KAJIAN ONLINE (WA) HAMBA اَللّه UMMI 09 dan 10
Hari/Tanggal: Senin, 24 November 2014
Narasumber: Ustadzah Lillah
Tema: Tata cara Membersihkan Najis &
Sarana Membersihkannya
Admin: Aprianti
Notulen: Fasikha M
Editor: Selli Novita
Editor: Selli Novita
===========================
بسم الله
الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Pagi sholihaat....
Mudah-mudahan Allah senantiasa melindungi dan
memberkahi setiap langkah kita.
Kajian kita mulai ya...
Ini sessi yang ke 3, saya akan menyampaikan
"Tata cara Membersihkan Najis dan Sarana Membersihkannya"
Karena ini sebenarnya 2 materi, maka akan
cukup panjang, meski keduanya saling berkaitan. Jadi saya posting 2 kali ya...
*Tatacara Membersihkan Najis*
Sudah dimaklumi bahwa Syari'at Allah dan
Rasul-Nya telah memperkenalkan kepada kita eksistensi barang yang najis atau yang
terkena najis dan juga telah menjelaskan kepada kita kaifiyah, cara
membersihkannya. Kita wajib ittiba' (mengikut) petunjuk-Nya dan
merealisasikan perintah-Nya. Misalnya, manakala ada dalil yang memerintah
mencuci sampai tidak tersisa bau, atau rasa ataupun warnanya, maka itulah cara
membersihkannya. Apabila ada dalil yang menyuruh dituangkan, atau disiram, atau
digosok dengan air, atau digosokkan ke tanah, ataupun sekedar dipakai berjalan
di permukaan bumi, maka itulah cara mensucikannya. Dan ketahuilah bahwa air
merupakan pembersih aneka najis yang utama dan pertama. Hal ini didasarkan pada
penjelasan Rasulullah saw. tentangnya, di mana Rasulullah saw.
bersabda, "Allah telah menciptakan air sebagai
pembersih." (as-Sailul Jarrar I:48, no: 42). (Mengenai sabda Nabi
saw., "Allah telah menciptakan air sebagai pembersih" ini
Al-hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Talkhishul Habir I: 14 menegaskan, "Aku
tidak menjumpai hadits yang persis seperti itu, hanya yang semakna yang telah
disebutkan di muka melalui Abu Sa'ad dengan "Sungguh air itu suci tidak
bisa dinajiskan oleh sesuatu apapun" selesai).
Oleh sebab itu, tidak boleh bergeser kepada
pembersih lain kecuali apabila ada kejelasan dari Nabi saw. Jika tidak ada,
maka tidak boleh. Karena beralih dari sesuatu yang sudah dimaklumi sebagai
pembersih kepada sesuatu yang tidak diketahui berfungsi sebagai pembersih, ini
berarti menyimpang dari ketentuan rel syari'ah. (as-Sailul Jarrar I:48 no: 42
dengan sedikit diringkas).
Jika kita sudah memahami apa yang diuraikan
di atas, maka ikutilah penjelasan syara' perihal sifat dan kiat membersihkan
barang-barang yang najis atau yang terkena najis.
Pada prinsipnya cara membersihkan najis
tergantung tempat/benda yg terkena, jika itu benda padat/tidak menyerap air,
maka cara mencucinya adalah dg mengalirkan air di atasnya. Namun jika benda
tersebuy dpt diresapi air, maka harus diperas. Kecuali benda yg berat seperti
permadani, maka cara memerasnya dg membalik dan mengetuk2 .
1. Membersihkan Kulit Bangkai dengan
Menyamaknya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
riwayat berikut: Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: "Saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda, 'Kulit apa saja yang disamak, maka ia menjadi
suci.'" (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2907, al-Fathur Rabbani I: 230
no:49, Tirmidzi III: 135 no: 1782 dan Ibnu Majah II:1193 no: 3609 serta Nasa'i
VII: 173).
2. Membersihkan Bejana yang Dijilat
Anjing
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
riwayat dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.
bersabda, "Sucinya bejana seorang di antara kamu bila dijilat anjing
ialah (hendaklah) ia mensucinya tujuh kali, yang pertama dicampur dengan
debu tanah.'" (Shahih: Shahihul Jami'ush Shaghir no: 3933 dan Muslim
I:234 no: 91/279).
3. Mensucikan Pakaian yang Terkena Darah
Haidh
Sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat
Asma' berikut ini, dari Asma' binti Abu Bakar ra, ia berkata, "Telah
datang seorang perempuan kepada Nabi saw. seraya berkata, pakaian seorang di
antara kami, terkena daerah haidh, bagaimana ia harus berbuat?" Maka jawab
Beliau, '(Hendaklah) ia menggosoknya, lalu mengeringkan dengan air
kemudian membilasnya, kemudian (boleh) shalat
dengannya.'" (Muttafaqun 'alaih, Muslim I:240 no: 291 dan lafadz
baginya, Fathul Bari I:410 no:307).
Kalau setelah itu ternyata ia masih tersisa
bekasnya, maka tidak mengapa. Berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah ra bahwa
Khaulah binti Yasar berkata, "Ya Rasulullah aku hanya mempunyai satu
potong pakaian, dan (sekarang) saya haidh mengenakan pakaian tersebut?"
Maka Rasulullah menjawab, 'Apabila kamu suci, maka cucilah yang terkena
daerah haidhmu, kemudian shalatlah kamu dengannya.' Ia bertanya (lagi),
'Ya Rasulullah, (bagaimana) kalau bekasnya tidak bisa hilang?!' Rasulullah
menjawab, 'Cukuplah air bagimu (dengan mencucinya) dan bekasnya tidak
membahayakan (shalat)mu.'" (Shahih: Shahih Abu Daud no: 351, 'Aunul
Ma'bud II: 26 no: 361 dan al-Baihaqi II: 408)
4. Membersihkan Bagian Bawah Pakaian
Wanita
Cara membersihkannya adalah sebagaimana
yang diuraikan riwayat di bawah ini, dari seorang ibu putera Ibrahim bin
Abdurrahman bin 'Auf bahwa ia pernah bertanya kepada Ummu Salamah isteri Nabi
saw., "Sesungguhnya aku adalah seorang perempuan yang biasa memanjangkan
bagian bawah pakaianku dan (kadang-kadang) aku berjalan di tempat yang kotor?"
Maka Jawab Ummu Salamah, bahwa Nabi SAW pernah bersabda, 'Tanah
selanjutnya menjadi pembersihnya.'" (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:
430, Muwaththa' hal 27 no:44, 'Aunul Ma'bud II: 44 no: 379, Sunan Tirmidzi I:
95 no: 143, Ibnu Majah I: 177 no: 531)
5. Mensucikan Pakaian dari Anak Kecil
yang Masih Menetek
Caranya sebabagaimana yang diriwayatkan
berikut ini, dari Abus Samh, pembantu Nabi saw., ia berkata, bahwa Nabi SAW
bersabda, "Dicuci (pakaian badan) yang terkena kencing anak perempuan
dan (cukup) disiram dipercik air dari kencing anak
laki-laki." (Shahih: Shahih Nasa'i no: 293, 'Aunul Ma'bud II: 36 no:
372 dan Nasa'i I: 158').
6. Membersihkan Pakaian dari Air Madzi
Dari Shal bin Hunaif, ia berkata,
"Dahulu aku biasa mendapati kesulitan dan kepayahan karena madzi sehingga
aku sering mandi karenanya. Lalu aku utarakan hal tersebut kepada Rasulullah
SAW, maka Beliau bersabda, 'Sesungguhnya cukuplah bagimu hanya dengan
berwudhu.' Kemudian aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimana dengan
madzi yang mengenai pakaianku?' Maka jawabnya, 'Cukuplah bagimu mengambil
setelapak tangan air lalu tuangkanlah pada pakaianmu (yang terkena madzi)
sampai lihat air itu membasahinya.' (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 409,
'Aunul Ma'bud 1: 358 no: 207, Tirmidzi I: 76 no:115 dan Ibnu Majah I: 169 no:
506).
7. Membersihkan Bagian bawah
Sandal
Sebagaimana yang diriwayatkan berikut ini,
dari Abus Said ra bahwa Nabi saw. bersabda, "Apabila seorang di
antara kamu datang ke masjid, maka baliklah kedua sandalnya dan perhatikan
keduanya: kalau Ia melihat kotoran (pada sandalnya), maka gosokkanlah ke tanah
kemudian shalatlah dengan keduanya." (Shahih: Shahih Abu Daud no: 605
dan 'Aunul Ma'bud II:353 no:636).
8. Mensucikan Tanah/Lantai
Dari Abu Hurairah ra ia berkata,
"Telah berdiri seorang Arab Badui di (pojok) dalam masjid lalu kencing,
maka kemudian para sahabat hendak menghentikannya, lalu Nabi saw. bersabda
kepada mereka, 'Biarkan dia (sampai selesai) dan (kemudian) tuangkanlah di
atas kencingnya setimba air atau seember air, karena kalian diutus (ke
permukaan bumi) sebagai pemberi kemudahan, bukan ditampilkan untuk
menyulitkan.'" (Muttafaqun 'alaih: Irwa-ul Ghalil no: 171, Fathul
Bari I: 323 no: 220, Nasa'i I:48 dan 49 dan diriwayatkan secara panjang lebar
oleh Abu Dawud, 'Aunul Ma'bud II:39 no:376, dan Tirmidzi I:99 no:147).
Nabi saw.memerintah para sahabat berbuat
demikian hanyalah sebagai tindakan cepat agar tanah yang dikencingi segera suci
kembali. Kalau tanah yang dimaksud dibiarkan sampai kering dan bau pesingnya
hilang maka ia menjadi suci. Ini didasarkan pada riwayat Ibnu Umar ra. Ia
berkata: "anjing-anjing sering kencing di dalam masjid, dan biasa keluar
masuk (masjid) pada era Rasulullah SAW, dan para sahabat tidak pernah
menyiramnya sedikitpun." (shahih: Shahih Abu Daud no:368, Fathul Bari
secara mu'allaq 1:278 no:174 dan 'Aunul Ma'bud II:42 no: 378)
.
~~~~~~~~~~~~~~
*Sarana-sarana Bersuci*
Bersuci dapat dilakukan dengan dua sarana:
1. Air
Mutlak.
Hukumnya ialah bahwa air suci lagi
menyucikan, artinya bahwa ia suci pada dirinya dan menyucikan bagi lainnya.
Macam-macamny:
a. Air
hujan, salju, es, embun, berdasarkan firman Allah: “dan diturunkan-Nya padamu
hujan dari langit buat menyucikanmu.” (al-Anfaal: 11)
Dan firman-Nya: “Dan Kami turunkan dari
langit air yang suci lagi menyucikan.” (al-Furqan: 48)
Juga berdasarkan hadits Abu Hurairah ra.
katannya: Adalah Rasulullah saw. bila membaca takbir di dalam shalat diam
sejenak sebelum membaca al-Fatihah, maka saya tanyakan: “Demi kedua orang tuaku
wahai Rasulallah. Apakah kiranya yang anda baca ketika berdiam diri di antara
takbir dengan membaca al-Fatihah?” Rasulullah saw. menjawab: “Saya membaca: Ya
Allah, jauhkanlah daku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau menjauhkan Timur dan
Barat. Ya Allah, bersihkanlah dari sebagaimana dibersihkannya kain yang putih
dari kotoran. Ya Allah, sucikanlah daku dari kesalahan-kesalahanku dengan
salju, air dan embun.” (HR Jama’ah kecuali Turmudzi)
b. Air
Laut, berdasarkan hadits Abu Hurairah ra. katanya: Seorang laki-laki menanyakan
kepada Rasulullah saw. katanya: “Ya Rasulallah, kami biasa berlayar di lautan
dan hanya membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk berwudlu,
akibatnya kami akan kehausan, maka bolehkah kami berwudlu dengan air laut?”
Berkatalah Rasulullah saw.: “Laut itu airnya suci lagi menyucikan, dan
bangkainya halal dimakan.” (diriwayatkan oleh yang berlima)
Dalam jawaban itu Rasulullah saw. tidak
menjawab: “Ya.” Dengan tujuan untuk menyatakan illat atau alasan bagi hukum,
yaitu kesucian seluas-luasnya; disamping itu ditambahkannya keterangan mengenai
hukum yang tidak ditanya agar lebih bermanfaat dan tersingkapnya hukum yang
tidak ditanya itu, yaitu tentang halalnya bangkainya. Manfaat itu akan dirasakan
sekali di saat timbul kebutuhan akan hukum tersebut, dan ini merupakan suatu
kebijaksanaan dalam berfatwa.
Berkata Turmudzi: “Hadits ini hasan lagi
shahih, ketika kutanyakan kepada Muhammad bin Ismail al Bukhari tentang hadits
ini, jawabannya ialah: hadits ini shahih.
c. Air
telaga, karena apa yang diriwayatkan dari Ali ra. artinya “bahwa Rasulullah
saw. meminta seember penuh dari air zamzam, lalu diminumnya sedikit dan
dipakainya buat berwudlu.” (HR Ahmad)
d. Air
yang berubah disebabkan lama tergenang atau tidak mengalir, atau disebabkan
bercampur dengan apa yang menurut ghalibnya tak terpisah dari air seperti
kiambang dan daun-daun kayu, maka menurut kesepakatan ulama, air tersebut tetap
termasuk air mutlak. Alasan mengenai air semacam ini ialah bahwa setiap air
yang bisa disebut air secara mutlak ialah tempat kait, boleh dipakai untuk
bersuci. Firman Allah: “Jika kamu tiada memperoleh air, maka bertayamumlah
kamu.” (al-Maidah: 6)
2. Air
Musta’mal, yang terpakai.
Yaitu air yang telah terpisah dari anggota
tubuh orang yang berwudlu dan mandi. Hukumnya suci lagi menyucikan sebagai
halnya ia mutlak tanpa berbeda sedikitpun. Hal itu ialah mengingat asalnya yang
suci, sedang tiada dijumpai suatu alasanpun yang mengeluarkannya dari kesucian
itu.
Juga dikarenakan hadits Rubaiyi’ binti
Mu’awwidz sewaktu menerangkan cara wudlu Rasulullah saw. katanya: “Dan
disapunya kepalanya dengan sisa wudlu yang terdapat pada kedua tangannya.”
Juga dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw.
berjumpa dengannya di salah satu jalan kota Madinah, sedang waktu itu ia dalam
keadaan junub. Maka ia pun menyelinap pergi dari Rasulullah saw. lalu mandi,
kemudian datang kembali. ditanyakan oleh Nabi saw.; kemana ia tadi, yang
dijawabnya bahwa ia datang sedang dalam keadaan junub dan tak hendak menemani
Rasulullah saw. dalam keadaan tidak suci itu. Maka bersabdalah Rasulullah saw.:
“Mahasuci Allah, orang Mukmin itu tidak mungkin najis.” (HR Jama’ah)
Jalan mengambil hadits ini sebagai alasan
ialah karena di sana dinyatakan bahwa orang Mukmin itu tidak mungkin najis.
Maka tak ada alasan menyatakan bahwa air itu kehilangan kesuciannya semata
karena bersentuhan, karena itu hanyalah bertemunya barang yang suci dengan
tangan yang suci pula hingga tiada membawa pengaruh apa-apa.
Berkata Ibnu Mundzir: “Diriwayatkan dari
Hasan, Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, ‘Atha’, Makhul dan Nakha’i bahwa mereka
berpendapat tentang orang yang lupa menyapu kepalanya lalu mendapatkan air di
janggutnya: cukup bila ia menyapu dengan air itu. Ini menunjukkan bahwa air
musta’mal itu menyucikan, dan demikianlah pula pendapatku.”
Dan madzab ini adalah salah satu pendapat
yang diriwayatkan dari Malik dan Syafi’i, dan menurut Ibnu Hazmin juga
merupakan pendapat Sufyan as-Sauri, Abu Tsaur dan semua ahli Dzahir.
3. Air
yang bercampur dengan barang yang suci.
Misalnya dengan sabun, kiambang, tepung dan
lain-lain yang biasanya terpisah dari ari. Hukumnya tetap menyucikan selama
kemutlakannya masih terpelihara. Jika sudah tidak, hingga ia tidak dapat lagi
dikataan air mutlak, maka hukumnya ialah suci pada dirinya, tidak menyucikan
bagi lainnya.
Diterima dari ‘Athiyah, katanya: Telah
masuk ke ruangan kami Rasulullah saw. ketika wafat putrinya, Zainab, lalu
katanya: “Mandikanlah ia tiga atau empat kali atau lebih banyak lagi jika
kalian mau, dengan air dan daun bidara, dan campurkanlah yang penghabisan
dengan kapur barus atau sedikit daripadanya. Jika telah selesai beritahukanlah
kepadaku.” Maka setelah selesai, kami sampaikan kepada Nabi. Diberikannyalah
kepada kami kainnya serta sabdanya: “Balutkanlah pada rambutnya.” Maksudnya
kainnya itu. (HR Jama’ah)
Sedang mayat tidak boleh dimandikan kecuali
dengan air yang sah untuk menyucikan orang yang hidup. Dan menurut riwayat Ahmad, Nasa’i dan Ibnu
Khuzaimah dari hadits Ummu Hani’. Bahwa Nabi saw. mandi bersama Maimunah dari
sebuah bejana, yaitu sebuah pasu yang di dalamnya ada sisa tepung. Jadi di dalam kedua hadits terdapat
percampuran, hanya tidak sampai demikian rupa yang menyebabkannya tidak dapat
lagi disebut air mutlak.
4. Air
yang bernajis
Pada macam ini terdapat dua keadaan:
a. Bila
najis itu mengubah salah satu dari antara rasa, warna dan baunya. Dalam keadaan
ini para ulama sepakat bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci
sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Mundzir dan Ibnul Mulqin.
b. Bila
air tetap dalam keadaan mutlak, dengan arti salah satu di antara sifatnya yang
tiga tadi tidak berubah. Hukumnya ialah suci dan menyucikan, biar sedikit atau
banyak. Alasannya ialah hadits Abu Hurairah ra. katanya: Seorang Badui berdiri
lalu kencing di masjid. Orang-orang pun sama berdiri untuk menangkapnya. Maka
bersabdalah Nabi saw.: “Biarkanlah dia, hanya tuangkanlah pada kencingnya
setimba air atau seember air. Kamu dibangkitkan adalah untuk memberi
keringanan, bukan untuk menyulitkan.” (HR Jama’ah kecuali Muslim)
Juga dari Abu Said al-Khudriy ra. katanya:
Dikatakan orang: “Ya Rasulallah, bolehkah kita berwudlu dari telaga Budha’ah?”
Maka bersabdalah Rasulullah saw.: “Air itu suci lagi menyucikan, tak satupun
yang akan menajisinya.” (HR Ahmad, Syafi’i, Abu Daud dan Turmudzi. Turmudzi
mengatakan hadits ini hasan, sedang Ahmad mengatakan: “Hadits Telaga Budha’ah
adalah shahih.” Hadits ini disahkan pula oleh Yahya bin Ma’in dan Abu Muhammad
bin Hazmin)
Telaga Budha’ah ialah telaga di Madinah.
Berkata Abu Daud: Saya dengar Qutaibah bin Sa’id berkata: “Saya tanyakan kepada
penjaga Telaga Budha’ah berapa dalamnya.” Jawabnya: “Sebanyak-banyaknya air
setinggi pinggang.” Saya tanyakan pula: “Bila di waktu kurang?” “Di bawah
aurat,” ujarnya. Dan saya ukur sendiri Telaga Budha’ah itu dengan kainku yang
kubentangkan di atasnya lalu saya hastai, maka ternyata lebarnya 6 hasta. Dan
kepada orang yang telah membukakan bagiku pintu kebun dan membawaku ke dalam,
saya tanyakan apakah bangunannya pernah dirombak. Jawabnya: “Tidak. Dan dalam
sumur itu kelihatan air yang telah berubah warnanya.”
Demikian pula pendapat dari Ibnu Abbas, Abu
Hurairah, Hasan Basri, Ibnu Musaiyab, ‘Ikrimah, Ibnu Abi Laila, Tsauri, Daud
Azh-Zhairi, Nakha’i, Malik dan lain-lain. Gazzali berkata: “Saya berharap
kiranya madzab Syafi’i mengenai ari, akan sama dengan madzab Malik.”
Adapun hadits Abdullah bin Umar ra. bahwa
Nabi saw. bersabda: “Jika air sampai dua kulah, maka ia tidaklah mengandung
najis.” (HR Yang berlima) maka ia adalah Mudhtharib, artinya tidak karuan, baik
sanad maupun matannya.
Berkata Ibnu ‘Abdil Barr di dalam
at-Tahmid: “Pendirian Syafi’i mengenai hadits dua kulah, adalah madzab yang
lemah dari segi penyelidikan, dan tidak berdasar dari segi alasan.
2. Tanah yang Suci
Yaitu bagian permukaan tanah yang suci,
berupa debu, pasir, batu, atau tanah tandus.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad
salallahu ‘alaihi wasalam:
“Dijadikan bumi ini bagiku sebagai tempat
sujud serta untuk bersuci,” (HR Ahmad: 1/250, asalnya ada pada riwayat
al-Bukhari: 1/91/119).
Tanah menjadi sah untuk bersuci ketika
tidak ada air, atau ketika tidak bisa memakainya karena sakit atau semisalnya.
Berdasarkan firman Allah:
“…Kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)…” (An-Nisa [4]: 43).
Sabda Rasulullah Muhammad salallahu ‘alaihi
wasalam:
“Debu yang suci dan menyucikan itu benda
suci seorang muslim meskipun tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun, tapi
apabila dia mendapatkan air maka hendaklah dia membasuhi kulitnya dengan air
itu,” (HR Ahmad: 5/100. 180).
Berdasarkan ketetapan beliau salallahu
‘alaihi wasalam kepada Amru bin Al-Ash, maka seseorang boleh bertayammum dari
jinabah (hadats besar) pada malam yang sangat dingin, jika dia mengkhawatirkan
kondisinya seandainya mandi dengan air yang dingin itu. (Dari hadist riwayat
al-Bukhari, secara ta’liq: 7, Kitab At-Tayammum).
==============================
Silahkan yg mau bertanya!
TANYA JAWAB
1. Tanya:
Bu Ustadzah prihal no. 7, bagaimana jika
orang yang membersihkan lantainya dengan kotoran sapi? Sedangkan dia harus sholat
dilantai itu? Ada beberapa suku yang membersikan lantainya dengan kotoran sapi,
jazakillah. Suku daya bu.
Jawab:
Waduhhh... Terbengong-bengong saya....hehehe. Suku dayak... I see.
Jadi madzhab Hambali, Syafii dan Maliki
mengatakan hewan yang dagingnya boleh dimakan, maka kotorannya tidak najis
(kecuali ayam karena ayam termasuk pemakan segala sampai kotorannya sendiri).
Jadi boleh saja sholat di atasnya, meski
jika jijik, ya coba cari tempat lain.
2. Tanya:
Tema masalah cara membersihkan najis, nah
kebetulan saya punya 2 anak kecil, umur 2 tahun cewek dan 9 bulan cowok, si kakak saya
latih potty training, tapi kadang sering kecolongan pipis dilantai, yang saya
lakukan untuk membersihkan yaitu dengan cara mengelap air kencingnya dengan lap
kering sampai air pipisnya kering, lalu saya pel berulang-ulang 4 s/d 5 kali,
sampai saya merasa yakin. Apakah cara saya ini sudah memenuhi syarat menghilangkan
najis yang benar? Dan apakah dengan hanya dipel itu sudah suci? Soalnya kalau diguyur
air seember basah semua dong ustadzah? hehe... Bagaimana ustadzah cara yang benar
menghilangkan najis itu?
Jawab:
Zaman sekarang dimana sudah jarang
menggunakan lantai tanah, tentu tidak lagi disiram. Cukup dilap hingga benar-benar
bersih.
3. Tanya:
Untuk kulit yang disamak, apakah kulit babi
termasuk yang suci bila disamak?
Jawab:
Babi seluruh tubuhnya najis substantif,
jadi tidak boleh digunakan untuk apa pun.
Kulit binatang yang lain, saat disembelih
maka menjadi bangkai dan najis. Maka mensucikannya adalah dg disamak.. Seperti kulit sapi dan kambing, yang
biasanya akan dibuat bedug, gendang dll.
4. Tanya:
Ustadzah untuk membersihkan najis anjing
kan prosesnya 7 kali, cara yang benar bagaimana Ustadzah? Urutannya maksud saya?
Terus selain kotoran dan air liurnya yang
najis apakah bulu anjing juga najis? Soalnya sekarang saya liat ada beberapa orang
muslim juga pelihara anjing?
Jawab:
7 kali yang diawali dengan tanah.
"Sucinya bejana ketika dijilat anjing
ialah dicuci sebanyak tujuh kali, yang diawali dengan tanah." (HR. Muslim dan
Ahmad)
Anjing juga digolongkan sebagai najis
substantif oleh sebagian ulama, maka tidak boleh menyentuhnya. Karena anjing
mandi dengan menjilati tubuhnya, maka ada kemungkinan kita tersentuh najis saat
menyentuhnya.
Anjing boleh dipelihara hanya untuk menjaga
rumah sebagaimana dulu sahabat Rasulullah ada yang memelihara anjing untuk menjaga
kebunnya.
5. Tanya:
Anjing masuk mesjid tidak disiram? Apa karena
dulu masjid langsung tanah ya? Sekarang kalau porselen tidak boleh kali yaa.. Kan tidak menyerap?
Jawab:
Kalau dia menjilat-jilat, tetap sebaiknya
dibersihkan meski dengan tidak cara disiram.
6. Tanya:
Kalau kucing juga mandi dengan menjilat
badannya. Apakah kita juga tidak boleh menyentuhnya?
Jawab:
Kucing bukan binatang najis, jadi tidak
apa-apa
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك
وآتوب إليك
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu
allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan
memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan
diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه
For more category please visit:
Website: www.kajianonline-hambaAllah.blogspot.com
Fanpage:
Http://m.facebook.com/profile.php?id=555806067861645
Twitter: @kajianonline_HA
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment