Rekap Kajian Online Hamba Allah Ummi G-4
Selasa, 4 April 2017 (jam 14.00 wib)
Narsum : Ustadzah Runie
Tema : It's about Me-Time
Editor : Sapta
➖➖➖➖➖➖➖➖➖
It's about "Me-Time"
Istilah ‘Me-time’ yang kembali populer akhir-akhir ini khususnya di kalangan para istri/ibu rumah tangga, memang bisa dimaknakan berbeda oleh tiap keluarga. Banyak yang mengartikan Me-time sebagai waktu khusus yang diperuntukkan bagi diri sendiri, ya… semacam ‘alone time’. Memang tak bisa dipungkiri bahwa para ibu (tanpa bermaksud mengecualikan kesibukan para bapak) mau tak mau banyak mendedikasikan waktunya untuk banyak orang termasuk untuk suami, anak-anak, kegiatan sosial, kegiatan kuliah, dan pekerjaan kantor atau bisnis bagi ibu yang berkarir ganda di luar rumah.
Nah, ada kalanya rutinitas tersebut mencapai ‘puncak kelelahan’ dan berakhir ekstrim dengan keinginan untuk menghentikan segala ‘tuntutan’ yang ada. Saya teringat berbagai kasus seputar rumah tangga para keluarga muda di lingkungan sekitar saya yang sempat goncang karena masalah seputar ‘me-time’. Awalnya bermula dari kebutuhan para istri untuk terlepas sejenak dari rutinitas tugas di rumah tangga sehari-hari. Para suami cukup bijak untuk memberikan ‘space’ bagi istrinya untuk bisa menyenangkan diri mereka barang sejenak. Ada yang pergi ke salon, membaca novel berjam-jam, menonton acara hiburan, menambah jam tidur lebih lama dari biasanya, chatting dengan fasilitas teknologi, hingga ketemuan langsung untuk janjian makan-makan sambil ngobrol-ngobrol dengan teman. Dalam situasi kejenuhan yang memuncak, tampaknya ‘me-time’ dapat membantu diri untuk merasa lebih relaks dan meringankan stress yang terjadi.
Masalahnya adalah ketika kegiatan ‘me-time’ ini menjadi melebar ke segala penjuru. Kenikmatan meluangkan ‘waktu special’ di sela-sela kesibukan sehari-hari, berubah menjadi sebuah tuntutan rutin dan intens yang ingin segera dipenuhi. Pergi ke salon dilanjutkan dengan acara window shopping menjadi agenda rutin; kegiatan makan-makan dan ngobrol bareng di pusat perbelanjaan menjadi agenda minggu yang lain; membaca novel menjadi agenda seminggu sekali; plus menonton acara hiburan seminggu dua kali; penambahan jam tidur (bangun siang) tiap hari sabtu dan minggu, bahkan chatting tanpa tujuan jelas menjadi agenda tiap hari.
‘Kapan nih bu, kita barengan ke salon lagi?’
‘Sudah pernah coba makanan di restoran yang baru itu belum?
ayo dong sekalian kita kumpul-kumpul!’
‘Wah…rugi bu kalau belum pernah shopping di sana, barangnya murah-murah lho, unik-unik dan kualitasnya oke!’
‘Ooooh begitu ya bu caranya minta sama suami, saya mau protes juga aaaah …….’
Kalau kesibukan tanpa tujuan jelas seperti ini semakin intens, tentu dampaknya berpengaruh terhadap stabilitas rumah tangga. Para anak mulai menggerutu atau memilih kesibukannya sendiri, para suami mulai marah dan ada yang bersikap keras melarang istrinya berpergian lagi atau sekedar chatting dengan teman-temannya. Bahkan ada yang ‘ekstrim’, sang istri merubah haluan untuk bekerja di luar dengan alasan butuh uang tambahan karena merasa banyak keinginannya yang tak terpenuhi. Penyelesaiannya untuk menuju ‘harmony’, sama sekali tidak mudah, apalagi jika kedua belak pihak bersikeras mempertahankan ego-nya.
Sekedar nasehat dari psikolog untuk salah seorang pasangan, bahkan untuk kedua pasangan secara bersamaan pun, terkadang hanya efektif ‘setengah jalan’. ‘Kepercayaan diri ‘ masing-masing karena merasa dalam ‘posisi yang benar’ menjadi standar yang bias. Keluhan sang istri tak ditanggapi secara serius oleh suami karena dianggap ‘lebay’. Teguran sang suami tak berdampak bagi istri karena merasa suaminya bukanlah pemberi tauladan , tapi ‘hanya bisa bicara saja’, sedangkan action-nya nomor sekian.
Saya teringat saat kegiatan kunjungan ke suatu daerah dimana para ustadzah di sana cukup berperan dan memiliki kepedulian yang besar terhadap kondisi masyarakat sekitarnya. Segala permasalahan termasuk urusan ‘emansipasi’ para ibu untuk ber‘me-time’ yang sempat bergejolak di sana, dikembalikan kepada ajaran agama sebagai rujukannya. Para ustadzah tidak melarang kegiatan ‘me-time’ jika dilakukan dalam batas yang wajar. Namun dalam berbagai kesempatan para ibu ini diajak pula mengenal adanya sifat itsar di dalam ajaran Islam (mendahulukan kepentingan orang lain, khususnya dalam hal duniawi). Salah satu sikap itsar adalah senang menolong dan bersikap murah hati pada orang lain, termasuk pada keluarga sendiri. Dengan demikian, muslimah yang baik tidak akan menjadikan konsep ‘me-time’ sebagai acuan ,tanpa menyeleksi apakah ada hal-hal yang tak sesuai dengan ajaran Islam.
Para ustadzah yang saya temui meyakini bahwa berbagai kegiatan keagamaan yang mereka fasilitasi dalam bentuk ta’lim (pengajaran), maupun tarbiyah (pendidikan) adalah suatu hal yang penting untuk membina keluarga menjadi sakinah mawadah warahmah. Para ibu khususnya dibimbing untuk mempelajari Al-Quran dan dijelaskan tentang nilai-nilai luhur dalam ajaran Islam. Ada pula yang secara intensif dibimbing dalam kelompok-kelompok kecil (agar lebih efektif) untuk membedah buku-buku agama dipandu oleh sang ustadzah. Kegiatan tersebut sepertinya bisa menjadi salah satu alternatif ‘solusi’ bijak bagi para ibu dalam memanfaatkan ‘me-time’ nya. Dengan meluangkan ‘me-time’ nya untuk belajar ilmu agama, para ibu menjadi paham tentang fiqih wanita. Bahasan tentang akhlak muslimah sebagai kunci dari kebaikan umat juga menjadi ‘kurikulum’ tersendiri.
Para ustadzah juga sempat bercerita bahwa tantangan untuk keberlangsungan kegiatan ini tentu saja ada, mulai dari mereka yang berguguran datang ke forum ini karena memiliki kesibukan lain, mereka yang mundur karena merasa ilmunya ustadzah kurang ‘up to date ‘ dengan zaman sekarang, mereka yang lebih memilih untuk ikut acara bernuansa hiburan dan bisnis, dan sebagainya. Belum lagi dengan tantangan eksternal segelintir ibu-ibu yang terkadang menonjolkan prasangka buruknya , bahkan ada pula yang memprovokasi ibu-ibu lainnya untuk ‘berhati-hati’ dengan kegiatan religius semacam ini. Dengan adanya tujuan yang jelas saat berkumpul bersama, yaitu sebagai sarana ibadah, mencari ilmu, dan memperbaiki diri, tentu berlebihan kiranya jika masih ada yang beranggapan bahwa ‘me-time’ versi para ibu tersebut lebih patut untuk dikhawatirkan. Subhanallah.
By Lara Fridani.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
TANYA JAWAB
T : Ustadzah, dalam.lingkungan rumah atau sekolah sering sekali ibu-ibunya mengadakan acara, seperti makan-makan, arisan, hangout dan lain-lain .saya memang hampir tidak pernah mengikuti acara-acara tersebut dekarenakan kekhwatiran saya akan tidak bisa menjaga lisan, tidak bisa menej waktu. Apakah saya terlalu kaku mengenai hal ini, mengenai kajian ilmu inshaalloh saya mengikutinya meluangkn waktu khusus itu?
J : Bunda yang disayangi Allah, aktivitas yang kita lakukan adalah pilihan kita dengan sebuah alasan. Mau berinteraksi melalui misal, makan-makan, arisan dan lain-lain bisa jadi manfaat pun sebaliknya tergantung dari niat awal kita. Jika kita tidak nyaman sbaiknya pilihlah yang membuat kita nyaman. Berinteraksi dalam kebaikan tidak harus selalu mengikuti semua aktivitas yang ada.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ
“Ar-rahim itu tergantung di Arsy. Ia berkata: “Barang siapa yang menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa yang memutusku, maka Allah akan memutus hubungan dengannya”. [Muttafaqun ‘alaihi].
Selalu niat kan menjaga hubungan baik dengan siapapun disekitar kita. Wallahu'alam
T : Wa'alaikumussalam Ustadzah, terkadang saya kepikiran Me-Time, tapi seringnya di ganti dengan pikiran bahwa bersama mereka adalah me-time. Saya harus bersyukur bisa bersama mereka saat ini, karena tidak semua bisa bersama buah hatinya. Mau nitip anak ke suami. Kadang mikir suami udah lelah seharian menjemput rizqy tidak tega misal weekend anak-anak dititip ke suami jadi weekend me-time saya menjadi we-time dan bisa ikutan kajian di Wa seperti ini juga udah me-time insyaa Alloh. Apa betul-betul harus ada me-time khusus kah? Benar-benar tanpa gangguan? Afwan mereka disini maksudnya anak-anak saya ustadzah.
J : Bunda shalehah yang disayangi Allah, MaasyaAllah, memang berada di antara orang-orang yang kita sayangi bisa membawa kebahagiaan. Kenapa muncul istilah "Me-Time", hakikatnya untuk menyeimbangkan emotional dalam diri.
Istri-Ummi, mengurus anak-anak rumah, menjaga dan bermain dengan mereka, memprioritaskan untuk keluarga adalah hal yang butuh konsentrasi simultan, apalagi bila sang ayah hampir selalu sibuk dluar; sehingga peran bertambah. Kebahagiaan istri apakah saat tercukupinya nafkah, terfasilitasinya semua? Oleh dari itu kita jg perlu jaga keikhlasan.
Selain itu kita perlu mensiasati menjaga kebahagiaan hati kita ; "Me-Time" dengan hal yang sederhana menyesuaikan hal yang kita sukai, bisa dengan membaca buku, menonton film, silaturahim, masuk dalam komunitas sosial atau hal lain yang membawa kebaikan untuk diri dan keluarga. Sharing lah point tersebut kepada pasangan kita, agar ada nya pemahaman untuk saling menghargai. #surgasekeluarga.
T : Tidak bohong terkadang saat badan sudah penat dengan segala aktifitas memang terpikirkan me time, tapi yang jadi pertanyaan bagaimana agama memandang me-time ini, sedangkan kodrat istri adalah bertanggungjawab penuh terhadap anak-anak, suami dan rumah tangganya dan in syaa Alloh menjadi jihadnya isteri, mohon pencerahanya ustadzah? Saya pribadi di keluarga justru always together bahkan jika suami tugas luar kami salalu diboyong.
J : Bunda shalehah yang dsayangi Allah, MaasyaAllah kompaknya sekeluarga sebuah harta yang luar biasa. Bunda shalehah, hakikat "Me-Time" bertujuan untuk menyeimbangkan emosional dalam diri kita, setelah fully non stop mengurusi berbagai urusan "orang-orang yang kita sayangi". Butuh keikhlasan dalam diri kita. Hal yang fitrah jika kita menginginkn " Me-Time " karena pada dasarnya setiap muslim : laki-laki/ perempuan diingatkan untuk menjadi orang yang bermanfaat.
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Al-Hajj: 77)
Kemauan dan niat karena Allah menjadi modal dasar bagi kita untuk berupaya menjadi muslim yang produktif. Apapun kondisi kita, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada kita, kita tetap bisa berkontribusi dan memberi manfaat yang lebih besar. Kuncinya terletak pada pertanyaan: apakah kita mau menjadi pribadi yang bermanfaat.
Komunikasikan dengan suami, dalam hal keluarga tetap jadi prioritas. Bersama dengan keluarga tetap menjadi kebahagiaan yg tak tergantikan. Smile 😊
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
PENUTUP
DOA PENUTUP MAJELIS
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
Subhanaka Allahuma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik.Artinya:“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Aamiin ya Rabb.
======================
Website: www.hambaAllah.net
FanPage : Kajian On line-Hamba Allah
FB : Kajian On Line-Hamba Allah
Twitter: @kajianonline_HA
IG: @hambaAllah_official
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment