Home » , » TANYA JAWAB (KONSULTASI) SYARIAH & UMUM (TJSU)

TANYA JAWAB (KONSULTASI) SYARIAH & UMUM (TJSU)

Posted by Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT on Friday, October 25, 2019


 
NOTULENSI KONSULTASI SYARI'AH DAN UMUM
Bersama Asatidz dan Asatidzah Hamba اللَّهِ SWT (HA) Online
Kamis, 31 Januari 2019
Pukul 15.00 sd 18.00 WIB
Group Ummi G1-G6 dan Akhwat
PJ : Ummi G3
******************************************

NO
PERTANYAAN & JAWABAN
1
G2
Assalammualaikum. Mau tanya. Kalau kita mau kredit motor biar tidak kena riba, bolehkah kreditnya sama saudara. Maksudnya cicilnya ke saudara.

Jawab (Ustadzah Syaikul): Jual beli kredit halal. Asal  harga tidak berubah setelah akad. Saudara kita beli motor 10 juta dari dealer lalu dia jual ke kita 12 juta cicil 12 bulan. halal. Harga jangan berubah lagi walaupun misalnya cicilan telat

2
G6
Bismillaah. Ada suami istri dengan 1 anak tinggal terpisah beda pulau. Si istri tinggal dengan orang tuanya dan melarang untuk tinggal bersama suaminya yang hidup sederhana. Belum lagi, istri selalu mendengar suaminya dibanding-bandingkan dengan yang berstatus sosial tinggi dan orang tua istri ingin anaknya bekerja karena sudah dibiayai mahal sekolahnya. Apakah salah jika istri memilih ikut suami namun orangtuanya tidak ridho? Terima kasih.

Jawab (U Endang): Bismillah. Setelah menikah, seorang wanita berada dalam tanggung jawab suaminya dan orang tuanya sudah melepas tanggung jawab anak perempuan yang telah dinikahi seorang laki-laki. Dan kewajiban seorang wanita yang bersuami adalah mentaati suaminya, tinggal bersama suaminya dan mengurus anak-anak dirumah tangga bersama suaminya. Dalam keadaan demikian maka tidak boleh orang tua terlibat dan ikut campur urusan rumah tangga anaknya selama rumahtangga tersebut dalam keadaan yang berjalan baik. Merupakan suatu kesalahan besar bagi orangtua, yang melarang anaknya ikut suaminya dengan alasan suaminya orang sederhana. Rumahnya sederhana.  Wajib bagi seorang istri ikut suaminya,  walaupun orang tuanya melarang. Dalam hal ini ketaatan kepada suami harus didahulukan daripada keinginan orangtua. Jika tidak bisa pergi dengan baik-baik dan diizinkan dengan baik-baik dari orangtua, pergilah kepada suaminya dan beritahukan melalui saudara atau keluarga yang lain bahwa ia tinggal bersama dengan suaminya. Kemarahan orang tua dalam hal ini in syaa Allah bukan merupakan masalah yang mengundang marah Allah. Wallahu a'lam.

3
G5
Bila kita ada di suatu tempat atau di kendaraan, kita sholat tidak tahu dimana kiblatnya, apakah sah sholatnya, takutnya habis waktu sholatnya?

Jawab (Ustadz Endang): Bismillah. Sholat dalam kendaraan adalah dengan menghadap kemana kendaraan itu berjalan. Tidak harus mengusahakan ke arah kiblat. Wallahu a'lam

4
G5
Assalamualaikum warohmatullahi wabrokatuh. Izin bertanya ustadz. Apakah boleh berzakat untuk Korban Bencana Alam, seperti Tsunamai, lonhsir, banjir dan lain lain?

Jawab (Ustadz Syaikul): Korban bencana alam yang termasuk kategori fakir miskin maka termasuk mustahik. Boleh berzakat ke mereka. Adapun korban bencana alam yang sebenarnya masih kaya, masih punya rumah di kota lain dan lain-lain, maka bukan mustahik zakat.

5
G1
Asalamualaikum ustadz/ah. Bolehkah kita bermuamalah jual barang/jasa dengan fulan yang pendapatannya murni hasil riba?

Jawab (Ustadz Syaikul): Harap baca link berikut ini agar mendapatkan pemahaman utuh:
https://berkebunsejuk.blogspot.com/2018/11/menerima-hadiah-dari-pelaku-riba.html

6
G3
Assalamu'alaikum. Izin bertanya, apabila kita sedang safar. Misal kita sampai di daerah tersebut pada waktu zuhur. Apakah boleh kita jamak sholat ashar di waktu zuhur, sedangkan pada saat azan ashar ternyata kita masih berada di tempat tersebut? Atau kita sholat ashar kembali? Syukron atas penjelasannya.

Jawab (Ustadz Dodi): Boleh.

7
G6
Ustadz/ustadzah, saat ini kan sedang musim pemilihan pemimpin mulai dari Kades sampai presiden.
Sepasang suami istri memiliki pandangan politik berbeda. Tapi suami minta istri untuk mengikuti pilihannya dan membuat statement bahwa jika si istri tidak mengikuti pilihannya berarti dia istri durhaka. Bagaimana sebaiknya sikap istri? Dan jika istri tidak mengikuti pilihan suami apakah si istri benar-benar dihukumi sebagai istri durhaka? Terimakasih.

Jawab (Ustadz Dodi): Ini masalah muamalah. Suami juga tidak boleh bertindak demikian kecuali memang memilih pasangan yang memang untuk kemashalatan Umat Islam

8
G3
Assalamualaikum. Izin bertanya, bagaimana cara akhwat untuk sholat fajar? Apakah setelah adzan shubuh masih boleh dilaksanakan sholat fajar? Syukron atas penjelasannya.

Jawab (Ustadzah Maryam): Wa'alaykumussalam wrwb. Dalam surah al Isra ayat 78 "innal qur'anal fajri kaanaa mashuuda” - sungguh sholat subuh itu di saksikan malaikat"
Jadi akhwat mengerjakan sholat fajar sama dengan sholat subuh. Dan di kerjakan setelah adzan..." sholat sebelum adzan berarti sholat tahajud". Wallahu 'alam.

9
G2
Assalamualaykum ustadz/ah ijin bertanya, bagaimana menyikapi saudara yang suka berhutang namun tidak pernah melunasi kalau dari keluarga mungkin kita ikhlas tidak di bayar anggap saja kita ngasih, tetapi banyak yang menagih pula kepada kami, karena mereka tau kita saudaranya?

Jawab (Ustadz Azhari): Wassalamu'alaikum. Hutang bukan dilarang  diatur dalam Islam. Yang harus di bayar. Sebaiknya ada saksi untuk nantinya mengingat kan.

10
G6
Ijin bertanya. Apakah di dalam Islam ada perbedaan antara ibu tiri dan ayah tiri, ibu kandung dan ayah kandung? Apakah doa-doa dari anak tiri yang sholeh akan tetap sampai walau bukan pada orang tua kandungnya?

Jawab (Ustadz Undang): Posisi ibu tiri dan atau ayah tiri dalam Islam dapat dilihat dari posisinya dalam garis keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya ibu tiri atau ayah tiri merupakan keluarga sah yang bergabung dengan keluarga suami/istrinya. Dalam hali ini ibu tiri pun juga termasuk di dalam pengertian mahram dalam islam. Istri yang sah dari Suami (dari terjadinya akad nikah). Seorang ibu tiri tentunya adalah istri yang sah bagi suaminya. Tentunya seorang wanita yang dinikahi secara sah dalam kaidah-kadiah dan sesuai syarat-syarat akad nikah dalam islam adalah menjadi tanggung jawab suaminya. Begitupun istri yang sah dari pernikahan sesuai rukun nikah dalam islam, walaupun bukan istri pertama atau ibu dari anak anak suami, memiliki tanggung jawab sebegaimana seorang ibu atau istri dalam ajaran islam.
Selagi pernikahan itu sah dan terdapat wali nikah yang sah, maka wanita menjadi istri yang sah bagi suami. Dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal”.

Ibu Tiri adalah Ibu yang sah (mahram) bagi Anak dari Suami. Dengan menikahnya laki-laki yang memiliki anak dengan seorang perempuan, maka anak dari laki-laki tersebut menjadi anak dan mahram pula bagi perempuan yang sudah dinikahi. Maka anak dari laki-laki tersebut selama-lamanya berstatus anak yang resmi dan mahram bagi perempuan. Secara otomatis, (walaupun berstatus anak tiri) maka selama-lamanya pula tidak boleh menikah dengan ibu tirinya walaupun suatu waktu telah bercerai pada ayahnya, karena ibu tiri bagi anaknya adalah muhrim dalam islam. Untuk itu ibu tiri adalah wanita yang haram dinikahi dalam islam oleh anak tirinya.

Hal ini dijelaskan dalam QS Annisa : 22
walaupun sudah bercerai dari istrinya. Dalam fiqh pernikahan, maka ibu tiri pun dilarang dinikahi oleh anak-anak suaminya walaupun sudah bercerai dengan ayahnya.
Hal ini dijelaskan pula dalam Al Quran, QS : An Nisa : 23
Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jika terjadi pernikahan antara perempuan dan laki-laki yang salah seorang atau keduanya memiliki anak, maka terjadi hukum yang berlaku pula pada anak-anak mereka. Hukum tersebut disebut dengan tahrim mu’abbad yaitu larangan untuk melakukan perkawinan selama-lamanya, walau ayah dan ibu dari anak anak tersebut sudah bercerai.

Dalam QS Al-Isra : 23-24
Kita bisa baca di sini tidak pernah di katakan ibu tiri atau ibu kandung berarti berlaku semuanya. Sebagaimana disampaikan di Al Quran maka anak tiri terhadap ibu tiri memiliki kewajiban yang sebagaimana terhadap ibu kandungnya. Berbuat baik, kepada kedua orang tuanya yang masih ada, hal ini termasuk ibu tiri. Tidak berkata kasar, melawan atau membantah perintahnya yang baik. Menjaga dan memelihara terutama saat sudah memasuki usia uzur (lanjut usia). Mendoakan kebaikan, bukan keburukan kepada orang tua. Membantu kesulitan orang tua dan meringankan bebannya. Dalam hal ini tidak ada istilah anak tiri tidak bisa menerima ibu tirinya, karena jika sudah berstatus istri dari ayah nya, maka anak tetap harus menghormati, menghargai, dan berbuat baik kepada ibu tiri tersebut.

Ibu Tiri sama Mulianya sebagaimana Ibu Kandung
Ibu tiri bukanlah ibu sampingan. Jika ibu tiri berbuat sebagaimana ibu kandung memperlakukan anak-anak dan keluarganya dengan baik tentunya akan membawakan kemuliaan, kebaikan di dunia dan akhirat, selayaknya ibu kandung yang juga bertugas dan berkewajiban seperti itu untuk anak-anak dan keluarganya. Islam tidak pernah memandang rendah ibu tiri melainkan mengangkat derajat seseorang bukan karena statusnya, akan tetapi dari bagaimana perilaku, moral, dan amaliah yang dilakukan. Doa kita sebagai anak2 nya akan sampai kepada orang tua kita baik itu ibu  atau ayah kandung maupun ibu atau ayah tiri.
Wallahualam bishahowab

11
Akhwat
Assalamualaikum ustadz/ustadzah izin bertanya. Saya pernah dengar ada hadist yang intinya menyebutkan bahwa rasul membenci jika datang seseorang disuatu majlis, para hadirin dimajlis tersebut berdiri dari duduknya hanya untuk bersalaman dengan orang tersebut? Apa benar adanya seperti itu? Berkaitan hal tersebut, misalkan ada anak (perempuan dewasa) yang mengantar ibunya kondisi ada dimotor kemudian ada atasan ibunya (laki laki) bagaimana seharusnya anak tersebut lakukan? Apabila ia turun dari motor, miripkah dengan keadaan pertanyaan pertama?

Jawab (Ustadzah Syahidah): wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh. Bila seseorang yang berdiri untuk menjabat tangan tamunya dan menuntunnya terlebih lagi tuan rumah maka ini merupakan akhlak yang mulia. Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berdiri menyambut Fathimah radhiyallahu ‘anha (putri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam), demikian juga Fathimah radhiyallahu ‘anha berdiri menyambut kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para shahabat berdiri atas perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyambut Sa’d bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu ketika dia datang untuk menghukumi Bani Quraizhah. Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu berdiri di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ka’b bin Malik radhiyallahu ‘anhu datang pada peristiwa diterimanya taubat beliau oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Thalhah menjabat tangannya, mengucapkan selamat kepadanya kemudian duduk.
Ini merupakan akhlak yang mulia, dan perkaranya lapang. yang diingkari adalah berdiri untuk mengagungkan. Adapun berdiri untuk menyambut tamu yang datang dalam rangka memuliakannya, menjabat tangannya, atau memberi salam hormat, ini merupakan perkara yang disyariatkan. Adapun dia berdiri untuk mengagungkan sedangkan yang lain duduk, atau dia berdiri ketika ada yang masuk tanpa menyambut atau menjabat tangannya, ini tidak pantas. Yang lebih keras (pelarangannya) adalah berdiri untuk mengagungkannya dalam keadaan (yang diagungkan itu) duduk, bukan untuk menjaga tapi semata untuk mengagungkan.

Berdiri ada tiga macam:

Pertama: Berdiri terhadap seseorang dalam keadaan orang itu duduk, seperti orang-orang ajam (non Arab) mengagungkan raja dan pembesar mereka. Hal ini tidak diperbolehkan, sebagaimana diterangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk duduk ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami shalat sambil duduk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk duduk dan shalat bersama beliau sambil duduk. Ketika mereka berdiri, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Hampir-hampir kalian mengagungkan aku sebagaimana orang-orang ajam mengagungkan pembesar mereka.”

Kedua: Berdiri untuk kedatangan atau kepergian seseorang, tanpa menyambut atau menjabat tangannya, namun semata-mata untuk mengagungkannya. Hal ini minimalnya makruh. Dahulu para shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak berdiri untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau masuk kepada mereka, ketika mereka mengetahui ketidaksukaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hal itu.

Ketiga: Berdiri untuk orang yang datang untuk menjabat tangannya atau menuntunnya untuk menempatkannya pada tempat tertentu, atau mendudukkannya pada tempatnya, atau yang serupa dengan itu. Hal ini tidak mengapa, bahkan termasuk Sunnah (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ) sebagaimana telah lalu. Apalagi kalau kita melakukannya terhadap orangtua.

12
Akhwat
Assalamualaikum. apabila kita berobat ke dokter laki-laki itu dosa kah? Karena tidak banyak dokter perempuan yang buka praktek. Bagaimna sebaiknya sikap kita jika berobat ke dokter laki-laki?

Jawab (Ustadzah Maryam): Kalau niatnya untuk berobat dan tidak ada pilihan lain kecuali dengan dokter laki-laki, InsyaAllah tidak berdosa karena bisa di katakan juga darurat  seperti di daerah terpencil/ di Rumah Sakit luar negeri dokter perempuan sulit di temui.
Sikap sebagai muslimah tetap menjaga adab-adab agar tidak ada hal-hal yang membuat menjadi fitnah dengan adanya teman/ muhrim kita dan menjaga niat. Wallahu'alam.

13
G3
Afwan ustadz izin bertanya, apakah sholat qhosor dikerjakan untuk jarak jauh, misal kita perjalanan batam jakarta? Sedang jama‘ tidak terlalu jauh, mohon penjelasan ny. Jazakillah khoir

Jawab (Ustadz Farid Nu'man):
Fiqih Jamak dan Qashar
*Pertanyaannya hampir sama dengan pertanyaan berikut*

Assalamu'alaikum wr wb. Ana mau nanya terkait, sholat jamak, apakah dibolehkan sholat jamak pada saat Mukhoyam/kepramukaan atau sejenisnya, kegiatan mukim, waktu kegiatan 3 hari, dengan jarak 25 KM dan tempat berbeda kabupaten, SIngkawang KALIMANTAN BARAT
~ Mahmudi Febrianto

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:
Langsung aja ya ..

Pertama. Jamak Shalat
Menjamak adalah menggabungkan dua shalat di satu waktu, yaitu Zhuhur dan Ashar, lalu maghrib dan Isya. Menjamak Shalat bisa dilakukan karena terjadinya masyaqqat (kesulitan/kesempitan) yang dialami oleh seorang muslim, sehingga susah baginya untuk shalat secara biasa.

Masyaqat tersebut di antaranya adalah:

>>  Bepergian (Safar)
Jamak ketika bepergian adalah boleh menurut jumhur (mayoritas) ulama. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا
 
Dari Anas bin Malik, dia berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia mengadakan perjalanan sebelum matahari tergelincir (meninggi), maka dia akan akhirkan shalat zhuhur pada waktu Ashar, lalu dia turun dan menjamak keduanya.”   (HR. Al Bukhari No. 1112)

  Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

الجمع بين الصلاتين في السفر في وقت إحداهما جائز في قول أكثر أهل العلم لا فرق بين كونه نازلا أو سائرا.

Menjamak dua shalat dalam perjalanan, pada waktu  salah satu dari dua shalat itu, adalah boleh menurut mayoritas para ulama, sama saja baik ketika dalam perjalanannya atau ketika turun (berhenti).”    (Fiqhus Sunnah, 1/289)

Ada pun berapa jaraknya, sama dengan jaraknya Qashar. Jika safar sudah dibolehkan Qashar maka dia juga dibolehkan jamak. Sebenarnya masyaqqat (kepayahan, kesempitan, kesulitan) yang membuat dibolehkannya jamak, bukan hanya perjalanan, melainkan juga hujan, sakit, dan keperluan yang mendesak. Inilah barang kali yang disangka "Kok tidak safar, shalatnya dijamak?" Karena memang menjamak itu bukan hanya karena safar!.

>> Jamak ketika hujan

  Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

روى الاثرم في سننه عن أبي سلمة ابن عبد الرحمن أنه قال: من السنة إذا كان يوم مطير أن يجمع بين المغرب والعشاء. وروى البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بين المغرب والعشاء في ليلة مطيرة. 

Al Atsram meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa dia berkata: “Termasuk sunah jika turun hujan menjamak antara Maghrib dan Isya’.” Bukhari telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjamak antara maghrib dan isya’ pada malam hujan.”   (Ibid, 1/290)

>> Jamak ketika Sakit

  Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

الجمع بسبب المرض أو العذر: ذهب الامام أحمد والقاضي حسين والخطابي والمتولي من الشافعية إلى جواز الجمع تقديما وتأخيرا بعذر المرض لان المشقة فيه أشد من المطر. قال النووي: وهو قوي في الدليل.
 
Menjamak Shalat lantaran sakit atau udzur, menurut Imam Ahmad, Al Qadhi Husein, Al Khathabi, dan Mutawalli dari golongan Syafi’iyyah, adalah boleh baik secara taqdim atau ta’khir, sebab kesulitan lantaran sakit adalah lebih berat dibanding hujan. Berkata Imam An Nawawi: “Dan Alasan hal itu  kuat.”   (Ibid, 1/ 291)

>> Jamak karena adanya keperluan (kesibukan)

  Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْأَئِمَّة إِلَى جَوَاز الْجَمْع فِي الْحَضَر لِلْحَاجَةِ لِمَنْ لَا يَتَّخِذهُ عَادَة ، وَهُوَ قَوْل اِبْن سِيرِينَ وَأَشْهَب مِنْ أَصْحَاب مَالِك ، وَحَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ عَنْ الْقَفَّال وَالشَّاشِيّ الْكَبِير مِنْ أَصْحَاب الشَّافِعِيّ عَنْ أَبِي إِسْحَاق الْمَرْوَزِيِّ عَنْ جَمَاعَة مِنْ أَصْحَاب الْحَدِيث ، وَاخْتَارَهُ اِبْن الْمُنْذِر وَيُؤَيِّدهُ ظَاهِر قَوْل اِبْن عَبَّاس : أَرَادَ أَلَّا يُحْرِج أُمَّته ، فَلَمْ يُعَلِّلهُ بِمَرَضٍ وَلَا غَيْره وَاللَّهُ أَعْلَم .

Sekelompok para imam, membolehkan jamak ketika tidak bepergian apabila ia memiliki keperluan, namun hal itu tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Demikianlah pendapat dari Ibnu Sirin, Asyhab dari golongan Malikiyah. Al Khathabi menceritakan dari Al Qaffal dan Asy Syasyil kabir dari madzhab Syafi’i, dari Abu Ishaq al Marwazi dan dari jamaah ahli hadits. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir, yang didukung oleh zhahir ucapan Ibnu Abbas, bahwa yang dikehendaki dari jamak adalah ‘agar umatnya keluar dari kesulitan.’ Karena itu, tidak jelaskan alasan jamak, apakah karena sakit atau yang lainnya. Wallahu A’lam.”   (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/219)

Hal ini berdasarkan riwayat berikut, dan  inilah hadits yang yang dijadikan hujjah oleh Imam An Nawawi di atas.

 عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menjamak antara zhuhur dan ashar, maghrib dan isya di Madinah, pada hari saat tidak ketakutan dan tidak hujan.” (HR. Muslim No. 70) 

  Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:

  وأوسع المذاهب في الجمع مذهب أحمد فإنه جوز الجمع إذا كان شغل كما روى النسائي ذلك مرفوعا إلى النبي صلى الله عليه وسلم إلى أن قال: يجوز الجمع أيضا للطباخ والخباز ونحوهما ممن يخشى فساد ماله.

“Madzhab yang paling luas dalam masalah jamak adalah madzhab Imam Ahmad, dia membolehkan jamak karena kesibukkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam An  Nasa’i  secara marfu’ (sampai)  kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sampai-sampai dibolehkan jamak juga bagi juru masak dan pembuat roti dan semisalnya, dan juga orang yang ketakutan hartanya menjadi rusak.”   (Al Fatawa Al Kubra, 5/350)

>> Menjamak Karena Sedang Proses Menuntut Ilmu

Bahkan dibolehkan pula menjamak, karena sedang menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu. Ini berdasarkan riwayat Imam Muslim berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ خَطَبَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ يَوْمًا بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى غَرَبَتْ الشَّمْسُ وَبَدَتْ النُّجُومُ وَجَعَلَ النَّاسُ يَقُولُونَ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ قَالَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ لَا يَفْتُرُ وَلَا يَنْثَنِي الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ
فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَتُعَلِّمُنِي بِالسُّنَّةِ لَا أُمَّ لَكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَقِيقٍ فَحَاكَ فِي صَدْرِي مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ فَأَتَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ فَسَأَلْتُهُ فَصَدَّقَ مَقَالَتَهُ

Dari Abdullah bin Syaqiq, dia berkata: Ibnu Abbas berkhutbah kepada kami, pada hari setelah ‘ashar sampai matahari terbenam, hingga nampak bintang-bintang, sehingga manusia berteriak: “shalat .. shalat ..!” Lalu datang laki-laki dari Bani Tamim yang tidak hentinya berteriak: shalat.. shalat!. Maka Ibnu Abbas berkata: “Apa-apaan kamu, apakah kamu hendak mengajari saya sunah?”, lalu dia berkata: “Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam menjamak antara zhuhur dan ashar, serta maghrib dan isya.” Berkata Abdullah bin Syaqiq: “Masih terngiang dalam dada saya hal itu, maka aku datang kepada Abu Hurairah, aku tanyakan dia tentang hal itu, dia membenarkan keterangan Ibnu ‘Abbas tersebut.”   (HR. Muslim No. 705)

Kedua. Qashar (meringkas shalat)

Adapun Qashar, alasannya sedikit berbeda dengan jamak, kalau jamak bisa banyak alasan yang penting adanya masyaqqat. Sedangkan kalau qashar karena bepergian. Ini sesuai ayat:

Allah Ta’ala berfirman: Apabila kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu mengqshar shalat ...” (QS. An Nisa’: 101)

Imam Ibnul Mundzir dan lainnya menyebutkan bahwa ada dua puluh pendapat lebih tentang jarak dibolehkannya qashar.  Perbedaan ini terjadi menurut mereka karena memang tak ada satupun hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam yang menyebutkan jarak. Berkata Syaikh  Sayyid Sabiq Rahimahullah, Tidak ada sebuah hadits pun yang menyebutkan jarak jauh atau dekatnya bepergian itu. ( Fiqhus Sunnah, 1/239)

Namun, di antara hadits-hadits tersebut ada yang paling kuat -di antara yang lemah- yang menyebutkan jarak, yakni: Yahya bin Yazid bertanya kepada Anas bin Malik mengenai mengqashar shalat. Ia menjawab, Rasulullah mengerjakan shalat dua rakaat (qashar) jika sudah berjalan sejauh tiga mil atau satu farsakh. (HR. Muslim no. 1116)

Satu farsakh adalah 5.541 Meter, satu mil adalah 1.748 meter. Bahkan Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih, dari Ibnu Umar yang menyebutkan bahwa jarak minimal mengqashar shalat adalah satu mil!

 Jika kurang dari itu maka tidak boleh qashar. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm.

Namun, jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa jarak dibolehkannya qashar adalah empat burd yakni 16 farsakh (88,656 Km). Inilah pandangan Imam Malik, Imam Asy Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal, dan pengikut ketiga imam ini. Alasannya adalah perbuatan sahabat, yakni  Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengqashar shalat dan berbuka puasa jika jarak tempuh sudah empat burd (16 farsakh = 88,656 Km).

Nah, bagaimanakah yang benar melihat berbagai riwayat  yang saling bertentangan ini?

Imam Abul Qasim Al Kharqi memberikan jawaban di dalam kitab Al Mughni, Aku tidak menemukan alasan (yang bisa diterima) yang dikemukan oleh para imam itu. Sebab, keterangan dari para sahabat Nabi juga saling bertentangan sehingga tidak dapat dijadikan dalil. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berbeda dengan dalil yang digunakan oleh kawan-kawan kami (para ulama).  Kemudian, seandainya belum ditemukan dalil yang kuat, maka ucapan mereka (para sahabat) tidak bisa dijadikan dalil jika bertentangan dengan sabda dan perilaku Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dengan demikian ukuran jarak yang mereka tetapkan tidaklah bisa diterima, disebabkan dua hal berikut:

Pertama, bertentangan dengan sunah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana yang telah dijelaskan.

Kedua, teks ayat firman Allah Taala yang membolehkan qashar shalat bagi orang yang dalam perjalanan: Apabila kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu mengqshar shalat ... (QS. An Nisa: 101)

Syarat karena adanya rasa takut dengan orang kafir ketika bepergian, sudah dihapuskan dengan keterangan hadits Yala bin Umayyah. Dengan demikian, teks ayat ini bermakna  mencakupi seluruh macam jenis bepergian.  (Fiqhus Sunnah, 1/240)

>> Kesimpulannya, qashar dapat dilakukan jika:

1.) sudah keluar dari daerahnya,
2.) lalu dengan jarak yang sudah layak, patut, dan pantas disebut sebagai perjalanan (safar). Mengingat dalil-dalil yang ada satu sama lain saling bertentangan. Inilah pandangan para Imam Muhaqiqin (peneliti) seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh Sayyid Sabiq, juga Ustadz Ahmad Hasan dan lainnya.
 3.) Perjalanannya bukan perjalanan maksiat.

Ada pun pandangan jumhur ulama dan ini jarak paling aman adalah 4 burud seperti yang sudah disampaikan di atas. Sekitar 88, 656km.

>> Tenggang Waktu Dibolehkannya Qashar

Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat. Namun, kita akan lihat dalil yang kuat yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat, dan itulah pandangan yang seharusnya kita pilih.

Dalam Musnadnya Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallami bermukim di Tabuk selama dua puluh hari dan beliau senantiasa mengqashar shalatnya.   (HR. Ahmad No. 13625, Abu Daud No. 1046. Shahih)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bermukim dalam salah satu perjalanan selama sembilan belas hari dan selalu mengerjakan shalat dua rakaat.”   (HR. Al Bukhari No. 1018)

Hafsh bin Ubaidillah mengatakan bahwa Anas bin Malik bermukim di Syam selama dua tahun dan terus mengerjakan qashar sebagaimana shalatnya musafir. Menurut Anas bin Malik, para sahabat Nabi bermukim di daerah Ramhurmuz selama tujuh bulan dan tetap mengqashar shalat.
Berkata Al Hasan, “Aku pernah bermukim bersama Adurrahman bin Samurah di kota Kabul selama dua tahun, dan dia terus mengqashar shalatnya.”
Ibrahim juga pernah mengatakan bahwa para sahabat pernah bermukim di Ray selama satu tahun atau lebih dan di Sijistan selama dua tahun, tetap mengqashar shalat.
Ibnu Umar  pernah tinggal di Azarbaijan selama enam bulan dan tetap mengqahar sebab terhalang oleh salju.

Adapun pendapat para Imam, seperti Imam Said bin al Musayyib, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, yang membatasi paling lama adalah empat hari, tidak memiliki dasar yang kuat. Begitu pula pendapat Imam Abu Hanifah yang menyebutkan lima belas  hari saja, dan ikuti oleh Imam Laits bin Sa'ad.

Berkata Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah tentang bermukimnya Nabi selama dua puluh hari di Tabuk, bahwa hal tersebut kebetulan saja, artinya jika masa perang Tabuk lebih panjang dari itu, ia akan tetap mengqasharnya. Katanya, “Bermukim (singgah) dalam bepergian tidak dapat dianggap sudah keluar dari hukum bepergian, baik singgahnya lama atau sebentar, dengan syarat ia tidak bermaksud menetap di sana sebagai penduduk.” 

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq, “Seorang musafir itu boleh terus mengqashar shalatnya selama ia masih dalam bepergian. Jika ia bermukim (singgah) karena ada keperluan yang harus diselesaikannya, ia tetap boleh mengqashar sebab masih terhitung dalam bepergian, walau bermukimnya selama bertahun-tahun lamanya.”

Imam Ibnul Mundzir berkata dalam penelitiannya bahwa para ulama ijma’ (sepakat) bahwa seorang musafir diperbolehkan tetap qashar selama ia tidak bermaksud akan terus menetap di suatu tempat, walau singgahnya itu selama bertahun-tahun.   (Fiqhus Sunnah, 1/243)

Inilah pandangan yang sangat kuat berdasarkan dalil yang kuat pula, baik perilaku Rasulullah dan para sahabat,  beserta pemikiran yang cerdas dari para ulama peneliti seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnul Mundzir, Syaikh Sayyid Sabiq,dan lain-lain.

Jadi, selama kita tidak berniat mukim, maka selama itu pula kita tetap disebut orang yang musafir, walau Anda pernah singgah dahulu dalam waktu cukup lama.Tapi, ada baiknya, jika kondisi masyarakat tidak memungkinkan, khawatir ada fitnah (omongan yang bukan-bukan) karena mereka tidak berpendapat seperti para Imam ini, ada baiknya Anda mengalah, untuk tetap shalat sempurna. Kadang-kadang kita harus ‘mengalah’ tidak melakukan apa yang kita yakini, demi menghindar keributan, kecuali Anda tinggal di tempat yang umat Islam-nya mampu menjaga adab Ikhtilaf.

CATATAN TAMBAHAN:

# Berapa lamakah interval waktu dibolehkannya jamak dan qashar?

Hal ini tergantung keadaan safarnya. Seseorang safar tidak lepas dari tiga keadaan.

1) Safar dengan tujuan menetap di suatu daerah atau negeri. Menetap maksudnya menjadi penduduk tetap dengan dibuktikan kepemilikan ID card negeri tersebut, baik KTP atau KK. Maka, kebolehannya hanya ketika safar saja. Sesampainya di tempat tujuan maka sudah tidak ada rukhshah/keringanan tersebut, kecuali kembali dia menjalani safar di waktu lain atau dia mengalami berbagai masyaqqat (kesulitan) di sana, maka kembali berlaku hukum jamak, seperti hujan lebat, sakit, takut kepada musuh, bencana alam, dan semisalnya.

2) Safar dengan niat untuk singgah, maka ini ada dua macam:
~ Singgah dengan waktu yang belum jelas, seperti peperangan, berobat, dan semisalnya, yang waktu selesainya tidak bisa dipastikan. Maka, selama itu pula dia boleh menjamak dan qashar. Sebab statusnya tetap seorang yang safar. Dahulu Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengqashar 20 hari ketika perang Tabuk. Para sahabat ada yang mengqashar dua tahun, setahun, enam bulan, karena mereka tidak berniat menjadi penduduk tetap dan tidak jelas kapan pulangnya, seperti yang  sudah kami jelaskan di atas.
~ Singgahnya sudah diketahui lamanya dan kapan pulangnya, seperti dinas kantor, ziarah ke rumah saudara, dan semisalnya. Maka, ini dibatasi. Secara ringkas, dalam madzhab Hanafi durasinya adalah 14 hari, selebihnya tidak boleh. Madzhab Syafi'iyah dan Malikiyah tiga hari selebihnya tidak boleh. Sedangkan Hanabilah (Hambaliyah) adalah empat hari, selebihnya tidak boleh.

Demikian. Wallahu a'lam.
Farid Nu'man Hasan
🌏 Join Telegram:  bit.ly/1Tu7OaC

14
G2
Assalamualaikum. Saya pernah mendengar seorang kawan berkata, katanya bila berdagang harus satu akad, misalnya kalo kita bertransaksi dengan teman, jual barang bila mau cash harganya 50 ribu bila mau kredit jadi 70rb, dan itu tidak boleh katanya. Apa betul?

Jawab (Ustadz Ashari): Wassalamu'alaikum, barangkali yang maksudkan adalah satu produk dengan beberapa akad misalnya produk ini kalau cash 30 kalau credits 50 ribu.  Ini yang tidak boleh. Jadi harus satu cash atau credit . Tidak boleh berubah di perjalanan.

15
G1
Assalamualaikum ustadz/ah, apakah benar bahwa setiap malam jumat orang yang telah meninggal  pulang dan minta dibacakan surat yasin? jazakumullah khairan.

Jawab-1 (Ustadzah Pipit): Wa'alaikumussalam. Secara kasat mata mayit sudah tidak bisa meminta apapun pada yang masih hidup krn terpisah alam. Tapi secara ruhiyah, mayit memang membutuhkan doa-jariyah harta-ilmu yang manfaat sebagai jariyah yang terus mengalir pahalanya bahkan sampai mereka meninggal. Mendoakan keluarga dan saudara-saudara muslim yang telah meninggal itu adalah tuntunan Al Qur'an :
 
"ROBBANAGHFIRLANAA WALI IKHWAANINAL LADZIINA SABAQUUNA BIL IIMAAN,WALAA TAJ’AL FII QULUUBINAA GHILLAN LILLADZIINA AAMANUU,ROBBANAA INNAKA RA’UUFUR ROHIIM." (Surat Al -Hasyar Ayat 10 )

Artinya: Ya Allah,ampunilah dosa kami dan dosa orang – orang beriman yang telah mendahului kami dan janganlah ENGKAU jadikan ada perasaan dengki di dalam hati kami terhadap orang – orang yg beriman.Ya Allah sesungguhnya ENGKAU maha pengasih dan penyayang.

Pemilihan malam jum'at kemungkinan karena hari jum'at adalah sayyidul ayyaum (penghulu/pemimpin hari). Surah Yaasin sendiri dikenal sebagai surah untuk menghapus dosa (Tafsir Ibn Katsir). Lengkapnya bisa dilihat di Youtube : "Ustadz Abdul Shomad Bahas Surah Yasin"
Jadi mendoakan keluarga dengan surah Yaasin pada malam jum'at itu tidak salah. Akan lebih baik lagi jika dilakukan pada malam2 lainnya apalagi setiap hari.


Jawab-2 (Ustadzah Fitrianingsih): Wa'alaikumussalam. Tidak benar, tidak ada nash yang terkait tentang hal tersebut.

Firman Allah Jalla wa ‘Alaa.

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ﴿٣٨﴾وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya manusia tidak akan memperoleh (kebaikan) kecuali apa yang telah ia usahakan” [An-Najm/53 : 38-39]

Berkata Al-Hafidz Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat di atas. Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain demikian juga seorang tidak akan memperoleh ganjaran (pahala) kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini Al-Imam Asy-Syafi’iy bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan hukum : Bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati. Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati) dan tidak juga pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka baik dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada). Dan tidak pernah dinukil dari seorangpun shahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati). Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentu para shahabat telah mendahului kita mengamalkannya [1]. Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas pada dalil tidak boleh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu (pikiran)” [2]

Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Tidak menjadi kebiasaan salaf, apabila mereka shalat sunnat atau puasa sunnat atau haji sunnat atau mereka membaca Qur’an lalu mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati dari kaum muslimin. Maka tidaklah boleh berpaling (menyalahi) perjalanan salaf. Karena sesungguhnya kaum salaf itu lebih utama dan lebih sempurna” [Dari Kitab Al-Ikhtiyaaraat Ilmiyyah]

Keterangan di atas menunjukkan kepada kita bahwa bacaan Al-Qur’an bukan untuk orang yang telah mati akan tetapi untuk orang yang hidup. Membaca Qur’an untuk orang yang telah mati hatta untuk orang tua dan menghadiahkan pahala bacaan tersebut kepada mereka, adalah perbuatan yang sama sekali tidak berdalil bahkan menyalahi Al-Qur’an sendiri dan Sunnah dan perbuatan para shahabat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Katsir yang mengambil dari Al-Imam Asy-Syafi’iy yang dengan tegas mengatakan bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai kepada orang yang telah mati. Demikian juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa perbuatan tersebut tidak pernah diamalkan oleh kaum salaf. Dari sini kita mengetahui, bahwa membaca Qur’an untuk orang yang telah mati tidak pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau ada, tentulah para shahabat yang pertama mengamalkannya sebelum orang lain. Kemudian amalan itu akan dinukil oleh tabi’in dan tabi’ut tabi’in termasuk Syafi’iy di dalamnya yang beritanya akan mencapai derajat mutawatir atau sekurang-kurangnya masyhur. Kenyataan yang ada sebaliknya, mereka sama sekali tidak pernah mengamalkannya sedikitpun.


Jawab-3 (Ustadzah Fina): Kalo kata Ibnu Taimiyah semua amalan baik bisa sampai pada orang yang meninggal (tidak terbatas puasa,haji).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana dengan orang yang membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah lebih utama dia menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya dan kaum muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut untuk dirinya sendiri?”

Beliau rahimahullah menjawab:
Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam khutbahnya,

خَيْرُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.”

Ibnu Mas’ud mengatakan,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ

Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”

Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara yang telah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini (yaitu di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. Mereka pun selalu mendoakan mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula dari sekelompok ulama salaf  mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang mustajab. Apabila seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua orang tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini adalah ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam dan tempat-tempat mustajab lainnya.

Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah pada mayit dan memerintahkan pula untuk menunaikan utang puasa si mayit. Jadi, sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula terdapat ajaran dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.

Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah badaniyah kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat atau pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut mereka. Namun, mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa yang disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.

Oleh karena itu, tidak kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang disyari’atkan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama dan lebih sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah–

Tapi yang dibaca akan lebih baik semua ayat Al-Qur'an..tidak terbatas surat Yasin saja..agar ayat yang lain tidak merasa iri. Lebih baik lagi dibaca setiap hari..tidak membaca Qur'an khusus malam Jum'at saja. Pengetahuan yang begini agar tidak mudah menyalahkan tapi juga tidak membuat orang mengkultuskan ritual tertentu yang tidak ada tuntunannya, kembali ke niat.
Bahwa apa yang dilakukan oleh anak keturunan itu bisa dilihat oleh orang tua di alam kubur. Ketika amal anaknya baik dst maka mereka bahagia..begitu pula sebaliknya..ketika berbuat maksiat maka mereka juga bersedih. Allahu a'lam.

16
Akhwat
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya ingin bertanya, bagaimana cara kita menyikapi orang yang Ketika kita berbuat salah dan sudah meminta maaf, tetapi orang tersebut tetap berbicara kasar dan akibatnya membuat kita sakit hati ataupun menyikapi orang yang kesehariannya sering berbicara kasar/kotor. Terimakasih, Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jawab (Ustadzah Fina): Untuk yang pertama bahwa ketika kita berbuat salah maka kita harus bertaubat. Imam Nawawi menjelaskan bahwa, "Para ulama berkata, "Bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah Subhana wata'ala.
Yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada 3:
1. Hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut
2. Ia harus menyesali perbuatan maksiatnya
3. Ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi

Jika salah satunya hilang maka taubatnya tidak sah. Jika taubatnya ini berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada 4. Ketiga syarat diatas dan yang ke-4 adalah hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa (hukuman) tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta maaf kepadanya. Termasuk pula ketika kita menghibah dia.
Maka ketika kita meminta maaf itu adalah bentuk kewajiban dalam rangka istihlal (menghalalkan) dosa kita  kepada beliau..ketika maafnya diterima maka bersyukur alhamdulillaah, namun ketika yang bersangkutan belum memberikan maafnya maka tidak mengapa, ini adalah ujian untuk kita dan menjadi ladang pahala yang luar biasa. Bisa jadi yang seperti ini menjadi sarana penghapus dosa2 kita asalkan kita bersabar dan memberikan sikap yang terbaik. Tidak perlu membalas dengan perlakuan yang serupa, terus perbanyak taubat dan istighfar, sebut kebaikan orang tersebut dihadapan orang lain dan perbanyak doa untuk orang tersebut. Semoga Allah berkenan mengampuni dosa-dosa kita kepadanya dan Allah membukakan serta melembutkan hatinya. Wallahu a'lam bisshowab.

17
G4
Assalamualaikum. Ijin bertanya. Sekarang ini banyak penjualan produk yang basisnya MLM. Bagaimana hukum MLM di syariat islam dan MLM bagaimanakah yang hukumnya haram?

Jawab (Ustadz Ashari): MLM syariah boleh MUI sudah mengeluarkan fatwa. Syarat agar MLM menjadi syari’ah:
1.) Produk yang dipasarkan harus halal, thayyib (berkualitas) dan menjauhi syubhat (Syubhat adalah sesuatu yang masih meragukan).
2.) Sistem akadnya harus memenuhi kaedah dan rukun jual beli sebagaimana yang terdapat dalam hukum Islam (fikih muamalah)
3.) Operasional, kebijakan, corporate culture, maupun sistem akuntansinya harus sesuai syari’ah.
4.) Tidak ada excessive mark up harga barang (harga barang di mark up sampai dua kali lipat), sehingga anggota terzalimi dengan harga yang amat mahal, tidak sepadan dengan kualitas dan manfaat yang diperoleh.
5.) Struktur manajemennya memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang terdiri dari para ulama yang memahami masalah ekonomi.
6.) Formula intensif harus adil, tidak menzalimi down line dan tidak menempatkan up line hanya menerima pasif income tanpa bekerja, up line tidak boleh menerima income dari hasil jerih payah down linenya.
7.) Pembagian bonus harus mencerminkan usaha masing-masing anggota.
8.) Tidak ada eksploitasi dalam aturan pembagian bonus antara orang yang awal menjadi anggota dengan yang akhir
9.) Bonus yang diberikan harus jelas angka nisbahnya sejak awal.
10.) Tidak menitik beratkan barang-barang tertier ketika ummat masih bergelut dengan pemenuhan kebutuhan primer.
11.) Cara penghargaan kepada mereka yang berprestasi tidak boleh mencerminkan sikap hura-hura dan pesta pora, karena sikap itu tidak syari’ah. Praktik ini banyak terjadi pada sejumlah perusahaan MLM.
12.) Perusahaan MLM harus berorientasi pada kemaslahatan ekonomi Ummat

18
G5
Izin bertanya ustadz/ustadzah. Apa hukumnya filsafat Islam?

Jawab-1 (Ustadzah Pipit):  Selama tidak ada pelanggaran terhadap syariat maka seperti hukum dasar Muamalah = Mubah. Wallahu 'alam bishawab


Jawab-2 (Ustadz Farid Nu'man): Bismillahirrahmanirrahim . Filsafat jika sebatas metodologi berpikir, tapi hal itu sudah terlanjur diistilahkan "filsafat" .. maka Islam sudah punya yaitu manhaj-paradigma/konsep.
Zaman dahulu cakupan filsafat itu luas; seperti  matematika, IPA, oleh Imam Al Ghazaliy juga dimasukan dalam filsafat, dan ini filsafat yang mubah.
Filsafat yang diharamkan para ulama adalah filsafat metafisika, di mana Allah menjadi objek yang tergugat oleh akal manusia, memikirkan zatNya, eksistensi dan perbuatanNya, .. sehigga Allah menjadi terdakwa akal manusia .. Disinilah Imam Al Kasani, Imam Ibnu Qudamah, mengatakan kafirnya para filsuf .., dengan tingkat kekafiran lebih rusak dibanding Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) menurut mereka, sebab Ahli Kitab masih percaya kepada para nabi dan rasul secara umum -kecuali Nabi Muhammad Shalallahu'Alaihi wa Sallam yang mereka tidak mau percaya-, sedangkan filsuf menuduh kenabian adalah posisi yang bisa diikhtiarkan, bukan dipilih oleh Allah untuk manusia.

Para ulama Islam ada yang tegas mengharamkan semua bentuk filsafat, didasari semangat melindungi kemurnian Islam, seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam An Nawawi, dll. Sebagian lain membolehkan sebagian filsafat tapi mengharamkan yang lain seperti Imam Al Ghazaliy, Imam Ibnu Rusyd, dll.
Wallahu a'lam

19
G4
Assalamu'alaikum ijin bertanya bisnis Brilink apa termasuk Riba? Dan kalo kerja di konsultan pajak itu riba ga ya?

Jawab (U Syaikul): Waalaikumussalam wrwb. Brilink menggunakan fasilitas bank konvensional ribawi, maka selayaknya dihindari. Solusinya pakailah BRI syariah link. Adapun pajak, ada khilafiyah ulama, ada yang mengharamkan mutlak ada yang tidak mengharamkan dengan syarat tidak zholim.
Kedua kelompok ulama memakai hadits yang sama, namun menafsirkan berbeda apa yang dimaksud "al muksu" dalam hadits.

Yang lebih kuat tampaknya adalah yg mengharamkan bila zholim. Atau bahasa lainnya upeti bukan pajak. Karena itu, pajak yang diputuskan melalui musyawarah perwakilan rakyat, dan secara umum digunakan untuk kepentingan rakyat hukumnya boleh. Konsultan pajak pun boleh.
 https://youtu.be/otXrxakeXmY
mangga disimak. pendek saja. semoga menambah khasanah wawasan kita.

20
G1
Apa hukumnya bersentuhan dengan non muslim? Apakah membatalkan wudhu?

Jawab (Ustadz Endang): Bismillah. Sepertinya bersentuhan dengan non muslim tidak disebutkan dalam fiqih thoharoh apakah membatalkan wudhu atau tidak. Namun saya sendiri berkeyakinan jika teman non muslim ini dalam keadaan bersih secara zhohir tidak lah membatalkan wudhu,
Catatan:
Teman yang di maksud sesama laki-laki dan sesama perempuan. Sebagai tambahan berikut daftar hal-hal yang membatalkan wudhu, sentuhan kulit secara langsung antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram, termasuk masalah yang dipermasalahkan para ulama. Sebagian mengatakan bahwa sentuhan itu membatalkan wudhu` dan sebagian mengatakan tidak.

Sebab perbedaan pendapat mereka didasarkan pada penafsiran ayat Al-Quran yaitu:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik; sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa: 23)

a. Pendapat yang Membatalkan

Sebagian ulama mengartikan kata MENYENTUH sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima` (hubungan seksual). Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit, tidak membatalkan wuhu`.
Ulama kalangan As-Syafi`iyah cenderung mengartikan kata MENYENTUH secara harfiyah, sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan wudhu`.
Menurut mereka, bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.
Dan Imam Asy-Syafi`i nampaknya tidak menerima hadits Ma`bad bin Nabatah dalam masalah mencium.

Namun bila ditinjau lebih dalam pendapat-pendapat di kalangan ulama Syafi`iyah, maka kita juga menemukan beberapa perbedaan. Misalnya, sebagian mereka mengatakan bahwa yang batal wudhu`nya adalah yang sengaja menyentuh, sedangkan yang tersentuh tapi tidak sengaja menyentuh, maka tidak batal wudhu`nya.
Juga ada pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan (suami istri). Menurut sebagian mereka, bila sentuhan itu antara suami istri tidak membatalkan wudhu`.


2. Pendapat yang Tidak Membatalkan

Dan sebagian ulama lainnya lagi memaknainya secara harfiyah, sehingga menyentuh atau bersentuhan kulit dalam arti pisik adalah termasuk hal yang membatalkan wudhu`. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah dan juga semua salaf dari kalangan shahabat.
Sedangkan Al-Malikiyah dan jumhur pendukungnya mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan itu dibarengi dengan syahwat (lazzah), maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu`.
Pendapat mereka dikuatkan dengan adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah menyentuh para istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu` lagi.

Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah ra. dari Nabi SAW bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu`”. Lalu ditanya kepada Aisyah,”Siapakah istri yang dimaksud kecuali anda?” Lalu Aisyah tertawa. (HR. Turmuzi Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).

21
G2
Saya pernah mendengar jika kita menyuguhi makan seseorang atau sekelompok orang, maka selama orang itu kenyang dengan makanan yang kita suguhi kemudian beribadah, maka kita akan mendapatkan pahala ibadahnya tanpa mengurangi pahala orang tersebut, apakah itu benar? Bagaimana jika kita menyuguhi makan seseorang kemudian dia berbuat dosa, apakah kita dapat bagian dosanya juga?

Jawab (Ustadz Dodi): Statement pertama benar dan statement kedua tidak berlaku.




•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•

Kita tutup dengan membacakan hamdalah..
Alhamdulillahirabbil'aalamiin

Doa Kafaratul Majelis:

 سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك

Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika

“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”

Wassalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh


★★★★★★★★★★★★★★
Badan Pengurus Harian (BPH) Pusat
Hamba اللَّهِ SWT
Blog: http://kajianonline-hambaallah.blogspot.com
FanPage : Kajian On line-Hamba Allah
FB : Kajian On Line-Hamba Allah
Twitter: @kajianonline_HA
IG: @hambaAllah_official

Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Post a Comment

Ketik Materi yang anda cari !!