Kajian Online WA Hamba الله
SWT
Senin, 15 Februari 2015
Narasumber : Ustadzah
Lara
Rekapan Grup Bunda M17
Tema : Muamalah
Editor
: Rini Ismayanti
MENASEHATI
Seorang ibu mulai kewalahan menangani anaknya yang berusia 5
tahun karena sering mengamuk di pagi hari. Masalahnya bukan karena
sulit bangun tidur atau sulit mandi atau sulit makan, sebagaimana yang biasa
dihadapi para ibu saat mempersiapkan anak berangkat ke sekolah. Tapi ini urusan
pilihan makanan dan minuman. Anaknya suka minuman yang sangat manis, suka pula
roti dengan gula yang banyak.
‘Mau tidak ibu kasih tahu? Nih, kalau makan gula kebanyakan,
nanti kamu susah konsentrasi belajarnya. Senangnya loncat ke sana ke mari!
‘Kata sang ibu seraya menahan emosi.
Tampaknya nasehat itu sudah puluhan bahkan ratusan kali
diberikan oleh sang ibu. Dan selalu dimulai dengan penawaran dulu, seolah
sebuah pilihan: Mau tidak ibu kasih tahu? Mau tidak ibu nasehati? Mau tidak ibu
bilangin? dan sejenisnya. Tentunya tanpa menunggu pilihan dari anaknya, sang
ibu akan meneruskan pemberian nasehatnya. Begini ya nak, bla…..bla…..bla.
Hingga suatu ketika anaknya ‘sudah pandai’ untuk men-stop
nasehat ibunya. Sebelum ibunya bicara panjang lebar, sang anak sudah bicara
duluan.
’Aku tidak mau dengar!’
‘Aku tidak mau nasehat!’
‘Aku tidak mau dibilangin!’ bla….bla….bla…
Demikian teriakan sang anak sambil menghentak-hentakan kakinya.
Bahkan sesekali memukul punggung sang ibu dari belakang. Luar biasanya sang
ibu, sekalipun teriakan dan pukulanlah yang didapat, tetap saja nasehat demi
nasehat terus bergulir. Sang ibu berpikir simple saja dengan mengingat
nasehat sang nenek, bahwa nasehat baik untuk anak harus terus kita berikan
dengan sabar, walaupun sering diacuhkan oleh anak. Kata sang nenek, berdasarkan
pengalaman, suatu saat nanti anak akan patuh karena nasehat dari ibu terbukti
kebenarannya, bahkan jika besar nanti, ia akan mencari-cari ibunya untuk minta
nasehat. Tentu bentuk nasehatnya sudah lebih abstrak, bukan hanya seputar
makanan dan minuman, tapi sudah menyentuh masalah sikap, perilaku atau akhlak.
Tapi menunggu waktu itu datang, bukanlah jarak yang pendek.
Tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa memberi sebuah
nasehat itu lebih mudah daripada menjalankan sebuah nasehat. Bisa jadi itu
benar, namun nampaknya paradigma ini bisa bergeser sedikit demi sedikit. Di
zaman yang semakin kompleks saat ini, dimana pilihan ‘standar kebenaran’ ada
banyak ragamnya, orang akan berhati-hati dan berpikir dua kali dalam memberi
nasehat. Sekalipun nasehat itu pada dasarnya baik kandungannya, ada pula orang
yang bisa menjadi tersinggung, marah, mendebat, bahkan ada yang membalas
balik sebuah nasehat dengan kecaman. Tidak sedikit pula hubungan pertemanan
jadi merenggang karena masalah nasehat. Siapa yang berani mengambil resiko ini,
saat berniat baik tapi ‘keburukan’ yang didapat.
Ada pula orang yang lebih mempermasahkan ‘cara’ dalam memberi
nasehat. Katanya mereka akan menerima nasehat yang disampaikan dengan cara yang
baik. Sepertinya ini wajar saja, karena namanya manusia tentu akan senang jika
‘dirangkul’ dan dihargai.’ Namun masalahnya orang yang memberi nasehat dengan
cara yang tegas biasanya juga punya pertimbangan dan ‘standar ’ tersendiri.
Mungkin dia sudah sampai pada tahap ‘gemas’ bagaimana mungkin orang yang sudah
dewasa, satu agama pula, tidak bisa membedakan perilaku yang baik dan yang
buruk. Berapa banyak orang dewasa yang mengaku sebagai intelektual muslim
tapi kehadirannya tidak membuat nyaman sekelilingnya. Katakanlah bapak Fulan,
orang yang intelektual, tapi punya kebiasaan merendahkan orang lain. Tidak
banyak yang mau memberi nasehat padanya karena dia pandai berdebat. Bisa-bisa
kesalahan akan ditumpukan pada pemberi nasehat.
‘Saya tak nyaman satu tim dengan bapak Fulan.
Kebiasaannya itu lho yang suka memandang rendah orang lain. Ya pantas
saja karena melihatnya ke bawah terus, gak kelihatanlah sama dia kalau ada
banyak orang pintar di atasnya. Harusnya seorang intelektual kan tidak seperti
itu! ‘
‘Lho bukannya justru orang yang intelek biasanya memang sombong?
Lihat saja ibu Fulanah, dia itu kan bukan bos kita, tapi kok maunya
memegang kendali. Boro-boro ‘Ing Ngarso Sung Tulodo’ (di depan memberi
tauladan), gara-gara dia, semangat kita sudah patah di tengah jalan.’
Karena ketidakberanian memberikan nasehat secara langsung pada
saudara sesama muslim, jadilah gosip , yang tidak kalah buruknya , lebih
menggema di sekeliling. Tampaknya, nasehat itu tetap penting.
Rasulullah SAW pernah
bersabda:
‘Tolonglah saudaramu
yang menzhalimi dan yang terzhalimi’. Kemudian para sahabat bertanya, ‘Menolong
yang terzhalimi memang kami lakukan, tapi bagaimana menolong orang yang berbuat
zhalim?’. Rasulullah SAW menjawab, ‘Mencegahnya dari terus menerus melakukan
kezhaliman itu berarti engkau telah menolongnya’. (Bukhari dan Ahmad).
Keyakinan kita untuk melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar
sebagai suatu kebaikan harus didasarkan pada Al Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai
suatu standar yang pasti. Jika kita berstandar hanya pada moral dan etika yang
terkait dengan budaya masayaarakat setempat, tentulah ‘kebenaran’ menjadi bias.
Standar nilai moral sifatnya lokal dan relatif temporal, sedangkan standar
akhlak sifatnya universal dan tetap/abadi. Sebagai contoh, budaya tertentu bisa
jadi tidak menganjurkan kita untuk menasehati langsung orang lain karena dapat
menyinggung perasaan mereka. Budaya lainnya bisa jadi memiliki standar moral
tertentu dimana suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
islam dianggap sebagai hal yang baik dan wajar karena banyak orang terbiasa
melakukannya. Dengan demikian akhlak yang baik pada dasarnya adalah
perpaduan dari keyakinan dan sayaari’at yang bersatu dalam diri seorang muslim.
Masih seputar amar ma’ruf dan nahi munkar, para salafus shalih
memberikan contoh yang luar biasa. Dalam suatu kesempatan bersama para
pembesar sahabat, salah seorang berkata pada Umar bin Al Khatab RA :
‘BERTAQWALAH PADA ALLAH WAHAI UMAR!”
Para sahabat yang mengetahui tingkat keislaman Umar (sebagai
salah satu sahabat yang dijamin masuk surga), marah kepada orang tersebut.
Namun Umar RA berkata: Biarkanlah dia berkata demikian, sesungguhnya tidak ada
kebaikan bagi orang yang tidak mau mengatakannya, dan tidak ada kebaikan bagi
orang yang tidak mau mendengarnya.’
Dengan demikian saling menasehati sesama muslim adalah suatu
kewajiban. Memberikan dorongan ataupun peringatan pada saudara kita yang khilaf
adalah tanggung jawab bersama. Menerima nasehat untuk kebaikan pun hendaknya
diterima dengan lapang dada, bahkan kita perlu berterima kasih pada pemberi
nasehat. ‘Take it easaya, but take it!’ Sudah waktunya bagi kita untuk
mengasah kepekaan dan senantiasa menghadirkan kebaikan untuk mencapai
ridho Allah SWT. Wallahu a’lam
TANYA JAWAB
Q : Pembahasan yang menarik, masih banyak memang yang
seperti si fulan/fulanah diatas. Bagaimana cara terbaik agar ybs bisa terima
nasihat kita
Klo sudah karakter kan sulit sekali berubah..
A : Saran saya, ketika kita menasehati atau menginformasikan hal
hal yang baik pada orang, kita tidak fokus pada hasil. Karena bisa jadi sebaik
apapun cara kita menasehati, ada orang yang tak mau atau tak bisa menerima.
Intinya kita luruskan niat kita bahwa menasehati dalam kebaikan adalah ibadah,
hasilnya serahkan pada Allah yang Maha Mampu memggerakkan hati hambaNya. Wallahualam
Q : Kebetulan ini lagi saya alami bukan soal menasehati tetapi
menginformasikan sesuatu. Di kompleks rumah saya sebagian ibu bekerja ke luar rumah
termasuk saya. Nah tetangga-tetangga saya baik-baik dalam arti jika anak saya
ada kata atau sikap yang tidak berkenan saya di sampaikan bahwa anak saya bla bla
bla...dan saya senang karena terasa terbantu nah begitu juga sebaliknya. Tapi mungkin tetangga yang saya informasikan ini menegur
khadimat nya (ini cuma pikiran saya saja) alhasil saya denger art-art di komplek
saya menganggap kalau saya suka mengadu kepada majikannya. Bagaimana ya
ustadzah saya menyikapi nya? Terus terang mengganggu pikiran saya.
A : In shaa Allah niat kita berbuat baik akan dipahami suatu
saat nanti. Tapi ada baiknya jika waktu luang,tetangganya diajak ngobrol
santai, dirangkul dan dijelaskan maksud baik kita. Kalau hubungannya sudah
baik,in shaa Allah akan berkurang prasangka buruknya.
Q : Ustadzah...kalau bermaksud menasihati atau menyampaikan
bahwa tindakannya salah pada orang yang lebih tua..lebih 'pinter' dan punya
'pamor' dilingkungan ternyata sulit ya... Bagaimana yaa caranya... agar
tidak tersinggung dan mau mendengar...
A : Mungkin bisa dicoba lain kali saat menasehati orang yang
lebih tua bisa dengan bantuan ulama atau ustadz yang disegani untuk
memfasilitasi.
Q : Kalau menasehati orang yang salah misalnya wudhunya ato dalam
sholat kurang thuma'ninah itu gimana ya? Kita tidak kenal orang itu. Tapi kita
tahu cara dia berwudlu ato sholatnya tidak sempurna?
A : Mungkin kalau ada artikel atau buku bisa dipinjamkan atau ditunjukkan
pada orang tsb. Tapi kenalan dulu baiknya ya..
Q : Masalahnya ini lagi sholat sebagai musafir......atau kita
diamkan saja ?
A : Setahu saya kalau terkait wudhu, beberapa mazhab agak
sedikit berbeda ya. Mungkin perlu dipelajari lagi apakah orang tsb punya
referensi mazhab tertentu.kalau tentang tumaninah saat sholat, memang sangat
penting ya. Bisa dicoba untuk menanyakan dulu kondisi orang itu, misal
kesehatannya sehingga tidak tumaninah. Cara yang bijak dalam menasehati, akan
lebih mengena in shaa Allah
Alhamdulillah, kajian
kita hari ini berjalan dengan lancar. Moga ilmu yang kita dapatkan berkah dan
bermanfaat. Aamiin....
Segala yang benar dari
Allah semata, mohon maaf atas segala kekurangan. Baiklah langsung saja kita
tutup dengan istighfar masing-masing sebanyak-banyaknya dan do'a kafaratul
majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma
wabihamdika asayahadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya
Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah
melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment