Home » » JAMAK KHASAR

JAMAK KHASAR

Posted by Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT on Friday, November 7, 2014

Kajian Online Telegram Hamba  اللَّهِ  SWT

Hari / Tanggal : Kamis, 06 November 2014
Narasumber : Ustadz Abdullah khaidir Lc
Notulen : Nurza
Editor : Ana Trienta

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.... كيف حالكم اخوتي في الله،،،،عساكم طيب0ين....طيبينجاهزين ان شاء الله......؟

Saya mau kasih materi sholat qashar jamak mungkin ada yang sudah dapat hitung-hitung saling mengingatkan atau ada usulan lain?

Thayib, kita mulai saja yah....
Shalat qashar artinya shalat yang jumlah rakaatnya diringkas, dari 4 rakaat menjadi 2 rakaat. Berarti yang dapat di qashar hanyalah shalat Zuhur, Ashar dan Isya. Shubuh & Maghrib tidak dapat diqashar. Sedangkan shalat Jamak adalah 2 shalat yang pelaksanaannya digabung dalam satu waktu. Hanya berlaku untuk Zuhur dan Ashar serta Magrib dan Isya.

Shubuh tidak dapat dijamak dengan Zuhur, Ashar tidak dapat dijamak dengan Maghrib. Shalat qashar jamak dalam ajaran Islam merupakan bentuk rukhshah (keringanan) yang Allah berikan kepada hambaNya.

Pendapat yang cukup kuat mengatakan bahwa rukhshah sunah diambil. Sebab Allah senang jika keringanan yang diberikan dimanfaatkan hambaNya. Itupula yang dipraktekkan Rasulullah saw jika memenuhi syarat untuk shalat qashar dan jamak, beliau melakukannya. Jangan kemudian berdalih, karena shalat 4 rakaat lebih banyak, maka dia lebih bagus, atau lebih hati. Kecuali jika syarat-syaratnya tidak terpenuhi.

Kapan dan bagaimana shalat qashar dan jamak disyariatkan?
Untuk shalat qashar, hanya dibolehkan jika seseorang melakukan safar dalam jarak tertentu. Tidak ada selain itu alasan untuk melakukan qashar shalat. Dalil utamanya ada dalam Al-Quran, An-Nisa 101, dalam banyak riwayat Rasulullah saw melakukan shalat qashar saat sedang safar. Adapun masalah shalat jamak, para ulama tidak bulat pendapatnya, alias tidak ittifaq. Ada yang sangat ketat, ada yang sangat luwes.

Yang sangat ketat adalah mazhab Hanafi. Mereka berpendapt shalat jamak tidak disyariatkan, kecuali jamak shalat bagi jamaah haji. Maksudnya saat jamaah haji wukuf di Arafah, jamak Zuhur Ashar. Dan saat mabit di Muzdalifah, jamak Maghrib Isya. Mereka berdalil bahwa shalat telah ditetapkan waktunya masing-masing sebagaimana dalam surat An-Nisa 102. Menurut mereka shalat harus dilakukan pada waktunya masing-masing, tidak dapat diabaikan begitu saja dengan dalil-dalil yang tidak terlalu meyakinkan.

Adapun jumhur ulama (Mazhab Maliki, Syafii dan Hambali) membolehkan jamak shalat di luar itu. Mereka (jumhur ulama) sepakat bahwa safar merupakan sebab dibolehkannya jamak. Banyak riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi saw melakukan shalat jamak dalam safar. Selain safar, ada lagi yang menjadi sebab dibolehkannya jamak, yaitu hujan, bagi orang yang shalat berjamaah di masjid. Jumhur ulama sepakat bhw safar dan hujan menjadi sebab dibolehkannya menjamak shalat, meskipn ada perbedaan dlm rinciannya. Di luar kedua sebab tersebut, mazhab Syafii tidak membolehkan melakukan shalat jamak.

Adapun mazhab Maliki dan Hambali berpendapat masih ada sebab lain yang membolehkan melakukan shalat jamak. Dalam mazhab Maliki selain safar dan hujan yang membolehkan jamak shalat, adalah sakit dan jalanan yang berlumpur serta gelap.

Adapun mazhab Hambali, dikenal sebagai mazhab yang paling luas dalam masalah jamak shalat. Selain safar, hujan, jalan berlumpur, ada lagi sebab lainnya yang membolehkan jamak shalat dlm mazhab Hambali. Yaitu wanita istihadhah & menyusui, serta orang yang memiliki alasan dan kesibukan mendesak sehingga sulit melakukan shalat pada waktunya.

Maka jika dirunut, mazhab yang paling ketat dalam masalah jamak shalat adalah mazhab Hanafi, berikutnya Syafii, lalu Maliki, lalu Hambali. Perbedaan ini lahir karena interpretasi yang berbeda-beda terhadap dalil-dalil yang ada. Begitulah fikih. Bagaimana para ulama berijtihad mengambil kesimpulan dari sudut pandang masing-masing, tentu dengan rambu-rambu yang ada.

Sekarang kita bicarakan safar yang menjadi sebab dibolehkannya qashar dan jamak shalat..
Ada 2 perkara yang penting dipahami dalam masalah safar untuk qashar dan jamak shalat; 1- Jarak yang ditempuh 
2- Lama menetap saat safar.

Jumhur ulama berpendapat bahwa sebuah perjalanan dikatakan safar jika menempuh jarak tertentu. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa jarak bukan standar, tapi ‘urf (kebiasaan), berapapun jaraknya. Thayib, kita pakai pendapt jumhur saja. Safar ditetapkan berdasarkn jarak. Berapa jaraknya? Yang seriñģ disebùt-sebut menģenai batas minìmal jarak safar yang membolehkan qashar jamak adalah 80 km.

Angkà 80 tdk harus persis, kurañg sekilo dua kilo tidaķ mengàpa. Karena pada zaman dahuĺu jaraķ perjlañàñ ditetapkn berdasarkan waktu tempuh. Dalam nash sebuah perjalanan dikatakan safar kalau menempuh jarak 4 burd atau perjalanan sehari semalam. Nah, perjalanan sehari semalam jika nonstop dan normal dengan mengendarai onta pada waktu itu dikira-kira sama dengan kurang lebih 80 km sekarang.

Akan tetapi yang harus diketahui 80 km ini dihitung sejak batas kota, bukan dari dalam kota. Standarnya adalah harus keluar dari kotanya. Jika rumahnya dari dalam kota, lalu ke batas kota menempuh 30 km, maka 30 km tersebut tidak dihitung. Juga kalau seseorang sudah menempuh jarak 200 km misalnya, tapi cuma “ngutek2″ di dalam kota, itu tetap tidak dikatakan safar. Akan tetapi, untuk melakukan shalat qashar dan jamak, seseorang tidak harus menunggu jarak tersebut. Jika safarnya diperkirakan menempuh jarak 80 km lebih, maka ketika keluar batas kota dia sudah boleh qashar dan jamak, walau cuma 1 kilo 2kilo. Rasulullah saw jika umroh atau haji shalat qashar di Dzulhulaifah, padahal jaraknya dengan masjid Nabawi kisaran 10-15 km.

Berikutnya tentang lama menetap sehingga seseorang dianggap masih safar yang membolehkannya qashar dan jamak shalat. Masalah lama menetap dalam safar ini juga menimbulkan perbedaan pendapat ulama yang cukup beragam. Ada yang paling luas, yaitu pendapat tidak adanya batas lama menetap. Maksudnya, selama seseorng tinggal di negeri asing dan akan kembali ke negerinya, selama itu dia dalam safar, berlaku baginya hukum safar.

Soal lama menetap sehingga masih dihukumi safar, seperti saya katakan, ada perbedaan di antara para ulama. Seperti saya katakan, ada sebagian pendapat yang menyatakan tidak ada batasan waktu tentang itu. Kapan saja seseorang niat kembali, maka dia safar. Dengan demikian, bagi perantau di suatu daerah/negeri yang akan kembli ke kampung halamnnya, maka berlaku baginya hukum safar. Tapi itu salah satu pendapat. Pendapat lain, dan ini yang dikuatkan, bahwa lama menetap yang berlaku baginya hukum safar adalah 4 hari.

Hal ini didasari pada lama menetap Nabi saw di Mina saat berhaji, yaitu dari tanggal 10-13 Dzulhijah. Selama itu beliau shalat qashar. Jadi kalau seseorang safar, lalu menetap di suatu tempat tidak lebih dari empat hari, maka selama itu dia boleh qashar dan jamak shalat. Memang ada riwayat bahwa Nabi saw menetap saat Fathu Mekah dan perang Tabuk selama belasan hari dan selama itu beliau shalat qashar. Namun para ulama menyimpulkan bahwa hal tersebut karena keberadaan beliau di tempat tersebut tidak dapat dipastikan masanya, sesuai dengan perkembangan kondisi. 

Sekarang bagaimana teknis shalat qashar dan jamak? Shalat qashar jamak tidak mesti dilakukan keduanya sekaligus. Kadang lebih utama shalat qashar dan jamak sekaligus. Kadang lebih baik qashar saja tanpa jamak, kadang hanya boleh jamak saja tanpa qashar.

Hal ini dengan catatan dia tidak bermakmum kepada imam yang shalat sempurna. Sebab kalau imamnya shalat sempurna, dia harus ikut shalat sempurna. Shalat qashar jamak sendiri ada dua cara; Yaitu jamak taqdim dan jamak ta’khir. Jamak taqdim adalah melakukannya di waktu pertama. Misal shalat Zuhur Ashar, di lakukan di waktu Zuhur. Atau Maghrib Isya, dilakukan di waktu Maghrib. Sedangkn jamak ta’khir dilakukannya di waktu kedua, mis. Shalat Zuhur Ashar pada wkt Ashar, shalat Maghrib Isya pada waktu Isya.

Shalat qashar jamak dilakukan dengan sekali azan, jika belum ada azan di tempat tersebut, dan dua kali iqomah. Azan dahulu, lalu iqomah, lalu shalat 2 rakaat hingga salam. Kemudian iqomah lagi lalu shalat lagi 2 rakaat, atau 3 rakaat shalat maghrib.

Hendaknya di antara kedua shalat tidak ada jeda yang terlalu panjang, jika sesaat saja karena ada keperluan tidak mengapa. Terkait dengan urutan shalat, tetap menggunakan urutan yang berlaku. Zuhur dahulu baru Ashar, Maghrib dahulu baru Isya. Yang agak membingungkan dalam masalah ini adalah jika kita mau shalat, sudah ada jamaah shalat sedang dilakukan, namun mereka sudah shalat yang kedua? Atau kita tidak tahu, apakah mereka shalat pertama atau kedua? Misalnya di siang hari, kita tidak tahu apakah jamaah tersebut shalat zuhur atau ashar.

Dalam kondisi seperti ini tidak usah bingung, kita bergabung saja shalat bersama jamaah tersebut dan niat shalat pertama, zuhur atau maghrib misalnya. Jika ternyata imam shalat yang kedua, hal tersebut tidak mengapa. Karena perbedaan niat antar imam dan makmum dibolehkn terjadi dalam kasus tertentu. Hal itu lebih baik daripada kita shalat sendiri atau bikin jamaah baru sehingga ada lebih satu jamaah dalam masjid. Sebelumnya telah kita bahas kondisi disunahkannya shalat qashar dan jamak sekaligus. Yaitu saat seseoranng di tengah perjalanan. 

Nah, sekarang kita bahas, kapan yang lebih baik shalat qashar saja tanpa jamak?
Maksudnya, shalatnya dilakukan dengan qashar, tapi pada waktunya masing-masing. Hal ini apabila kondisi seorang musafir telah berada di tempat tujuan, selama keberadaannya 4 hari kurang. Juga dengan catatan jika dia tidak ikut shalat berjamaah dengan imam yang shalat sempurna. Misalnya kita camping ke luar kota dalam jarak safar untuk 3 hari. Ketika berada di tempat tujuan, maka sunahnya qashar saja tanpa jamak. Kesimpulan ini diambil dari praktek Rasulullah saw saat menetap di Mina. Selama itu beliau qashar saja tanpa jamak.

Bagi jamaah haji akan tahu sunah ini selama berada di Mina, yaitu qashar saja tanpa jamak.
Namun demikian, jika ada yang melakukan qashar dan jamak sekaligus pada kondisi ini, hal tersebut tidak mengapa. Apalagi jika situasinya mendesak. Adapun bagi laki-laki yang safar jika menetap di pemukiman dan biasa diadakan shalat berjamaah, hendaknya dia ikut shalat berjamaah seperti biasa. Seperti halnya orang yang umroh di Mekah atau madinah, sebaiknya dia ikut berjamaah di masjid bersama imam dengan rakaat sempurna. Kecuali jika imamnya juga qashar shalat, maka dia ikut qashar shalatnya.

Berikutnya kapan kondisi seseorang boleh jamak shalat tapi tidak boleh qashar shalat?
Kondisinya apabila seseorang memiliki alasan jamak selain safar. Sesuai perbedaan para ulama yang ada. Dalam hal ini saya lebih condong dengan pendapat mazhab Hambali yang cukup luas dalam masalah jamak shalat. Maka, jika seseorang punya alasan jamak shalat selain safar, dia boleh jamak saja tanpa qashar.

Misal saat hujan deras bagi jamaah shalat di masjid. Atau saat musafir telah tiba di kampungnya semntara dia belum shalat dua waktu. Atau seseorang mengalami kesibukan darurat yang sulit ditinggalkan dan tidak dapat digantikan orang lain. Ini tentu kasuistik sifatnya. Wallahu a'lam.....

Perbedaan masalah qasar dan jamak shalat....
Untuk qashar shalat, hanya ada satu alasan, yaitu safar, kalau bukan safar tidak boleh qashar itu sudah ittifaq yang jadi perbedaan adalah standar qasharnya. Apakah berdasarkan urf (kebiasaan) atau berdasarkan jarak....

Sedangkan untuk jamak shalat, sebab-sebabnya lebih luwes dan lebih banyak, itupun kalau kita memakai pendapat yang lebih mudah seperti mazhab hambali. Soal kemacetan di jalan itu kasuistik sifatnya, ga bisa di generalisir. Jika memang ternyata sulit bagi kita karena macet untuk shalat pada waktunya masing-masing, boleh dijamak in sya Allah, tapi tidak boleh di qashar jika masih di dalam kota. Wallahu a'lam.

Jika perbandingannya dijamak kita dapat shalat pada waktunya sedangkan jika tidak dijamak maka kita akan shalat diluar waktu, jelas lebih baik jamak. Sekali lagi ini masalah kasuistik, kondisi orang beda-beda. Ada yang masih mungkin shalat pada waktunya masing-masing, sebaiknya tidak dijamak. Jika sangat sulit, karena beberapa kondisi, boleh dijamak ..

Thayib saya pamit dahulu jika masih ada pertanyaan, mohon direkap sama admin. wassalamualaikum.

TANYA JAWAB

1. Mau tanya tentang batas kota tadi. Maksudnya batas kota itu kota pemukiman tempat kita tinggal? Sama kah dengan batas desa?
Jawab
Lebih tepatnya batas pemukiman tempat dia tinggal jika dia telah meninggalkan wilayah pemukiman di daerahnya, dan jarak tempuhnya mencapai jarak safar, maka dia sudah boleh melakukan qashar shalat.

2. Nanya stadz, biasanya jarak bogor-jakarta hanya 40 km tapi jika ditempuh dengan kendaraan karena kondisi macet yang masya Allah, bisa sampe isya adakah diperbolehkan jamak atau qoshor? Jika perjalanan ashar dari jakarta sampai bogor bisa isya bagaimana ya stadz? Mohon pencerahan
Jawab
Jamak boleh kalau sulit shalat pada waktunya masing-masing tapi qashar belum memenuhi standarnya.

3. Nitip bertanya boleh ya..
a. Saya pernah membaca, sholat wajib harus dilakukan dengan berdiri menghadap kiblat, meskipun dalam keadaan safar. Jika tidak memenuhi syarat tersebut maka harus diulang. Jika kita dalam pesawat atau kereta dsb, apakah kita sebaiknya sholat jamak atau sholat sambil duduk saja dalam kendaraan meski kiblat juga tidak bisa ditentukan?
Jawab
Jika masih memungkinkan shalat wajib di atas kendaraan dengan  menghadap kiblat, harus dilakukan. Jika tidak, dapat shalat semampu kita arahnya itupun kalau tidak ada peluang shalat saat turun dari kendaraan.

b. Di Turki ada kebiasaan kaza namaz (sholat kesalahan). Mereka sering telat sholat subuh atau "tidak bisa" sholat karena kerja, sehingga diganti pada hari tertentu untuk merapel semua dengan kaza namaz tadi. Bagaimana sholat yang seperti ini? Apa ada dalilnya ustadz? Jazakallah khoir.
Jawab
Prinsipnya dasarnya, seseorang tidak boleh sengaja meninggalkan shalat tanpa sebab syar'i. Kalau ketiduran atau lupa, maka dia mengqadhanya langsung setelah bangun atau ingat. Tidak ada hari-hari tertentu yang dikhusukan  untuk mengqadhanya. Saya tidak tahu ada dalil untuk praktek shalat seperti diturki itu.

PENUTUP
Doa Kafaratul Majelis

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك

Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
Semoga Bermanfaat

Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT

Previous
« Prev Post

Ketik Materi yang anda cari !!