Home » , , » TALAK DAN PERCERAIAN

TALAK DAN PERCERAIAN

Posted by Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT on Wednesday, January 18, 2017

Image result for image talak
KAJIAN ONLINE HAMBA ALLAH GRUP UMMI M14
Senin, 21 Desember 2015
Tema : "Talak dan Perceraian"
Narsum : Ustadzah Tribuwhana
Editor : Sapta

#############################

اسلا م عليكم و رحمت الله و بر كاته
بسم الله الرحمن الرحيم
 إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْه
ِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَهَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya dan meminta pertolongan, pengampunan,dan petunjuk-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan keburukan amal  kita. Barang siapa mendapat dari petunjuk Allah maka tidak akan ada yang menyesatkannya, dan barang siapa yang sesat maka tidak ada pemberi petunjuknya baginya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Ya Allah, semoga doa dan keselamatan tercurah pada Muhammad dan keluarganya, dan sahabat dan siapa saja yang mendapat petunjuk hingga hari kiamat.

Talak

Talak adalah pernyataan atau sikap atau perbuatan untuk melepaskan ikatan pernikahan. Bisa juga dikatakan sebagai putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri dalam waktu tertentu atau selamanya. Talak pada umumnya dilakukan oleh suami, meski sebagaimana di artikel saya sebelumnya ditulis bahwa talak juga bisa diajukan oleh pihak istri.

Apabila talak dilakukan oleh suami, maka ada beberapa jenis talak:

  1. Talak sunni, yakni perceraian yang dilakukan oleh suami yang mengucapkan cerai talak kepada isterinya yang masih suci dan belum disetubuhinya (sang istri beradaa dalam keadaan suci).
  2. Talak bid’i, suami mengucapkan talak kepada isterinya ketika sang istri dalam keadaan haid atau berada dalam kondisi suci tapi sang istri sudah disetubuhi (berhubungan intim).
  3. Talak raj’i, yakni perceraian ketika suami mengucapkan talak satu atau talak dua kepada isterinya. Suami boleh rujuk kembali ke isterinya ketika masih dalam iddah. Jika waktu iddah telah habis, maka suami tidak dibenarkan melakukan rujuk dengan istrinya kecuali dengan melakukan akad nikah baru.
  4. Talak bain, perceraian pada saat suami mengucapkan atau melafazkan talak tiga (atau ketiga) kepada isterinya. Isterinya tidak boleh diajak rujuk kembali kecuali setelah isterinya menikah dengan lelaki lain, suami barunya menyetubuhinya, setelah diceraikan suami barunya dan telah habis iddah dengan suami barunya.
  5. Talak taklik, yakni suami yang menceraikan isterinya dengan sesuatu sebab atau syarat. Apabila syarat atau sebab itu dilakukan atau berlaku, maka terjadilah penceraian atau talak.

Dari penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa talak 1 dan talak 2 adalah talak (cerai) yang memungkinkan si suami untuk kembali rujuk (termasuk mengajak berhubungan intim) dengan istrinya selama masa iddah. Dari penjelasan di atas, maka talak 1 dan talak 2 masuk dalam kategori talak raj’i. Sementara jika seorang suami menyatakan talak 3 kepada istrinya, maka dia tidak boleh rujuk kecuali syarat yang telah disebut di talak bain di atas.

Lalu, apakah talak itu bersifat akumulatif? Maksudnya, jika si suami menyatakan talak 1 kemudian masa iddah si istri habis, maka otomatis langsung talak 2? Terus terang, saya tidak belum pernah menemukan dalil yg mendukung hal ini. Berdasarkan apa yg saya pelajari dan ketahui, talak 2 terjadi apabila suami telah rujuk dengan istri usai talak 1.

Jadi, misalkan suami A dan istri B menikah. Lalu A mentalak B. Ini disebut talak 1. Setelah 4 bulan, mereka rujuk. Lalu karena satu dan lain hal, A kembali mentalak B. Nah, ini disebut talak 2. Meski telah talak 2, A masih boleh rujuk dengan B. Namun jika A kembali mentalak B, yg otomatis menjadikan talak 3 telah jatuh, maka A tidak boleh rujuk lagi dengan B, kecuali B menikah dahulu dengan X, berhubungan intim, lalu si X mentalaknya (minimal talak 1), serta sudah habis masa iddahnya.

Barangkali ada yg bertanya,apakah boleh sekali talak langsung talak 3?
Pernyataan talak yang langsung talak 3 ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Namun, jika merujuk pada ayat “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.” (Al Baqarah(2):229), banyak ulama yg berpendapat bahwa talak 3 hanya bisa dilakukan setelah 2 kali talak dan 2 kali rujuk.

Meski demikian, ada yg berpendapat boleh dilakukan talak langsung talak 3 dengan merujuk pada hadits berikut ini:
“Di masa Rasulullah SAW, Abu Bakr, lalu dua tahun di masa khilafah ‘Umar muncul ucapan talak tiga dalam sekali ucap. ‘Umar pun berkata, “Manusia sekarang ini sungguh tergesa-gesa dalam mengucapkan talak tidak sesuai dengan aturan Islam yang dulu pernah berlaku, yaitu talak itu masih ada kesempatan untuk rujuk. Karena ketergesa-gesaan ini, aku berharap bisa mensahkan talak tiga sekali ucap.” Akhirnya ‘Umar pun mensahkan talak tiga sekali ucap dianggap telah jatuh tiga kali talak.” (HR Muslim no 1472)

Merujuk pada hadits di atas, boleh2 saja seorang suami langsung menjatuhkan talak 3 sekaligus. Namun, seperti yg Umar katakan, bahwa perbuatan langsung talak 3 sebenarnya hal yg tergesa-gesa dan tidak sesuai dengan aturan Islam yg dulu pernah berlaku, yakni jatuhnya 2 kali talak dan 2 kali rujuk.

Karena jika seorang suami telah mentalak 3 istrinya, lalu di kemudian hari menyesal dan ingin rujuk, maka seperti penjelasan2 di atas, TIDAK DIPERBOLEHKAN RUJUK kecuali si istri telah menikah dengan orang lain, disetubuhi suami barunya, dan diceraikan (ditalak). Itu berarti mesti dilakukan akad nikah baru. Apabila si suami memaksa rujuk dan berhubungan intim, maka hal tersebut dilarang dan hubungan intimnya bisa dikategorikan sebagai zina karena dilakukan oleh pasangan yg tidak resmi (dikarenakan telah terjadi talak 3).

Silakan merujuk pada ayat.“Kemudian jika si suami menlalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Al Baqarah(2):230)

Namun, seorang istri yang telah ditalak 3 tidak boleh melakukan pernikahan dan persetubuhan serta perceraian ‘pura2’ hanya agar bisa kembali ke suami sebelumnya. Hal ini juga dilarang! Pernikahan seperti ini disebut pernikahan muhalil. Akan dijelaskan di lain waktu.

Semoga bermanfaat.

~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~

TANYA, JAWAB

T : Tanya Ustadzah, apakah diperbolehkan seorang istri meminta cerai karena sang suami tidak memberikan nafkah lahir batin selama 3 bulan lebih, ketika diberi kabar sang anak sakit suami pun tidak ada usaha untuk pulang menjenguk dan mengirim biaya pengobatan.
J : boleh

T : Tanya ustadzah, jika ada seorang istri yang sudah ditalak 3x lalu suami ingin rujuk tapi si istri belum menikah lagi namun pernah berhubungan badan dengan pria lain, bagaimana hukumnya?
J : hukumnya tidak boleh, karena si istri tidak menikah resmi tapi berzina

T : Dalam berumah tangga kadang ada sedikit perbedaan pendapat dan dapat mengakibatkan percecokkan jika seorang istri mengatakan "aku ingin pulang ke rumah orang tuaku" dan suami mengatakan "silahkan saja" apakah seperti itu sudah jatuh talak? jazakillah jawabannya ustadzah.
J : tidak, talak harus diucapkan talak, tidak bisa dikiaskan dengan kata-kata lain

T : Assalamualaikum ustadzah, saya mau tanya, jika suami sudah mentalak istri (baru sekali berucap), tapi suami sudah melakukan pernikahan siri dengan wanita lain, namun suami setelah dan sebelunm kata talak di ucap sudah tidak pernah memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri pertama tadi,  apakah sah pernikahan siri yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari istri, apa hukumnya jika tiba-tiba suami ingin rujuk,  padahal masa iddah sudah habis, apa boleh juga jika istri berniat berumah tangga dengan orang lain,  dosa atau tidak ustadzah menurut hukum Allah. Jazakillah atas jawabannya ustadzah.
J : Secara agama pernikahannya suaminya sah, tapi istri boleh mengajukan gugatan perceraian jika tidak ridho dengan perlakuan suami sebelum suami nikah siri. Setelah masa iddah istri boleh menikah dengan orang lain.

T : Afwan bertanya lagi ustadzah, hukumnya apa ketika suami omong besar akan pulang membawa uang banyak bulan depan namun sampai berulang kali selalu ingkar. Dan suami juga tidak pernah bertanya apakah sang istri punya uang untuk makan dan mencukupi kebutuhan anak istrinya sedangkan suami tidak pernah mengirimkan sepeserpun uang untuk mereka tapi untuk merokok dia selalu ada?
J : Berarti suami telah berbuat dzalim kepada istri dan anak-anaknya, jika setelah berbulan-bulan suami tidak memberi nafkah baik lahir maupun batin istri boleh mengajukan gugatan cerai. Tapi kalau istri ridho dibohongi terus sama suami ya silahkan pernikahannya tetap dipertahankan.

T : Istri sudah sering memberi kesempatan dan bahkan sang istri yang harus menanggung hutang-hutang yang menjadi tanggung jawab serta kewajiban suami. Namun setiap istrinya sudah tidak kuat dan tidak ridho selalu dibohongi minta cerai suami tidak mau kasihan anaknya padahal selama lebih dari 3 bulan tidak peduli apakah anaknya sehat, makan atau tidak karena penghasilan istri habis untuk membayar hutang suaminya, bahkan ayah sang suami pun sudah menyerah dengan sikapnya tersebut. Bagaimana ya Ustadzah ?
J : Kalau saya jadi istri seperti itu, saya sdh mintai cerai, afwan. Karena suaminya php terus. Berarti istri sudah harus tegas, karena keluarga besar juga tidak bisa membantu menyelesaikan masalahnya.

T : Ustadzah, saya mohon bertanya, kalau suami pernah berselingkuh dan ketahuan lalu dimaafkan karena janji tidak mengulanginya lagi, tapi masih terus kerap kali mempunyai hubungan dengan wanita-wanita. Sebaiknya apa yang harus dilakukan si wanita tersebut. Apa terus mempertahankan rumah tangga dan sabar menghadapinya atau meminta cerai karena sudah tidak tahan dengan kelakuan suami yang makan hati, kerap kali ketahuan. Dan bagaimana caranya kita bisa yakin atau berpositive thingking suami tidak melakukan seperti itu lagi? Sedangkan sang istri pernah melihat dengan mata kepala sendiri suaminya check in dengan wanita lain(ketangkap basah). Mohon jawabannya.
J : Astaghfirullahal adziim, kalo saya pribadi punya pendapat bahwa semuanya tergantung dan terserah kepada istri tersebut. Kalau ikhlas dipermainkan suaminya ya tidak mengapa, sambil terus berdoa agar suaminya bisa berubah. Jadi intinya ada pada kesiapan istri, mungkin istri berpikir suatu saat suaminya akan taubat dan kembali padanya. Jadi istri harus istikhoroh minta petunjuk Allah baiknya bagaimana.

T : Betul ustadzah, sang suami sempat bilang ketika istri menuntut tanggung jawab dan kewajiban nafkah kepada suaminya, malah bilang gajimu juga buat bareng-bareng, siapa ustadz yang bilang kalau gaji istri punya istri bukan suami suruh ketemu aku. Astaghfirullohal adhiim.
J : Istri harus tegas. Tegas bukan berarti kasar, dan memang gaji istri hak penuh istri, bukan milik bersama, suaminya pemahaman agamanya kurang baik.

T : Namun suami tidak terima, maunya milik bersama, bagaimana?
J : Jadi menyepelekan hukum-hukum Allah, Naudzubillah. Ya mending pisah saja kalo gitu, toh istri sudah punya penghasilan sendiri, san suami tidak bertanggung jawab.

T : Bagaimana dengan bahwa Allah sangat membenci perceraian Ustadzah? Padahal keluarga sudah berusaha silaturohim ke orangtua suaminya untuk minta kejelasan tentang tanggung jawab dan kewajibannya yang selama ini diabaikan. Tapi sikapnya tidak punya etika dan sopan santun dalam berbicara, bersikap di depan orangtuanya dan orangtua istri, bagaimana ustadzah?
J : "Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah cerai.” Derajat hadis: Lemah
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (2178), Baihaqi, dan Ibnu adi, dari jalan Mu’arrof bin Washil, dari Muharib bin Ditsar, dari Ibnu Umar secara marfu’.
Setelah memaparkan takhrij hadis ini dengan panjang lebar. Syaikh al-Albani berkata, “Kesimpulannya bahwa yang meriwayatkan hadis ini dari Mu’arrof bin Washil ada empat orang tsiqoh. Mereka adalah Muhammad bin Kholid al-Wahibi, Ahmad bin Yunus, Waki’ bin Jarroh, dan Yahya bin Bukai. Keempat orang ini berselisih dalam riwayat hadis ini. Orang pertama meriwayatkannya dari Mu’arrof, dari Muharib bin Ditsar, dari Ibnu Umar secaramarfu’. Sedangkan tiga yang lainnya meriwayatkannya dari Mu’arrof, dari Muharib secaramursal. Dan tidak diragukan lagi bahwa riwayat yang mursal itulah yang lebih rojih (kuat).”

Abu Yusuf berkata, “Ketahuilah –barakallahu fikum– bahwa asal hukum cerai adalah makruh dan terlarang, namun bisa berubah pada hukum lainnya. Hal ini sangat tergantung pada kondisi rumah tangga tersebut, bisa menjadi haram, boleh, sunah bahkan wajib.

Hukum asal larangan cerai ini didasarkan pada beberapa hal, di antaranya:
Nikah adalah sebuah akad yang diperintahkan dan dianjurkan oleh Islam, maka talak yang merupakan pemutus pernikahan berarti juga pemutus sesuatu yang dianjurkan dan diperintahkan. Dan semua itu terlarang kecuali kalau ada sebuah keperluan mendesak. Perceraian banyak membawa mafsadah bagi istri dan anak-anak, juga bisa menjadi sebab perpecahan dan pertengkaran antara keluarga, yang semua itu adalah terlarang. Perceraian tanpa sebab adalah mengkufuri nikmat pernikahan yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia telah menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram padanya, dan dijadikannya di antara kamu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21). Perceraian itu hanya diperintahkan oleh setan dan tukang sihir, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Mereka belajar dari keduanya sihir yang bisa memisahkan antara seseorang dengan istrinya.” (QS. Al-Baqarah: 102)

Dari Jabir berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya, maka yang akan menjadi pasukan yang paling dekat dengan dia adalah yang paling banyak fitnahnya. Lalu ada yang datang dan berkata, ‘Saya telah berbuat ini dan itu’. Maka iblis berkata, ‘Engkau tidak berbuat apa-apa’. Kemudian ada yang datang lagi dan berkata, ‘Saya tidak meninggalkan seorang pun kecuali telah aku pisahkan antara dia dengan istrinya’. Maka iblis mendekatkan dia padanya dan mengatakan, ‘Engkaulah sebaik-baik pasukanku’.” (Muslim, no.2167)

Shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda, “Wanita mana saja yang minta cerai pada suaminya tanpa sebab, maka haram baginya bau surga.” (HR. Abu Dawud: 2226, Darimi: 2270, Ibnu Majah 2055, Amad: 5/283, dengan sanad hasan)
Lihat Badai Shona’i (3:95), Al-Mufashol (7:354), Jami’ Ahkamin Nisa’ (4:130) Syaikh Musthofa Adawi, Fiqih Sunnah (2:2790), Roudhoh Nadiyah (2:238) Syaikh Shidiq Hasan Khan.

Adapun jika situasi dan konndisi rumah tangga itu berubah, maka hukum ini pun bisa berubah menjadi:

  1. Wajib, Yaitu perceraian yang sudah ditetapkan oleh dua juru damai dari keluarga suami dan istri, lalu keduanya menetapkan bahwa suami istri tersebut harus dipisahkan sebagaimana yang digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya surat an-Nisa: 35.
Juga yang termasuk dalam perceraian yang wajib adalah kalau seorang suami bersumpah untuk tidak mengumpuli istrinya lagi, maka setelah masa tunggu selama empat bulan, wajib bagi suami menceraikan istrinya kalau dia tidak mau rujuk kembali. Sebagaimana yang digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya surat Al-Baqarah: 226.
  1. Sunah, Terkadang perceraian itu dianjurkan dalam beberapa keadaan, seperti jika si istri adalah wanita yang kurang bisa menjaga kehormatannya, atau dia adalah wanita yang meremehkan kewajibannya kepada Allah, dan suami tidak bisa mengajari atau memaksanya untuk menjalankan kewajiban seperti sholat, puasa, atau lainnya. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa dalam keadaan yang kedua ini wajib untuk menceraikannya.
  2. Mubah, Contohnya apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qudamah, “Perceraian itu mubah kalau perlu untuk melaksanakannya, disebabkan oleh akhlak istri yang jelek dan suami merasa mendapatkan mafsadah dari pergaulan dengannya tanpa bisa mendapatkan tujuan dari pernikahannya tersebut.” (Al-Mughni, 10:324)
  3. Makruh, Yaitu perceraian tanpa sebab syar’i. Imam Said bin Manshur no.1099 meriwayatkan dari Abdullah bin Umar dengan sanad shahih mauquf, bahwasanya beliau menceraikan istrinya, maka istrinya pun berkata, “Apakah engkau melihat sesuatu yang tidak engkau senangi dariku?” Ibnu Umar menjawab, “Tidak.” Maka dia pun berkata, “Kalau begitu, kenapa engkau menceraikan seorang wanita muslimah yang mampu menjaga kehormatannya?” Maka akhirnya Ibnu Umar pun merujuknya kembali.
  4. Haram, Di antaranya adalah menceraikan istri saat haidh atau suci, namun sudah berjima dengannya. Dan inilah yang dinamakan dengan talak bid’ah yang keharamannya disepakati oleh para ulama sepanjang masa.
(Lihat Al-Mughni, 10:323, Ad Dur al-Mukhtar Ibnu Abidin, 3:229), Mughnil Muhtaj, 3:307, Jami Ahkamin Nisa, 4:18)
Sumber: Hadis Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Pustaka Al Furqon, Cetakan:III 1430 H.

T : Ustadzah mau tanya, bagaimana hukumnya seorang suami yang meminjam uang di bank tetapi istrinya lah yang membayarkan cicilan suaminya tersebut, uang tersebut digunakan untuk.modal usaha tetapi usahanya tidak berjalan karena suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap, sedangkan istrinya memiliki pekerjaan dan karir yang bagus dan memiliki gaji yang lebih banyak dari suaminya, tetapi suaminya tidak pernah kasih uang belanja untuk istrinya, karena sudah merasa kalau istrinya sudah mampu dan suami merasa belum bisa kasih nafkah materi. Terkadang suaminya seenaknya saja meminjam uang kemanaa-mana atas nama istrinya, supaya istrinya lah yang membayarkan hutang-hutangnya.
J ; Allah berfirman,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Wajib bagi setiap suami untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada istri, dengan sepantasnya.” (Q.S. Al-Baqarah:233)

Ayat di atas menunjukkan bahwa dalam sebuah keluarga hukum asal yang berlaku: sang suami memberikan nafkah kepada istri. Karena itu, dalam harta yang diperoleh suami, ada bagian yang harus diberikan kepada istri sebagai nafkah. Suami yang tidak memberikan nafkah kepada istri termasuk perbuatan zalim, dan istri berhak untuk mengambilnya sesuai dengan kebutuhannya, tanpa harus izin kepada suaminya.
Dinyatakan dalam hadis dari Hindun binti Utbah radhiyallahu ‘anha, bahwa beliau mengadukan perihal suaminya (Abu Sufyan) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang pelit. Dia tidak memberikan harta yang cukup untuk kebutuhanku dan anak-anakku, kecuali jika aku mengambilnya tanpa sepengetahuannya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan,
خُذِي مَا يَكْفِيكِ  وَوَلَدَكِ، بِالْمَعْرُوفِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan, “Ambillah hartanya, yang cukup untuk memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu, sewajarnya.”

Ayat dan hadis di atas memberikan konsekuensi sebaliknya; bahwa wanita tidak wajib memberikan hartanya kepada suaminya.  Harta istri sepenuhnya menjadi milik istri, dan dia tidak berkewajiban memberikan sebagian hartanya tersebut kepada suaminya. Sehingga, wanita berhak mengeluarkan hartanya untuk kepentingannya atau untuk sedekah, tanpa harus meminta izin kepada suaminya.

Di antara dalilnya adalah hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berceramah di hadapan jamaah wanita,
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ
“Wahai para wanita, perbanyaklah sedekah, karena saya melihat kalian merupakan mayoritas penghuni neraka.”
Seketika itu, para wanita itu pun berlomba-lomba menyedekahkan perhiasan mereka, dan mereka melemparkannya di pakaian Bilal. (H.R. Muslim 304).

Dalil yang lainnya adalah hadis dari Abu Said Al-Khudri, bahwa suatu ketika, Zainab (istri Ibnu Mas’ud) hendak membayar zakat perhiasan yang dia miliki. Kemudian beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bolehkah istri memberikan zakatnya kepada suaminya dan anak yatim dalam asuhannya?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَعَمْ، لَهَا أَجْرَانِ، أَجْرُ القَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ
“Ya, silakan. Dia mendapat dua pahala: pahala menjaga hubungan kekerabatan dan pahala bersedekah.” (HR. Bukhari 1466)

Si Istri (istri Ibnu Mas’ud) bersedekah kepada suaminya (Ibnu Mas’ud) karena Ibnu Mas’ud adalah orang yang miskin, sementara istrinya kaya. Ini menunjukkan bahwa harta istri murni menjadi miliknya dan suami sedikitpun tidak turut memilikinya. Jika suami turut memilikinya, tentu saja suami tidak boleh mendapatkan zakat dari harta istrinya. Ini berbeda ketik suamia kaya sementara istri tidak mampu, suami tidak beleh memberikan zakatnya kepada istrinya. Karena suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya.
Kami menasehatkan kepada para suami yang mengambil harta istrinya tanpa kerelaannya, atau tidak memberikan nafkah dalam batas wajar kepada istrinya, hendaknya dia bertaubat kepada Allah. Karena tindakannya adalah kedzaliman, yang pasti akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Yang Maha  dan Mendengar semua perbautan hamba-Nya.

Allahu a’lam.

##########################
Alhamdulillah, Kajian hari ini tlah pun selesai, mari sama2 kita baca Do'a penutup:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
“Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allailahailla anta astaghfiruka wa’atubu ilaik”

Artinya : “Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada tiada Tuhan melainkan Engkau, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Tirmidzi, Shahih)

Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Post a Comment

Ketik Materi yang anda cari !!