiliki pandangan politik
berbeda. Tapi suami minta istri untuk mengikuti pilihannya dan membuat
statement bahwa jika si istri tidak mengikuti pilihannya berarti dia istri
durhaka. Bagaimana sebaiknya sikap istri? Dan jika istri tidak mengikuti
pilihan suami apakah si istri benar-benar dihukumi sebagai istri durhaka?
Terimakasih.
Jawab (Ustadz
Dodi): Ini masalah muamalah. Suami juga tidak boleh bertindak demikian
kecuali memang memilih pasangan yang memang untuk kemashalatan Umat Islam
|
8
|
G3
Assalamualaikum. Izin bertanya, bagaimana cara
akhwat untuk sholat fajar? Apakah setelah adzan shubuh masih boleh
dilaksanakan sholat fajar? Syukron atas penjelasannya.
Jawab (Ustadzah
Maryam): Wa'alaykumussalam wrwb. Dalam surah al Isra ayat 78 "innal qur'anal fajri kaanaa mashuuda”
- sungguh sholat subuh itu di saksikan malaikat"
Jadi akhwat mengerjakan sholat fajar sama dengan
sholat subuh. Dan di kerjakan setelah adzan..." sholat sebelum adzan
berarti sholat tahajud". Wallahu 'alam.
|
9
|
G2
Assalamualaykum ustadz/ah ijin bertanya,
bagaimana menyikapi saudara yang suka berhutang namun tidak pernah melunasi
kalau dari keluarga mungkin kita ikhlas tidak di bayar anggap saja kita
ngasih, tetapi banyak yang menagih pula kepada kami, karena mereka tau kita
saudaranya?
Jawab (Ustadz
Azhari): Wassalamu'alaikum. Hutang bukan dilarang diatur dalam Islam. Yang harus di bayar.
Sebaiknya ada saksi untuk nantinya mengingat kan.
|
10
|
G6
Ijin bertanya. Apakah di dalam Islam ada
perbedaan antara ibu tiri dan ayah tiri, ibu kandung dan ayah kandung? Apakah
doa-doa dari anak tiri yang sholeh akan tetap sampai walau bukan pada orang
tua kandungnya?
Jawab (Ustadz
Undang): Posisi ibu tiri dan atau ayah tiri dalam Islam dapat dilihat
dari posisinya dalam garis keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya ibu
tiri atau ayah tiri merupakan keluarga sah yang bergabung dengan keluarga
suami/istrinya. Dalam hali ini ibu tiri pun juga termasuk di dalam pengertian
mahram dalam islam. Istri yang sah dari Suami (dari terjadinya akad nikah). Seorang
ibu tiri tentunya adalah istri yang sah bagi suaminya. Tentunya seorang
wanita yang dinikahi secara sah dalam kaidah-kadiah dan sesuai syarat-syarat
akad nikah dalam islam adalah menjadi tanggung jawab suaminya. Begitupun
istri yang sah dari pernikahan sesuai rukun nikah dalam islam, walaupun bukan
istri pertama atau ibu dari anak anak suami, memiliki tanggung jawab
sebegaimana seorang ibu atau istri dalam ajaran islam.
Selagi pernikahan itu sah dan terdapat wali nikah
yang sah, maka wanita menjadi istri yang sah bagi suami. Dari Aisyah bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya
adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal”.
Ibu Tiri adalah Ibu yang sah (mahram) bagi Anak
dari Suami. Dengan menikahnya laki-laki yang memiliki anak dengan seorang
perempuan, maka anak dari laki-laki tersebut menjadi anak dan mahram pula
bagi perempuan yang sudah dinikahi. Maka anak dari laki-laki tersebut
selama-lamanya berstatus anak yang resmi dan mahram bagi perempuan. Secara
otomatis, (walaupun berstatus anak tiri) maka selama-lamanya pula tidak boleh
menikah dengan ibu tirinya walaupun suatu waktu telah bercerai pada ayahnya,
karena ibu tiri bagi anaknya adalah muhrim dalam islam. Untuk itu ibu tiri
adalah wanita yang haram dinikahi dalam islam oleh anak tirinya.
Hal ini dijelaskan dalam QS Annisa : 22
walaupun sudah bercerai dari istrinya. Dalam fiqh
pernikahan, maka ibu tiri pun dilarang dinikahi oleh anak-anak suaminya
walaupun sudah bercerai dengan ayahnya.
Hal ini dijelaskan pula dalam Al Quran, QS : An
Nisa : 23
Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
jika terjadi pernikahan antara perempuan dan laki-laki yang salah seorang
atau keduanya memiliki anak, maka terjadi hukum yang berlaku pula pada
anak-anak mereka. Hukum tersebut disebut dengan tahrim mu’abbad yaitu
larangan untuk melakukan perkawinan selama-lamanya, walau ayah dan ibu dari
anak anak tersebut sudah bercerai.
Dalam QS Al-Isra : 23-24
Kita bisa baca di sini tidak pernah di katakan
ibu tiri atau ibu kandung berarti berlaku semuanya. Sebagaimana disampaikan
di Al Quran maka anak tiri terhadap ibu tiri memiliki kewajiban yang
sebagaimana terhadap ibu kandungnya. Berbuat baik, kepada kedua orang tuanya
yang masih ada, hal ini termasuk ibu tiri. Tidak berkata kasar, melawan atau
membantah perintahnya yang baik. Menjaga dan memelihara terutama saat sudah
memasuki usia uzur (lanjut usia). Mendoakan kebaikan, bukan keburukan kepada
orang tua. Membantu kesulitan orang tua dan meringankan bebannya. Dalam hal
ini tidak ada istilah anak tiri tidak bisa menerima ibu tirinya, karena jika
sudah berstatus istri dari ayah nya, maka anak tetap harus menghormati,
menghargai, dan berbuat baik kepada ibu tiri tersebut.
Ibu Tiri sama Mulianya sebagaimana Ibu Kandung
Ibu tiri bukanlah ibu sampingan. Jika ibu tiri
berbuat sebagaimana ibu kandung memperlakukan anak-anak dan keluarganya dengan
baik tentunya akan membawakan kemuliaan, kebaikan di dunia dan akhirat,
selayaknya ibu kandung yang juga bertugas dan berkewajiban seperti itu untuk
anak-anak dan keluarganya. Islam tidak pernah memandang rendah ibu tiri
melainkan mengangkat derajat seseorang bukan karena statusnya, akan tetapi
dari bagaimana perilaku, moral, dan amaliah yang dilakukan. Doa kita sebagai
anak2 nya akan sampai kepada orang tua kita baik itu ibu atau ayah kandung maupun ibu atau ayah
tiri.
Wallahualam bishahowab
|
11
|
Akhwat
Assalamualaikum ustadz/ustadzah izin bertanya. Saya
pernah dengar ada hadist yang intinya menyebutkan bahwa rasul membenci jika
datang seseorang disuatu majlis, para hadirin dimajlis tersebut berdiri dari
duduknya hanya untuk bersalaman dengan orang tersebut? Apa benar adanya
seperti itu? Berkaitan hal tersebut, misalkan ada anak (perempuan dewasa)
yang mengantar ibunya kondisi ada dimotor kemudian ada atasan ibunya (laki
laki) bagaimana seharusnya anak tersebut lakukan? Apabila ia turun dari
motor, miripkah dengan keadaan pertanyaan pertama?
Jawab (Ustadzah
Syahidah): wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh. Bila seseorang
yang berdiri untuk menjabat tangan tamunya dan menuntunnya terlebih lagi tuan
rumah maka ini merupakan akhlak yang mulia. Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah berdiri menyambut Fathimah radhiyallahu ‘anha (putri beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam), demikian juga Fathimah radhiyallahu ‘anha
berdiri menyambut kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para
shahabat berdiri atas perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menyambut Sa’d bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu ketika dia datang untuk
menghukumi Bani Quraizhah. Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu berdiri
di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ka’b bin Malik
radhiyallahu ‘anhu datang pada peristiwa diterimanya taubat beliau oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Thalhah menjabat tangannya, mengucapkan selamat
kepadanya kemudian duduk.
Ini merupakan akhlak yang mulia, dan perkaranya
lapang. yang diingkari adalah berdiri untuk mengagungkan. Adapun berdiri
untuk menyambut tamu yang datang dalam rangka memuliakannya, menjabat
tangannya, atau memberi salam hormat, ini merupakan perkara yang
disyariatkan. Adapun dia berdiri untuk mengagungkan sedangkan yang lain
duduk, atau dia berdiri ketika ada yang masuk tanpa menyambut atau menjabat
tangannya, ini tidak pantas. Yang lebih keras (pelarangannya) adalah berdiri
untuk mengagungkannya dalam keadaan (yang diagungkan itu) duduk, bukan untuk
menjaga tapi semata untuk mengagungkan.
Berdiri ada tiga macam:
Pertama: Berdiri terhadap seseorang dalam
keadaan orang itu duduk, seperti orang-orang ajam (non Arab) mengagungkan
raja dan pembesar mereka. Hal ini tidak diperbolehkan, sebagaimana
diterangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk duduk ketika
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami shalat sambil duduk. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk duduk dan shalat
bersama beliau sambil duduk. Ketika mereka berdiri, Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengatakan: “Hampir-hampir kalian mengagungkan aku sebagaimana
orang-orang ajam mengagungkan pembesar mereka.”
Kedua: Berdiri untuk kedatangan atau kepergian
seseorang, tanpa menyambut atau menjabat tangannya, namun semata-mata untuk
mengagungkannya. Hal ini minimalnya makruh. Dahulu para shahabat
radhiyallahu ‘anhum tidak berdiri untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika beliau masuk kepada mereka, ketika mereka mengetahui ketidaksukaan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hal itu.
Ketiga: Berdiri untuk orang yang datang
untuk menjabat tangannya atau menuntunnya untuk menempatkannya pada tempat
tertentu, atau mendudukkannya pada tempatnya, atau yang serupa dengan itu.
Hal ini tidak mengapa, bahkan termasuk Sunnah (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, ) sebagaimana telah lalu. Apalagi kalau kita melakukannya terhadap
orangtua.
|
12
|
Akhwat
Assalamualaikum. apabila kita berobat ke dokter
laki-laki itu dosa kah? Karena tidak banyak dokter perempuan yang buka
praktek. Bagaimna sebaiknya sikap kita jika berobat ke dokter laki-laki?
Jawab (Ustadzah
Maryam): Kalau niatnya untuk berobat dan tidak ada pilihan lain kecuali dengan
dokter laki-laki, InsyaAllah tidak berdosa karena bisa di katakan juga
darurat seperti di daerah terpencil/
di Rumah Sakit luar negeri dokter perempuan sulit di temui.
Sikap sebagai muslimah tetap menjaga adab-adab
agar tidak ada hal-hal yang membuat menjadi fitnah dengan adanya teman/
muhrim kita dan menjaga niat. Wallahu'alam.
|
13
|
G3
Afwan ustadz izin bertanya, apakah sholat qhosor
dikerjakan untuk jarak jauh, misal kita perjalanan batam jakarta? Sedang
jama‘ tidak terlalu jauh, mohon penjelasan ny. Jazakillah khoir
Jawab (Ustadz
Farid Nu'man):
Fiqih Jamak dan Qashar
*Pertanyaannya hampir sama dengan pertanyaan
berikut*
Assalamu'alaikum
wr wb. Ana mau nanya terkait, sholat jamak, apakah dibolehkan sholat jamak
pada saat Mukhoyam/kepramukaan atau sejenisnya, kegiatan mukim, waktu
kegiatan 3 hari, dengan jarak 25 KM dan tempat berbeda kabupaten, SIngkawang
KALIMANTAN BARAT
~ Mahmudi
Febrianto
Jawaban:
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:
Langsung aja ya ..
Pertama.
Jamak Shalat
Menjamak adalah menggabungkan dua shalat di satu
waktu, yaitu Zhuhur dan Ashar, lalu maghrib dan Isya. Menjamak Shalat bisa
dilakukan karena terjadinya masyaqqat (kesulitan/kesempitan) yang dialami
oleh seorang muslim, sehingga susah baginya untuk shalat secara biasa.
Masyaqat tersebut di antaranya adalah:
>>
Bepergian (Safar)
Jamak ketika bepergian adalah boleh menurut
jumhur (mayoritas) ulama. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
عَنْ
أَنَسِ
بْنِ
مَالِكٍ
قَالَ
كَانَ
رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
إِذَا
ارْتَحَلَ
قَبْلَ
أَنْ
تَزِيغَ
الشَّمْسُ
أَخَّرَ
الظُّهْرَ
إِلَى
وَقْتِ
الْعَصْرِ
ثُمَّ
نَزَلَ
فَجَمَعَ
بَيْنَهُمَا
Dari Anas bin Malik, dia berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam jika dia mengadakan perjalanan sebelum matahari tergelincir
(meninggi), maka dia akan akhirkan shalat zhuhur pada waktu Ashar, lalu dia
turun dan menjamak keduanya.”
(HR. Al Bukhari No. 1112)
Berkata
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
الجمع
بين
الصلاتين
في
السفر
في
وقت
إحداهما
جائز
في
قول
أكثر
أهل
العلم
لا
فرق
بين
كونه
نازلا
أو
سائرا.
“Menjamak dua shalat dalam perjalanan, pada waktu salah satu dari dua shalat itu, adalah
boleh menurut mayoritas para ulama, sama saja baik ketika dalam perjalanannya
atau ketika turun (berhenti).”
(Fiqhus Sunnah, 1/289)
Ada pun berapa jaraknya, sama dengan jaraknya
Qashar. Jika safar sudah dibolehkan Qashar maka dia juga dibolehkan jamak. Sebenarnya
masyaqqat (kepayahan, kesempitan, kesulitan) yang membuat dibolehkannya
jamak, bukan hanya perjalanan, melainkan juga hujan, sakit, dan keperluan
yang mendesak. Inilah barang kali yang disangka "Kok tidak safar,
shalatnya dijamak?" Karena memang menjamak itu bukan hanya karena
safar!.
>> Jamak ketika hujan
Berkata
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
روى
الاثرم
في
سننه
عن
أبي
سلمة
ابن
عبد
الرحمن
أنه
قال: من
السنة
إذا
كان
يوم
مطير
أن
يجمع
بين
المغرب
والعشاء. وروى
البخاري
أن
النبي
صلى
الله
عليه
وسلم
جمع
بين
المغرب
والعشاء
في
ليلة
مطيرة.
“Al Atsram meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari Abu Salamah
bin Abdurrahman, bahwa dia berkata: “Termasuk sunah jika turun hujan menjamak
antara Maghrib dan Isya’.” Bukhari telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menjamak antara maghrib dan isya’ pada malam hujan.” (Ibid, 1/290)
>> Jamak ketika Sakit
Berkata
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
الجمع
بسبب
المرض
أو
العذر: ذهب
الامام
أحمد
والقاضي
حسين
والخطابي
والمتولي
من
الشافعية
إلى
جواز
الجمع
تقديما
وتأخيرا
بعذر
المرض
لان
المشقة
فيه
أشد
من
المطر. قال
النووي: وهو
قوي
في
الدليل.
Menjamak
Shalat lantaran sakit atau udzur, menurut Imam Ahmad, Al Qadhi Husein, Al
Khathabi, dan Mutawalli dari golongan Syafi’iyyah, adalah boleh baik secara
taqdim atau ta’khir, sebab kesulitan lantaran sakit adalah lebih berat
dibanding hujan. Berkata Imam An Nawawi: “Dan Alasan hal itu kuat.”
(Ibid, 1/ 291)
>> Jamak karena adanya keperluan
(kesibukan)
Berkata
Imam An Nawawi Rahimahullah:
وَذَهَبَ
جَمَاعَةٌ
مِنْ
الْأَئِمَّة
إِلَى
جَوَاز
الْجَمْع
فِي
الْحَضَر
لِلْحَاجَةِ
لِمَنْ
لَا
يَتَّخِذهُ
عَادَة
، وَهُوَ
قَوْل
اِبْن
سِيرِينَ
وَأَشْهَب
مِنْ
أَصْحَاب
مَالِك
، وَحَكَاهُ
الْخَطَّابِيُّ
عَنْ
الْقَفَّال
وَالشَّاشِيّ
الْكَبِير
مِنْ
أَصْحَاب
الشَّافِعِيّ
عَنْ
أَبِي
إِسْحَاق
الْمَرْوَزِيِّ
عَنْ
جَمَاعَة
مِنْ
أَصْحَاب
الْحَدِيث
، وَاخْتَارَهُ
اِبْن
الْمُنْذِر
وَيُؤَيِّدهُ
ظَاهِر
قَوْل
اِبْن
عَبَّاس : أَرَادَ
أَلَّا
يُحْرِج
أُمَّته
، فَلَمْ
يُعَلِّلهُ
بِمَرَضٍ
وَلَا
غَيْره
وَاللَّهُ
أَعْلَم .
“Sekelompok para imam, membolehkan jamak ketika tidak
bepergian apabila ia memiliki keperluan, namun hal itu tidak dijadikan
sebagai kebiasaan. Demikianlah pendapat dari Ibnu Sirin, Asyhab dari golongan
Malikiyah. Al Khathabi menceritakan dari Al Qaffal dan Asy Syasyil kabir dari
madzhab Syafi’i, dari Abu Ishaq al Marwazi dan dari jamaah ahli hadits.
Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir, yang didukung oleh zhahir
ucapan Ibnu Abbas, bahwa yang dikehendaki dari jamak adalah ‘agar umatnya
keluar dari kesulitan.’ Karena itu, tidak jelaskan alasan jamak, apakah
karena sakit atau yang lainnya. Wallahu A’lam.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/219)
Hal ini berdasarkan riwayat berikut, dan inilah hadits yang yang dijadikan hujjah
oleh Imam An Nawawi di atas.
عَنْ
ابْنِ
عَبَّاسٍ
قَالَ
جَمَعَ
رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
بَيْنَ
الظُّهْرِ
وَالْعَصْرِ
وَالْمَغْرِبِ
وَالْعِشَاءِ
بِالْمَدِينَةِ
فِي
غَيْرِ
خَوْفٍ
وَلَا
مَطَرٍ
Dari Ibnu
Abbas, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menjamak
antara zhuhur dan ashar, maghrib dan isya di Madinah, pada hari saat tidak
ketakutan dan tidak hujan.” (HR. Muslim No. 70)
Imam Ibnu
Taimiyah Rahimahullah berkata:
وأوسع
المذاهب
في
الجمع
مذهب
أحمد
فإنه
جوز
الجمع
إذا
كان
شغل
كما
روى
النسائي
ذلك
مرفوعا
إلى
النبي
صلى
الله
عليه
وسلم
إلى
أن
قال: يجوز
الجمع
أيضا
للطباخ
والخباز
ونحوهما
ممن
يخشى
فساد
ماله.
“Madzhab
yang paling luas dalam masalah jamak adalah madzhab Imam Ahmad, dia
membolehkan jamak karena kesibukkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam
An Nasa’i secara marfu’ (sampai) kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, sampai-sampai dibolehkan jamak juga bagi juru masak dan pembuat roti
dan semisalnya, dan juga orang yang ketakutan hartanya menjadi rusak.” (Al Fatawa Al Kubra, 5/350)
>> Menjamak Karena Sedang Proses Menuntut
Ilmu
Bahkan dibolehkan pula menjamak, karena sedang
menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu. Ini berdasarkan riwayat Imam Muslim
berikut:
عَنْ
عَبْدِ
اللَّهِ
بْنِ
شَقِيقٍ
قَالَ
خَطَبَنَا
ابْنُ
عَبَّاسٍ
يَوْمًا
بَعْدَ
الْعَصْرِ
حَتَّى
غَرَبَتْ
الشَّمْسُ
وَبَدَتْ
النُّجُومُ
وَجَعَلَ
النَّاسُ
يَقُولُونَ
الصَّلَاةَ
الصَّلَاةَ
قَالَ
فَجَاءَهُ
رَجُلٌ
مِنْ
بَنِي
تَمِيمٍ
لَا
يَفْتُرُ
وَلَا
يَنْثَنِي
الصَّلَاةَ
الصَّلَاةَ
فَقَالَ
ابْنُ
عَبَّاسٍ
أَتُعَلِّمُنِي
بِالسُّنَّةِ
لَا
أُمَّ
لَكَ
ثُمَّ
قَالَ
رَأَيْتُ
رَسُولَ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
جَمَعَ
بَيْنَ
الظُّهْرِ
وَالْعَصْرِ
وَالْمَغْرِبِ
وَالْعِشَاءِ
قَالَ
عَبْدُ
اللَّهِ
بْنُ
شَقِيقٍ
فَحَاكَ
فِي
صَدْرِي
مِنْ
ذَلِكَ
شَيْءٌ
فَأَتَيْتُ
أَبَا
هُرَيْرَةَ
فَسَأَلْتُهُ
فَصَدَّقَ
مَقَالَتَهُ
Dari
Abdullah bin Syaqiq, dia berkata: Ibnu Abbas berkhutbah kepada kami, pada
hari setelah ‘ashar sampai matahari terbenam, hingga nampak bintang-bintang,
sehingga manusia berteriak: “shalat .. shalat ..!” Lalu datang laki-laki dari
Bani Tamim yang tidak hentinya berteriak: shalat.. shalat!. Maka Ibnu Abbas
berkata: “Apa-apaan kamu, apakah kamu hendak mengajari saya sunah?”, lalu dia
berkata: “Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam
menjamak antara zhuhur dan ashar, serta maghrib dan isya.” Berkata Abdullah
bin Syaqiq: “Masih terngiang dalam dada saya hal itu, maka aku datang kepada
Abu Hurairah, aku tanyakan dia tentang hal itu, dia membenarkan keterangan
Ibnu ‘Abbas tersebut.” (HR.
Muslim No. 705)
Kedua.
Qashar (meringkas shalat)
Adapun Qashar, alasannya sedikit berbeda dengan
jamak, kalau jamak bisa banyak alasan yang penting adanya masyaqqat.
Sedangkan kalau qashar karena bepergian. Ini sesuai ayat:
Allah Ta’ala berfirman: “Apabila kamu bepergian di permukaan bumi,
maka tidak ada salahnya bila kamu mengqshar shalat ...” (QS. An Nisa’:
101)
Imam Ibnul Mundzir dan lainnya menyebutkan bahwa
ada dua puluh pendapat lebih tentang jarak dibolehkannya qashar. Perbedaan ini terjadi menurut mereka karena
memang tak ada satupun hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa
Sallam yang menyebutkan jarak. Berkata Syaikh
Sayyid Sabiq Rahimahullah, Tidak ada sebuah hadits pun yang
menyebutkan jarak jauh atau dekatnya bepergian itu. ( Fiqhus Sunnah, 1/239)
Namun, di antara hadits-hadits tersebut ada yang
paling kuat -di antara yang lemah- yang menyebutkan jarak, yakni: Yahya bin Yazid bertanya kepada Anas bin
Malik mengenai mengqashar shalat. Ia menjawab, Rasulullah mengerjakan shalat
dua rakaat (qashar) jika sudah berjalan sejauh tiga mil atau satu farsakh.
(HR. Muslim no. 1116)
Satu farsakh adalah 5.541 Meter, satu mil adalah
1.748 meter. Bahkan Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang
shahih, dari Ibnu Umar yang menyebutkan bahwa jarak minimal mengqashar shalat
adalah satu mil!
Jika
kurang dari itu maka tidak boleh qashar. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh
Imam Ibnu Hazm.
Namun, jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa
jarak dibolehkannya qashar adalah empat burd yakni 16 farsakh (88,656 Km).
Inilah pandangan Imam Malik, Imam Asy Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal, dan
pengikut ketiga imam ini. Alasannya adalah perbuatan sahabat, yakni Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengqashar shalat
dan berbuka puasa jika jarak tempuh sudah empat burd (16 farsakh = 88,656
Km).
Nah, bagaimanakah yang benar melihat berbagai
riwayat yang saling bertentangan ini?
Imam Abul Qasim Al Kharqi memberikan jawaban di
dalam kitab Al Mughni, Aku tidak menemukan alasan (yang bisa diterima) yang
dikemukan oleh para imam itu. Sebab, keterangan dari para sahabat Nabi juga
saling bertentangan sehingga tidak dapat dijadikan dalil. Telah diriwayatkan
dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berbeda dengan dalil yang
digunakan oleh kawan-kawan kami (para ulama).
Kemudian, seandainya belum ditemukan dalil yang kuat, maka ucapan
mereka (para sahabat) tidak bisa dijadikan dalil jika bertentangan dengan
sabda dan perilaku Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dengan demikian
ukuran jarak yang mereka tetapkan tidaklah bisa diterima, disebabkan dua hal
berikut:
Pertama, bertentangan dengan sunah Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana yang telah dijelaskan.
Kedua, teks ayat firman Allah Taala yang
membolehkan qashar shalat bagi orang yang dalam perjalanan: Apabila kamu bepergian di permukaan bumi,
maka tidak ada salahnya bila kamu mengqshar shalat ... (QS. An Nisa: 101)
Syarat karena adanya rasa takut dengan orang
kafir ketika bepergian, sudah dihapuskan dengan keterangan hadits Yala bin
Umayyah. Dengan demikian, teks ayat ini bermakna mencakupi seluruh macam jenis
bepergian. (Fiqhus Sunnah, 1/240)
>> Kesimpulannya, qashar dapat dilakukan
jika:
1.) sudah keluar dari daerahnya,
2.) lalu dengan jarak yang sudah layak, patut,
dan pantas disebut sebagai perjalanan (safar). Mengingat dalil-dalil yang ada
satu sama lain saling bertentangan. Inilah pandangan para Imam Muhaqiqin
(peneliti) seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Asy Syaukani,
Asy Syaikh Sayyid Sabiq, juga Ustadz Ahmad Hasan dan lainnya.
3.)
Perjalanannya bukan perjalanan maksiat.
Ada pun pandangan jumhur ulama dan ini jarak
paling aman adalah 4 burud seperti yang sudah disampaikan di atas. Sekitar
88, 656km.
>> Tenggang Waktu Dibolehkannya Qashar
Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat.
Namun, kita akan lihat dalil yang kuat yang dilakukan Rasulullah dan para
sahabat, dan itulah pandangan yang seharusnya kita pilih.
Dalam Musnadnya Imam Ahmad meriwayatkan dari
Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallami bermukim di Tabuk selama dua
puluh hari dan beliau senantiasa mengqashar shalatnya. (HR. Ahmad No. 13625, Abu Daud No. 1046.
Shahih)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bermukim dalam salah satu perjalanan selama sembilan belas
hari dan selalu mengerjakan shalat dua rakaat.” (HR. Al Bukhari No. 1018)
Hafsh bin Ubaidillah mengatakan bahwa Anas bin
Malik bermukim di Syam selama dua tahun dan terus mengerjakan qashar
sebagaimana shalatnya musafir. Menurut Anas bin Malik, para sahabat Nabi
bermukim di daerah Ramhurmuz selama tujuh bulan dan tetap mengqashar shalat.
Berkata Al Hasan, “Aku pernah bermukim bersama
Adurrahman bin Samurah di kota Kabul selama dua tahun, dan dia terus
mengqashar shalatnya.”
Ibrahim juga pernah mengatakan bahwa para sahabat
pernah bermukim di Ray selama satu tahun atau lebih dan di Sijistan selama
dua tahun, tetap mengqashar shalat.
Ibnu Umar
pernah tinggal di Azarbaijan selama enam bulan dan tetap mengqahar
sebab terhalang oleh salju.
Adapun pendapat para Imam, seperti Imam Said bin
al Musayyib, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, yang membatasi paling
lama adalah empat hari, tidak memiliki dasar yang kuat. Begitu pula pendapat
Imam Abu Hanifah yang menyebutkan lima belas
hari saja, dan ikuti oleh Imam Laits bin Sa'ad.
Berkata Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah tentang
bermukimnya Nabi selama dua puluh hari di Tabuk, bahwa hal tersebut kebetulan
saja, artinya jika masa perang Tabuk lebih panjang dari itu, ia akan tetap
mengqasharnya. Katanya, “Bermukim (singgah) dalam bepergian tidak dapat
dianggap sudah keluar dari hukum bepergian, baik singgahnya lama atau
sebentar, dengan syarat ia tidak bermaksud menetap di sana sebagai
penduduk.”
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq, “Seorang musafir itu
boleh terus mengqashar shalatnya selama ia masih dalam bepergian. Jika ia
bermukim (singgah) karena ada keperluan yang harus diselesaikannya, ia tetap
boleh mengqashar sebab masih terhitung dalam bepergian, walau bermukimnya
selama bertahun-tahun lamanya.”
Imam Ibnul Mundzir berkata dalam penelitiannya
bahwa para ulama ijma’ (sepakat) bahwa seorang musafir diperbolehkan tetap
qashar selama ia tidak bermaksud akan terus menetap di suatu tempat, walau
singgahnya itu selama bertahun-tahun.
(Fiqhus Sunnah, 1/243)
Inilah pandangan yang sangat kuat berdasarkan
dalil yang kuat pula, baik perilaku Rasulullah dan para sahabat, beserta pemikiran yang cerdas dari para
ulama peneliti seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnul
Mundzir, Syaikh Sayyid Sabiq,dan lain-lain.
Jadi, selama kita tidak berniat mukim, maka
selama itu pula kita tetap disebut orang yang musafir, walau Anda pernah
singgah dahulu dalam waktu cukup lama.Tapi, ada baiknya, jika kondisi
masyarakat tidak memungkinkan, khawatir ada fitnah (omongan yang bukan-bukan)
karena mereka tidak berpendapat seperti para Imam ini, ada baiknya Anda
mengalah, untuk tetap shalat sempurna. Kadang-kadang kita harus ‘mengalah’
tidak melakukan apa yang kita yakini, demi menghindar keributan, kecuali Anda
tinggal di tempat yang umat Islam-nya mampu menjaga adab Ikhtilaf.
CATATAN TAMBAHAN:
# Berapa lamakah interval waktu dibolehkannya
jamak dan qashar?
Hal ini tergantung keadaan safarnya. Seseorang
safar tidak lepas dari tiga keadaan.
1) Safar dengan
tujuan menetap di suatu daerah atau negeri. Menetap maksudnya menjadi
penduduk tetap dengan dibuktikan kepemilikan ID card negeri tersebut,
baik KTP atau KK. Maka, kebolehannya hanya ketika safar saja. Sesampainya di
tempat tujuan maka sudah tidak ada rukhshah/keringanan tersebut, kecuali
kembali dia menjalani safar di waktu lain atau dia mengalami berbagai
masyaqqat (kesulitan) di sana, maka kembali berlaku hukum jamak, seperti
hujan lebat, sakit, takut kepada musuh, bencana alam, dan semisalnya.
2) Safar dengan
niat untuk singgah, maka ini ada dua macam:
~ Singgah dengan waktu yang belum jelas, seperti
peperangan, berobat, dan semisalnya, yang waktu selesainya tidak bisa
dipastikan. Maka, selama itu pula dia boleh menjamak dan qashar. Sebab
statusnya tetap seorang yang safar. Dahulu Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
mengqashar 20 hari ketika perang Tabuk. Para sahabat ada yang mengqashar dua
tahun, setahun, enam bulan, karena mereka tidak berniat menjadi penduduk
tetap dan tidak jelas kapan pulangnya, seperti yang sudah kami jelaskan di atas.
~ Singgahnya sudah diketahui lamanya dan kapan pulangnya,
seperti dinas kantor, ziarah ke rumah saudara, dan semisalnya. Maka, ini
dibatasi. Secara ringkas, dalam madzhab Hanafi durasinya adalah 14 hari,
selebihnya tidak boleh. Madzhab Syafi'iyah dan Malikiyah tiga hari selebihnya
tidak boleh. Sedangkan Hanabilah (Hambaliyah) adalah empat hari, selebihnya
tidak boleh.
Demikian.
Wallahu a'lam.
✏
Farid Nu'man Hasan
🌏 Join Telegram: bit.ly/1Tu7OaC
|
14
|
G2
Assalamualaikum. Saya pernah mendengar seorang
kawan berkata, katanya bila berdagang harus satu akad, misalnya kalo kita
bertransaksi dengan teman, jual barang bila mau cash harganya 50 ribu bila
mau kredit jadi 70rb, dan itu tidak boleh katanya. Apa betul?
Jawab (Ustadz
Ashari): Wassalamu'alaikum, barangkali yang maksudkan adalah satu produk
dengan beberapa akad misalnya produk ini kalau cash 30 kalau credits 50
ribu. Ini yang tidak boleh. Jadi harus
satu cash atau credit . Tidak boleh berubah di perjalanan.
|
15
|
G1
Assalamualaikum ustadz/ah, apakah benar bahwa
setiap malam jumat orang yang telah meninggal
pulang dan minta dibacakan surat yasin? jazakumullah khairan.
Jawab-1 (Ustadzah
Pipit): Wa'alaikumussalam. Secara kasat mata
mayit sudah tidak bisa meminta apapun pada yang masih hidup krn terpisah
alam. Tapi secara ruhiyah, mayit memang membutuhkan doa-jariyah harta-ilmu yang
manfaat sebagai jariyah yang terus mengalir pahalanya bahkan sampai mereka
meninggal. Mendoakan keluarga dan saudara-saudara muslim yang telah meninggal
itu adalah tuntunan Al Qur'an :
"ROBBANAGHFIRLANAA
WALI IKHWAANINAL LADZIINA SABAQUUNA BIL IIMAAN,WALAA TAJ’AL FII QULUUBINAA
GHILLAN LILLADZIINA AAMANUU,ROBBANAA INNAKA RA’UUFUR ROHIIM." (Surat Al
-Hasyar Ayat 10 )
Artinya: Ya
Allah,ampunilah dosa kami dan dosa orang – orang beriman yang telah
mendahului kami dan janganlah ENGKAU jadikan ada perasaan dengki di dalam
hati kami terhadap orang – orang yg beriman.Ya Allah sesungguhnya ENGKAU maha
pengasih dan penyayang.
Pemilihan malam jum'at kemungkinan karena hari
jum'at adalah sayyidul ayyaum (penghulu/pemimpin hari). Surah Yaasin sendiri
dikenal sebagai surah untuk menghapus dosa (Tafsir Ibn Katsir). Lengkapnya
bisa dilihat di Youtube : "Ustadz Abdul Shomad Bahas Surah Yasin"
Jadi mendoakan keluarga dengan surah Yaasin pada
malam jum'at itu tidak salah. Akan lebih baik lagi jika dilakukan pada malam2
lainnya apalagi setiap hari.
Jawab-2 (Ustadzah
Fitrianingsih): Wa'alaikumussalam. Tidak benar, tidak ada nash yang
terkait tentang hal tersebut.
Firman Allah Jalla wa ‘Alaa.
أَلَّا
تَزِرُ
وَازِرَةٌ
وِزْرَ
أُخْرَىٰ﴿٣٨﴾وَأَنْ
لَيْسَ
لِلْإِنْسَانِ
إِلَّا
مَا
سَعَىٰ
“Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain. Dan bahwasanya manusia tidak akan memperoleh (kebaikan) kecuali apa
yang telah ia usahakan” [An-Najm/53 : 38-39]
Berkata Al-Hafidz Ibnu Katsir di dalam
menafsirkan ayat di atas. “Yaitu, sebagaimana
seseorang tidak akan memikul dosa orang lain demikian juga seorang tidak akan
memperoleh ganjaran (pahala) kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk
dirinya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini Al-Imam Asy-Syafi’iy bersama
para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan hukum : Bahwa bacaan Qur’an
tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati. Karena
bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk
menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati) dan tidak juga
pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka baik dengan
nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat
(sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada). Dan tidak pernah dinukil dari
seorangpun shahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan Qur’an kepada orang
yang telah mati). Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentu para shahabat
telah mendahului kita mengamalkannya [1]. Dan dalam masalah peribadatan hanya
terbatas pada dalil tidak boleh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu
(pikiran)” [2]
Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Tidak menjadi kebiasaan salaf, apabila mereka
shalat sunnat atau puasa sunnat atau haji sunnat atau mereka membaca Qur’an
lalu mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati dari
kaum muslimin. Maka tidaklah boleh berpaling (menyalahi) perjalanan salaf.
Karena sesungguhnya kaum salaf itu lebih utama dan lebih sempurna” [Dari
Kitab Al-Ikhtiyaaraat Ilmiyyah]
Keterangan di atas menunjukkan kepada kita bahwa
bacaan Al-Qur’an bukan untuk orang yang telah mati akan tetapi untuk orang
yang hidup. Membaca Qur’an untuk orang yang telah mati hatta untuk orang tua
dan menghadiahkan pahala bacaan tersebut kepada mereka, adalah perbuatan yang
sama sekali tidak berdalil bahkan menyalahi Al-Qur’an sendiri dan Sunnah dan
perbuatan para shahabat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Katsir
yang mengambil dari Al-Imam Asy-Syafi’iy yang dengan tegas mengatakan bahwa
bacaan Qur’an tidak akan sampai kepada orang yang telah mati. Demikian juga
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa perbuatan tersebut tidak
pernah diamalkan oleh kaum salaf. Dari sini kita mengetahui, bahwa membaca
Qur’an untuk orang yang telah mati tidak pernah terjadi di zaman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau ada, tentulah para shahabat yang pertama
mengamalkannya sebelum orang lain. Kemudian amalan itu akan dinukil oleh
tabi’in dan tabi’ut tabi’in termasuk Syafi’iy di dalamnya yang beritanya akan
mencapai derajat mutawatir atau sekurang-kurangnya masyhur. Kenyataan yang
ada sebaliknya, mereka sama sekali tidak pernah mengamalkannya sedikitpun.
Jawab-3 (Ustadzah
Fina): Kalo kata Ibnu Taimiyah semua amalan baik bisa sampai pada orang
yang meninggal (tidak terbatas puasa,haji).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan,
“Bagaimana dengan orang yang membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an,
apakah lebih utama dia menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya
dan kaum muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut untuk
dirinya sendiri?”
Beliau rahimahullah menjawab:
Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki
petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam
khutbahnya,
خَيْرُ
الْكَلَامِ
كَلَامُ
اللَّهِ
وَخَيْرُ
الْهَدْيِ
هَدْيُ
مُحَمَّدٍ
وَشَرُّ
الْأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ
بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ
”Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah
sesat.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
خَيْرُ
الْقُرُونِ
قَرْنِي
ثُمَّ
الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi
setelah mereka.”
Ibnu Mas’ud mengatakan,
مَنْ
كَانَ
مِنْكُمْ
مُسْتَنًّا
فَلْيَسْتَنَّ
بِمَنْ
قَدْ
مَاتَ
؛ فَإِنَّ
الْحَيَّ
لَا
تُؤْمَنُ
عَلَيْهِ
الْفِتْنَةُ
أُولَئِكَ
أَصْحَابُ
مُحَمَّدٍ
“Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk,
maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang
masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para
sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”
Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di
atas, maka perkara yang telah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi
utama umat ini (yaitu di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya
mereka beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik
dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau
membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. Mereka pun selalu mendoakan
mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati dalam shalat
jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh
Allah. Telah diriwayatkan pula dari sekelompok ulama salaf mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang
mustajab. Apabila seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua
orang tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini
adalah ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam
dan tempat-tempat mustajab lainnya.
Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
sedekah pada mayit dan memerintahkan pula untuk menunaikan utang puasa si
mayit. Jadi, sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula terdapat
ajaran dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.
Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan
mengirimkan pahala ibadah maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam
sedekah) dan ibadah badaniyah kepada kaum muslimin yang sudah mati.
Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian
ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan pahala puasa,
shalat atau pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut mereka.
Namun, mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa yang
disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.
Oleh karena itu, tidak kita temui pada kebiasaan
para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al
Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin yang
sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum muslimin. Bahkan
kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang disyari’atkan yang telah
disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh melampaui jalan
hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama dan lebih sempurna dalam
beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah–
Tapi yang dibaca akan lebih baik semua ayat
Al-Qur'an..tidak terbatas surat Yasin saja..agar ayat yang lain tidak merasa
iri. Lebih baik lagi dibaca setiap hari..tidak membaca Qur'an khusus malam
Jum'at saja. Pengetahuan yang begini agar tidak mudah menyalahkan tapi juga
tidak membuat orang mengkultuskan ritual tertentu yang tidak ada tuntunannya,
kembali ke niat.
Bahwa apa yang dilakukan oleh anak keturunan itu
bisa dilihat oleh orang tua di alam kubur. Ketika amal anaknya baik dst maka
mereka bahagia..begitu pula sebaliknya..ketika berbuat maksiat maka mereka juga
bersedih. Allahu a'lam.
|
16
|
Akhwat
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya
ingin bertanya, bagaimana cara kita menyikapi orang yang Ketika kita berbuat
salah dan sudah meminta maaf, tetapi orang tersebut tetap berbicara kasar dan
akibatnya membuat kita sakit hati ataupun menyikapi orang yang kesehariannya
sering berbicara kasar/kotor. Terimakasih, Wassalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Jawab (Ustadzah
Fina): Untuk yang pertama bahwa ketika kita berbuat salah maka kita harus
bertaubat. Imam Nawawi menjelaskan bahwa, "Para ulama berkata,
"Bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib jika maksiat (dosa)
itu antara hamba dengan Allah Subhana wata'ala.
Yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia
maka syaratnya ada 3:
1. Hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut
2. Ia harus menyesali perbuatan maksiatnya
3. Ia harus berkeinginan untuk tidak
mengulanginya lagi
Jika salah satunya hilang maka taubatnya tidak sah.
Jika taubatnya ini berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada 4. Ketiga
syarat diatas dan yang ke-4 adalah hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi)
hak orang tersebut. Jika berbentuk benda atau sejenisnya maka ia harus
mengembalikannya. Jika berupa (hukuman) tuduhan atau sejenisnya maka ia harus
memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta maaf kepadanya. Termasuk
pula ketika kita menghibah dia.
Maka ketika kita meminta maaf itu adalah bentuk
kewajiban dalam rangka istihlal (menghalalkan) dosa kita kepada beliau..ketika maafnya diterima maka
bersyukur alhamdulillaah, namun ketika yang bersangkutan belum memberikan
maafnya maka tidak mengapa, ini adalah ujian untuk kita dan menjadi ladang
pahala yang luar biasa. Bisa jadi yang seperti ini menjadi sarana penghapus
dosa2 kita asalkan kita bersabar dan memberikan sikap yang terbaik. Tidak
perlu membalas dengan perlakuan yang serupa, terus perbanyak taubat dan
istighfar, sebut kebaikan orang tersebut dihadapan orang lain dan perbanyak
doa untuk orang tersebut. Semoga Allah berkenan mengampuni dosa-dosa kita
kepadanya dan Allah membukakan serta melembutkan hatinya. Wallahu a'lam
bisshowab.
|
17
|
G4
Assalamualaikum. Ijin bertanya. Sekarang ini banyak
penjualan produk yang basisnya MLM. Bagaimana hukum MLM di syariat islam dan MLM
bagaimanakah yang hukumnya haram?
Jawab (Ustadz
Ashari): MLM syariah boleh MUI sudah mengeluarkan fatwa. Syarat agar MLM
menjadi syari’ah:
1.) Produk yang dipasarkan harus halal, thayyib
(berkualitas) dan menjauhi syubhat (Syubhat adalah sesuatu yang masih
meragukan).
2.) Sistem akadnya harus memenuhi kaedah dan
rukun jual beli sebagaimana yang terdapat dalam hukum Islam (fikih muamalah)
3.) Operasional, kebijakan, corporate culture,
maupun sistem akuntansinya harus sesuai syari’ah.
4.) Tidak ada excessive mark up harga barang
(harga barang di mark up sampai dua kali lipat), sehingga anggota terzalimi
dengan harga yang amat mahal, tidak sepadan dengan kualitas dan manfaat yang
diperoleh.
5.) Struktur manajemennya memiliki Dewan Pengawas
Syari’ah (DPS) yang terdiri dari para ulama yang memahami masalah ekonomi.
6.) Formula intensif harus adil, tidak menzalimi
down line dan tidak menempatkan up line hanya menerima pasif income tanpa
bekerja, up line tidak boleh menerima income dari hasil jerih payah down
linenya.
7.) Pembagian bonus harus mencerminkan usaha
masing-masing anggota.
8.) Tidak ada eksploitasi dalam aturan pembagian
bonus antara orang yang awal menjadi anggota dengan yang akhir
9.) Bonus yang diberikan harus jelas angka
nisbahnya sejak awal.
10.) Tidak menitik beratkan barang-barang tertier
ketika ummat masih bergelut dengan pemenuhan kebutuhan primer.
11.) Cara penghargaan kepada mereka yang
berprestasi tidak boleh mencerminkan sikap hura-hura dan pesta pora, karena
sikap itu tidak syari’ah. Praktik ini banyak terjadi pada sejumlah perusahaan
MLM.
12.) Perusahaan MLM harus berorientasi pada
kemaslahatan ekonomi Ummat
|
18
|
G5
Izin bertanya ustadz/ustadzah. Apa hukumnya
filsafat Islam?
Jawab-1 (Ustadzah
Pipit): Selama tidak ada pelanggaran
terhadap syariat maka seperti hukum dasar Muamalah = Mubah. Wallahu 'alam
bishawab
Jawab-2 (Ustadz
Farid Nu'man): Bismillahirrahmanirrahim . Filsafat jika sebatas
metodologi berpikir, tapi hal itu sudah terlanjur diistilahkan
"filsafat" .. maka Islam sudah punya yaitu manhaj-paradigma/konsep.
Zaman dahulu cakupan filsafat itu luas;
seperti matematika, IPA, oleh Imam Al
Ghazaliy juga dimasukan dalam filsafat, dan ini filsafat yang mubah.
Filsafat yang diharamkan para ulama adalah
filsafat metafisika, di mana Allah menjadi objek yang tergugat oleh akal
manusia, memikirkan zatNya, eksistensi dan perbuatanNya, .. sehigga Allah
menjadi terdakwa akal manusia .. Disinilah Imam Al Kasani, Imam Ibnu Qudamah,
mengatakan kafirnya para filsuf .., dengan tingkat kekafiran lebih rusak
dibanding Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) menurut mereka, sebab Ahli Kitab
masih percaya kepada para nabi dan rasul secara umum -kecuali Nabi Muhammad
Shalallahu'Alaihi wa Sallam yang mereka tidak mau percaya-, sedangkan filsuf
menuduh kenabian adalah posisi yang bisa diikhtiarkan, bukan dipilih oleh
Allah untuk manusia.
Para ulama Islam ada yang tegas mengharamkan
semua bentuk filsafat, didasari semangat melindungi kemurnian Islam, seperti
Imam Ibnu Taimiyah, Imam An Nawawi, dll. Sebagian lain membolehkan sebagian
filsafat tapi mengharamkan yang lain seperti Imam Al Ghazaliy, Imam Ibnu
Rusyd, dll.
Wallahu a'lam
|
19
|
G4
Assalamu'alaikum ijin bertanya bisnis Brilink apa
termasuk Riba? Dan kalo kerja di konsultan pajak itu riba ga ya?
Jawab (U
Syaikul): Waalaikumussalam wrwb. Brilink menggunakan fasilitas bank
konvensional ribawi, maka selayaknya dihindari. Solusinya pakailah BRI
syariah link. Adapun pajak, ada khilafiyah ulama, ada yang mengharamkan
mutlak ada yang tidak mengharamkan dengan syarat tidak zholim.
Kedua kelompok ulama memakai hadits yang sama,
namun menafsirkan berbeda apa yang dimaksud "al muksu" dalam
hadits.
Yang lebih kuat tampaknya adalah yg mengharamkan
bila zholim. Atau bahasa lainnya upeti bukan pajak. Karena itu, pajak yang
diputuskan melalui musyawarah perwakilan rakyat, dan secara umum digunakan
untuk kepentingan rakyat hukumnya boleh. Konsultan pajak pun boleh.
https://youtu.be/otXrxakeXmY
mangga disimak. pendek saja. semoga menambah
khasanah wawasan kita.
|
20
|
G1
Apa hukumnya bersentuhan dengan non muslim?
Apakah membatalkan wudhu?
Jawab (Ustadz
Endang): Bismillah. Sepertinya bersentuhan dengan non muslim tidak disebutkan
dalam fiqih thoharoh apakah membatalkan wudhu atau tidak. Namun saya sendiri
berkeyakinan jika teman non muslim ini dalam keadaan bersih secara zhohir tidak
lah membatalkan wudhu,
Catatan:
Teman yang di maksud sesama laki-laki dan sesama
perempuan. Sebagai tambahan berikut daftar hal-hal yang membatalkan wudhu,
sentuhan kulit secara langsung antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram,
termasuk masalah yang dipermasalahkan para ulama. Sebagian mengatakan bahwa
sentuhan itu membatalkan wudhu` dan sebagian mengatakan tidak.
Sebab perbedaan pendapat mereka didasarkan pada
penafsiran ayat Al-Quran yaitu:
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam
keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika
kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik; sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa: 23)
a. Pendapat yang Membatalkan
Sebagian ulama mengartikan kata MENYENTUH sebagai
kiasan yang maksudnya adalah jima` (hubungan seksual). Sehingga bila hanya
sekedar bersentuhan kulit, tidak membatalkan wuhu`.
Ulama kalangan As-Syafi`iyah cenderung
mengartikan kata MENYENTUH secara harfiyah, sehingga menurut mereka sentuhan
kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan wudhu`.
Menurut mereka, bila ada kata yang mengandung dua
makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang harus didahulukan
adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan perlunya
menggunakan penafsiran secara kiasan.
Dan Imam Asy-Syafi`i nampaknya tidak menerima
hadits Ma`bad bin Nabatah dalam masalah mencium.
Namun bila ditinjau lebih dalam pendapat-pendapat
di kalangan ulama Syafi`iyah, maka kita juga menemukan beberapa perbedaan.
Misalnya, sebagian mereka mengatakan bahwa yang batal wudhu`nya adalah yang
sengaja menyentuh, sedangkan yang tersentuh tapi tidak sengaja menyentuh,
maka tidak batal wudhu`nya.
Juga ada pendapat yang membedakan antara sentuhan
dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan (suami istri). Menurut sebagian
mereka, bila sentuhan itu antara suami istri tidak membatalkan wudhu`.
2. Pendapat yang Tidak Membatalkan
Dan sebagian ulama lainnya lagi memaknainya
secara harfiyah, sehingga menyentuh atau bersentuhan kulit dalam arti pisik
adalah termasuk hal yang membatalkan wudhu`. Pendapat ini didukung oleh
Al-Hanafiyah dan juga semua salaf dari kalangan shahabat.
Sedangkan Al-Malikiyah dan jumhur pendukungnya
mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan itu dibarengi dengan syahwat
(lazzah), maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu`.
Pendapat mereka dikuatkan dengan adanya hadits
yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah menyentuh para
istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu` lagi.
Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah
ra. dari Nabi SAW bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian istrinya kemudian
keluar untuk shalat tanpa berwudhu`”. Lalu ditanya kepada Aisyah,”Siapakah
istri yang dimaksud kecuali anda?” Lalu Aisyah tertawa. (HR. Turmuzi Abu
Daud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).
|
21
|
G2
Saya pernah mendengar jika kita menyuguhi makan
seseorang atau sekelompok orang, maka selama orang itu kenyang dengan makanan
yang kita suguhi kemudian beribadah, maka kita akan mendapatkan pahala
ibadahnya tanpa mengurangi pahala orang tersebut, apakah itu benar? Bagaimana
jika kita menyuguhi makan seseorang kemudian dia berbuat dosa, apakah kita
dapat bagian dosanya juga?
Jawab (Ustadz
Dodi): Statement pertama benar dan statement kedua tidak berlaku.
|
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Kita tutup dengan membacakan
hamdalah..
Alhamdulillahirabbil'aalamiin
Doa Kafaratul Majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا
أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma wabihamdika
asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya Allah,
dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah
melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
Wassalamu'alaikum
warahmatullaahi wabarakaatuh
★★★★★★★★★★★★★★
Badan Pengurus
Harian (BPH) Pusat
Hamba اللَّهِ SWT
Blog:
http://kajianonline-hambaallah.blogspot.com
FanPage : Kajian On
line-Hamba Allah
FB : Kajian On
Line-Hamba Allah
Twitter:
@kajianonline_HA
IG:
@hambaAllah_official
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment