Rekap Kajian Online Hamba اللَّهِ Ummi G6
Hari, Tgl: Selasa, 3 September 2019
Materi: Al Ihsan
Narasumber: Ustadzah Tribuwhana
Waktu Kajian: 09.01-10.59 WIB
Notulen: Bunda Sasi
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
AL-IHSAN
Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak
yang senantiasa menjadi target seluruh hambah Allah SWT. Sebab, ihsan
menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang
hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang
sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat di mata Allah SWT. Rasulullah saw
pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya
mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang
mulia.
Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya
tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus
dipandang sebagai bagian dari aqidah dan bagian terbesar dari keislamannya.
Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan
ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya yang
shahih. Hadist ini menceritakan saat Rasulullah saw. menjawab pertanyaan
Malaikat Jibril—yang menyamar sebagai seorang manusia—mengenai Islam, iman, dan
ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya:
فَإِنَّهُ
جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ )). رواه مسلم
“Inilah Jibril yang datang
mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.” Beliau menyebut ketiga hal di
atas sebagai agama, dan bahkan Allah SWT memerintahkan untuk berbuat ihsan pada
banyak tempat dalam Al-Qur`an.
“Dan belanjakanlah (harta
bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik.” (al-Baqarah: 195)
“Sesungguhnya Allah
memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….”(an-Nahl: 90)
Pengertian
Ihsan
Ihsan berasal dari kata حَسُنَ yang artinya adalah
berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah اِحْسَانْ,
yang artinya kebaikan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal
ini.
Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu
berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (al-Isra’: 7)
“…Dan berbuat baiklah (kepada
oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik
terhadapmu….” (al-Qashash:77)
Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas
dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah
kebaikan kepada seluruh makhluk Allah SWT.
Landasan
Syar’i Ihsan.
Pertama, Al-Qur`an
Dalam Al-Qur`an, terdapat seratus enam
puluh enam ayat yang berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini
kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat
ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini
beberapa ayat yang menjadi landasan akan hal ini.
“…Dan berbuat baiklah kalian
karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat
baik.” (al-Baqarah: 195)
“Sesungguhnya Allah
memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (an-Nahl: 90)
“…serta ucapkanlah kata-kata
yang baik kepada manusia….” (al-Baqarah: 83)
“…Dan berbuat baiklah terhadap
dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan para hamba
sahayamu….” (an-Nisaa`: 36)
Kedua; As-Sunnah.
Rasulullah saw. pun sangat memberi
perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia merupakan puncak harapan dan
perjuangan seorang hamba. Bahkan, diantara hadist-hadist mengenai ihsan
tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini.
Rasulullah saw menerangkan mengenai ihsan—ketika ia menjawab pertanyaan
Malaikat Jibril tentang ihsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril,
dengan mengatakan:
أَنْ
تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ
فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ
فَإِنَّهُ يَرَاكَ .
“Engkau menyembah Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya,
maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
Di kesempatan yang lain, Rasulullah
bersabda:
اِنَّ
اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ اْلِاحْسَانَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ , فَاِذَا
قَتَلْتُمْ فَاَحْسِنُوْ الْقَتْلَةَ وَ اِذَا ذَبَحْتُمْ
فَاَحْسِنُوْ الذَّبْحَةَ
“Sesungguhnya Allah telah
mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah
dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik…” (HR.
Muslim)
Tiga
Aspek Pokok Dalam Ihsan
Ihsan meliputi tiga aspek yang
fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan akhlak. Ketiga
hal inilah yang menjadi pokok bahasan kita kali ini.
A.
Ibadah
Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah,
yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan
sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah,
dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang
hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan
cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan
kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia
sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa
Allah senantiasa memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan
ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah
tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari
perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah
Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya,
maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Kini jelaslah bagi kita bahwa
sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah
yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah
lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan
isteri, meniatkan setiap yang mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih
banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa
dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan
ihsan dalam ibadahnya.
Tingkatan Ibadah dan Derajatnya.
Berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan
Sunnah, maka ibadah mempunyai tiga tingkatan, yang pada setiap tingkatan
derajatnya masing-masing seorang hamba tidak dapat mengukurnya. Karena itulah,
kita berlomba untuk meraihnya. Pada setiap derajat, ada tingkatan tersendiri
dalam surga. Yang tertinggi adalah derajat muhsinin, ia menempati jannatul
firdaus, derajat tertinggi di dalam surga. Kelak, para penghuni surga tingkat
bawah akan saling memandang dengan penghuni surga tingkat tertinggi,
laksana penduduk bumi memandang bintang-bintang di langit yang menandakan
jauhnya jarak antara mereka.
Adapun tiga tingkatan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Tingkat
at-Takwa; Yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.
2.
Tingkat al-Bir; Yaitu tingkatan menengah dengan
derajat yang berbeda-beda.
3. Tingkat
al-Ihsan; Yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.
Pertama, Tingkat Taqwa.
Tingkat taqwa adalah tingkatan dimana
seluruh derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Muttaqun, sesuai
dengan derajat ketaqwaan masing-masing. Takwa akan menjadi sempurna dengan
menunaikan seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Hal
ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah dapat mengakibatkan sangsi
dan melakukan salah satu larangannya adalah dosa. Dengan demikian, puncak
takwa adalah melakukan seluruh perintah Allah dan meninggalkan semua
larangan-Nya.
Namun, ada satu hal yang harus kita
fahami dengan baik, yaitu bahwa Allah SWT Maha Mengetahui keadaan
hamba-hamba-Nya yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan kelemahannya itu
seorang hamba melakukan dosa. Oleh karena itu, Allah membuat satu cara
penghapusan dosa, yaitu dengan cara tobat dan pengampunan. Melalui hal
tersebut, Allah SWT akan mengampuni hamba-Nya yang berdosa karena kelalaiannya
dari menunaikan hak-hak takwa. Sementara itu, ketika seorang hamba naik pada
peringkat puncak takwa, boleh jadi ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.
Peringkat ini disebut martabat takwa,
karena amalan-amalan yang ada pada derajat ini membebaskannya dari siksaan atas
kesalahan yang dilakukannya. Adapun derajat yang paling rendah dari peringkat
ini adalah derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam neraka,
yaitu dengan iman yang benar yang diterima oleh Allah SWT.
Kedua,Tingkat al-Bir.
Peringkat ini akan dihuni oleh mereka
yang masuk kategori al-Abrar. Hal ini sesuai dengan amalan-amalan
kebaikan yang mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu
yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT. Hal ini dilakukan setelah mereka
menunaikan segala yang wajib, atau yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu
peringkat takwa.
Peringkat ini disebut
martabat al-Bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan pada
hal-hal yang sifatnya sunnah, sesuatu sifatnya semata-mata untuk mendekatkan
diri kepada Allah dan merupakan tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta
yang diharamkan-Nya. Amalan-amalan ini tidak diwajibkan Allah kepada
hamba-hamba-Nya, tetapi perintah itu bersifat anjuran, sekaligus terdapat
janji pahala didalamnya.
Akan tetapi, mereka yang melakukan amalan
tambahan ini tidak akan masuk kedalam kelompok al-bir, kecuali telah menunaikan
peringkat yang pertama, yaitu peringkat takwa. Karena, melakukan hal pertama
merupakan syarat mutlak untuk naik pada peringkat selanjutnya.
Dengan demikian, barangsiapa yang
mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang dia tidak mengimani
unsur-unsur qaidah iman dalam Islam, serta tidak terhidar dari siksaan neraka,
maka ia tidak dapat masuk dalam peringkat ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah
SWT berfirman dalam kitab-Nya.
“…Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebaikan itu adalah takwa, dan datangilah rumah-rumah
itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (al-Baqarah:
189)
”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan orang
yang menyeru kepada iman, yaitu: Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun
beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari
kami kesahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang
banyak berbuat baik.” (Ali ‘Imran: 193)
Ketiga, Tingkatan Ihsan
Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka
yang masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah orang-orang yang telah
melalui peringkat pertama dan yang kedua (peringkat takwa dan al-bir).
Ketika kita mencermati pengertian ihsan
dengan sempurna—seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya, maka kita akan
mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi:
Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam
beramal sambil menjaga keikhlasan dan jujur pada saat beramal. Ini adalah ihsan
dalam tata cara (metode).
Kedua, ihsan adalah senantiasa
memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah,
selama hal itu adalah sesuatu yang diridhai-Nya dan dianjurkan untuk
melakukannya.
Untuk dapat naik ke martabat ihsan dalam
segala amal, hanya bisa dicapai melalui amalan-amalan wajib dan amalan-amalan
sunnah yang dicintai oleh Allah, serta dilakukan atas dasar mencari ridha
Allah.
B.
Muamalah
Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan
Allah SWT pada surah an Nisaa’ ayat 36, yang berbunyi sebagai berikut:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu
sabil dan hamba sahayamu…”
Kita sebelumnya telah membahas bahwa
ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap seakan-akan kita
melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita.
Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam
bahasannya.
Berikut ini adalah mereka yang berhak
mendapatkan ihsan tersebut:
1.
Pertama,
Ihsan kepada kedua orang tua.
Allah
SWT menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya:
“Dan tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat
baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara
keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua mendidik aku diwaktu kecil.” (al-Israa’: 23-24)
Ayat
di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar
dengan ibadah kepada Allah. Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu
Amru bin Ash, Rasulullah saw. Bersabda:
رِضَى اللهُ فِى
رِضَى اْلوَالِدَيْنِ وَ سُخْطُ اللهِ
فِى سُخْطِ اْلوَاِلدَيْنِ
“Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan
kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua.”
Dalil
di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima, jika
tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak
memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang ketakwaan,
keimanan, dan keislaman. Dan Akhlak kepada sesama manusia yang paling utama
kepada kedua orang tua, berakhlak kepada mereka adalah dengan berbakti kepada
keduanya, baik ketika hidup ataupun setelah wafatnya, sebagimana hadits Nabi:
عَنْ أَبِي أُسَيْدٍ
مَالِكِ بْنِ رَبِيعَةَ السَّاعِدِيِّ
قَالَ بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ
مِنْ بَنِي سَلَمَةَ فَقَالَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ
بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ
شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا
قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا
وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا
مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ
إِلَّا بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا(رواه ابو داود)
Dari
Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idy berkata: “Tatkala kami sedang bersama
Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seseorang dari Bani Salamah seraya bertanya:
“Ya Rasulullah apakah masih ada kesempatan untuk saya berbakti kepada Ibu Bapak
saya setekah keduanya wafat?” Nabi menjawab: “Ya, dengan mendoakan keduanya,
memohon ampun untuknya, melaksanakan janjinya dan menyambung silaturahmi dari
sanak saudaranya serta memuliakan teman-temannya
2.
Kedua,
Ihsan kepada kerabat karib.
Ihsan
kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka,
bahkan Allah SWT menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi
dengan perusak dimuka bumi. Allah berfirman:
”Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat
kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan.?” (Muhammad:
22)
Silaturahmi
adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab
paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena
terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:
أَنَا اللَّهُ وَأَنَا
الرَّحْمَنُ خَلَقْتُ الرَّحِمَ وَشَقَقْتُ لَهَا مِنْ اسْمِي
فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ
“Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah
menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang
menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa yang
memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya.” (HR. Turmuzdi)
Dalam
hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang yang
memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)
3.
Ketiga,
Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin.
Diriwayatkan
oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku dan
orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini…(seraya
menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya).”
Diriwayatkan
oleh Turmuzdi, Nabi saw. Bersabda:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَبَضَ
يَتِيمًا مِنْ بَيْنِ الْمُسْلِمِينَ
إِلَى طَعَامِهِ وَشَرَابِهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ إِلَّا
أَنْ يَعْمَلَ ذَنْبًا لَا يُغْفَرُ
لَهُ
Dari
Ibnu Abbas bahwasanya Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa—dari Kaum Muslimin—yang
memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka Allah akan
memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak melakukan dosa yang
tidak terampuni.”
4.
Keempat,
Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat.
Ihsan
kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang
berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun
yang berada jauh dari rumah.
Adapun
yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar
pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had, dan
sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam kategori tetangga. Seorang tetangga
kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga muslim mempunyai dua
hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim, sedang tetangga muslim dan
kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim dan sebagai
kerabat. Rasulullah saw. menjelaskan hal ini dalam sabdanya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا
يُسْلِمُ عَبْدٌ حَتَّى يَسْلَمَ
قَلْبُهُ وَلِسَانُهُ وَلَا يُؤْمِنُ حَتَّى
يَأْمَنَ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Dari
Abdullah bin Mas’ud RA berkata, bersabda Rasulullah SAW: Demi yang jiwaku
berada di tangan-NYA tidaklah selamat seorang hamba sampai hati dan lisannya
selamat (tidak berbuat dosa) dan tidaklah beriman (sempurna keimanannya)
seorang hamba sehingga tetangganya merasa aman dari gangguannya. (HR.Ahmad)
Pada
hadits yang lain, Rasulullah bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ بِي
مَنْ باَتَ شَبْعَانًا وَ
جَارُهُ جَا ئِعٌ وَهُوَ
يَعْرِفُهُ
“Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang pada suatu
malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia mengetahuinya.” (HR.
ath-Thabrani)
5.
Kelima,
Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya.
Rasulullah
saw bersabda mengenai hal ini:
َمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah
memuliakan tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i)
Selain
itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi kebutuhannya,
menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta,
dan memberinya pelayanan.
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ كَمْ أَعْفُو عَنْ
الْخَادِمِ فَصَمَتَ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ كَمْ أَعْفُو عَنْ
الْخَادِمِ فَقَالَ كُلَّ يَوْمٍ
سَبْعِينَ مَرَّةً
Pada
riwayat yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah
saw. dan berkata, “Ya, Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan hamba
sahayaku?” Rasulullah diam tidak menjawab. Orang itu berkata lagi, “Berapa kali
ya, Rasulullah?” Rasul menjawab, “Maafkanlah ia tujuh puluh kali dalam
sehari.” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)
إِذَا صَنَعَ لِأَحَدِكُمْ
خَادِمُهُ طَعَامَهُ ثُمَّ جَاءَهُ بِهِ
وَقَدْ وَلِيَ حَرَّهُ وَدُخَانَهُ
فَلْيُقْعِدْهُ مَعَهُ فَلْيَأْكُلْ فَإِنْ
كَانَ الطَّعَامُ مَشْفُوهًا قَلِيلًا فَلْيَضَعْ فِي يَدِهِ مِنْهُ
أُكْلَةً أَوْ أُكْلَتَيْنِ
Dalam
riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika
seorang hamba sahaya membuat makanan untuk salah seorang di antara kamu, kemudian
ia datang membawa makanan itu dan telah merasakan panas dan asapnya, maka
hendaklah kamu mempersilahkannya duduk dan makan bersamamu. Jika ia hanya makan
sedikit, maka hendaklah kamu memberinya satu atau dua suapan.” (HR.
Bukhari, Turmudzi, dan Abi Daud).
Adapun
muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya
sebelum keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak
sanggup melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai privasinya. Jika ia
pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa yang kita makan,
dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.
Pada
akhir pembahasan mnegenai bab muamalah ini, Allah SWT menutupnya
firman-Nya yang berbunyi: ”Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang
berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (al-Hajj: 38)
Ayat
di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang tidak
berlaku ihsan. Bahkan, hal itu adalah pertanda bahwa dalam dirinya ada
kecongkakan dan kesombongan, dua sifat yang sangat dibenci oleh Allah SWT.
6.
Keenam,
Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا اَوْ لِيَصْمُتْ
Rasulullah
saw. bersabda, “Barangsiapa beriman
kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Masih
riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda:
قَوْلُ اْلمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ
“Ucapan yang baik adalah
sedekah.”
Bagi
manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai dalam
pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya dari kemungkaran,
menunjukinya jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui
hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal
dapat mengusik serta melukai mereka.
7.
Ketujuh,
Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang.
Berbuat
ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar,
mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak menyiksanya
jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat
menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak
menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.
Inilah sisi-sisi ihsan yang datang
dari nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
Beberapa contoh ihsan dalam hal muamalah
Pada Perang Uhud, orang-orang Quraisy
membunuh paman Rasulullah saw, yaitu Hamzah. Mereka mencincang tubuhnya,
membelah dadanya, serta memecahkan giginya, kemudian seorang sahabat meminta
Rasulullah sawm berdoa agar mereka diazab oleh Allah. Akan tetapi, Rasulullah
malah berkata:
اَلَّلهُمَّ
اهْدِ قَوْ مِيْ فَاِنَّهُمْ
لَا يَعْلَمُوْنَ
“Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang
bodoh.”
Contoh kedua, suatu hari, Umar bin Abdul
Aziz berkata kepada hamba sahaya perempuannya, “Kipasilah aku sampai aku
tertidur.” Lalu, hambanya pun mengipasinya sampai ia tertidur. Karena
sangat mengantuk, sang hamba pun tertidur. Ketika Umar bangun, beliau
mengambil kipas tadi dan mengipasi hamba sahayanya. Ketika hamba sahaya itu
terbangun, maka ia pun berteriak menyaksikan tuannya melakukan hal
tersebut. Umar kemudian berkata, “Engkau adalah manusia biasa seperti diriku
dan mendapatkan kebaikan seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal ini
kepadamu, sebagaimana engkau melakukannya padaku”.
C.
Akhlak
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan
buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam
akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan
Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu
menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya,
maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai
oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada
akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang
sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan
karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada
diri seseorang—yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya, maka kita akan
menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan
sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan
terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw.
mengatakan dalam sebuah hadits:
اِنَّمَا
بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَ خْلَاقِ
“Aku diutus hanyalah demi
menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Ihsan adalah puncak prestasi dalam
ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan
hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar
sampai pada tingkat tersebut. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, di mata
Allah tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik
ketingkat ihsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua dapat
mencapai hal ini, sebelum Allah SWT mengambil ruh ini dari kita.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
TANYA
JAWAB
1.
Izin bertanya ustadzah. Dalam materi di atas
ada tentang hadist Rasulullah "Tidak beriman kepadaku barangsiapa
yang kenyang pada suatu malam sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia
mengetahuinya." (HR, ath-Thabrani) Bukankah kita harus Ihsan pada
tetangga? Bagaimana jika tetangga yang dimaksud menolak diberikan makanan
dengan alasan mereka bukan orang yang layak untuk dikasihani dan juga mereka
beralasan mereka berbeda paham dengan sekitarnya karena itu mereka menutup diri
dari pergaulan dengan tetangga sebelah rumah. Bagaimana menghadapi situasi yang
seperti ini? Niat baik terkadang mendapatkan penolakan, semoga hati dilapangkan
oleh Allah. Jazaakillahu khoiran, Ustadzah.
Jawab:
Jika kita sudah berusaha untuk
meringankan masalahnya tapi mereka menolak, biarkan saja bunda Mala, kadang
maksud baik kita disalah artikan orang lain, yang penting kita sudah berniat
untuk menolongnya, insyaaAllah pahala kebaikan tetap kita peroleh. Yasarakillahu...aamiin
2.
Bismillaah. Ijin bertanya Ustadzah. Afwan,
antara silaturahim dan silaturahmi manakah penggunaan yang benar untuk
menyambung tali persaudaraan? Oleh karena perbedaan pendapat yang disampaikan
ustadz/ustadzah yang berbeda-beda. Jazakillah khoir.
Jawab:
Yang benar silaturrahim. Afwan dalam
materi ini kata silaturahmi harusnya silaturahim.
3.
Assalamualaikum.. Bagaimana menyikapi orang yang
tidak suka sama kita, padahal kita sudah berbuat baik dan tidak ada prasangka
apapun..
Jawab:
وعليكم
السلام ور حمة الله
وبر كا ته
Biarkan saja bunda, fokus dengan yang
lain
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Kita tutup dengan membacakan
istighfar....hamdalah..
Astaghfirullahal’adzim.....
Alhamdulillahirabbil'aalamiin
Doa Kafaratul Majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا
أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma wabihamdika
asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya Allah,
dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan
diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
Wassalamu'alaikum
warahmatullaahi wabarakaatuh
★★★★★★★★★★★★★★
Badan Pengurus
Harian (BPH) Pusat
Hamba اللَّهِ SWT
Blog:
http://kajianonline-hambaallah.blogspot.com
FanPage : Kajian On
line-Hamba Allah
FB : Kajian On
Line-Hamba Allah
Twitter:
@kajianonline_HA
IG:
@hambaAllah_official
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment