Home » , , , » TATA CARA MEMBERSIHKAN NAJIS DAN SARANA MEMBERSIHKANNYA

TATA CARA MEMBERSIHKAN NAJIS DAN SARANA MEMBERSIHKANNYA

Posted by Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT on Tuesday, November 25, 2014



KAJIAN ONLINE (WA) HAMBA اَللّه UMMI 09 dan 10
Hari/Tanggal: Senin, 24 November 2014
Narasumber: Ustadzah Lillah
Tema: Tata cara Membersihkan Najis & Sarana Membersihkannya
Admin: Aprianti
Notulen: Fasikha M
Editor: Selli Novita
===========================

 بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Pagi sholihaat....
Mudah-mudahan Allah senantiasa melindungi dan memberkahi setiap langkah kita.
Kajian kita mulai ya...
Ini sessi yang ke 3, saya akan menyampaikan "Tata cara Membersihkan Najis dan Sarana Membersihkannya"
Karena ini sebenarnya 2 materi, maka akan cukup panjang, meski keduanya saling berkaitan. Jadi saya posting 2 kali ya...

 *Tatacara Membersihkan Najis*

Sudah dimaklumi bahwa Syari'at Allah dan Rasul-Nya telah memperkenalkan kepada kita eksistensi barang yang najis atau yang terkena najis dan juga telah menjelaskan kepada kita kaifiyah, cara membersihkannya. Kita wajib ittiba' (mengikut) petunjuk-Nya dan merealisasikan  perintah-Nya. Misalnya, manakala ada dalil yang memerintah mencuci sampai tidak tersisa bau, atau rasa ataupun warnanya, maka itulah cara membersihkannya. Apabila ada dalil yang menyuruh dituangkan, atau disiram, atau digosok dengan air, atau digosokkan ke tanah, ataupun sekedar dipakai berjalan di permukaan bumi, maka itulah cara mensucikannya. Dan ketahuilah bahwa air merupakan pembersih aneka najis yang utama dan pertama. Hal ini didasarkan pada penjelasan Rasulullah saw. tentangnya, di mana Rasulullah saw. bersabda, "Allah telah menciptakan air sebagai pembersih." (as-Sailul Jarrar I:48, no: 42). (Mengenai sabda Nabi saw., "Allah telah menciptakan air sebagai pembersih" ini Al-hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Talkhishul Habir I: 14 menegaskan, "Aku tidak menjumpai hadits yang persis seperti itu, hanya yang semakna yang telah disebutkan di muka melalui Abu Sa'ad dengan "Sungguh air itu suci tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu apapun" selesai).

Oleh sebab itu, tidak boleh bergeser kepada pembersih lain kecuali apabila ada kejelasan dari Nabi saw. Jika tidak ada, maka tidak boleh. Karena beralih dari sesuatu yang sudah dimaklumi sebagai pembersih kepada sesuatu yang tidak diketahui berfungsi sebagai pembersih, ini berarti menyimpang dari ketentuan rel syari'ah. (as-Sailul Jarrar I:48 no: 42 dengan sedikit diringkas).

Jika kita sudah memahami apa yang diuraikan di atas, maka ikutilah penjelasan syara' perihal sifat dan kiat membersihkan barang-barang yang najis atau yang terkena najis.
Pada prinsipnya cara membersihkan najis tergantung tempat/benda yg terkena, jika itu benda padat/tidak menyerap air, maka cara mencucinya adalah dg mengalirkan air di atasnya. Namun jika benda tersebuy dpt diresapi air, maka harus diperas. Kecuali benda yg berat seperti permadani, maka cara memerasnya dg membalik dan mengetuk2 .

1. Membersihkan Kulit Bangkai dengan Menyamaknya. 
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam riwayat berikut: Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Kulit apa saja yang disamak, maka ia menjadi suci.'" (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2907, al-Fathur Rabbani I: 230 no:49, Tirmidzi III: 135 no: 1782 dan Ibnu Majah II:1193 no: 3609 serta Nasa'i VII: 173).

2. Membersihkan Bejana yang Dijilat Anjing
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam riwayat dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Sucinya bejana seorang di antara kamu bila dijilat anjing ialah (hendaklah)  ia mensucinya tujuh kali, yang pertama dicampur dengan debu tanah.'" (Shahih: Shahihul Jami'ush Shaghir no: 3933 dan Muslim I:234 no: 91/279).

3. Mensucikan Pakaian yang Terkena Darah Haidh
Sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat Asma' berikut ini, dari Asma' binti Abu Bakar ra, ia berkata, "Telah datang seorang perempuan kepada Nabi saw. seraya berkata, pakaian seorang di antara kami, terkena daerah haidh, bagaimana ia harus berbuat?" Maka jawab Beliau, '(Hendaklah) ia menggosoknya, lalu mengeringkan dengan air kemudian membilasnya, kemudian (boleh) shalat dengannya.'" (Muttafaqun 'alaih, Muslim I:240 no: 291 dan lafadz baginya, Fathul Bari I:410 no:307).
Kalau setelah itu ternyata ia masih tersisa bekasnya, maka tidak mengapa. Berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah ra bahwa Khaulah binti Yasar berkata, "Ya Rasulullah aku hanya mempunyai satu potong pakaian, dan (sekarang) saya haidh mengenakan pakaian tersebut?" Maka Rasulullah menjawab, 'Apabila kamu suci, maka cucilah yang terkena daerah haidhmu, kemudian shalatlah kamu dengannya.' Ia bertanya (lagi), 'Ya Rasulullah, (bagaimana) kalau bekasnya tidak bisa hilang?!' Rasulullah menjawab, 'Cukuplah air bagimu (dengan mencucinya) dan bekasnya tidak membahayakan (shalat)mu.'" (Shahih: Shahih Abu Daud no: 351, 'Aunul Ma'bud II: 26 no: 361 dan al-Baihaqi II: 408)

4. Membersihkan Bagian Bawah Pakaian Wanita
Cara membersihkannya adalah sebagaimana yang diuraikan riwayat di bawah ini, dari seorang ibu putera Ibrahim bin Abdurrahman bin 'Auf bahwa ia pernah bertanya kepada Ummu Salamah isteri Nabi saw., "Sesungguhnya aku adalah seorang perempuan yang biasa memanjangkan bagian bawah pakaianku dan (kadang-kadang) aku berjalan di tempat yang kotor?" Maka Jawab Ummu Salamah, bahwa Nabi SAW pernah bersabda, 'Tanah selanjutnya menjadi pembersihnya.'" (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 430, Muwaththa' hal 27 no:44, 'Aunul Ma'bud II: 44 no: 379, Sunan Tirmidzi I: 95 no: 143, Ibnu Majah I: 177 no: 531)

5. Mensucikan Pakaian dari Anak Kecil yang Masih Menetek
Caranya sebabagaimana yang diriwayatkan berikut ini, dari Abus Samh, pembantu Nabi saw., ia berkata, bahwa Nabi SAW bersabda, "Dicuci (pakaian badan) yang terkena kencing anak perempuan dan (cukup) disiram dipercik air dari kencing anak laki-laki." (Shahih: Shahih Nasa'i no: 293, 'Aunul Ma'bud II: 36 no: 372 dan Nasa'i I: 158').

6. Membersihkan Pakaian dari Air Madzi
Dari Shal bin Hunaif, ia berkata, "Dahulu aku biasa mendapati kesulitan dan kepayahan karena madzi sehingga aku sering mandi karenanya. Lalu aku utarakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW, maka Beliau bersabda, 'Sesungguhnya cukuplah bagimu hanya dengan berwudhu.' Kemudian aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimana dengan madzi yang mengenai pakaianku?' Maka jawabnya, 'Cukuplah bagimu mengambil setelapak tangan air lalu tuangkanlah pada pakaianmu (yang terkena madzi) sampai lihat air itu membasahinya.' (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 409, 'Aunul Ma'bud 1: 358 no: 207, Tirmidzi I: 76 no:115 dan Ibnu Majah I: 169 no: 506).

7.  Membersihkan Bagian bawah Sandal
Sebagaimana yang diriwayatkan berikut ini, dari Abus Said ra bahwa Nabi saw. bersabda, "Apabila seorang di antara kamu datang ke masjid, maka baliklah kedua sandalnya dan perhatikan keduanya: kalau Ia melihat kotoran (pada sandalnya), maka gosokkanlah ke tanah kemudian shalatlah dengan keduanya." (Shahih: Shahih Abu Daud no: 605 dan 'Aunul Ma'bud II:353 no:636).

8.  Mensucikan Tanah/Lantai
Dari Abu Hurairah ra ia berkata, "Telah berdiri seorang Arab Badui di (pojok) dalam masjid lalu kencing, maka kemudian para sahabat hendak menghentikannya, lalu Nabi saw. bersabda kepada mereka, 'Biarkan dia (sampai selesai) dan (kemudian) tuangkanlah di atas kencingnya setimba air atau seember air, karena kalian diutus (ke permukaan bumi) sebagai pemberi kemudahan, bukan ditampilkan untuk menyulitkan.'" (Muttafaqun 'alaih: Irwa-ul Ghalil no: 171, Fathul Bari I: 323 no: 220, Nasa'i I:48 dan 49 dan diriwayatkan secara panjang lebar oleh Abu Dawud, 'Aunul Ma'bud II:39 no:376, dan Tirmidzi I:99 no:147).

Nabi saw.memerintah para sahabat berbuat demikian hanyalah sebagai tindakan cepat agar tanah yang dikencingi segera suci kembali. Kalau tanah yang dimaksud dibiarkan sampai kering dan bau pesingnya hilang maka ia menjadi suci. Ini didasarkan pada riwayat Ibnu Umar ra. Ia berkata: "anjing-anjing sering kencing di dalam masjid, dan biasa keluar masuk (masjid) pada era Rasulullah SAW, dan para sahabat tidak pernah menyiramnya sedikitpun." (shahih: Shahih Abu Daud no:368, Fathul Bari secara mu'allaq 1:278 no:174 dan 'Aunul Ma'bud II:42 no:    378)
.

~~~~~~~~~~~~~~

*Sarana-sarana Bersuci*

Bersuci dapat dilakukan dengan dua sarana:

1.   Air Mutlak.
Hukumnya ialah bahwa air suci lagi menyucikan, artinya bahwa ia suci pada dirinya dan menyucikan bagi lainnya. Macam-macamny:

a. Air hujan, salju, es, embun, berdasarkan firman Allah: “dan diturunkan-Nya padamu hujan dari langit buat menyucikanmu.” (al-Anfaal: 11)
Dan firman-Nya: “Dan Kami turunkan dari langit air yang suci lagi menyucikan.” (al-Furqan: 48)

Juga berdasarkan hadits Abu Hurairah ra. katannya: Adalah Rasulullah saw. bila membaca takbir di dalam shalat diam sejenak sebelum membaca al-Fatihah, maka saya tanyakan: “Demi kedua orang tuaku wahai Rasulallah. Apakah kiranya yang anda baca ketika berdiam diri di antara takbir dengan membaca al-Fatihah?” Rasulullah saw. menjawab: “Saya membaca: Ya Allah, jauhkanlah daku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau menjauhkan Timur dan Barat. Ya Allah, bersihkanlah dari sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dari kotoran. Ya Allah, sucikanlah daku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun.” (HR Jama’ah kecuali Turmudzi)

b. Air Laut, berdasarkan hadits Abu Hurairah ra. katanya: Seorang laki-laki menanyakan kepada Rasulullah saw. katanya: “Ya Rasulallah, kami biasa berlayar di lautan dan hanya membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk berwudlu, akibatnya kami akan kehausan, maka bolehkah kami berwudlu dengan air laut?” Berkatalah Rasulullah saw.: “Laut itu airnya suci lagi menyucikan, dan bangkainya halal dimakan.” (diriwayatkan oleh yang berlima)

Dalam jawaban itu Rasulullah saw. tidak menjawab: “Ya.” Dengan tujuan untuk menyatakan illat atau alasan bagi hukum, yaitu kesucian seluas-luasnya; disamping itu ditambahkannya keterangan mengenai hukum yang tidak ditanya agar lebih bermanfaat dan tersingkapnya hukum yang tidak ditanya itu, yaitu tentang halalnya bangkainya. Manfaat itu akan dirasakan sekali di saat timbul kebutuhan akan hukum tersebut, dan ini merupakan suatu kebijaksanaan dalam berfatwa.
Berkata Turmudzi: “Hadits ini hasan lagi shahih, ketika kutanyakan kepada Muhammad bin Ismail al Bukhari tentang hadits ini, jawabannya ialah: hadits ini shahih.

c. Air telaga, karena apa yang diriwayatkan dari Ali ra. artinya “bahwa Rasulullah saw. meminta seember penuh dari air zamzam, lalu diminumnya sedikit dan dipakainya buat berwudlu.” (HR Ahmad)

d. Air yang berubah disebabkan lama tergenang atau tidak mengalir, atau disebabkan bercampur dengan apa yang menurut ghalibnya tak terpisah dari air seperti kiambang dan daun-daun kayu, maka menurut kesepakatan ulama, air tersebut tetap termasuk air mutlak. Alasan mengenai air semacam ini ialah bahwa setiap air yang bisa disebut air secara mutlak ialah tempat kait, boleh dipakai untuk bersuci. Firman Allah: “Jika kamu tiada memperoleh air, maka bertayamumlah kamu.” (al-Maidah: 6)

2. Air Musta’mal, yang terpakai.
Yaitu air yang telah terpisah dari anggota tubuh orang yang berwudlu dan mandi. Hukumnya suci lagi menyucikan sebagai halnya ia mutlak tanpa berbeda sedikitpun. Hal itu ialah mengingat asalnya yang suci, sedang tiada dijumpai suatu alasanpun yang mengeluarkannya dari kesucian itu.
Juga dikarenakan hadits Rubaiyi’ binti Mu’awwidz sewaktu menerangkan cara wudlu Rasulullah saw. katanya: “Dan disapunya kepalanya dengan sisa wudlu yang terdapat pada kedua tangannya.”

Juga dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. berjumpa dengannya di salah satu jalan kota Madinah, sedang waktu itu ia dalam keadaan junub. Maka ia pun menyelinap pergi dari Rasulullah saw. lalu mandi, kemudian datang kembali. ditanyakan oleh Nabi saw.; kemana ia tadi, yang dijawabnya bahwa ia datang sedang dalam keadaan junub dan tak hendak menemani Rasulullah saw. dalam keadaan tidak suci itu. Maka bersabdalah Rasulullah saw.: “Mahasuci Allah, orang Mukmin itu tidak mungkin najis.” (HR Jama’ah)
Jalan mengambil hadits ini sebagai alasan ialah karena di sana dinyatakan bahwa orang Mukmin itu tidak mungkin najis. Maka tak ada alasan menyatakan bahwa air itu kehilangan kesuciannya semata karena bersentuhan, karena itu hanyalah bertemunya barang yang suci dengan tangan yang suci pula hingga tiada membawa pengaruh apa-apa.

Berkata Ibnu Mundzir: “Diriwayatkan dari Hasan, Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, ‘Atha’, Makhul dan Nakha’i bahwa mereka berpendapat tentang orang yang lupa menyapu kepalanya lalu mendapatkan air di janggutnya: cukup bila ia menyapu dengan air itu. Ini menunjukkan bahwa air musta’mal itu menyucikan, dan demikianlah pula pendapatku.”
Dan madzab ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Malik dan Syafi’i, dan menurut Ibnu Hazmin juga merupakan pendapat Sufyan as-Sauri, Abu Tsaur dan semua ahli Dzahir.

3.  Air yang bercampur dengan barang yang suci.
Misalnya dengan sabun, kiambang, tepung dan lain-lain yang biasanya terpisah dari ari. Hukumnya tetap menyucikan selama kemutlakannya masih terpelihara. Jika sudah tidak, hingga ia tidak dapat lagi dikataan air mutlak, maka hukumnya ialah suci pada dirinya, tidak menyucikan bagi lainnya.

Diterima dari ‘Athiyah, katanya: Telah masuk ke ruangan kami Rasulullah saw. ketika wafat putrinya, Zainab, lalu katanya: “Mandikanlah ia tiga atau empat kali atau lebih banyak lagi jika kalian mau, dengan air dan daun bidara, dan campurkanlah yang penghabisan dengan kapur barus atau sedikit daripadanya. Jika telah selesai beritahukanlah kepadaku.” Maka setelah selesai, kami sampaikan kepada Nabi. Diberikannyalah kepada kami kainnya serta sabdanya: “Balutkanlah pada rambutnya.” Maksudnya kainnya itu. (HR Jama’ah)

Sedang mayat tidak boleh dimandikan kecuali dengan air yang sah untuk menyucikan orang yang hidup. Dan menurut riwayat Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dari hadits Ummu Hani’. Bahwa Nabi saw. mandi bersama Maimunah dari sebuah bejana, yaitu sebuah pasu yang di dalamnya ada sisa tepung. Jadi di dalam kedua hadits terdapat percampuran, hanya tidak sampai demikian rupa yang menyebabkannya tidak dapat lagi disebut air mutlak.
4. Air yang bernajis
Pada macam ini terdapat dua keadaan:
a. Bila najis itu mengubah salah satu dari antara rasa, warna dan baunya. Dalam keadaan ini para ulama sepakat bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Mundzir dan Ibnul Mulqin.
b. Bila air tetap dalam keadaan mutlak, dengan arti salah satu di antara sifatnya yang tiga tadi tidak berubah. Hukumnya ialah suci dan menyucikan, biar sedikit atau banyak. Alasannya ialah hadits Abu Hurairah ra. katanya: Seorang Badui berdiri lalu kencing di masjid. Orang-orang pun sama berdiri untuk menangkapnya. Maka bersabdalah Nabi saw.: “Biarkanlah dia, hanya tuangkanlah pada kencingnya setimba air atau seember air. Kamu dibangkitkan adalah untuk memberi keringanan, bukan untuk menyulitkan.” (HR Jama’ah kecuali Muslim)

Juga dari Abu Said al-Khudriy ra. katanya: Dikatakan orang: “Ya Rasulallah, bolehkah kita berwudlu dari telaga Budha’ah?” Maka bersabdalah Rasulullah saw.: “Air itu suci lagi menyucikan, tak satupun yang akan menajisinya.” (HR Ahmad, Syafi’i, Abu Daud dan Turmudzi. Turmudzi mengatakan hadits ini hasan, sedang Ahmad mengatakan: “Hadits Telaga Budha’ah adalah shahih.” Hadits ini disahkan pula oleh Yahya bin Ma’in dan Abu Muhammad bin Hazmin)

Telaga Budha’ah ialah telaga di Madinah. Berkata Abu Daud: Saya dengar Qutaibah bin Sa’id berkata: “Saya tanyakan kepada penjaga Telaga Budha’ah berapa dalamnya.” Jawabnya: “Sebanyak-banyaknya air setinggi pinggang.” Saya tanyakan pula: “Bila di waktu kurang?” “Di bawah aurat,” ujarnya. Dan saya ukur sendiri Telaga Budha’ah itu dengan kainku yang kubentangkan di atasnya lalu saya hastai, maka ternyata lebarnya 6 hasta. Dan kepada orang yang telah membukakan bagiku pintu kebun dan membawaku ke dalam, saya tanyakan apakah bangunannya pernah dirombak. Jawabnya: “Tidak. Dan dalam sumur itu kelihatan air yang telah berubah warnanya.”

Demikian pula pendapat dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Basri, Ibnu Musaiyab, ‘Ikrimah, Ibnu Abi Laila, Tsauri, Daud Azh-Zhairi, Nakha’i, Malik dan lain-lain. Gazzali berkata: “Saya berharap kiranya madzab Syafi’i mengenai ari, akan sama dengan madzab Malik.”

Adapun hadits Abdullah bin Umar ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Jika air sampai dua kulah, maka ia tidaklah mengandung najis.” (HR Yang berlima) maka ia adalah Mudhtharib, artinya tidak karuan, baik sanad maupun matannya.
Berkata Ibnu ‘Abdil Barr di dalam at-Tahmid: “Pendirian Syafi’i mengenai hadits dua kulah, adalah madzab yang lemah dari segi penyelidikan, dan tidak berdasar dari segi alasan.

2. Tanah yang Suci
Yaitu bagian permukaan tanah yang suci, berupa debu, pasir, batu, atau tanah tandus. 

Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wasalam:
“Dijadikan bumi ini bagiku sebagai tempat sujud serta untuk bersuci,” (HR Ahmad: 1/250, asalnya ada pada riwayat al-Bukhari: 1/91/119).

Tanah menjadi sah untuk bersuci ketika tidak ada air, atau ketika tidak bisa memakainya karena sakit atau semisalnya.

Berdasarkan firman Allah:
“…Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)…” (An-Nisa [4]: 43).

Sabda Rasulullah Muhammad salallahu ‘alaihi wasalam:
“Debu yang suci dan menyucikan itu benda suci seorang muslim meskipun tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun, tapi apabila dia mendapatkan air maka hendaklah dia membasuhi kulitnya dengan air itu,” (HR Ahmad: 5/100. 180).

Berdasarkan ketetapan beliau salallahu ‘alaihi wasalam kepada Amru bin Al-Ash, maka seseorang boleh bertayammum dari jinabah (hadats besar) pada malam yang sangat dingin, jika dia mengkhawatirkan kondisinya seandainya mandi dengan air yang dingin itu. (Dari hadist riwayat al-Bukhari, secara ta’liq: 7, Kitab At-Tayammum).
==============================
Silahkan yg mau bertanya!

TANYA JAWAB

1. Tanya:
Bu Ustadzah prihal no. 7, bagaimana jika orang yang membersihkan lantainya dengan kotoran sapi? Sedangkan dia harus sholat dilantai itu? Ada beberapa suku yang membersikan lantainya dengan kotoran sapi, jazakillah. Suku daya bu.
Jawab:
Waduhhh... Terbengong-bengong saya....hehehe. Suku dayak... I see.
Jadi madzhab Hambali, Syafii dan Maliki mengatakan hewan yang dagingnya boleh dimakan, maka kotorannya tidak najis (kecuali ayam karena ayam termasuk pemakan segala sampai kotorannya sendiri).
Jadi boleh saja sholat di atasnya, meski jika jijik, ya coba cari tempat lain.

2. Tanya:
Tema masalah cara membersihkan najis, nah kebetulan saya punya 2 anak kecil, umur 2 tahun cewek dan 9 bulan cowok, si kakak saya latih potty training, tapi kadang sering kecolongan pipis dilantai, yang saya lakukan untuk membersihkan yaitu dengan cara mengelap air kencingnya dengan lap kering sampai air pipisnya kering, lalu saya pel berulang-ulang 4 s/d 5 kali, sampai saya merasa yakin. Apakah cara saya ini sudah memenuhi syarat menghilangkan najis yang benar? Dan apakah dengan hanya dipel itu sudah suci? Soalnya kalau diguyur air seember basah semua dong ustadzah? hehe... Bagaimana ustadzah cara yang benar menghilangkan najis itu?
Jawab:
Zaman sekarang dimana sudah jarang menggunakan lantai tanah, tentu tidak lagi disiram. Cukup dilap hingga benar-benar bersih.

3. Tanya:
Untuk kulit yang disamak, apakah kulit babi termasuk yang suci bila disamak?
Jawab:
Babi seluruh tubuhnya najis substantif, jadi tidak boleh digunakan untuk apa pun.
Kulit binatang yang lain, saat disembelih maka menjadi bangkai dan najis. Maka mensucikannya adalah dg disamak.. Seperti kulit sapi dan kambing, yang biasanya akan dibuat bedug, gendang dll.

4. Tanya:
Ustadzah untuk membersihkan najis anjing kan prosesnya 7 kali, cara yang benar bagaimana Ustadzah? Urutannya maksud saya?
Terus selain kotoran dan air liurnya yang najis apakah bulu anjing juga najis? Soalnya sekarang saya liat ada beberapa orang muslim juga pelihara anjing?
Jawab:
7 kali yang diawali dengan tanah.
"Sucinya bejana ketika dijilat anjing ialah dicuci sebanyak tujuh kali, yang diawali dengan tanah." (HR. Muslim dan Ahmad)
Anjing juga digolongkan sebagai najis substantif oleh sebagian ulama, maka tidak boleh menyentuhnya. Karena anjing mandi dengan menjilati tubuhnya, maka ada kemungkinan kita tersentuh najis saat menyentuhnya.
Anjing boleh dipelihara hanya untuk menjaga rumah sebagaimana dulu sahabat Rasulullah ada yang memelihara anjing untuk menjaga kebunnya.

5. Tanya:
Anjing masuk mesjid tidak disiram? Apa karena dulu masjid langsung tanah ya? Sekarang kalau porselen tidak boleh kali yaa.. Kan tidak menyerap?
Jawab:
Kalau dia menjilat-jilat, tetap sebaiknya dibersihkan meski dengan tidak cara disiram.

6. Tanya:
Kalau kucing juga mandi dengan menjilat badannya. Apakah kita juga tidak boleh menyentuhnya?
Jawab:
Kucing bukan binatang najis, jadi tidak apa-apa

Cukup sekian untuk hari ini

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك

Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika

“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

For more category please visit:
Website: www.kajianonline-hambaAllah.blogspot.com
Fanpage: Http://m.facebook.com/profile.php?id=555806067861645
Twitter: @kajianonline_HA

Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Post a Comment

Ketik Materi yang anda cari !!