TJSU 23 Juli 2020

Posted by Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT on Tuesday, January 5, 2021

 •┈┈•┈•⊰✿ ✿⊱•┈•┈┈•

NOTULENSI KONSULTASI SYARI'AH DAN UMUM

_Bersama Asatidz dan Asatidzah Kajian Online Hamba اللَّهِ SWT_

Hari, Tanggal : 23 Juli 2020

Waktu : 9.00-12.00 WIB

Group : G1 & G2 

PJ : Restu

•┈┈•┈•⊰✿ ✿⊱•┈•┈┈•


1️⃣ G1

Assalamualaikum ustadz/ustadzah. Terkait makanan yang secara zat dan pengolahan nya halal, tetapi makanan tersebut identik dengan perayaan hari besar agama lain, bagaimana hukum memakannya baik pada saat  agama tersebut merayakan hari besarnya (kita tidak ikut merayakan dan bukan makanan  yang digunakan untuk sembahyang) dan pada hari-hari yang lain? (Misalnya kue bulan). Terimakasih

Jawab (Ustadz Robin) 

Syaikhul Islam mengatakan, “Menerima hadiah orang kafir pada hari raya mereka, telah ada dalilnya dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu bahwa beliau mendapatkan hadiah pada hari raya Nairuz (perayaan tahun baru orang majusi), dan beliau menerimanya.”

Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, bahwa ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah radhiallahu’anha, Kami memiliki seorang ibu susu beragama majusi. Ketika hari raya, mereka memberi hadiah kepada kami. Kemudian Aisyah menjelaskan, “Jika itu berupa hewan sembelihan hari raya maka jangan dimakan, tapi makanlah buah-buahannya.”

Dari Abu barzah, bahwa beliau memiliki sebuah rumah yang dikontrak orang majusi. Ketika hari raya Nairuz dan Mihrajan, mereka memberi hadiah. Kemudian Abu Barzah berpesan kepada keluarganya, “Jika berupa buah-buahan, makanlah. Selain itu, kembalikan.”

Semua riwayat ini menunjukkan bahwa ketika hari raya orang kafir, tidak ada larangan untuk menerima hadiah dari mereka. Hukum menerima ketika hari raya mereka dan di luar hari raya mereka, sama saja. Karena menerima hadiah tidak ada unsur membantu mereka dalam menyebar syiar agama mereka. (Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, 2:5)

Referensi: islamqa.com


2️⃣ G1

Ijin bertanya, saya pernah dengar penjelasan dari ustadz X kalau orangtua meninggal maka semua hutangnya ahli waris yang menanggung, termasuk hutang puasa. Saya ingat almarhum ibu saya tidak puasa selama 2 tahun tapi sudah dibayar fidyah. Apa saya sebagai ahli waris harus membayar hutang puasa ibu? Terima kasih

Jawab (Ustadz Dodi) 

Tidak perlu dibayar puasanya. Sudah dibayar melalui Fidyah. 


3️⃣ G1

Ijin bertanya ustadz / ustadzah. 

1. Bagaimana hukum jual beli emas secara online? Misal lewat shope* atau tokoped*a? dan

2. Bagaimana hukum menabung emas di pegadaian?

Misal hari ini menabung 100rb, kemudian dikonversi ke harga emas, mendapat 0,1gr emas. Kalau sudah terkumpul 1gr emas baru dicetak emasnya. Terima kasih

Jawab (Bunda Dewi) 

Hukum nya tidak boleh ya.. Karena akad nya harus jelas. Ada uang ada barang nya langsung


4️⃣ G1

Assalamu'alaikum wrwb, ustadz/ustadzah mau tanya karena aku perempuan, boleh tidak kita berdzikir sehabis sholat dengan cara duduk bersila atau berselonjor karena kendala sakit?

Jawab (Ustadzah Tribuwhana) 

Walaikumsalam. 

Berdiri dalam shalat termasuk rukun yang harus dilaksanakan, seseorang tidak boleh mendirikan shalat dengan duduk kecuali karena dia lemah tidak mampu berdiri atau jika dengan berdiri akan sangat memberatkannya, atau karena mempunyai penyakit yang jika dipaksakan berdiri dihawatirkan akan semakin parah.

Maka mereka yang masuk dalam kategori tersebut adalah:

Orang yang lumpuh yang memang sudah tidak mampu berdiri, orang tua yang sudah suit untuk bisa berdiri, atau orang yang sedang sakit dan jika dipaksakan penyakitnya akan bertambah parah atau penyembuhannya menjadi lambat.

Yang menjadi dalam hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori (1050) dari Imron bin Hushain –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Saya pernah kena wasir, maka saya bertanya kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka beliau bersabda:

 صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ 

“Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak bisa maka duduklah, dan jika tidak bisa maka shalat dengan berbaring”.

Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:

“Orang yang sakit jika (shalat) dengan berdiri akan menjadikan penyakitnya tambah parah maka shalat dengan duduk. Sudah menjadi ijma’ para ulama bahwa bagi siapa saja yang tidak mampu berdiri maka dia boleh shalat dengan duduk. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada Imron bin Hushoin:

صل قائما ، فإن لم تستطع فقاعدا ، فإن لم تستطع فعلى جنب . رواه البخاري وأبو داود والنسائي

“Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak bisa maka duduklah, dan jika tidak bisa maka shalat dengan berbaring”. (HR. Bukhori, Abu Daud dan Nasa’i)

Nasa’i menambahkan:

فإن لم تستطع فمستلقيا ، لا يكلف الله نفسا إلا وسعها 

“Jika tidak mampu maka dengan terlentang, Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.

Anas –radhiyallahu ‘anhu- berkata:

سقط رسول الله صلى الله عليه وسلم عن فرس فخُدِش أو جُحش شقه الأيمن فدخلنا عليه نعوده ، فحضرت الصلاة فصلى قاعدا ، وصلينا خلفه قعودا . متفق عليه .

“Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah terjatuh dari kuda sampai lecet kulitnya atau terluka sisi kanan tubuhnya, maka kami menjenguknya, pada saat tiba waktu shalat beliau mendirikannya dengan duduk, maka kami juga shalat dengan duduk di belakang beliau”. (Muttaqun ‘Alaihi)

Meskipun memungkinkan seseorang untuk berdiri, namun dihawatirkan penyakitnya akan bertambah parah atau penyembuhannya menjadi lambat, atau merasakan kesulitan yang parah, maka dia boleh shalat dengan duduk, inilah pendapat Malik dan Ishak. Maimun bin Mahran berkata: “Jika seseorang tidak mampu berdiri dalam urusan dunianya, maka hendaknya dia shalat dengan duduk”. Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad dengan pendapat yang serupa.

Maksudnya adalah bagi siapa saja yang mampu berdiri untuk kemaslahatan dunianya, maka dia harus mendirikan shalat dengan berdiri dan tidak diperbolehkan duduk.

Kemudian Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:

“Menurut kami firman Allah:

وما جعل عليكم في الدين من حرج

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al Hajj: 78)

Memaksakan berdiri dalam kondisi seperti itu adalah bentuk kesulitan; karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah melaksanakan shalat dengan duduk pada saat beliau terluka sisi kanan dari tubuhnya, secara dzahir beliau tidak bisa dianggap sama sekali tidak mampu berdiri, akan tetapi pada saat berdiri beliau merasa kesulitan maka kewajiban berdiri menjadi gugur, maka bagi selain beliau juga gugur. Jika dia mampu berdiri dengan bertumpu pada sebuah tongkat atau dengan bersandar pada dinding atau bersandar kepada salah seorang yang berada di sampingnya, maka dia harus melaksanakan hal itu; karena dia mampu berdiri dan tidak membahayakan, sebagaimana halnya jika dia mampu berdiri tanpa bertumpu pada apapun”. (Al Mughni: 1/443)

An Nawawi –rahimahullah- berkata:

“Sudah menjadi ijma’ umat Islam bahwa bagi siapa saja yang tidak mampu berdiri untuk melaksanakan shalat fardhu maka dilakukan dengan duduk dan tidak perlu mengulanginya lagi. Teman-teman kami berkata: “Pahalanya tidak berkurang dari pahala shalat dengan berdiri; karena dia memiliki udzur (alasan yang dibenarkan), sebagaimana telah diriwayatkan dalam Shahih Bukhori bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

إذا مرض العبد أو سافر كتب له ما كان يعمل صحيحا مقيما 

“Jika seorang hamba sedang sakit atau bepergian maka tetap dituliskan (pahala) baginya seperti halnya yang ia lakukan dalam keadaan sehat dan bermukim”.

Teman-teman kami berkata: “Shalat dengan duduk tidak disyaratkan harus benar-benar tidak mampu berdiri, juga tidak cukup hanya dengan merasa kesulitan pada tingkatan yang paling rendah, akan tetapi yang menjadi patokan adalah kesulitan yang nampak jelas, jika dia merasa hawatir akan mengalami kesulitan yang parah atau akan bertambah sakit, atau yang serupa dengannya atau bagi yang bepergian dengan kapal laut karena hawatir tenggelam atau pusing (mabuk laut) maka dia boleh melaksanakan shalat dengan duduk dan tidak perlu mengulanginya lagi”. (Al Majmu’: 4/201)

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- telah menjelaskan batasan kesulitan yang membolehkan shalat fardhu dengan duduk dan cara duduknya, beliau berkata:

“Batasan kesulitan tersebut adalah jika kekhusu’an masih bisa terpenuhi, khusu’ itu adalah mampu menghadirkan hati dan tuma’ninah (tenang), jika dipaksa berdiri akan gelisah dan tidak tenang, dia berharap untuk bisa segera sampai pada akhir fatihah agar bisa segera ruku’ dengan disertai upaya untuk menahan berdiri, dalam kondisi seperti itu berarti ia merasa berat melaksanakan shalat dengan berdiri maka dia boleh melaksanakannya dengan duduk.

Yang serupa dengan kondisi di atas adalah orang yang sedang ketakutan, ia tidak bisa melaksanakan shalat dengan berdiri, termasuk seseorang yang melaksanakan shalat di balik dinding sedangkan pada sisi lainnya musuhnya sedang mengintainya, jika dia berdiri akan katahuan keberadaannya dari balik dinding, jika dia duduk menjadi tidak terlihat karena terhalang oleh dinding, maka dalam hal ini pendapat kami adalah shalat dengan duduk.

Yang menjadi dasar dalam masalah ini adalah firman Allah Ta’ala:

فإن خفتم فرجالا أو ركبانا البقرة/ 239

“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan”. (QS. Al Baqarah: 239)

Yang menjadi masalah adalah bagaimana cara duduknya ?

Duduk tarabbu’ (kedua telapak kakinya di bawah pahanya) semua betis dan paha kanan menjadi nampak, demikian juga betis dan paha kirinya (seperti duduk pada saat duduk tahiyyat awal); karena duduk iftirasy (seperti duduk pada saat tahiyyat akhir) betisnya tidak terlihat, adapun dinamakan tarabbu’; karena keempat anggota tubuh menjadi nampak.

Apakah duduk tarabbu’ itu wajib ?

Tidak, duduk tarabbu’ adalah sunnah, kalau misalnya dia melaksanakan shalat dengan duduk iftirasy maka tidak apa-apa, atau dengan duduk ihtiba’ (duduk bertumpu pada pantatnya, sedangkan betis dan pahanya ditekuk ke arah perut dengan bantuan kedua lengannya) juga tidak apa-apa; berdasarkan keumuman sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :

فإن لم تستطع فقاعدا 

“Jika kamu tidak mampu maka (lakukanlah) dengan duduk”.

dan beliau tidak menjelaskan bagaimana cara duduknya. Jika ada seseorang yang berkata: “Apakah ada dalil bahwa beliau melaksanakan shalat dengan duduk tarabbu’ ?

Maka jawabannya adalah ada, ‘Aisyah berkata:

رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يصلي متربعا 

“Saya telah melihat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melaksanakan shalat dengan duduk tarabbu’”.

Karena dengan duduk tarabbu’ biasanya lebih tenang, lebih nyaman dari pada duduk iftirasy.  Sebagaimana diketahui bahwa berdiri membutuhkan bacaan yang panjang, lebih panjang dari:

 رب اغفر لي وارحمني

“Ya Allah, ampunilah dan kasihanilah aku”.

Oleh karenanya duduk tarabbu’ lebih utama, manfaat lainnya adalah untuk membedakan antara duduk untuk berdiri dan duduk untuk gerakan lainnya; karena kalau kami katakan duduk iftirasy untuk gerakan berdiri, maka tidak ada bedanya antara duduk untuk gerakan duduk dan duduk yang menjadi ganti dari berdiri.

Jika dalam kondisi ruku’, sebagian ulama mengatakan: “Agar dengan duduk iftiradsy”. Yang benar adalah agar duduk dengan tarabbu’; karena orang yang sedang ruku’ dia bertumpu pada kedua betis dan pahanya, tidak ada perubahan kecuali dengan menekuk punggungnya saja, maka pendapat kami: “(Jika diganti dengan duduk) maka tetap dengan duduk tarabbu’ pada saat ruku’, inilah yang benar dalam masalah ini”. (Asy Syarhul Mumti’: 4/461)

Kedua:

Adapun shalat sunnah, maka boleh dilakukan dengan duduk meskipun tanpa ada alasan yang dibenarkan, sesuai dengan ijma’ para ulama, akan tetapi pahala shalat dengan duduk menjadi setengah dari pahala shalat dengan berdiri, berdasarkan riwayat Muslim (1214) dari Abdullah bin Amr –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Saya telah dikabari bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

صَلاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلاةِ . قَالَ : فَأَتَيْتُهُ ، فَوَجَدْتُهُ يُصَلِّي جَالِسًا ، فَوَضَعْتُ يَدِي عَلَى رَأْسِهِ ، فَقَالَ : مَا لَكَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو ؟! قُلْتُ : حُدِّثْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَّكَ قُلْتَ : صَلاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا عَلَى نِصْفِ الصَّلاةِ ، وَأَنْتَ تُصَلِّي قَاعِدًا ! قَالَ : أَجَلْ ، وَلَكِنِّي لَسْتُ كَأَحَدٍ مِنْكُم 

“Shalatnya seseorang dengan duduk mendapatkan setengah shalat”, Abdullah bin Amr berkata: “Maka saya melaksanakannya, saya mendapatinya shalat dengan duduk, saya meletakkan tangan saya dikepala beliau”, maka beliau bersabda: “Ada apa wahai Abdullah ?”, saya menjawab: “Telah dikabarkan kepada saya bahwa anda bersabda wahai Rasulullah: “Shalatnya seseorang dengan duduk mendapatkan setengah shalat, dan anda melaksanakan shalat dengan duduk”. Maka beliau bersabda: “Ya benar, akan tetapi saya tidaklah seperti salah satu dari kalian”.

An Nawawi –rahimahullah- berkata di dalam Syarah Muslim: “Artinya bahwa shalatnya seseorang dengan duduk pahalanya setengah dari shalat dengan berdiri, hal itu mencakup sah dan berkurangnya pahala. Hadits tersebut berlaku bagi shalat sunnah jika dilaksanakan dengan duduk padahal dia mampu berdiri, maka dia mendapatkan setengah pahala dari shalat berdiri. Adapun jika dia melaksanakan shalat sunnah dengan duduk karena ada alasan yang dibenarkan, maka pahalanya tidak berkurang tetap sama dengan pahala shalat dengan berdiri. Adapun shalat fardhu jika dia melaksanakannya dengan duduk padahal dia mampu berdiri, maka shalatnya tidak sah dan tidak berpahala bahkan dia berdosa.

Rekan-rekan kami dalam madzhab Syafi’i berkata:

“Jika dia menganggapnya halal maka dia telah berubah menjadi kafir, dan dihukumi sebagai orang murtad sebagaimana jika seseorang telah menghalalkan zina, riba atau lainnya yang merupakan perbuatan haram.

Jika dia melaksanakan shalat dengan duduk karena tidak mampu berdiri atau dengan berbaring karena tidak mampu berdiri dan tidak mampu duduk, maka pahalanya sama dengan melaksanakan shalat dengan berdiri tidak berkurang sedikitpun sesuai dengan kesepakatan rekan-rekan kami dalam madzhab, maka menjadi jelas bahwa hadits mendapatkan pahala setengah bagi yang melaksanakan shalat sunnah dengan duduk itu berlaku bagi seseorang yang bisa berdiri namun dia melaksanakannya dengan duduk. Inilah rincian madzhab kami dan merupakan pendapat jumhur ulama tentang hadits tersebut”.

*_Ini tentang sholat...jika sholat saja boleh sambil duduk, apalagi dzikir (dg alasan sakit)_*


5️⃣ G1

Assalamualaikum ustadz / ustadzah mau tanya. Ada orang pergi ke warnet buat print tugas dan tidak tau jika yang punya warnet non muslim dan punya anjing. Dan saat itu anjingnya lewat depan rumah dan tidak tau apakah sandal yang ada di depan rumah terkena liurnya atau tidak. Dan seandainya terkena tapi tidak tau maka hukumnya bagaimana? 

Jawab (Ustadzah Ida Fitria) 

 bila kita ragu maka kembalikan pada hukum asalnya yaitu tidak terkena najis...karena tidak melihat langsung dan tidak ada bekas, bisa kita ambil pelajaran dan kiaskan pada hadist berikut:

Bahwa ada seorang sahabat yang mengadu kepada Rasulullah bahwa pada saat shalat ia merasakan seakan ada sesuatu yang keluar dari duburnya. Kepada sahabat tersebut Rasul memerintahkan untuk tidak membubarkan shalatnya hingga jelas-jelas ada suara atau bau kentut yang keluar dari duburnya  (lihat Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, (Kairo: Darul Hadis, 2010), juz 1, hal. 348).  


6️⃣ G1

IJin bertanya ustadz/ustadzah. Apakah ada tuntunan nya memotong rambut atau kuku di hari-hari tertentu? Terima Kasih

Jawab (Ustadzah Maryam) 

Hukum Potong Rambut dan Kuku Bagi Qurbani

      Bagi orang yang berkurban, dimakruhkan memotong kuku dan seluruh rambut pada tubuh sejak 1 Dzulhijjah hingga hewan kurbannya disembelih.

Ketentuan ini bukan sebagai syarat sah kurban melainkan sebagai pelengkap keutamaan ibadah qurban (afdhaliyyah) sebagaimana sabda Nabi : 

فَتِلْكَ تَمَامُ أُضْحِيَّتِكَ عِنْدَ اللهِ

“Maka itu semua adalah kelengkapan qurbanmu di sisi Allah” H.r. Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, III:93, No. hadis 2789) dan An-Nasai (As-Sunan Al-Kubra, III:52, No. hadis 4455, Sunan An-Nasai, VII:212, No. hadis 4365)

↪️ Disunatkan bagi qurbani tidak memotong rambut dan kuku dari tanggal 1 Dzulhijjah sampai hewan qurbannya disembelih. 

↪️ Dimakruhkan bagi qurbani memotong rambut dan kuku dari tanggal 1 Dzulhijjah sampai hewan kurbannya disembelih. 

Pemotongan rambut dan kuku ini hanya untuk yang berkurban sedangkan untuk anggota keluarga tidak ada dalil yang mengharuskan.


7️⃣ G1

IJin bertanya ustadz/ustadzah. Saat istri sedang haid bagaimana hukumnya atau tuntunan nya untuk memuaskan suami? Terima Kasih

Jawab (Ustadzah Ida Fitria) 

 عن معاذ رضي الله عنه عن النبي ﷺ أنه سأله: ما يحل للرجل من امرأته وهي حائض ؟ قال: ما فوق الإزار 

apa yang halal ketika seorang perempuan haidh? apa2 yang diatas kain

والنبي ﷺ قال: اصنعوا كل شيء إلا النكاح رواه مسلم

 Nabi saw bersabda : lakukan apapun kecuali nikah(memasukan)


8️⃣ G1

Assalamualaykum ustadz. Ana hesty dari bekasi, mau tanya, terkait hadits yang berbunyi :

"Sungguh akan ada sebagian dari umat ku yang menghalalkan Zina, Sutra, Minuman Keras dan Alat Musik (HR. Al-bukhari 10/5590)"

Apakah musik haram ustadz? Jazakalloh khoir.

Jawab (Ustadz Endang) 

Bismillah. Waalaykumussalaam warahmatullahi wabaarokatuh. 

Para ulama sepakat hukum musik adalah haram selama ada tiga hal yang menyertainya. Apa saja?   

*Pertama*, musik menjadi haram jika mengandung unsur kemungkaran maupun kemaksiatan. Ulama mempermasalahkan sisi kemaksiatan yang melekat pada musik tersebut sehingga musik pun menjadi haram. Bentuk kemaksiatan pada musik bisa ada di lirik atau alunan lagunya sendiri. Misalnya bila lagu tersebut mengajak berbuat kemaksiatan.  

Musik juga mengandung kemaksiatan jika umpamanya irama lagu yang dinyanyikan seperti musik ritual peribadatan agama tertentu. Dalam kondisi ini musik menjadi haram, sebab, seorang Muslim dilarang meniru ritual ibadah agama lain.

Kemaksiatan lain yang melekat pada musik bisa juga ada pada orang yang menyanyikan. Misalnya dia menampilkan aurat padahal syariat Islam memerintahkan untuk menutup aurat. Atau, si penyanyi melakukan gerakan-gerakan tidak senonoh dan melampaui batas. Pada intinya, jika suatu musik mengandung kemaksiatan, haram.

*Kedua*, haramnya musik lantaran terdapat fitnah yang berarti keburukan di dalamnya. Artinya, jika musik itu bisa membuat seorang Muslim jatuh pada keburukan, dosa, dan menimbulkan fitnah, maka haram mendengarkannya.

*Ketiga*, musik menjadi haram bila membuat orang yang mendengarnya meninggalkan kewajiban sebagai Muslim. Seorang Muslim punya kewajiban yang harus dilakukan sebagai hamba Allah. Dan segala hal yang menghalanginya melakukan kewajiban itu wajib dihindari.

Kendati demikian, Kitab Tafsir at-Thabari memberi penjelasan dalam kajiannya terhadap Surah Luqman ayat 6. Allah SWT berfirman, "Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan".

Kitab Tafsir at-Thabari (20/128) mengutip pendapat Abdullah bin Mas'ud dan Abdullah bin Abbas untuk menafsirkan ayat tersebut. Menurut dua Sahabat Nabi SAW itu, diksi lahwun pada ayat tersebut berarti musik, nyanyian dan mendengarkannya.  

Kitab Tafsir Ibnu Katsir juga menguatkannya, dengan menyebutkan bahwa, "Ketika Allah SWT menjelaskan keadaan orang-orang yang berbahagia, mereka adalah yang mendapatkan petunjuk dari Kitab Allah SWT dan mengambil manfaat dari mendengarkannya".  

Kemudian, masih dalam Tafsir Ibnu Katsir, Allah SWT juga menjelaskan tentang keadaan orang yang merugi dan sengsara (asyqiya) yaitu yang menolak mengambil manfaat dari mendengarkan ayat-ayat Allah SWT, dan menerima untuk mendengarkan suara seruling, nyanyi-nyanyian dan juga alat musik. 

Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas adalah Sahabat Nabi SAW yang mengharamkan musik. Salah satu dalil yang mengharamkan musik yaitu hadis riwayat Imam al-Bukhari. Nabi Muhammad bersabda, "Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar dan alat musik". 

Diksi alat musik yang digunakan dalam hadis itu adalah ma'azif, kata jamak, yang mengacu pada alat musik yang dipukul. Zarkasih memaparkan, ma'azif pada zaman sekarang mungkin dapat diserupakan dengan gendang. 

Jika ada yang menghalalkannya, berarti asalnya itu memang haram. Dan Nabi Muhammad mengingatkan soal itu agar umatnya mawas diri.

Sedangkan Sahabat Nabi yang membolehkan musik salah satunya adalah Abdullah bin Zubair. Imam As-Syaukani dalam "Nailul-Authar", menceritakan tentang kisah Abdullah bin Zubair, budak perempuan, dan gitar. 

Suatu kali, Ibnu Umar bertandang ke rumah Abdullah bin Zubair dan melihat sebuah alat musik. Lalu dia bertanya benda apa itu, dan bertanya lagi, "apakah ini alat musik (mizan Syami) dari Syam?". Lalu dijawab oleh Ibnu Zubair, "Dengan ini akal seseorang bisa seimbang".


9️⃣ G1

Assalamualaikum. Ijin bertanya. Apa yang harus istri lakukan, suami meminjamkan sertifikat rumah kepada kakaknya untuk jaminan meminjam uang ke bank, istri hanya diberitahu saja tidak diajak berdiskusi? Terima Kasih. 

Jawab (Ustadz Robin) 

Jika mampu, nasihati suami bahwa meminjam ke bank (konvensional) adalah riba. Jika ada kebutuhan keuangan kakaknya yg mendesak, ajaklah berkonsultasi ke bank syariah untuk mendapatkan pembiayaan sesuai syariah.

Jika tidak mampu menasihati suami secara langsung, maka doakan, semoga Allah memberikan petunjuk pada suami.

Sertifikat rumah, jika itu rumah suami, maka hak suami untuk memperlakukannya seperti apa, tp jika digunakan tuk hal yang melanggar syariat, istri sebaiknya sebisa mungkin menasihati suami.

Komunikasikan baik-baik, sambil terus memohon pertolongan Allah.


🔟 G2

Ijin bertanya ustadz / ustadzah. Seumpama kita kerja jadi karyawan bank itu hukumnya gimana? Apakah gaji kita termasuk riba juga?

Jawab (Ustadz Robin) 

Bunga bank konvensional adalah  riba sesuai fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Gaji pegawai bisnis riba, maka hukumnya mengikuti sumber pendapatannya. Solusinya pindah bekerja ke bank syariah, yang lebih sesuai syariat dan aman.


1️⃣1️⃣ G2

Izin bertanya Umum Fiqih: Tetangga saya memelihara anjing besar, 3 ekor. Ketika malam selalu saya lihat anjingnya tiduran di kursi panjang depan rumahnya tu(tempat santai-santai yg punya rumah). Apakah jika seseorang ketika duduk diatas kursi tersebut baik dalam keadaan kering atau basah ikut bernajis (tangan dan baju /celananya)? bagaimana sebaiknya?

Jawab (Ustadz Endang) 

 Bismillah. Semoga jawaban berikut lebih lengkap dari tujuan pertanyaan di atas. 

Dalam Islam, anjing sesungguhnya dikenal sebagai binatang yang bisa mengantarkan ampun an dan pahala. Dalam sebuah hadis yang cukup terkenal yang ber sumber dari Abu Hurairah dan diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, dikisahkan ada seorang perempuan pelacur melihat se ekor anjing sedang mengelilingi sebuah telaga pada hari nan terik. Anjing itu berusaha menjulurkan lidahnya karena kehausan. Perempuan itu pun menggunakan alas kaki yang terbuat dari kulit untuk mengambil air itu hingga anjing tersebut dapat minum. Nabi SAW pun bersabda, atas per buatannya itu, dosa wanita itu diampuni.

Kisah lainnya yang masih bersumber dari Abu Hurairah dan di riwayatkan Imam Bukhari Mus lim menjelaskan, seorang le laki pernah berjalan dan meng alami kehausan. Dia berjumpa sebuah telaga untuk turun dan meminum airnya. Ketika keluar dari telaga itu, dia melihat seekor anjing mengeluarkan lidahnya. Dia menjilat-jilat debu karena kehausan. Lelaki itu berkata di dalam hatinya, anjing ini mesti kehausan seperti aku.

Dia pun turun ke dalam telaga dan memasukkan air ke dalam alas kakinya. Lelaki itu menggunakan mulutnya untuk menggigit alas kaki itu supaya dapat membawanya naik ke atas. Dia hen dak memberikan air kepada an jing itu. Melihat itu, Allah SWT berterima kasih kepadanya dan mengampuninya. Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, se sungguhnya perbuatan kita terhadap binatang seperti anjing ter sebut bisa mendapatkan pahala? Rasulullah SAW menjawab, 'Se tiap yang mempunyai ruh (ber nyawa) ada pahalanya'."

Anjing sesungguhnya me nyim pan najis dari air liurnya. Ka rena itu, Rasulullah SAW me nyuruh kita untuk mencuci be jana tempat air dengan tujuh kali cucian, se dangkan satu di anta ranya menggunakan tanah. Ini pun diqiyaskan sebagai alasan pa ra ulama untuk menetapkan bah wa air liur anjing bersifat najis. Dr Said bin Ali bin Wahf al- Qahthani menjelaskan, najis ada lah kotoran yang harus dibersih kan dan dicuci pada bagian yang terkena olehnya. Dalam hal ini, kewajiban untuk membersihkan bejana yang terkena liur anjing menjadi cara untuk membersih kan najis.

Imam Malik mengungkapkan, najis hanya sebatas pada air liur anjing. Sedangkan, tubuhnya boleh untuk disentuh. Imam Syafi'i RA menetapkan bahwa tubuh anjing secara keseluruhan bersifat najis. Menurut Imam Sya fii, tidak ada yang bisa me mastikan di bagian mana saja anjing itu menjilati tubuhnya. Ketika menyentuh anjing tersebut, kita bisa terkena najis.

Nabi SAW pun secara eksplisit menyebutkan syarat agar anjing bisa dipelihara. Diriwayatkan daripada Sufian bin Abu Zuhair RA katanya: "Aku pernah men dengar Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang memelihara anjing bukan untuk menjaga ladang atau ternak, maka setiap hari pahala amalannya akan berkurang sebanyak satu qirat." Dr Yusuf Qardhawi dalam bukunya Al Halal wal Haram fi Islam terbitan Darul Ma'rifah dan terjemahan versi Indonesia Halal Haram dalam Islam mengungkapkan, di antara yang dilarang Nabi SAW adalah memelihara anjing di rumah tanpa ada suatu alasan untuk keperluan.

Larangan ini tidak lain untuk anjing yang dimiliki (dipelihara) bukan untuk keperluan atau man faat tertentu. Sebagian ahli fikih berpendapat bahwa la rang an memelihara anjing tersebut adalah makruh bukan haram, kecuali pemeliharaan anjing untuk pemburu, penjaga ternak, kebun dan sejenisnya adalah boleh. Makruh adalah suatu hal yang dibenci atau larangan Allah SWT yang tidak dikenai sanksi haram. Namun, orang yang mempermudah dan mengabaikan hal yang makruh cenderung terjerumus dalam hukum haram.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Garut pernah memberi fat wa mengenai hukum memelihara anjing ini. Menurut MUI, hukum memelihara anjing untuk tujuan dan kebutuhan dan manfaat tertentu serta segala perkara yang berkaitan dengan pemeliharaannya bersifat mubah. Jika tanpa adanya keperluan dan manfaat, hukumnya menjadi makruh.

Meski demikian, MUI Garut mem beri catatan jika dalam memelihara anjing tidak berkeliaran di dalam rumah. Anjing harus ditempatkan dalam kandang atau pekarangan khusus agar terpelihara, terjaga, dan tidak menimbulkan dampak negatif atau mem bahayakan lingkungan sekitar. Untuk anjing yang diperbantukan sebagai binatang pemburu atau penjaga keamanan, semestinya memperoleh didikan untuk kepentingan tuannya. MUI juga memberi catatan agar anjing-anjing liar yang di khawatirkan dapat mengganggu kesehatan masyarakat dan bina tang pemburu sebaiknya diserahkan kepada otoritas berwenang.


1️⃣2️⃣ G2

Teman saya punya masalah pencernaan makanannya, BAB nya selalu padat. Ketika berpuasa, siangnya BAB, harus memasukkan sesuatu kedalam duburnya, bagaimana  keadaan puasanya, batalkah?

Jawab (dr Lilis) 

 Suppositoria adalah obat yang dimasukkan ke dalam rectum atau anus. Obat ini digunakan oleh orang orang yang mengalami masalah gangguan pencernaan seperti sembelit atau susah buang air besar. Obat ini tidak membatalkan puasa.


1️⃣3️⃣ G2

Assalamu'alaikum ustadz. Apakah ada perintah untuk mengqodho sholat fardhu karena haidh? Atau mungkin ada sebab yang lain? Misal karena opname, ketiduran, lupa atau karena belum dapat hidayah padahal sudah baligh.

Jawab (U.Farid Nu'man) 

Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Shalat yang ditinggalkan karena haid, sama sekali tidak ada qadha saat masa sucinya nanti.

Aisyah Radhiallahu 'Anha berkata:

قَدْ كَانَتْ إِحْدَانَا تَحِيضُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ، ثُمَّ لَا تُؤْمَرُ بِقَضَاءٍ" متفق عليه.

_Di masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kami haid dan kami tidak diperintahkan untuk qadha._ (HR. Muttafaq 'Alaih)

Ini telah menjadi ijma',  bahwa tidak ada qadha shalat bagi wanita haid.

Imam Ibnul Mundzir berkata:

وأجمعوا على أن الحائض لا صلاة عليها في أيام حيضتها، فليس عليها القضاء

_Para ulama ijma' bahwa wanita haid tidaklah shalat di hari-hari haidnya dan tidak ada qadha atas mereka._ *(Al Ijma', Hal. 42)*

Ada pun tidak shalat karena sakit, opname, tertidur, lupa, maka wajib qadha saat dia teringat atau sadar.

 Sebagaimana hadits, Dari Abu Qatadah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

ذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَوْمَهُمْ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ فَإِذَا نَسِيَ أَحَدُكُمْ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

Mereka menceritakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa tidurnya mereka membuat lalai dari shalat. Maka Beliau bersabda: “Sesungguhnya bukan termasuk lalai  karena tertidur, lalai itu adalah ketika terjaga. Maka, jika kalian lupa atau tertidur maka shalatlah ketika kalian ingat (sadar).” (HR. At Tirmidzi No. 177, katanya: hasan shahih)

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ{وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي}

Barang siapa yang lupa dari shalatnya maka hendaknya dia shalat ketika ingat, tidak ada tebusannya kecuali dengan itu (Allah berfirman: “dirikanlah shalat untuk mengingatKu”). (HR. Bukhari No. 597)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menerangkan:

اتفق العلماء على أن قضاء الصلاة واجب على الناسي والنائم

_Para ulama sepakat tentang wajibnya mengqadha shalat bagi orang LUPA atau tertidur._ (Fiqhus Sunnah, 1/274, Lihat juga Bidayatul Mujtahid, 1/182)

Sedatangkan untuk shalat di masa lalu yang ditinggalkan di masa-masa remaja, bertahun2, yang jika dihitung bisa sampai ribuan shalat ditinggalkan, apakah di qadha? Dalam hal ini ada dua pendapat, tetap wajib qadha, inilah pendapat mayoritas ulama dari empat madzhab. Dengan cara mengingat berapa jumlahnya sesuai dugaan kuatnya, lalu hendaknya dia shalat untuk mengqadha tiap harinya sampai habis semua shalat yang tertinggal itu.

Ulama lain mengatakan tidak wajib qadha tapi hendaknya bertobat, banyak2 istighfar, banyak melakukan shalat sunnah. Ini pendapat Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnu Taimiyah, dll.

Demikian. Wallahu A’lam


1️⃣4️⃣ G2

اَلسَلامُ عَلَيْكُم وَرَحْمَةُ اَللهِ وَبَرَكاتُهُ‎

izin bertanya ....apa hukum berdagang online dengan sistem arisan (calon konsmen menyetor sejumlah uang setiap bulan dalam jangka waktu yang sudah ditentukan kepada penjual. cara mendapatkan produk sesuai hasil kocok nama para peserta sebelum arisan berjalan)? Jazakumullah khoir

Jawab (Ustadz Ashari ) 

 Wassalamu'alaikum warahmatullah. 

Hukum (arisan) boleh dan tidak tergantung dari praktek yang berlaku seperti apa. Kalau saling percaya, orangnya kita kenal semua, dan uang yang kita serahkan dengan uang yang kita dan terima jumlahnya sama, hukumnya boleh. Tapi jika mengandung risiko besar dan menimbulkan mudharat (kerugian) harus dihindarkan, apalagi sering terjadi kasus penipuan untuk itu lebih baik hindari, Apalagi online unsur gharrar maisir jelas


1️⃣5️⃣ G2

Ijin bertanya ustadz/ ustadzah. Hal-hal apa saja yang harus di lakukan sebelum berkurban. Terima kasih

Jawab (Bunda Dewi) 

Menghidupkan 7 amalan 10 hari pertama dzulhijah, yakni:

1.Melaksanakan sholat fardhu tepat waktu

2.Menjaga sholat sunah rawatif dan sunah lain nya

3. banyak bertakbir, tahlil, tahmid dan kalimat thayyibah

4.Memperbanyak tilawah alquran dan berpuasa sunah

5.Tidak memotong kuku dan rambut

6. Memperbaharui tobat dan istigfar di waktu sahur

7.Melaksanakan ibadah kurban 

Sumber : ust bagus ferry setiawan (Cahaya Alquran)


★★★★★★★★★★★★★★

Badan Pengurus Harian (BPH) Pusat 

Hamba اللَّهِ SWT

Blog: http://kajianonline-hambaallah.blogspot.com

FanPage : Kajian On line-Hamba Allah

FB : Kajian On Line-Hamba Allah

Twitter: @kajianonline_HA

IG: @hambaAllah_official

Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Post a Comment

Ketik Materi yang anda cari !!