Kajian WA Hamba الله SWT
Rabu, 4 Februari 2015
Narasumber: Ustadzah Citra
Tema: Karakteristik Aqidah Islam
Editor: Wanda Vexia
Notulen : Puji Grup M18
KARAKTERISTIK AQIDAH ISLAM
Aqidah Islam adalah Aqidah Rabbaniy (berasal dari Allah) yang bersih dari pengaruh penyimpangan dan subyektifitas manusia.
Aqidah Islam memiliki karakteristik berikut ini :
Al Wudhuh wa al Basathah (jelas dan ringan) tidak ada kerancuan di dalamnya seperti yang terjadi pada konsep Trinitas dan sebagainya.
Sejalan dengan fitrah manusia, tidak akan pernah bertentangan antara aqidah salimah (lurus) dan fitrah manusia. Firman Allah:
“Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah..” (QS. Ar-Rum:30)
Prinsip-prinsip aqidah yang baku, tidak ada penambahan dan perubahan dari siapapun. Firman Allah:
”Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan lain selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?“ QS. Asy-Syura:21)
Di bangun di atas bukti dan dalil, tidak cukup hanya dengan doktrin dan pemaksaan seperti yang ada pada konsep-konsep aqidah lainnya. Aqidah Islam selalu menegakkan:
“Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar” QS. Al-Baqarah:111)
Al Wasthiyyah (moderat) tidak berlebihan dalam menetapkan keesaan maupun sifat Allah seperti yang terjadi pada pemikiran lain yang mengakibatkan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Aqidah Islam menolak fanatisme buta seperti yang terjadi dalam slogan jahiliyah
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan mengikuti jejak mereka” (QS. Fathir:22)
PENGERTIAN MA’RIFATULLAH
Ma’rifatullah (mengenal Allah) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas? Segelas susu yang dibikin seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah orang yang telah membuatnya menjadi segelas susu.
Menurut Ibn Al-Qayyim: Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”.
Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.
CIRI-CIRI DALAM MA’RIFATULLAH
Seseorang dianggap ma’rifatullah (mengenal Allah) jika ia telah mengenali asma’ (nama) Allah sifat Allah dan af’al (perbuatan) Allah, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini.
Kemudian dengan bekal pengetahuan itu, ia menunjukkan :
- Sikap shidq (benar) dalam ber -mu’amalah (bekerja) dengan Allah,
- Ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah,
- Pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah SWT
- Sabar/menerima pemberlakuan hukum/aturan Allah atas dirinya
- Berdakwah atau mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya
- Membersihkan dakwahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah diajarkan Rasulullah SAW.
Figur teladan dalam ma’rifatullah ini adalah Rasulullah SAW. Dialah orang yang paling utama dalam mengenali Allah SWT. Sabda Nabi:
“Sayalah orang yang paling mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya”. (HR Al Bukahri - Muslim)
Hadits ini Nabi ucapkan sebagai jawaban dari pernyataan tiga orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan keinginan dan perasaannya sendiri.
Tingkatan berikutnya, setelah Nabi adalah ulama amilun (ulama yang mengamalkan ilmunya). Firman Allah:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fatir:28)
Orang yang mengenali Allah dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia senantiasa berdzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarkat, dermawan, dan seterusnya.
Tidak ada ruang dan waktu ibadah kepada Allah, kecuali dia ada di sana. Dan tidak ada ruang dan waktu larangan Allah kecuali ia menjauhinya.
Ada sebagian ulama yang mengatakan:
“Duduk di sisi orang yang mengenali Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari enam hal, yaitu : dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunia menjadi cinta akhirat, dari sombong menjadi tawadhu’ (randah hati), dari buruk hati menjadi nasehat”
URGENSI MA’RIFATULLAH
Ma’rifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup manusia selanjutnya. Karena ma’rifatullah akan menjelaskan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatullah membuat banyak orang hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk hidup lain (binatang ternak). (QS.Muhammad:12)
Ma’rifatullah adalah asas (landasan) perjalanan ruhiyyah (spiritual) manusia secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Allah akan merasakan kehidupan yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar.
Sabda Nabi:
"Amat mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi karunia ia bersyukur” (HR.Muslim)
Orang yang mengenali Allah akan selalu berusaha dan bekerja untuk mendapatkan ridha Allah, tidak untuk memuaskan nafsu dan keinginan syahwatnya.
Dari Ma’rifatullah inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul, untuk mempelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah. Karena para Nabi dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Allah.
Dari Ma’rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti Malaikat, jin dan ruh.
Dari Ma’rifatullah inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzahiyyah (alam kubur) dan kehidupan akherat.
SARANA MA’RIFATULLAH
Sarana yang mengantarkan seseorang pada ma’rifatullah adalah :
- Akal sehat
Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan) terhadap pengenalan al Khaliq (pencipta) seperti firman Allah:
Katakanlah “Perhatikanlah apa yang ada di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. Yunus:101)
Sabda Nabi:
“Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Allah, karena kamu tidak akan mampu” (HR. Abu Nu’aim)
Para Rasul
Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya tentang ma’rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah. Firman Allah:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..” (QS. Al Hadid:25)
Asma dan Sifat Allah
Mengenali asma (nama) dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah. Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk memperkenalkan diri kepada makhluk-Nya.
Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya Allah. Firman Allah :
“Katakanlah : Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asma’ al husna (nama-nama yang terbaik)" (QS. Al-Israa':110)
Asma’ al husna inilah yang Allah perintahkan pada kita untuk menggunakannya dalam berdoa. Firman Allah:
“Hanya milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al husna itu…” (QS. Al Maidah:180)
Inilah sarana efektif yang Allah ajarkan kepada umat manusia untuk mengenali Allah SWT (ma’rifatullah). Dan ma’rifatullah ini tidak akan realistis sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu : tauhid rububiyyah, tauhid asma dan sifat.
Kedua tauhid ini sering disebut dengan tauhid al ma’rifah wa al itsbat ( mengenal dan menetapkan) kemudian tauhid yang ketiga yaitu tauhid uluhiyyah yang merupakan tauhid thalab (perintah) yang harus dilakukan. Wallahu a’lam
TANYA JAWAB
1. Ustadzah, tingkatan sebelum ma'rifat itu apa sajakah ? Syukron
Jawab: Sebelum kita ma'rifat dlm bahasan ini mengenai ma'rifatullah. Sebelumnya kita harus mengenal diri kita sendiri. Barang siapa mengenali diri sendiri maka, kita akan mengenal Allah. (Surat Al insan)
2. Maksudnya mengenali diri sendiri itu dalam hal ibadah (kedekatan kita pada Allah) atau gimana ustadzah?
Jawab: Mengenali proses kejadian manusia. (QS. An Insan 1-4). Mengendalikan hawa nafsu yang negatif (kesyirikan kesombongan keangkuhan dan lain-lain). Dengan hidayah Allah berikan menjadi petunjuk yang diridhoi. Maka manusia akan mengenal kebenaran dengan sami'na waato'na apa yang diberikan Allah dan rasulNya.
Dengan itu kita akan ikhlas dengan sunnatullah. Qudrat dan irodah Allah. Kesabaran dalam ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Menunjukan kecintaan yang amat sangat pada Sang Pencipta dan kekasihNya Rasulullah SAW.
3. Ustadzah, untuk menjadikan diri kita sebagai hamba yang bisa selalu ikhlas gimana caranya? atau apa yang harus di buat?
Jawab: Semua kejadian yang akan menimpa kita semua adalah ketentuan dari Allah sudah tercatat dalam kitab Lauhul mahfudz. Dengan istiqomah yang kita lakukan. Ikhlas dan ridho terhadap ketentuan Allah. Istiqomah terhadap Islam. Istiqomah terhadap amal ibadah baik hablumminallah dan hablumminannas.
4. Ustadzah, apa yang kita lakukan ketika pertama kali menghadapi ujian agar tidak terjebak pada su'udzon terhadap takdir Allah?
Jawab: Dengan cara bersabar terhadap ketentuan Allah dlmdalam hal ini bersabar terhadap ujian. Berbaik sangka kepada Allah terhadap ujian ini. Karena dengan ujian yang dihadapi dengan sabar, maka Allah akan neningkatkan derajat manusia. Dan mengampuni kesalahan yang telah lalu. Bersabarlah. Yang pertama dilakukan adalah khusnudzon kepada Allah.
5. Ketika suamiku sakit dan akhirnya wafat saya merasakan masih banyak hal yang kurang dalam mengurusnya. Sehingga saya merasa bersalah. Masih bisakah saya minta maaf? Bagaimana caranya selain mendoakan? Terima kasih.
Jawab: Selain mendoakan, bisa juga dilakukan dengan perbanyak silaturahim dengan keluarga almarhum suami dengan cara yang ma'ruf dan diridhoi. Menyantuni anak yatim atas nama suami. Atau mensedekahkan harta kita atas nama suami. Wakaf atau hibah tanah dan sebagainya. Sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Karena ada 3 amalan yang takkan pernah terputus walaupun sudah meninggal. Yaitu amal jariah, ilmu yang bermanfaat dan mengikhtiarkan supaya menjadikan anak kita sebagai anak yang shalih. Insya Allah mengalir. Menceritakan kebaikan almarhum suami kepada anak kita. Supaya tumbuh dan berkembang kecintaan. Untuk senantiasa mendoakan almarhum wallahu'alam.
6. Jika seseorang yang merasa hidupnya belum pernah mendapat ujian yang begitu berat jika di bandingkn dengan orang lain. Kalau ada masalah dia bisa mengatasi dan dia belum merasa galau yang amat sangat. Apakah itu karena dia sangat "disayang" Allah atau karena memang belum saat nya, atau karena ada amalan-amalan yang mbuat dia merasa ujian yang dia hadapi tidak terasa berat, atau gimana ya ustadzah?
Jawab: Laa yukallifullahu nafsan illa wus'aha. Allah tidak membebani sesorang melebihi kemampuan hambaNya. Bentuk kasih sayang Allah cinta Allah kepada tiap manusia berbeda beda. Tergantung kapasitas dan kemampuan diri bisa melewati tangga ujian satu ke tangga berikutnya.
Ingatkah kita akan kisah nabi muhammd, Nabi Musa, Isa, Ayub, Yaqub, Nabi Yusuf dan sebagainya? Mereka diuji dengan ujian yang bertubi-tubi. Tapi mereka lulus melaluinya.
7. Ada benarnya juga kata ustadz Arifin Ilham, susahnya mencari orang yang beriman. Mungkin juga sebenarnya ujiannya berat, tapi dia merasa tidak berat karena dia tawakkal kepada Allah.
Jawab: Karena para nabi dan Rasulullah istiqomah dengan beriman dengan sebenar-benarnya iman. Karena Allah tujuannya. Jadi, ujian yang menimpanya tidak seberapa dibandingkan balasan Allah di akhirat kelak.
Alhamdulillah,
kajian kita hari ini berjalan dengan lancar. Semoga ilmu yang kita dapatkan
berkah dan bermanfaat. Amiin....
Baiklah
langsung saja kita tutup dengan istighfar masing-masing sebanyak-banyaknya dan
do'a kafaratul majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma
wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci
Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq
disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat
kepada-Mu.”
Wassalamu'alaikum...
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment