Kajian Online WA Hamba الله SWT
Rabu, 18 Mei 2016
Narasumber : Ustadz
Herman
Rekapan Grup Nanda M101 (Layla)
Tema : Kajian Umum
Editor
: Rini Ismayanti
Puji syukur kehadirat
Allah SWT yang masih memberikan kita nikmat iman, islam dan Al Qur'an semoga kita
selalu istiqomah sebagai shohibul qur'an dan ahlul Qur'an dan dikumpulkan
sebagai keluarga Al Qur'an di JannahNya.
Shalawat beriring
salam selalu kita hadiahkan kepada uswah hasanah kita, pejuang peradaban Islam,
Al Qur'an berjalan, kekasih Allah SWT yakninya nabi besar Muhammad SAW, pada
keluarga dan para sahabat nya semoga kita mendapatkan syafaat beliau di hari
akhir nanti. InsyaAllah aamiin
HUKUM SUAP (Riswah)
Risywah menurut bahasa
berarti: “pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk
memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk mendapatkan
sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.” (al-Misbah al-Munir/al Fayumi,
al-Muhalla/Ibnu Hazm). Atau “pemberian yang diberikan kepada seseorang agar
mendapatkan kepentingan tertentu” (lisanul Arab, dan mu’jam wasith).
Sedangkan menurut
istilah risywah berarti: “pemberian yang bertujuan membatalkan yang benar atau
untuk menguatkan dan memenangkan yang salah.” (At-Ta’rifat/aljurjani 148).
Unsur-unsur risywah
Berdasarkan definisi
di atas, bisa disimpulkan bahwa suatu tindakan dinamakan risywah jika memenuhi
unsur-unsur berikut:
a. Adanya athiyyah
(pemberian)
b. Ada niat Istimalah
(menarik simpati orang lain)
c. Bertujuan:
Ibtholul haq
(membatalkan yang haq)Ihqaqul bathil (merealisasikan kebathilan)al mahsubiyah
bighoiri haq (mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan)al hushul alal manafi’
(mendapatkan kepentingan yang bukan menjadi haknya)al hukmu lahu (memenangkan
perkaranya)
Beberapa istilah yang serupa dengan risywah
Bila dilihat dari sisi
esensi risywah yaitu pemberian (athiyyah), maka ada beberapa istilah dalam
Islam yang memiliki keserupaan dengannya, di antaranya:
a. Hadiah yaitu
pemberian yang diberikan kepada seseorang ala sabilil ikram (sebagai penghargaan).
Perbedaannya dengan
risywah adalah: hadiah diberikan ala sabilil ikram, sedangkan risywah diberikan
untuk mendapatkan yang diinginkannya.
b. Hibah yaitu
pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tanpa mengharapkan imbalan dan
tujuan tertentu. Perbedaannya dengan risywah adalah al wahib (pemberi)
memberikan sesuatu tanpa tujuan dan kepentingan tertentu sedangkan ar-rasyi
(penyuap) memberikan sesuatu karena ada tujuan dan kepentingan tertentu.
c. Shadaqah yaitu
pemberian yang diberikan kepada seseorang karena mengharapkan ridha dan pahala
dari Allah SWT seperti zakat ataupun infaq sunnah. Perbedaannya dengan risywah
adalah orang yang bersedekah memberikan sesuatu karena mengharapkan pahala dan
ridha dari Allah semata, sedangkan ar-rasyi dalam pemberiannya mengharapkan
kepentingan duniawi.
Dan bila dilihat dari
sisi kedua yaitu menerima atau mengambil sesuatu yang bukan haknya, maka
tindakan lain yang serupa dengan risywah, adalah korupsi. Korupsi adalah
penyelewengan dan penggelapan harta negara untuk kepentingan pribadi atau orang
lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dalam istilah Islam, korupsi agak sulit
dicari persamaannya. Dalam Islam, ada beberapa istilah yang terkait dengan
mengambil harta tanpa hak, misalnya; ghasb, ikhtilas, sariqoh, hirobah, ghulul
dll. Semuanya mengandung makna yang berbeda, tetapi semua istilah itu bermuara
pada pengambilan harta dengan cara yang tidak benar. Dan biasanya Untuk
memuluskan tindakan korupsi disertai dengan risywah. Oleh karena itu banyak
orang yang mengidentikkan korupsi dengan risywah.
Bahkan dalam
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi pasal 5 ayat 1 terdapat kemiripan antara
korupsi dan suap, dimana korupsi didefinisikan dengan:
« memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, dimana
pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut supaya berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya »
Hukum risywah
Dari definisi di atas
ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah risywah; Ar-Rasyi (penyuap) dan
Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya sama-sama diharamkan dalam Islam
menurut kesepakatan para ulama, bahkan perbuatan tersebut dikategorikan dalam
kelompok dosa besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an
dan Sunnah Nabawiyah berikut ini:
a. Firman Allah
ta’ala:
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”Dan janganlah sebahagian
kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil
dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al Baqarah 188)
b. Firman Allah
ta’ala:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
”Mereka itu adalah
orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS
Al Maidah 42).
Imam al-Hasan dan Said
bin Jubair menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan risywah. Jadi
risywah (suap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT
c. Rasulullah SAW
bersabda:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Rasulullah melaknat
penyuap dan yang menerima suap” (HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan
oleh at-Tirmidzi).
d. Nabi Muhammad SAW
bersabda:
«كلّ لحم نبت بالسّحت فالنار أولى به» قالوا : يا رسول الله وما السحت؟ قال : «الرشوة في الحكم»
“Setiap daging yang
tumbuh dari barang yang haram (as-suht) nerakalah yang paling layak untuknya.”
Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apa barang haram (as-suht) yang dimaksud?”,
“Suap dalam perkara hukum” (Al-Qurthubi 1/ 1708)
Ayat dan hadits di
atas menjelaskan secara tegas tentang diharamkannya mencari suap, menyuap dan
menerima suap. Begitu juga menjadi mediator antara penyuap dan yang disuap.
‘Risywah’ yang diperbolehkan
Pada prinsipnya
risywah itu hukumnya haram karena termasuk memakan harta dengan cara yang tidak
dibenarkan. Hanya saja mayoritas ulama membolehkan ‘Risywah’ (penyuapan) yang
dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan haknya dan atau untuk mencegah
kezhaliman orang lain. Dan dosanya tetap ditanggung oleh orang yang menerima
suap (al-murtasyi) (Kasyful Qina’ 6/316, Nihayatul Muhtaj 8/243, al-Qurtubi
6/183, Ibnu Abidin 4/304, al-Muhalla 8/118, Matalib Ulin Nuha 6/479).
Pembagian Risywah
Imam Hanafi membagi
risywah dalam 4 bagian:
a. Memberikan sesuatu
untuk mendapatkan pangkat dan jabatan hukumnya adalah haram, baik bagi penyuap
maupun bagi penerima.
b. Memberikan sesuatu
kepada hakim agar bisa memenangkan perkara, hukumnya haram bagi penyuap dan
yang disuap, walaupun keputusan tersebut benar, karena hal itu sudah menjadi
tugas dan kewajibannya.
c. Memberikan sesuatu
agar mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan penguasa dengan tujuan mencegah
kemudharatan dan meraih kemaslahatan, hukumnya haram bagi yang disuap saja.
Al-Hasan mengomentari sabda Nabi yang berbunyi, ”Rasulullah melaknat orang yang
menyuap dan yang disuap”, dengan berkata, ”jika ditujukan untuk membenarkan
yang salah dan menyalahkan yang benar. Adapun jika untuk melindungi hartamu,
tidak apa-apa” Yunus juga meriwayatkan bahwa al-Hasan berkata:”tidak apa-apa
seseorang memberikan hartanya selama untuk melindungi kehormatannya”. Abu Laits
As-Samarqandi berkata, ”Tidak apa-apa melindungi jiwa dan harta dengan suap.
d. Memberikan sesuatu
kepada seseorang yang tidak bertugas di pengadilan atau di instansi tertentu
agar bisa menolongnya dalam mendapatkan haknya di pengadilan dan instansi
tersebut, maka hukumnya halal bagi keduanya (pemberi dan penerima) sebagai upah
atas tenaga dan potensi yang dikeluarkannya. Tapi Ibnu Mas’ud dan Masruq lebih
cenderung bahwa pemberian tersebut juga termasuk suap yang dilarang, karena
orang tersebut memang harus membantunya agar tidak terzhalimi. Firman Allah SWT
yang artinya:
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar
kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan
binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya
dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada
mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertaqwalah
kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)
(sumber: mausu’ah
fiqhiyyah dan tafsih ayat ahkam lil Jash-shash)
Risywah masa kini
Saat ini ada bentuk
risywah yang tampak lebih lembut, seperti pemberian yang diberikan kepada
seseorang dengan tujuan investasi jasa, baik materi atau pelayanan, dll. Dan
ada pula bentuk risywah yang lebih berat dari risywah itu sendiri, seperti
pemberian yang diberikan kepada seseorang dari dana yang bukan miliknya,
seperti dana APBD, dll.
Hukum pemberian
dilihat dari sisi orang yang diberi :
a. Penguasa
Ibnu Hubaib berkata,
“Para ulama sepakat mengharamkan memberikan hadiah kepada penguasa, hakim,
pejabat dan pegawai penarik retribusi.” (al-Qurtubi 2/340). Nabi Muhammad SAW
memang menerima hadiah walaupun beliau adalah pejabat dan penguasa, tapi ini
adalah bagian dari kekhususan beliau, karena beliau ma’shum terjaga dari dosa.
Hal ini juga pernah dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz ketika beliau menolak
hadiah yang diberikan kepadanya, beliau mengatakan: pemberian yang diberikan
kepada Nabi termasuk hadiah sementara yang diberikan kepada kita adalah
risywah, karena pemberian yang diberikan kepada beliau lantaran kenabiannya sementara
pemberian yang diberikan kepada kita karena pangkat jabatan kita.
Hadits Rasulullah SAW,
“Hadiah kepada pejabat adalah penyelewengan.” (HR Ahmad)
b. Pejabat pemerintah
Hadiah yang diberikan
kepada pejabat hukumnya sama dengan hadiah yang diberikan kepada penguasa,
sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Hubaib, hal itu diperkuat
dengan sabda Rasulullah dalam hadits Ibnul Utbiyah
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِي اللَّه عَنْهم قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
Dari Abi Humaid As
Sa’idi RA berkata Nabi SAW mempekerjakan seseorang dari suku Azdy namanya Ibnu
Alutbiyyah untuk mengurusi zakat, tatkala ia datang berkata [kepada Rasulullah]
ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya, bersabda beliau : kenapa dia
tidak duduk di rumah ayahnya atau ibunya, lantas melihat apakah ia diberi
hadiah atau tidak, Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya tidaklah seseorang
mengambilnya darinya sesuatupun kecuali ia datang pada hari kiamat dengan
memikulnya di lehernya, kalau unta atau sapi atau kambing semua bersuara dengan
suaranya kemudian beliau mengangkat tangannya sampai kelihatan putih ketiaknya
lantas bersabda : Ya Allah, tidaklah telah aku sampaikan? (HR Bukhari)
Dan sabda Nabi SAW :
” هدايا الأمراء غلول “
“Hadiah yang diberikan
kepada para penguasa adalah ghulul” (HR. Ahmad 5/424)
Ghulul, secara bahasa
berarti khianat dan secara istilah mengambil sesuatu dari rampasan perang
sebelum dibagi atau khianat pada harta rampasan perang. Berkata Nawawi, ghulul
arti asalnya adalah khianat, tetapi penggunaannya secara dominan dipakai pada
khianat dalam ghanimah. Dan yang biasa berkhianat atas harta itu adalah para
penguasa dan pejabat.
c. Hakim
Pemberian yang
diberikan kepada hakim adalah harta haram menurut kesepakatan para ulama,
karena termasuk SUHT (yaitu yang haram yang tidak boleh di konsumsi maupun
digunakan sebagai investasi).
d. Mufti
Haram bagi seorang
mufti menerima suap untuk memberikan fatwa atau putusan hukum sesuai yang
diinginkan mustafti (yang meminta fatwa). (ar-Raudhah 11/111, Asnaa
al-Mutahalib 4/284) Ibnu Arfah berkata, “sebagian ulama mutaakhkhirin
mengatakan : ‘hadiah yang diberikan kepada seorang mufti jika tidak berpengaruh
kepada semangat mufti tersebut, baik ada hadiah atau tidak ada tetap semangat
maka boleh diambil, dan jika mufti tersebut tidak semangat kecuali dengan
hadiah maka tidak boleh diambilnya, ini jika tidak berkaitan dengan masalah
yang dipertikaikan. Tapi sebaiknya seorang mufti tidak menerima hadiah dari
mustafti, karena itu bisa menjadi risywah kata Ibnu Aisyun.
e. Guru/Dosen
Jika pemberian itu
diberikan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang karena ilmu dan
keshalihannya maka boleh diterima, tapi jika diberikan agar memberikan tugas
dan kewajiban yang sudah menjadi tanggung jawabnya maka sebaiknya tidak
diambilnya.
f. Saksi
Haram bagi seorang
saksi menerima pemberian (risywah) apabila ia menerimanya maka gugurlah
keadilan yang menjadi syarat sah kesaksiannya. (al-Muhadzaab 2/330, al-Mughni
9/40 dan 160).
Hukum keputusan hakim yang disertai risywah.
Jika seorang hakim
memutuskan perkara dengan disertai risywah, maka para ulama berbeda pendapat
apakah putusan itu sah dan harus dilaksanakan atau putusan itu batal demi
hukum:
a. Mayoritas ahli
fiqih berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan dengan risywah batal dan tidak
boleh dilaksanakan, walaupun keputusan tersebut benar. (al Bahrurraiq 6/284, al
Mughni 9/40)
b. Al Khashaf dan
Ath-Thohawi berpendapat bahwa keputusan hakim dianggap sah jika bertepatan
dengan syari’ah, dan risywah tidak bisa membatalkan hukum yang benar yang telah
ditetapkan (Durarul hukkam 4/537)
Sanksi bagi pelaku risywah
Risywah adalah sebuah
pelanggaran yang jelas pelakunya harus dikenai sanksi, baik ar-rasyi sebagai
pemberi maupun al-murtasyi sebagai penerima pemberian.
Dan dikarenakan tidak
adanya nash khusus tentang sanksi yang harus diberikan baik bentuk maupun
ukurannya, maka sanksi risywah berbentuk ta’zir yang bentuk dan macamnya
diserahkan kepada hakim.
Cara pengembalian uang hasil risywah
Risywah hukumnya tetap
haram walaupun menggunakan istilah hadiah, hibah atau tanda terima kasih dll.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada hadits Ibnul Lutbiyah di atas.
Oleh karena itu setiap
perolehan apa saja di luar gaji dan dana resmi/legal yang terkait dengan
jabatan/pekerjaan merupakan harta “ghulul” (korupsi) dan hukumnya tidak halal.
Meskipun hal itu atas nama ‘hadiah’ dan ‘tanda terima kasih’ akan tetapi dalam konteks
dan perspektif syari’at Islam bukan merupakan hadiah tetapi dikategorikan
sebagai ‘risywah’ (suap) atau ‘syibhu risywah’ (semi suap) atau ‘risywah
masturoh’ (suap terselubung), ‘risywah musytabihah’ (suap yang tidak jelas)
ataupun ‘ghulul’ dsb.
Segala sesuatu yang
dihasilkan dengan cara yang tidak halal seperti risywah maka harus dikembalikan
kepada pemiliknya jika pemiliknya diketahui, dan kepada ahli warisnya jika
pemiliknya sudah meninggal, dan jika pemiliknya tidak diketahui maka harus
diserahkan ke baitulmal sebagaimana penjelasan yang terdapat dalam hadits Ibnul
lutbiah, atau digunakan untuk kepentingan umat Islam. Sebagaimana yang
dikatakan oleh syekhul Islam Ibnu Taimiyah terkait dengan orang yang bertaubat
setelah mengambil harta orang lain secara tidak benar: ”jika pemiliknya
diketahui maka harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan jika tidak diketahui
maka diserahkan untuk kepentingan umat Islam.” (Kasysyaful Qina’ 6/317)
TANYA JAWAB
Q : Ustadz..Kalau
masuk kuliah bayar orang dalam itu termasuk dalam suap yah?
A : Iya itu masuk suap
bu
Q : Ustadz.. sy baru
lulus SMA blm ibu-ibu, Berarti ijazah yang di dapatkan itu haram yah
ustadz?
A : Iya bu..harus
taubat kepada Allah agar menjadi halal.insya Allah. Oo masih muda ya...calon
ibu berarti. Cari yang tidak pakai suap ya.
Alhamdulillah, kajian
kita hari ini berjalan dengan lancar. Semoga ilmu yang kita dapatkan berkah dan
bermanfaat. Aamiin....
Segala yang benar dari
Allah semata, mohon maaf atas segala kekurangan. Baiklah langsung saja kita
tutup dengan istighfar masing-masing sebanyak-banyaknya dan do'a kafaratul
majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma
wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya
Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah
melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment