Notulensi Kajian HA G-5 & G-2Hari/Tgl : Selasa ,15 & 22 Agustus 2017
Materi : Empati
Narasumber : Usatdzah Lillah
Waktu : 13:00-Selesai
Notulensi : Saydah
Materi : Empati
Narasumber : Usatdzah Lillah
Waktu : 13:00-Selesai
Notulensi : Saydah
Editor : Sapta
_____________________________
_____________________________
بسم الله الرحمن الرحيم
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأََشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ؛
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأََشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ؛
Segala puji bagi Allah, yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat hamba-hambanya, Maha suci Allah, Dia-lah yang menciptakan bintang-bintang di langit, dan dijadikan padanya penerang dan Bulan yang bercahaya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya, yang diutus dengan kebenaran, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, mengajak pada kebenaran dengan izin-Nya, dan cahaya penerang bagi umatnya. Ya Allah, curahkan sholawat dan salam bagi nya dan keluarganya, yaitu doa dan keselamatan yang berlimpah.
Sering kali seseorang menilai dengan parameter subjektif dan melihat orang lain dengan kacamata kuda sehingga tidak jarang salah memahami dan menyikapi peristiwa secara tidak arif. Hal itu karena minimnya kesadaran empati dalam memahami kelemahan, kesalahan, kekurangan, kejahilan dan kenaifan orang lain yang sebenarnya boleh jadi merupakan ujian kepekaan dan kejelian dalam mendulang hikmah dan pelajaran di balik berbagai peristiwa yang dilakoni orang lain tadi, alih-alih menjulurkan simpati. Empati menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.
Suatu ketika para sahabat yang sedang berada di masjid Nabawi terusik kesyahduan dzikir mereka dan spontanitas bereaksi emosional tatkala seorang laki-laki Arab badui tiba-tiba berulah kencing di dalam masjid yang saat itu lantainya masih berupa tanah. Demi melihat situasi panas tersebut Rasulullah saw dengan penuh empati dan kelembutan menyikapi dan meluruskan peristiwa tesa dan antitesa sikap reaksi berang sahabat dan aksi bodoh Arab badui tersebut. Beliau memerintahkan para sahabat untuk bersabar dan membiarkan Arab badui menyelesaikan hajatnya serta meminta mereka menyiram bekas kencingnya agar merembes ke tanah dan hilang najisnya. Setelah situasi reda dan dapat diatasi, Rasulullah segera memanggil mereka semua. Beliau memberikan bimbingan kepada para sahabat tentang sikap empatik yang akan membawa hikmah yaitu dengan memaklumi ketidaktahuan Arab badui tersebut, menyadari reaksi kesabaran akan dapat menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru.
Para sahabat akhirnya mengerti bahwa sikap empati yang membuahkan solusi masalah dengan menyiram dan membersihkan kencing sebagai pelajaran bagi si badui bahwa perbuatannya tidak benar yang telah mengotori tempat yang seharusnya dijaga kesuciannya. Selain itu, mereka menyadari bahwa bersabar menanti selesainya kencing si badui akan menghindari tiga mudharat yakni gusarnya si badui yang merasa terusik hajatnya, menyakiti saluran kencing si badui yang terganggu kelancarannya, dan meluasnya area najis akibat kepanikan si badui dalam menuntaskan hajatnya. Kepada si badui Nabi saw memberikan pemahaman secara halus bahwa perbuatannya tidak benar karena telah kencing di masjid dan itu tidak pada tempatnya sebab masjid dibangun sebagai tempat suci untuk dzikrullah dan shalat. Jelang mendapat penjelasan empatik Nabi, si badui sangat terpesona padanya dan sebaliknya masih kecewa dengan sikap berang sahabat seraya berdoa “Ya Allah masukkanlah aku dan Muhammad ke dalam surga dan janganlah Engkau masukkan ke dalamnya seorang pun selain kami.” Lagi-lagi demi mendengar doa yang tidak arif itupun nabi menyikapinya dengan penuh empati demi melihat kenaifannya tanpa membodoh-bodohkannya seraya meluruskan doanya: “Wahai kamu, ketahuilah bahwa surga itu sangat luas dan jika kita berdua saja yang masuk niscaya akan sangat kesepian”.
Pada saat yang lain, kita saksikan sejarah Nabi yang telah membuktikan samudera jiwa empati tatkala seorang laki-laki dengan langkah tergesa-gesa menghadapnya. Nafasnya masih tersengal, turun-naik, sementara jantungnya berdetak cepat. Rasulullah menyambutnya dengan penuh santun. “Celaka bagi kami, wahai Rasulullah,” begitu ia mengawali pembicaraannya. “Aku telah melakukan hubungan suami-istri di siang Ramadhan.” Nampaknya lelaki ini sadar bahwa perbuatannya telah melanggar syariah, yang karenanya ia harus menerima sanksi Rasulullah kemudian memberi petunjuk agar lelaki itu memerdekakan seorang budak. Lelaki tersebut menggelengkan kepala tanda tidak sanggup melaksanakannya.
Maka Rasulullah memberikan alternatif kedua, yaitu puasa selama dua bulan berturut-turut. Lagi-lagi lelaki tersebut menggeleng. Ia merasa tidak mampu untuk melakukannya. Dalam hatinya ia berkata, ‘Jangankan dua bulan, sedang yang satu bulan saja sudah dilanggar.’ Rasulullah menawarkan solusi ketiga, yaitu memberi makan 60 orang fakir miskin. Untuk yang ketiga kalinya ia mengatakan tidak sanggup. Ia katakan bahwa untuk kebutuhan makan sehari-hari saja sudah sering mendapati kesulitan. Apalagi harus memberi makan kepada orang lain.
Dengan penuh kasih sayang Rasulullah kemudian memanggil istrinya agar mengambil bahan makanan yang masih tersisa di rumahnya hingga cukup untuk menebus kewajiban lelaki tersebut. Sambil memberikannya, Rasulullah berpesan agar bahan makanan itu dibagikannya kepada fakir miskin di kampungnya. Dengan sedikit menahan malu, lelaki tersebut berkata polos, “Di kampung kami, orang yang paling miskin adalah saya sendiri.”Kepolosan lelaki itu ternyata membawa berkah tersendiri. Rasulullah menyampaikan agar bahan makanan itu diterima dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan anak istrinya. Ia pulang dengan perasaan suka cita. Selain mendapatkan bahan makanan, puasanya juga sudah tertebus. Dua keuntungan sekaligus diperoleh, keuntungan materi sekaligus keuntungan ukhrawi.
Maka Rasulullah memberikan alternatif kedua, yaitu puasa selama dua bulan berturut-turut. Lagi-lagi lelaki tersebut menggeleng. Ia merasa tidak mampu untuk melakukannya. Dalam hatinya ia berkata, ‘Jangankan dua bulan, sedang yang satu bulan saja sudah dilanggar.’ Rasulullah menawarkan solusi ketiga, yaitu memberi makan 60 orang fakir miskin. Untuk yang ketiga kalinya ia mengatakan tidak sanggup. Ia katakan bahwa untuk kebutuhan makan sehari-hari saja sudah sering mendapati kesulitan. Apalagi harus memberi makan kepada orang lain.
Dengan penuh kasih sayang Rasulullah kemudian memanggil istrinya agar mengambil bahan makanan yang masih tersisa di rumahnya hingga cukup untuk menebus kewajiban lelaki tersebut. Sambil memberikannya, Rasulullah berpesan agar bahan makanan itu dibagikannya kepada fakir miskin di kampungnya. Dengan sedikit menahan malu, lelaki tersebut berkata polos, “Di kampung kami, orang yang paling miskin adalah saya sendiri.”Kepolosan lelaki itu ternyata membawa berkah tersendiri. Rasulullah menyampaikan agar bahan makanan itu diterima dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan anak istrinya. Ia pulang dengan perasaan suka cita. Selain mendapatkan bahan makanan, puasanya juga sudah tertebus. Dua keuntungan sekaligus diperoleh, keuntungan materi sekaligus keuntungan ukhrawi.
Kisah seperti ini rasanya sulit dimengerti untuk ukuran sekarang. Bagaimana seorang pemimpin dapat berlaku begitu santun. Sulit ditemukan sosok pemimpin yang luwes, lapang dada, santun, dan sabar memenuhi segala tuntutan ummatnya sebagaimana Rasulullah. Andaikata menemui lelaki seperti dalam kisah di atas, barangkali kita akan menghardiknya dengan kata-kata kasar, “Sudah tahu tidak mampu menebus dendanya, kenapa kamu sampai melanggar?” Atau kita katakan, “Pokoknya itulah ketentuan syariat, titik. Dengan cara apapun harus kamu upayakan. Pokoknya nggak mau tahu salahmu sendiri melanggar. Rasain sendiri akibatnya habis macam-macam saja.” Jangankan ikut membantu meringankan bebannya dengan memberi bahan makanan, memberi santunan dengan kata-kata yang halus dan menghibur saja mungkin sulit kita lakukan.
Di sinilah terletak rahasia sukses kepemimpinan Rasulullah. Beliau bisa bersikap tegas, tapi lebih sering bersikap lemah-lembut kepada ummatnya. Justru sikap yang terakhir itu lebih dikedepannya dalam menghadapi setiap persoalan. Beliau bisa marah, tapi sikap pemaafnya jauh lebih luas dari segalanya. Apalagi jika berhadapan dengan sesama ummat Islam. Allah sendiri menegaskan: “Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka.” (QS. al-Fath: 29)
Itulah sebabnya Rasulullah sangat dicintai ummatnya. Saking cintanya, dalam sebuah bai’at, seorang lelaki pernah mengatakan, “Andaikata kita menyeberangi lautan dengan kapal, kemudian di tengah lautan kita diperintahkan oleh Rasulullah untuk mencebur ke laut, pasti kita lakukan.” Kepada ummatnya, Rasulullah selalu mengedepankan sifat kasih sayang. Beliau berusaha mempermudah ummatnya dalam melaksanakan syariat agama. Bukan sebaliknya, memberi beban yang akhirnya tak mampu dipikul oleh mereka.
Ketika Isra’ dan Mi’raj Rasulullah menyampaikan usulan kepada Allah agar ummatnya diberi beban yang tidak terlalu berat dalam menunaikan ibadah shalat. Akhirnya ditetapkan shalat lima kali dalam sehari, sebagai suatu kewajiban yang sangat ringan. Jika masih ada yang merasa keberatan, barangkali nafsunya yang terlalu dominan.
Suatu saat beliau hendak mewajibkan bersiwak (gosok gigi) bagi kaum muslimin setiap hendak mendirikan shalat. Akan tetapi karena takut kewajiban itu memberatkan, maka akhirnya tidak beliau undangkan, meskipun bersiwak itu manfaatnya sangat besar dalam upaya menjaga kesehatan. Bagi yang bersiwak disiapkan pahala besar, sementara yang tidak melakukannya juga tidak diancam apa-apa. Akhirnya bersiwak hanya menjadi anjuran. Sikap demikian itu sejalan dengan ketentuan Allah, yang dinyatakan dalam al-Qur’an: “Allah menginginkan kemudahan bagimu, dan tidak menginginkan kesulitan bagimu.” (QS. al-Baqarah: 185)
Ketika Rasulullah mengutus dua orang sahabat, yaitu Abu Musa dan Mu’adz ke Yaman untuk berdakwah, beliau berpesan, “Gembirakanlah dan jangan kau takut-takuti. Mudahkanlah dan janganlah engkau mempersulit.”
Ilmu yang luas menjadikan seseorang lebih bisa bersikap luwes dan lapang dada. Sementara ilmu yang hanya pas-pasan biasanya mendorong seseorang bersikap keras dalam menghadapi suatu persoalan.
Luasnya ilmu dan wawasan akan nampak dalam sikapnya yang toleran. Dalam menghadapi persoalan ia tidak hanya menyodorkan satu alternatif, tapi tersedia berbagai pilihan. Orang lain diberi kebebasan untuk memilih sesuai kadar iman dan kemampuannya.
Allah sendiri ketika menyerukan hamba-Nya untuk bertaqwa, Dia menggunakan dua kalimat perintah. Pertama, Allah berfirman, “Bertaqwalah kamu sekuat kemampuanmu.” Kedua, Allah berseru, “Bertaqwalah kalian dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kalian mati sehingga kalian benar-benar Islam.” Yang pertama ditujukan kepada mereka yang kadar imannya masih dalam proses penyempurnaan, sementara firman kedua ditujukan kepada mereka yang sudah siap menerima segala perintah dan larangan-Nya tanpa reserve.
Nabi saw juga menerapkan hal sama. Dalam menghadapi satu pertanyaan yang diajukan oleh dua orang berbeda, jawaban Nabi juga selalu berbeda, disesuaikan dengan kadar akal dan imannya. Nabi tidak memaksakan seseorang menerima hal yang sama, padahal kemampuan mereka untuk menerimanya sangat jauh berbeda. Di sini Rasulullah sangat memperhatikan “proses”, bukan hasil semata-mata.
Di sinilah terletak rahasia sukses kepemimpinan Rasulullah. Beliau bisa bersikap tegas, tapi lebih sering bersikap lemah-lembut kepada ummatnya. Justru sikap yang terakhir itu lebih dikedepannya dalam menghadapi setiap persoalan. Beliau bisa marah, tapi sikap pemaafnya jauh lebih luas dari segalanya. Apalagi jika berhadapan dengan sesama ummat Islam. Allah sendiri menegaskan: “Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka.” (QS. al-Fath: 29)
Itulah sebabnya Rasulullah sangat dicintai ummatnya. Saking cintanya, dalam sebuah bai’at, seorang lelaki pernah mengatakan, “Andaikata kita menyeberangi lautan dengan kapal, kemudian di tengah lautan kita diperintahkan oleh Rasulullah untuk mencebur ke laut, pasti kita lakukan.” Kepada ummatnya, Rasulullah selalu mengedepankan sifat kasih sayang. Beliau berusaha mempermudah ummatnya dalam melaksanakan syariat agama. Bukan sebaliknya, memberi beban yang akhirnya tak mampu dipikul oleh mereka.
Ketika Isra’ dan Mi’raj Rasulullah menyampaikan usulan kepada Allah agar ummatnya diberi beban yang tidak terlalu berat dalam menunaikan ibadah shalat. Akhirnya ditetapkan shalat lima kali dalam sehari, sebagai suatu kewajiban yang sangat ringan. Jika masih ada yang merasa keberatan, barangkali nafsunya yang terlalu dominan.
Suatu saat beliau hendak mewajibkan bersiwak (gosok gigi) bagi kaum muslimin setiap hendak mendirikan shalat. Akan tetapi karena takut kewajiban itu memberatkan, maka akhirnya tidak beliau undangkan, meskipun bersiwak itu manfaatnya sangat besar dalam upaya menjaga kesehatan. Bagi yang bersiwak disiapkan pahala besar, sementara yang tidak melakukannya juga tidak diancam apa-apa. Akhirnya bersiwak hanya menjadi anjuran. Sikap demikian itu sejalan dengan ketentuan Allah, yang dinyatakan dalam al-Qur’an: “Allah menginginkan kemudahan bagimu, dan tidak menginginkan kesulitan bagimu.” (QS. al-Baqarah: 185)
Ketika Rasulullah mengutus dua orang sahabat, yaitu Abu Musa dan Mu’adz ke Yaman untuk berdakwah, beliau berpesan, “Gembirakanlah dan jangan kau takut-takuti. Mudahkanlah dan janganlah engkau mempersulit.”
Ilmu yang luas menjadikan seseorang lebih bisa bersikap luwes dan lapang dada. Sementara ilmu yang hanya pas-pasan biasanya mendorong seseorang bersikap keras dalam menghadapi suatu persoalan.
Luasnya ilmu dan wawasan akan nampak dalam sikapnya yang toleran. Dalam menghadapi persoalan ia tidak hanya menyodorkan satu alternatif, tapi tersedia berbagai pilihan. Orang lain diberi kebebasan untuk memilih sesuai kadar iman dan kemampuannya.
Allah sendiri ketika menyerukan hamba-Nya untuk bertaqwa, Dia menggunakan dua kalimat perintah. Pertama, Allah berfirman, “Bertaqwalah kamu sekuat kemampuanmu.” Kedua, Allah berseru, “Bertaqwalah kalian dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kalian mati sehingga kalian benar-benar Islam.” Yang pertama ditujukan kepada mereka yang kadar imannya masih dalam proses penyempurnaan, sementara firman kedua ditujukan kepada mereka yang sudah siap menerima segala perintah dan larangan-Nya tanpa reserve.
Nabi saw juga menerapkan hal sama. Dalam menghadapi satu pertanyaan yang diajukan oleh dua orang berbeda, jawaban Nabi juga selalu berbeda, disesuaikan dengan kadar akal dan imannya. Nabi tidak memaksakan seseorang menerima hal yang sama, padahal kemampuan mereka untuk menerimanya sangat jauh berbeda. Di sini Rasulullah sangat memperhatikan “proses”, bukan hasil semata-mata.
Dalam rangka mengasah empati itulah diperlukan riyadhah melatih diri dalam memberi petunjuk kepada siapa saja yang mendapati kesulitan, memaafkan atas semua kekhilafan, berlapang dada atas segala kealpaan, menuntun orang ke jalan yang terang tanpa harus mencari-cari kesalahan dan membuka aibnya. Bukankah Allah selalu berpesan: “Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl:125), dan telah menegaskan: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat:33).
=============
TANYA - JAWAB
TJ G-5
T : Assalamu'alaikum wrwb ustadzah, mau bertanya, penerimaan seseorang berbeda-beda..ketika kita melakukan sesuatu kepada seseorang, kadang-kadang hati merasa tidak enak hati, dalam hati bertanya tersinggung tidak ya si Fulan dengan sikap saya tadi, menurut ukuran kita si Fulan akan marah tapi ternyata tidak, kadang-kadang kita menganggap biasa saja tapi si Fulan tersinggung sampai tidak mau bertutur sapa lagi.
Pertanyaannya, bagaimana menyikapi hal tersebut? dan bagaimana memanajemen hati agar senantiasa empati dalam bersikap dan bertindak? Proses belajar menata hati agar senantiasa berjalan di koridor yang benar dan tidak menyakiti siapapun. Mhn pencerahannya ustadzah.. jazakillah khairan katsir.
J : Betul sekali Bunda, misal dalam sebuah rapat, ucapan seorang pemimpin bisa jadi dimaknai berbeda oleh bawahannya. Padahal yang keluar adalah kata-kata yang sama. Maka mengapa kita harus belajar untuk memilah kata yang keluar, memilah perasaan sehingga tidak terselip sindiran, mengedepankan ikhlas di hati sehingga hati pula yang menerima. Tapi jikapun muncul ketersinggungan, disitulah mengapa penting untuk memohon maaf di ujung kata.
Seperti di materi tadi, lakukan riyadhoh (olah) hati. Belajar untuk senantiasa berani meminta maaf, sabar dalam memaafkan kesalahan orang lain sekaligus melapangkan. Hati yang bersih, insyaallah akan memperkuat empati kita pada org lain. Belajar untuk menjadi orang yang memudahkan, insyaallah semesta pun akan memudahkan kita.
T : Fitrah setiap manusia yang terlahir, siapapun dia telah dibekali perasaan empati. Hanya saja, seiring dengan perkembangannya empati harus diasah. Pertanyaannya ustadzah apa yang dapat mengasah agar kita selalu bisa dapat berempati dengan sesama?
J : Ada langkah-langkah kecil untuk mengasah empati. Mulailah dari hal terkecil dan jangan ditunda-tunda. Misalnya, menawarkan berbagi makanan kepada orang lain adalah sebuah latihan mengasah empati. Atau menjenguk orang sakit, menebar senyum, membantu tetangga dan sebagainya. Kita juga dapat mengasah empati dengan sering bertemu orang-orang yang secara fisik membutuhkan pertolongan, misalnya ke panti asuhan, panti jompo, atau daerah-daerah kumuh. Satu lagi cara mengasah empati, yaitu bayangkan bila kita yang berada diposisi mereka.
T : Nanya bunda, bagaimana kalau kita sudah berempati tapi ganti kita di empetin orang, rasanya pengen ngempetin orang juga, karena jengkel dan lain sebagainya?
J : Tidak usah diikuti perasaan itu, kan katanya yang waras mengalah. Yang rugi hati kita sendiri. Sebab, Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda: ”Jauhilah olehmu sekalian sifat dengki, karena dengki itu memakan kebaikan seperti api melalap kayu bakar.” (HR. Abu Dawud, no. 4257)
T : Bunda kalau kita berempati tapi rasa empati kita disalah gunakan. (Atau itu perasaan kita). Soalnya standar seseorang kan berbeda, bagaimana ya bunda? Mungkin maksudnya ,bila kita sudah berbaik hati terhadap orang lain, kebaikan kita di salahgunakan, atau istilahnya Air susu di balas dengan air tuba ,Afwan kalo salah ya.
J : In ajriya illa 'alallaah. Adapun balasan kebaikan, cukup dari Allah saja. Ini adalah prinsip para Nabi saat berdakwah. Dan juga menjadi tauladan buat kita, bahwa yang namanya berbuat baik, tidak harus dibalas kebaikan yang sama, bisa jadi satu saat Allah balas kebaikan kita tersebut dengan kemudahan-kemudahan yang lain. Itulah sebab saat bersedekah dikatakan jika perlu tangan kiri tdk tahu. Karena ketika berbuat kebaikan, harusnya diniatkan hanya meraih ridho Allah semata.
T : Bagaimanakah batasan seorang istri harus keluar dengan mahrom karena ingin menjaga kehormatan. Itu ilmunya bagaimana ya bunda?
J : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ
Dalam hadits lain ada yg mengatakan 3 hari perjalanan, ada dua hari perjalanan.
=====
TJ G-2
T : Assalamualaikum ustadzah, bagaimana kiranya kita seharusnya bersikap kepada orang yang memanfaatkan empati kita untuk keuntungan dirinya sendiri? Bahkan terkadang dia bersikap seolah sedang dianiaya si A untuk memperoleh bantuan dari B dan sebaliknya. Terkadamg A dan.B jadi bermusuhan karena kata 2 orang itu. Bagaimana sebaiknya ustadzah?
J : Kalau sudah tahu begitu, ya tidak perlu ditolong. Menolong orang pun ada baiknya menakar hati, sejauh mana tetap bisa ikhlas. Karena pemberian yang diiringi kata-kata yang jengkel, sia-sia.
T : السلام عليكم ور حمة الله وبر كا ته ustadzah, Izin bertanya, saya berniaga ustadzah, tetangga countr saya umurnya sudah seusia ibu saya, baik sih orangnya, tapi saya agak risiih kalau dia sering ghibah. Bagaimana saya menyikapi nya? Atau saya lebih baik menghindarinya saja?
J : Dinasehati, apalagi posisi bunda adalah majikan
T : Tapi saya agak segan bunda, karena usianya seumur ibuku, baik kah klaua saya menghindari saja bun?
J : Dan tetap terdengar ghibahnya ? Harusnya nasehat tidak mengenal usia. Dan ada banyak cara untuk menasehati.
T : Ijin bertanya, jika dibaca dari cerita rosululloh di atas bahwa kita tidak boleh men-judge orang denga melihat apa-apa yang telah dia lakukan sebagai bentuk kesalahannya. Afwan ustadzah jika kita sebagai tenaga pengajar atau pendidik bagaimana sikap kita terhadap anak-anak didik kita yang kadang kalau dinasehati atas salah yang mereka buat kesannya malah nge-les atau cari-cari alasan. Apakah kita tidak bisa menegaskan kesalahan yang mereka buat terkait sistem pendidikan dan memberi punishmen atas kelalaian mereka? Jazakillah khoiron.
J : Tentu boleh menegakkan punishment, Rasulullah pun berupaya begitu, namun nyatanya sahabat tersebut tidak mampu. Tapi yang harus kita pahami adalah punishment bisa diberikan jika anak telah menyadari kesalahannya. Dan proses hingga mereka mengakui kesalahan tidak boleh ada unsur pemaksaan di dalamnya.
T : السلام عليكم ورحمة الله وبركاته Mungkin pertanyaan saya diluar tema ustadzah. Begini ustadzah beberapa waktu lalu saya pernah mendapatkan kata-kata yang cukup menyakitkan hati menurut saya, Dan membuat saya jengkel dan kesal sampai saat ini. Saya sudah berusaha merelakan dan memaafkan orang tersebut. Tapi tidak tahu kenapa rasa jengkel itu belum juga hilang. Saya coba hilangkan dengan istighfar tapi masih saja ada yang mengganjal dihati saya. Mohon pencerahannya ustadzah apa yang harus saya lakukan?
J : Jika kata-kata itu ditujukan untuk pribadi kita, harusnya tidak usah tersinggung. Belajar pada Imam Hasan Al Basri yang justru mengirim buah-buahan untuk tetangga beliau yang sudah mengejeknya. Imam Hasan kemudian mengatakan, "mohon maaf hanya ini yang bisa saya berikan, tidak sebanding dengan dosa-dosa saya yang sudah kamu ambil."
Mak jleb banget kan? Jadi, yuk belajar bersyukur jika kita dihina orang, sesungguhnya Allah sedang memindahkan dosa-dosa kita.
T : Bukan untuk pribadi saya ustadzah, tapi untuk kondisi saya yang belum punya keturunan padahal menikah sudah cukup lama. Katanya saya "gabuk ndruduk/mandul".
J : Lho, itu kan kondisi bunda. Tidak usah diambil hati, karena urusan anak bukan seperti jodoh yang masih bisa diupayakan. Mau jungkir balik seperti apapun jika belum waktunya ya tidak diberi. Tidak usah berkecil hati karena bunda Aisyah pun Allah takdirkan tidak memiliki anak. Padahal suaminya adalah Rasulullah yang doanya pasti maqbul
T : Saya sendiri binggung ustadzah, dilingkungan saya kalau ada yang menikah lama, dan belum punya keturunan itu seolah-olah hal yang memalukan. Dan sering di jadikan bahan candaan ataupun olok-olokan.
J : tidak apa-apa, kita yang untung bunda. Kalau kita terus memikirkan kekurangan orang, kita sendiri yang kemudian kotor hatinya. Tidak mau kan?
T : Tanya juga ya ustadzah. Sebagaimana sabarnya seorang mukmin yang tanpa batas, maka apakah empati ini juga ada batasannya? Misal terhadap seorang penganut JIL.
J : Kalau dalam kehidupan sehari-hari, tentu boleh. Tapi dalam masalah aqidah, tdk boleh.
T : Di kampung saya ada kegiatan TPA di mesjid, guru-guru ngajinya bukan jebolan pondok-an, mereka ala kadarnya mengajar iqro, cara mengajarnya, baca 1 halaman terus anak diperbolehkn pulang, tanpa di beri ilmu tajwid. Guru-gurunya pun kalau baca qur'an lancar tapi tanpa tajwid. Suatu waktu ta'mir mesjid menasehati guru-guru di Forum khataman al-quran, bahwa cara mengajar ngajinya BELUM BENAR. Andai tidak ada yang bisa mau di carikan guru dari luar, sebab jika ilmu yang kita berikan pada anak-anak itu SALAH, maka guru-guru itu akan mendapatkan jariyah dosa, kata ketua ta'mir tersebut. Tapi guru-guru TPA itu rupanya terlanjur tersinggung, dan sekarang tidak mau mengajar lagi.
Letak kesalahannya dimana ya ustadzah? Guru-guru atAu ketua ta'mir?
J : Dua-duanya, Guru yang tidak mau belajar menjadi lebih baik. Ketua takmir yang menasehati tidak pada tempatnya.
Kenapa saya tetap mengatakan guru2 salah, karena bisa jadi mungkin sudah ada nasehat atau peringatan sebelumnya dari pihak yang berwenang. Bicara hati memang tidak mudah. Tapi jika bukan kita yang menjaga hati, lalu siapa? Saya banyak belajar dari orang-orang yang luar biasa lapang hatinya menghadapi apapun, tidak reaktif, tidak mudah tersinggung, selalu tersenyum. Allah beri mereka usia yang barokah
T : Ustadzah kalau kita kurang bisa berempati sama non muslim boleh tidak?
J : Harusnya tidak. Karena Rasulullah dan para sahabatnya itu sangat lemah lembut kepada orang-orang yang beriman.
~~~~~~~~~~~~~~~~
Selanjutnya, marilah kita tutup kajian kita dengan bacaan istighfar 3x
Doa robithoh dan kafaratul majelis
Astaghfirullahal' adzim 3x
Do'a Rabithah
Allahumma innaka ta'lamu anna hadzihil qulub,
qadijtama-at 'alaa mahabbatik,
wal taqat 'alaa tha'atik,
wa tawahhadat 'alaa da'watik,
wa ta ahadat ala nashrati syari'atik.
Fa watsiqillahumma rabithataha,
wa adim wuddaha,wahdiha subuulaha,wamla'ha binuurikal ladzi laa yakhbu,
wasy-syrah shuduroha bi faidil imaanibik,
wa jami' lit-tawakkuli 'alaik,
wa ahyiha bi ma'rifatik,
wa amitha 'alaa syahaadati fii sabiilik...
Innaka ni'mal maula wa ni'man nashiir.
Artinya :
Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa sesungguhnya hati-hati kami ini,
telah berkumpul karena cinta-Mu,
dan berjumpa dalam ketaatan pada-Mu,
dan bersatu dalam dakwah-Mu,
dan berpadu dalam membela syariat-Mu.
Maka ya Allah, kuatkanlah ikatannya,
dan kekalkanlah cintanya,
dan tunjukkanlah jalannya,
dan penuhilah ia dengan cahaya yang tiada redup,
dan lapangkanlah dada-dada dengan iman yang berlimpah kepada-Mu,
dan indahnya takwa kepada-Mu,
dan hidupkan ia dengan ma'rifat-Mu,dan matikan ia dalam syahid di jalan-Mu.Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.
Aamiin...
DOA PENUTUP MAJELIS
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
Subhanaka Allahuma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik.Artinya:“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Aamiin ya Rabb.
======================
Website: www.hambaAllah.net
FanPage : Kajian On line-Hamba Allah
FB : Kajian On Line-Hamba Allah
Twitter: @kajianonline_HA
IG: @hambaAllah_official
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment