Oleh: Lara Fridani
“Nah begitu dong, ini baru anak ayah. Selalu jadi sang juara. Hadiah apa nih buat anak ayah yang hebat ini?!”
“Ckckckck,
senang banget deh lihat kamu yang cantik imut. Pakai baju model apa aja
cocok, warna apa aja oke, mana ukuran nya juga pas banget lho, modis
gitu!”
“Waduh ibu X
kelihatan tambah muda dan segar nih. Katanya baru-baru ini sekeluarga
liburan di luar negri ya? Super deh , pasti hidupnya makmur ya bu!
“Wah,
bapak ini memang hebat, prestasinya luar biasa.Bapak sangat pantas
untuk segera mendapat promosi jabatan. Mudah-mudahan nanti kita bisa
saling bekerjasama!”
Tak
jarang kita mendengar bahwa memberi pujian pada seseorang- apalagi pada
anak yang masih kecil adalah hal yang positif. Padahal memberi pujian
yang berlebihan dan terlalu sering juga dapat berakibat negatif
sebagaimana halnya tak memberi pujian/penghargaan sama sekali. Seberapa
intens dan seberapa besarkah sebuah pujian tepat diberikan? Banyak ahli
pendidikan yang berpendapat bahwa pujian sebaiknya lebih difokuskan pada
usaha/effort maupun cara/strategy yang dilakukan anak untuk membuat
‘sebuah perubahan’ yang baik. Dengan demikian kita tidak disarankan
memberikan pujian yang difokuskan pada kemampuan anak (contoh: produk
prestasi sebagai sang juara) atau ditujukan untuk memberi label yang
melekat pada diri anak (contoh : anak hebat). Selanjutnya, seiring
dengan bertambahnya usia anak, pujian tidak kita berikan untuk hal-hal
yang relatif mudah, karena hal ini bisa diartikan anak secara berbeda-
mereka mengira kita ‘tak pandai’, atau menganggap kita memandang
kemampuan mereka di bawah standar.
Apalagi
memberi pujian pada orang dewasa, tentunya ‘standar’ pujian, tak
se-sederhana dan se-‘konkret’ pujian kita pada anak kecil. Walaupun tak
jarang kita masih bisa menemukan orang dewasa yang senang memberikan
pujian ‘lebay’ pada orang lain atau terlena dengan sanjungan ‘lebay’
dari orang lain. Tentu saja orang dewasa sekalipun, masih mengalami
reaksi chemically dan intellectually saat diberikan pujian, dimana dia
akan merasa senang, bangga, puas dan termotivasi untuk ‘berprestasi’
lagi untuk mendapatkan pengalaman ‘rasa’ yang menyenangkan tersebut.
Sehingga wajar jika banyak orang yang berpendapat bahwa pujian yang
diekspresikan karena rasa kagum kita pada seseorang adalah hal yang
patut dan diyakini bisa memotivasi seseorang agar berbuat lebih baik.
Pujian yang kita berikan sebagai bentuk penghargaan kita dari lubuk hati
yang jujur memang dapat mempererat kasih sayang/silaturrahim. Namun
tentunya bentuk pujian seperti itu berbeda dengan pemberian pujian yang
diungkapkan sekedar untuk basa basi, dimana kita harus pikirkan kembali
maksud dan maknanya. Apalagi pujian yang berlebihan, tidak pada
tempatnya atau tidak layak diterima seseorang dengan maksud ‘menjilat’,
atau karena takut pada orang yang diberi pujian.
Ajaran
Islam telah mengatur batasan pemberian pujian secara luar biasa, dengan
memberikan makna ‘value’ yang jauh lebih dalam. Pertimbangan Islam
dalam memberikan pujian bukan sekedar untuk memotivasi , memberikan
‘rasa’ yang menyenangkan pada seseorang, atau meningkatkan kepercayaan
diri orang tersebut. Batasan pemberian pujian dalam islam terkait dengan
‘pembentukan kepribadian muslim’ dalam hubungannya sebagai hamba Allah
SWT. Seorang muslim tak akan berlebihan dalam memberikan sanjungan pada
seseorang. Demikian pula seorang muslim tak akan mudah terlena dan
menjadi bangga (ujub) pada dirinya karena merasa yakin memiliki
kelebihan tertentu yang pantas dipuji. “You can’t let praise or
criticism get to you. It’s a weakness to get caught up in either
one.”Dengan demikian , kita perlu berhati-hati dalam memberi pujian dan
mengemasnya dengan cara yang bijak agar saudara kita seiman tetap
berkepribadian sholeh. Pepatah mengatakan, “People can not go wrong if
you don’t let them.”
Abu
Musa RA bercerita bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mendengar ada orang
yang memuji saudaranya dengan sangat berlebihan. Beliau bersabda:
”Kalian telah mematahkan punggung saudara kalian (kalian telah
membinasakannya).” [HR Bukhari dan Muslim]
Rasulullah
SAW pernah bersabda dalam khutbah Jumat-nya : “Berwaspadalah kamu
daripada perangai puji memuji. Sesungguhnya pujian itu adalah
sembelihan.” (Hadis riwayat Ahmad)
Dalam
islam, ada pujian yang dibolehkan, ada pula yang dilarang. Para ulama
berpendapat bahwa memuji orang yang memiliki iman yang baik, yang tidak
mudah terpesona dengan pujian yang diberikan padanya, hukumnya tidak
dilarang. Rasulullah SAW juga pernah memuji para sahabatnya karena
kelebihan yang mereka miliki.
Kepada Abu Bakar RA, beliau bersabda : ” Hai Abu Bakar, jangalah engkau menangis. Sesungguhnya orang yang paling menjaga amanat dalam persahabatan dan harta adalah engkau. Andaikata aku harus mengangkat pendamping dari umat-ku, niscaya kuangkat dirimu sebagai pendampingku. “
Kepada Abu Bakar RA, beliau bersabda : ” Hai Abu Bakar, jangalah engkau menangis. Sesungguhnya orang yang paling menjaga amanat dalam persahabatan dan harta adalah engkau. Andaikata aku harus mengangkat pendamping dari umat-ku, niscaya kuangkat dirimu sebagai pendampingku. “
Kepada
Umar beliau berkata ” Hai Umar, tidaklah setan berjumpa denganmu sedang
engkau berjalan di satu sisi, melainkan ia berjalan di sisi yang tidak
engkau lalui. “
Kepada Usman beliau berkata: ” Bukalah pintu bagi Usman, dan beritahukanlah bahwa ia masuk syurga. “
Juga kepada Ali RA : ” Engkau sebagian dari padaku, dan aku sebagian daripadamu. “
Rasulullah
SAW lebih sering melontarkan pujian dalam bentuk doa. Ketika melihat
kelebihan sahabat-sahabatnya, beliau tidak langsung memuji mereka, namun
lebih memilih untuk mendoakan mereka. Sebagai contoh, beliau mendoakan
Ibn Abbas RA yang memiliki minat dan ketekunan agar ahli dalam ilmu
agama dan ilmu tafsir (Al-Qur’an), serta mendoakan Abu Hurairah RA yang
tekun mengumpulkan hadits dan menghapal hadits agar dikaruniai kemampuan
untuk tidak melupakan apa yang pernah dihapalnya.
Adakah
kita masih ragu dengan ajaran Islam tentang batasan pemberian pujian
ini? Semoga kita termasuk orang-orang yang membuka pikiran dan hatinya
untuk belajar agama lebih mendalam. Semoga kita berhati-hati dalam
memberikan pujian agar tidak menjerumuskan saudara kita. Semoga kita
menyikapi pujian yang kita terima secara ‘sehat’dan mengembalikan segala
puji hanya bagi Allah SWT.
“Ya
Allah, semoga Engkau tidak menghukumku karena apa (pujian) yang mereka
katakan. Ampunilah aku atas apa yang tidak mereka ketahui. Dan
jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka kira.” (HR Bukhari)”
Salam
ibu ibu, semoga sehat penuh semangat. Saya share artikel di atas untuk
diskusi nanti sore jam 4-5 pm in shaa Allah. Mangga untuk komentar,
masukan maupun pertanyaan. Semoga materi di atas belum pernah jadi bahan
diskusi sebelumnya. Kalau sudah, boleh saya ganti artikel lain ya
bupiks? 
Pertanyaan




1. Bunda.. Kalau ut anak yg sdg belajar membaca.. Pujianya yg tepat ketika dia telah selesai tahap-tahapanya spt lulus jilid 1 atau spt apa ya..
Kalau sy biasanya ya setiap saat ktk anak bisa menyelesaikan 1 halaman..dg pujian bener senua.. Dan dapet bintang atau anak pinter dll, Lalu ut perubahan sikap anak yg spt apa yg layak dpt pujian
1. Bunda.. Kalau ut anak yg sdg belajar membaca.. Pujianya yg tepat ketika dia telah selesai tahap-tahapanya spt lulus jilid 1 atau spt apa ya..
Kalau sy biasanya ya setiap saat ktk anak bisa menyelesaikan 1 halaman..dg pujian bener senua.. Dan dapet bintang atau anak pinter dll, Lalu ut perubahan sikap anak yg spt apa yg layak dpt pujian
➡
Kalau kita menggunakan pendekatan yang menekankan pada usaha anak,
bukan pada prestasi/ hasil pencapaian target anak , termasuk utk
kegiatan belajar membaca, maka kita akan memberi motivasi sejak awal dan
berkesinambungan sesuai kebutuhan, bukan ditargetkan setelah satu
halaman atau satu baris dan sejenisnya.
Penerapan pemberian tanda bintang dll utk target tertentu adalah pendekatan behavioristik yg cenderung kaku, walaupun ada kelebihan dan kekurangannya.
Penerapan pemberian tanda bintang dll utk target tertentu adalah pendekatan behavioristik yg cenderung kaku, walaupun ada kelebihan dan kekurangannya.
Memang
perlu waktu utk menerapkan pendekatan yg membangun, krn selama ini
lingkungan pendidikan kita cenderung menghargai hasil, dibanding
usaha/proses. Contohnya dulu adalah kebijakan UN 
Jadi
setiap anak terlihat berusaha, dia layak dimotivasi dan dipuji
usahanya, contoh : "alhamdulillah, abang semangat belajarnya."
Pujian pertama, dikembalikan pada Allah. Pujian utk anak, lebih pada usaha nya, bukan sekedar memberi label " hebat nih abang, anaknya ummi." ( contoh yg kurang tepat).
Pujian pertama, dikembalikan pada Allah. Pujian utk anak, lebih pada usaha nya, bukan sekedar memberi label " hebat nih abang, anaknya ummi." ( contoh yg kurang tepat).
Sesekali boleh memberi label yg baik misalnya 'anak sholeh'
Seiring usia anak, kita bisa beri pujian atas usahanya yg lebih keras. Jadi utk hal hal mudah, tak perlu dipuji berlebihan. Wallahualam
Seiring usia anak, kita bisa beri pujian atas usahanya yg lebih keras. Jadi utk hal hal mudah, tak perlu dipuji berlebihan. Wallahualam
Kalau
hanya merujuk dari psikologi ala barat , walaupun ada lebih dari
seratus kata pujian yg dianjurkan, saya khwatir anaknya jadi gede rasa 
2. Bun.. Kalau ada pujian sebaliknya ada hukuman atau sangsi.. Gmn bun.. Batasan memberi hukuman ke anak atas kesalahanya
➡utk
masalah hukuman, selain memperhatikan faktor usia, faktor pemahaman
anak, kita perlu merujuk apakah kesalahan anak tsb suatu hal yang
melanggar ajaran islam.
Jadi kita tidak mwnghukum anak baik secara fisik, psikis atau sosial karena ketidaktahuan anak.
Jadi kita tidak mwnghukum anak baik secara fisik, psikis atau sosial karena ketidaktahuan anak.
Tapi
jika anak sudag baligh dan sudah diajarkan aturan islam, namun masih
melanggar, tentunya kita perlu merujuj konsekuensi yg diajarkan dalam
islam.
Contoh yg
tidak tepat adalah ketika kita menghukum anak kita( dengan cercaan,
ungkapan kecewa dan sejenisnya) krn tidak juara. Namun ketika anak tidak
sholat walaupun sudah baligh, kita tidak memberi konsekuensi.
Wallahualam
Intinya banyak hal yang menjadi kebiasaan kita swbagai ortu, yang perlu kita perbaiki.
Mana usaha anak yg lebih prioritas utk dihargai, apakah sekedar prestasi akademik, atau lebih kepada sikap/ attitude anak dalam menjalankan perintah agama
Mana usaha anak yg lebih prioritas utk dihargai, apakah sekedar prestasi akademik, atau lebih kepada sikap/ attitude anak dalam menjalankan perintah agama
Mhn maaf bunda, jika tak ada komentar atau pertanyaan lagi, saya mhn pamit ya. Anak saya yg toddler sudah mulai cari perhatian
. Mhn maaf jika ada kesalahan
Kita tutup dg Doa Kafaratul majlis
=============
=============
Rekap Kajian grup Ummi M13
Senin,10 Agustus 2015
Senin,10 Agustus 2015
Pemateri : ustadzah Lara Fridani
Tema: psikologi Pendidikan
Tema: psikologi Pendidikan
https://denisrahadian. wordpress.com/getting caught up in praise
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment