Jumat, 16 Mei 2014
Nara Sumber : Ustad Dodo Hidayat Sunaly
Notulen : Bunda Nofita
QURBAN DAN AQIQAH: Manakah yang Harus didahulukan?
بسم الله الرحمن الرحيم
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه
■ Menyangkut qur'ban
karena yang kita teladani nabi IBRAHIM AS, manakah yang
harus didahulukan jika kita ingin melakukan qurban
bila contoh. Saya punya uang hanya cukup untuk beli seekor hewan, tapi kita
ingin mengqurbankan untuk orang tua kita tetapi, kita sendiri belum
melaksanakan kurban ??
dan bolehkah kita
melaksanakan kurban untuk orang yang telah meninggal dunia?
Jawab:
Saya ingin berqurban, tetapi
dananya hanya cukup untuk qurban saya pribadi, sementara itu saya juga ingin
memberikan pahala qurban untuk orangtua saya?
Yang jarang diketahui ummat
adalah sebetulnya, satu ekor kambing qurban itu cukup nilainya untuk kurban
satu keluarga. Dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun
jumlahnya banyak, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits dari Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang
mengatakan,
كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي
بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
”Pada masa Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban
bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi, ia menilainya shahih, Minhaajul
Muslim, Hal. 264 dan 266).
Oleh karena itu, tidak selayaknya
seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu.
Misalnya, qurban tahun ini untuk bapaknya, tahun depan untuk ibunya, tahun
berikutnya untuk anak pertama, dan seterusnya. Sesungguhnya karunia dan
kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berqurban untuk dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika rasulullah
hendak menyembelih kambing qurban, sebelum menyembelih rasulullah mengatakan,
اللّهُمّ هَذَا عَنِّي، وَعَمَّنْ
لَـمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي
“Ya Allah ini –qurban– dariku dan
dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud, no.2810 dan Al-Hakim 4:229
dan dishahihkan Syekh Al-Albani dalam Al Irwa’ 4:349).
Berdasarkan hadits ini, Syekh Ali
bin Hasan Al-Halaby mengatakan, “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban,
mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.” (Ahkamul Idain, Hal. 79)
Adapun yang dimaksud: “…kambing
hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…”
adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang,
biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dan kurban unta
hanya boleh dari maksimal 10 orang.
Allahu a’lam!
■ Ustad jika Aqiqah
yg melakukan bukan kita..tetapi orang lain atau pun orangtua
kita hukumnya bagaimana?? Apakah boleh dilain waktu selagi masih
hidup dilaksanakan Aqiqah pak? Karena orang tau saya belum aqiqoh pak.
Jawab:
Aqiqah adalah tanggung jawab
utama orangtua, bukan sebaliknya. Dan tidak ada dalilnya. Jadi tidak perlu
dilaksanakan.
Saran saya, lebih baik berqurban
saja, seperti jelas-jelas diterangkan hadits di atas, pahalanya akan mengalir
untuk orangtua kita.
Dua-duanya, qurban dan aqiqah
sama-sama amalan sunnah mu'aqadah (sunnah yang sangat dianjurkan).
Keduanya pensyari'atannya
berbeda, walaupun mediumnya bisa sama, yakni memotong kambing.
Aqiqah dalam rangka syukur atas
kelahiran bayi, sementara qurban dalam rangka mentauladani Nabi Ibrahim.
Aqiqah dilakukan saat hari ke 7
kelahiran bayi, sementara qurban hanya ada si hari udhiyyah, 10 dan 11, 12, 13
(tasyrik) saja...
Jadi, sekali lagi dua ibadah yang
berbeda cuma (bisa) satu mediumnya, yakni hewan kambing.
Wallahu a'lam!
■ Bolehkah saya mengaqiqahkan
diri saya sendiri, karena orangtua dulu tidak mengerti dan tidak ada biaya?
Bukankah aqiqah harus di hari ketujuh dari kelahiran?
Inilah hadits popular tentang
aqiqah,
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ
بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى »
Dari Samurah bin Jundub,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan
dengan akikahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya
dan diberi nama.” (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol.
3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Hadits ini diintrepretasikan
beragam oleh para ulama sejak dulu. Mereka berbeda pendapat tentang sampai
kapan BATASAN usia seorang anak masih dapat diaqiqahkan. Tetapi mereka semua
sepakat bahwa hari ketujuh dari kelahiran adalah waktu yang afdhaliyat (yang
utama) untuk pelaksanaan aqiqah.
Mengenai boleh tidaknya aqiqah
selain hari ketujuh sebagaimana makna terbaca dari hadits tersebut di atas,
kita klasifikasikan menjadi dua kelompok.
1. Kelompok yang MENTIDAKBOLEHKAN
aqiqah selain hari ketujuh,
2. Kelompok yang MEMBOLEHKAN
aqiqah selain hari ketujuh.
Berikut alasan dan dalil mereka
masing-masing...
1. Kelompok yang MENTIDAKBOLEHKAN
aqiqah selain hari ketujuh, termasuk yang mentidakbolehkan mengaqiqahkan diri
sendiri.
A- Hadits yang membicarakan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi diri sendiri adalah hadits dha'if
(lemah).
أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن
نفسه بعدما بعث نبيا
“Nabi ‘alaihi
wa sallam mengakikahi dirinya sendiri setelah ia diutus sebagai Nabi” (HR. Al
Baihaqi 9: 300)
Imam Nawawi berkata, hadits ini
adalah hadits batil. Al Baihaqi mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits
munkar. Imam Ahmad mengatakan hadits ini munkar.
B- Para sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum diaqiqahi di masa jahiliyah, tidak
mengaqiqahi diri mereka sendiri ketika telah masuk Islam.
C- Aqiqah menjadi tanggung jawab
orang tua dan bukanlah anak.
D- Hukum aqiqah menurut jumhur
(mayoritas) ulama adalah sunnah dan bukanlah wajib.
E- Ibnu Qayyim Al Jauziyyah
rahimahullah berkata:
"Pasal ke 19: Hukum siapa
yang belum diaqiqahi atasnya kedua orantunya, apakah ia mengaqiqahi dirinya
jika sudah baligh, berkata Al Khallal: “Bab Anjuran bagi siapa yang belum
diaqiqahi atasnya semasa kecil, maka ia boleh mengaqiqahi atas dirinya sendiri
ketika dewasa. Kemudian ia menyebutkan pertanyan-pertanyaan Isma’il bin Sa’id
Asy Syalinji, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Imam Ahmad tentang
seseorang yang orangtuanya memberitahukkannya kepadanya bahwa ia belum
diaqiqahi, apakah boleh untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri? Beliau menjawab:
“(Aqiqah) itu kewajiban bapak. Lihat kitab Tuhfat Al Mawdud Bi Ahkam Al Mawlud.
F- Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata:
“Dan jika belum diaqiqahi sama
sekali lalu sang anak mencapai baligh dan berpenghasilan, maka tidak ada
kewajiban aqiqah atasnya. Imam Ahmad ditanya tentang permasalahan ini, beliau
berkata: “(Aqiqah) itu kewajiban orangtua, maksudnya adalah ia tidak (boleh)
mengaqiqahi atas dirinya, karena menurut sunnah (mewajibkan) dalam hak
selainnya.” Berkata Atha’, Al Hasan: “Ia (boleh) mengaqiqahi atas dirinya,
karena aqiqah ini disyariatkan atasnya dan karena ia tergadaikan dengannya,
maka semestinya ia menyegerakan pembebasan dirinya, dan menurut kami, bahwa aqiqah
adalah disayriatkan pada kewajiban orangtua maka tidak boleh mengerjakannya
selainnya, seperti orang lain dan seperti sedekah fitr.”
2. Kelompok yang MEMBOLEHKAN
aqiqah selain hari ketujuh, termasuk yang membolehkan mengaqiqahkan diri
sendiri.
A- Ulama Syafi’iyah mengatakan
bahwa aqiqah masih jadi tanggung jawab ayah hingga waktu si anak baligh. Jika
sudah dewasa, aqiqah jadi gugur. Namun anak punya pilihan untuk mengaqiqahi
diri sendiri.
B- Penulis kitab Mughnil Muhtaj,
Asy Syarbini rahimahullah berkata:
“Jika telah mencapi usia baligh,
hendaklah anak mengakikahi diri sendiri untuk mendapati yang telah luput.”
(Mughnil Muhtaj).
C- Al Hasan Al Bashri
rahimahullah berkata:
“Jika belum diaqiqahi atasmu,
maka aqiqahkanlah atas dirimu, meskipun kamuseorang lelaki dewasa.” Lihat Kitab
Al Muhalla dan Syarh As Sunnah.
D- Muhammad bin Sirin
rahimahullah berkata:
“Aku mengaqiqahkan atas diriku
dengan seekor onta betina setelah aku dewasa.” Lihat kitab Syarah As Sunnah.
"Jia belum diaqiqahi
seseorang dimasa kecilnya maka ia mengaqiqahkan atas dirinya ketika dirinya
sudah besar, beliau juga berkata: “Jika dilakukan oleh seseorang maka aku tidak
membencinya.” Lihat kitab Tuhfat Al Mawdud Bi Ahkam Al Mawlud,
E- Syeikh Ibnu Baz rahimahullah
berkata:
“Dan pendapat yang pertama lebih
jelas, yaitu dianjurkan ia mengaqiqahi dirinya, karena aqiqah adalah sunnah
muakkadah dan orangtuanya telah meninggalkannya, maka disyariatkan kepadanya
agar melakukan jika ia mampu, yang demikian itu berdasarkan keumuman beberapa
hadits, diantaranya; Sabda RAsululah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Setiap anak
tergadaokan dengan aqiqahnya, disembelih atasnya (hewan aqiqahnya) pada hari ke
tujuhnya, digunduli kepalanya dan memberikan nama.” HR. Ahmad dan para penulis
kitab Sunan, dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang
shahih. Dan termasuk diantaranya; hadits Ummu Al Kurz Al Ka’biyyah bahwa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “ beliau memerintahkan anak
lelaki agar diaqiqahi dengan dua ekor kambing dan anak perempuan agar diaqiqahi
dengan satu ekor kambing.” HR. Imam yang lima dan Tirmidzi menshahihkan riwayat
yang semisal yaitu dari riwayat Aisyah dan hadits ini tidak ditujukan kepada
siapa-siapa, maka berarti mencakup anak, ibu dan selain keduanya dari para
kearabat anak yang terlahir tersebut.” Lihat kitab Majmu’ Fatawa Syeikh Ibnu
Baz.
F- Syeikh Al Fauzan hafizhahullah
berkata:
“…Jika orangtua mengerjakannya
(aqiqah) maka sungguh ia telah meninggalkan sunnah dan jika orangtuanya belum
mengaqiqahinya kemudian ia mengaqiqahi dirinya sendiri, maka hal itu tidak
mengapa, sepenglihatan saya, wallahu a’lam.” Lihat kitab Al Muntaqa Min Fatawa
Al Fawzan.
“Yang utama (aqiqah) dilakukan
pada hari ke tujuhnya, ini adalah paling utama yang telah ditegaskan atasnya,
maka jika terlambat dari itu tidak mengapa, dan tidak ada batasan untuk akhir
waktunya kecuali sebagian para ulama berkata: Jika anak yang lahir sudah besar
maka waktu aqiqahnya sudah lewat, maka tidak dianjurkan untuk melakukan aqiqah
atas seorang yang sudah besar. Dan (sedangkan) mayoritas ulama berpendapat
bahwa tidak ada larangan untuk itu meskipun sudah besar.” Lihat kitab Al
Muntaqa min Fatawa Al Fawzan,
Para Bunda yang dirahmati Allahu
Ta'ala, berdasarkan keterangan demi keterangan di atas, maka saya mempersilakan
para Bunda untuk memilih pendapat yang sesuai dengan qalb (sanubari). jika
diliputi keraguan, Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam berpesan, istaft bi
qalbak, tanyalah relung hati kita yang terdalam.
Jelas sudah dalil dan keterangan
di atas apakah boleh atau tidak seseorang mengaqiqahi dirinya sendiri ketika
sudah besar, jika ia belum diaqiqahi pada masa kecil.
Wallahu a’lam
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT