Kajian Online Adminer Umi Hamba
Allah
Hari/Tgl: Sabtu, 12 Mei 2018
Waktu: 19.30 s/d Selesai
Tempat: Fasil HA Bunda
Pemateri: Ustadz Riski Ramdani
Materi: Menyikapi Paham Anti Mahzab
Editor: Sapta
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Dengan mengucap bismillah saya mulai
sharing pada sore hari ini. Topik kali ini adalah "Menyikapi Paham Anti
Mazhab".
Ibu-ibu yang dirahmati Alloh, kita
dapati akhir-akhir ini slogan "Kembali kepada Al Quran dan
Assunnah" semakin menggema. Hal ini terjadi seiring semakin pesatnya
dakwah dan saluran informasi yang semakin banyak di era digital ini. Kalimat
tersebut adalah kalimat Haq. Yaitu kalimat kebenaran. Sayangnya, ada dari
sebagian orang karena kebodohannya, tanpa sadar menggunakan kalimat haq
tersebut namun untuk tujuan batil.
Apa tujuan batil tersebut? Yaitu
menjauhkan umat dari Mazhab
Menurut pemahaman para penyeru anti
mazhab, taqlid adalah tercela, sehingga taqlid (mengikuti) ulama mujtahid
(bermazhab) dianggap tercela. Mereka pertentangkan antara mengikuti mazhab
dengan mengikuti Quran dan Sunnah.
SEOLAH-OLAH ilmu dan pendapat para
Ulama Mujtahid tersebut (Imam Hanafi, Maliki, Syafii, Ahmad) tidak berlandaskan
Quran dan Sunnah. Seolah para ulama mujtahid tersebut adalah orang-orang yang
bodoh dan tidak memahamo nash. Dibuatlah pernyataan-pernyataan subhat (samar) "Ikut
Mazhab atau ikut Dalil?".
Jelas ini adalah penyesatan yang
begitu jahat kepada umat dan perlakuan suul adab (tidak beradab) kepada para
ulama. Namun, tidak semua orang yang anti mazhab itu berniat jahat terhadap
agama Islam. Boleh jadi penyebabnya karena kurangnya informasi yang akurat dan
objektif terkait dengan ilmu terkait mazhahibul ulama. Maklumlah, pentas dan
mimbar dakwah di negeri kita lebih banyak menyajikan sosok yang tidak punya
latar belakang pendidikan ilmu syariah yang mumpuni.
Selain itu memang di tengah
masyarakat kita yang awam ini banyak termakan oleh propaganda yang kurang
lengkap, sehingga kurang proposional dalam memahami hakikat mazhab.
Di antara sebab yang sering mengecoh
umat Islam sehingga terkesan anti mazhab fiqih dan cenderung kurang bersahabat
adalah hal-hal berikut:
1. Tertipu Slogan Kembali Kepada
Al-Quran dan Sunnah
Slogan untuk kembali kepada Al-Quran
dan Sunnah adalah slogan yang sangat bagus. Sebab keduanya memang sumber
rujukan kita dalam beragama.
Namun banyak juga kalangan yang
kurang paham, kepada siapakah sebenarnya slogan ini kita arahkan, dan dalam
konteks apa seharusnya disampaikan?
Slogan kembali kepada Al-Quran dan
Sunnah lebih tepat untuk disampaikan kepada mereka yang telah menukar Al-Quran
dan Sunnah dengan paham dan ideologi asing atau sekuler. Misalnya di Turki yang
sekuler, ada gerakan untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah. Atau di negeri Islam
yang menjadi korban Westernisasi, sehingga ideologi Islam yang ada diganti
dengan ideologi yang datang dari Barat.
Kepada mereka inilah sebenarnya
slogan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah kita arahkan. Maksudnya kembali
kepada Al-Quran dan Sunnah dengan meninggalkan ideologi yang bukan datang dari
Allah SWT dan Rasululullah SAW.
Tetapi ketika kita mengarahkan
kepada sesama umat Islam yang sudah menggunakan Al-Quran dan Sunnah sebagai
dasar sumber hukum, lalu dengna slogan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah kita
malah menafikan sumber-sumber hukum Islam selain keduanya, maka senjata telah
digunakan dengan cara yang keliru dan salah sasaran.
Tidak bisa dibenarkan kalau dengan
slogan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah, kita lantas
Kita menginjak-injak Ijma' dan Qiyas
yang telah dijadikan sumber sekaligus metode dalam memahami hukum Islam. Dan
bukan ciri orang yang paham Islam apabila menafikan pendapat para ulama dan
mazhab fiqih dalam memahami Al-Quran dan Sunnah.
Sebenarnya tidak ada yang salah
ketika kita berseru untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah. Tetapi menjadi
sangat sesat kalau pemahamannya dibelokkan menjadi memusuhi ijtihad, tafsir,
fiqih dan mazhab para ulama.
Itulah penyebab pertama kenapa ada
kelompok yang Anti Mazhab
Penyebab kedua adalah:
2. Mazhab Dianggap Taqlid
Penyebab lain kenapa banyak umat
Islam yang seolah bermusuhan dengan mazhab-mazhab fiqih adalah adanya mitos
bahwa bermazhab itu sama dengan bertaqlid buta kepada manusia, dimana manusia
itu bisa saja benar dan bisa saja salah.
Padahal sesungguhnya tidak semua
taqlid itu salah dan keliru. Memang ada sebagian orang bertaqlid dengan cara
yang tidak dibenarkan, dan itu termasuk taqlid yang haram hukumnya.
Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa
ada taqlid yang hukumnya wajib dan hal itu tidak bisa dihindari. Sebab tidak
semua orang punya kemampuan untuk menarik sendiri kesimpulan hukum yang ada di
dalam Al-Quran dan sunnah.
Padahal, lengkapnya taqlid ada beberapa
bentuk:
a. Taqlid Yang Hukumnya Wajib
Taqlid yang hukumnya wajib adalah
taqlid yang memang memenuhi ketentuan, antara lain:
Kriteria Pertama : Taqlid Dilakukan
oleh Orang Awam
Orang awam adalah orang yang tidak
punya kapasitas yang cukup untuk memahami ayat Al-Quran dan Sunnah. Yang
dikatakan kapasitas itu adalah keahlian dalam berijtihad.
Di antara syarat seseorang boleh
melakukan ijtihad antara lain dia harus menguasai berbagai macam disiplin ilmu,
seperti:
Ilmu Al-Quran: Ilmu-ilmu yang terkait dengan
ilmu Al-Quran antara lain tentang asbabun-nuzul, yang mempelajari bagaimana dan
kapan tiap ayat diturunkan. Selain itu juga harus dikuasainya imu tafsir,
khususnya pada ayat-ayat yang terkait dengan hukum.
Dan tidak cukup hanya dengan itu,
juga harus dikuasi ilmu tentang nasakh dan mansukh dari masing-masing ayat
Al-Quran, agar jangan sampai seseorang salah dalam menggunakan dalil yang sudah
tidak berlaku.
Dan tidak ketinggalan bahwa seorang
mujtahid harus menguasai kaidah-kaidah dalam pengambilan kesimpulan hukum ayat
Al-Quran, sehingga dia harus mengerti betul mana al-'aam dan mana al-khash, dan
seterusnya.
Ilmu Hadits (Sunnah): Seorang yang punya kapasitas
dalam berijtihad harus menguasai ilmu tentang sunnah nabawi, yaitu ilmu hadits.
Dan di antara cabang ilmu hadits yang paling penting adalah ilmu tentang naqd
hadits. Ilmu naqd (kritik) hadits adalah ilmu yang tidak boleh luput dari
kemampuan seorang mujtahid. Sebab yang di-istimbath tidak lain adalah
hukum-hukum yang bersumber dari Rasulullah SAW. Kalau jalur periwayatannya saja
sudah bermasalah, maka istimbath hukumnya sudah pasti bermasalah juga. Maka
sebelum menjadi seorang mujtahid, seorang ulama harus menjadi ahli hadits
(muhaddits) terlebih dahulu. Setidaknya dia harus punya kemampuan untuk memilah
mana hadits yang bisa dijadikan sandaran, dan mana yang tidak bisa dijadikan
sandaran.
Ilmu Bahasa Arab: Al-Quran tidak pernah
diturunkan ke permukaan bumi ini kecuali dalam bahasa Arab. Sebab Rasulullah
SAW sebagai penerima wahyu hanya bisa berbahasa Arab. Demikian juga sunnah
nabawiyah, yang merupakan perbuatan, perkataan dan iqrar Rasulullah SAW, tidak
lah sampai kepada kita lewat rangkaian panjang periwayatan, kecuali redaksinya
selalu berbahasa Arab. Maka bila seorang mujtahid ingin menarik kesimpulan
hukum dari Al-Quran dan As-Sunnah, mustahil bisa dilaksanakan bila dirinya
tidak mengerti bahasa Arab. Maka syarat mutlak ilmu yang harus minimal dikuasai
oleh seorang mujtahid adalah ilmu tentang bahasa Arab dengan segala cabang dan
rantingnya.
Ilmu Fiqih: Tetapi ilmu yang paling utama
dari kebutuhan untuk mengistimbath suatu hukum tidak lain adalah ilmu fiqih dan
ushul fiqih. Ilmu fiqih adalah produk akhir dari ilmu-ilmu yang telah
disebutkan di atas. Hasil akhir ini berupa kesimpulan-kesimpulan hukum atas
berbagai masalah kehidupan. Orang-orang awam adalah konsumen dari ilmu fiqih
ini. Bahkan sebenarnya ilmu ini memang ditujukan untuk dipelajari oleh
orang-orang awam. Para mujtahid kemudian mengajarkan hasil-hasil ijtihad dan
istimbath hukum mereka lewat pengajaran ilmu fiqih ini.
Ilmu Ushul Fiqih: Ruang lingkup pembahasan Ilmu
Ushul Fiqih sebenarnya cukup luas, mulai dari sumber-sumber hukum fiqih hingga
proses bagaimana kesimpulan hukum itu diambil, lewat beragam metode yang ada.
Dalil-dalil hukum syariah ada yang muktamad seperti Quran, Sunnah, Ijma dan
Qiyas, dan ada juga dalil yang mukhtalaf, seperti al-masalih al-mursalah,
al-istidlal, al-istish-hab, saddu adz-dzari’ah, istihsan, 'urf, syar'u man
qablana, amalu ahlil madinah, qaul shahabi dan lainnya. Selain itu dalam ushul
fiqih juga dikenal dalil lafadz, yaitu al-amru wa an-nahyu, al-‘aam wal khash,
al-muthlaq wa al-muqayyad, al-manthuq wal mafhum. Ushul fiqih juga membahas
berbagai jenis hukum, baik berupa hukum taklifi atau pun hukum wadh'i. Hukum
Taklifi adalah hukum yang kita kenal sebagai wajib, mandub (sunnah), mubah,
makruh atau haram. Sedangkan hukum Wadh’i seperti as-sabab, asy-syarth,
al-mani’, ash-shihhah, a-fasad wal buthlan.
Maka siapa saja orang yang tidak
punya keahlian atas ilmu-ilmu di atas, kita sebut sebagai orang awam. Mereka
bukan saja tidak bisa berijtihad, tetapi haram hukumnya berijtihad. Sama
kasusnya dengan seorang dokter. Meski tiap orang wajib berupaya mendapatkan
kesembuhan atas penyakitnya, dengan segala hal yang bisa dia lakukan, namun
bukan berarti seseorang boleh mengangkat dirinya sebagai dokter, tanpa ilmu dan
jenjang pendidikan kedokteran yang serius.
Kembali tentang kriteria Taqli yang
wajib, yang kedua adalah:
Kriteria Kedua : Bertaqlid Harus
Kepada Ulama Yang Ahli
Maka kita semua harus mengaku bahwa
diri kita ini adalah orang awam, meski pun penampilannya seperti ulama. Sebab
keulamaan itu tidak identik dengan nama besar, atribut, jubah, sorban yang
melilit kepala, atau julukan serta jabatan. Tetapi keulamaan itu terkait dengan
kadar ilmu dan pengetahuan atas hukum-hukum syariah, yang hanya bisa didapat
dari belajar secara serius bertahun-tahun.
Dan para pendiri mazhab tidak lain
adalah sosok para ulama itu. Kepada mereka itulah kita belajar ilmu-ilmu
syariah yang menjadi syarat seorang mujtahid.
Ibaratnya, bila kita ingin belajar
ilmu ilmu fisika, maka orang yang paling mengerti fisika tidak lain adalah
Newton, Einstein, Copernicus dan seterusnya. Kalau kita mau belajar ilmu
Matematika, maka orang yang paling mengerti adalah Al-Khawarizmi atau
Pythagoras. Dan kalau mau mengerti komputer, paling tidak kita menimba ilmu
kepada Charles Babbage atau kalau terkait software bisa kita sebut Bill Gates
atau Steve Jobs.
Dan kalau kita mau tahu bagaimana
cara menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan Sunnah, orang yang paling
pintar dan mengerti adalah para ulama, yaitu para shahabat, tabi'in dan di masa
berikutnya adalah empat pendiri mazhab besar, yaitu Al-Imam Abu Hanifah,
Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka adalah
soko guru untuk seluruh ulama berikutnya hingga 12 abad kemudian sampai hari
ini. Bermazhab pada hakikatnya kita belajar dan bertanya kepada orang yang
memang ekspert di bidangnya. Dan belajar serta bertanya kepada mereka pada
hakikatnya adalah bertaqlid. Maka bertaqlid kepada mazhab-mazhab fiqih itu
hukumnya wajib buat kita yang awam.
Berikutnya.. jenis Taqlid yang kedua
adalah...
b. Taqlid Yang Hukumnya Haram
Sedangkan taqlid yang haram adalah
taqlidnya seseorang kepada tokoh yang tidak punya ilmu dan pemahaman dalam
urusan istimbath hukum. Sudah tidak bisa bahasa Arab, tidak mengerti ilmu
Al-Quran dan Sunnah, buta ilmu fiqih dan ushul fiqih, lalu tanpa malu mengaku-ngaku
sebagai ulama besar yang tidak ada tandingannya. Lebih parah lagi, dengan
kepala yang kosong dari ilmu syariah itu, kemudian dia membangun lembaga fatwa
untuk kelompoknya. Seolah-olah lembaga fatwanya itu menjadi 'hakim' yang berhak
'mengadili' fatwa dan mazhab ulama yang sudah ada sebelumnya.
Bahkan kadang tanpa sadar,
fatwa-fatwa yang dibuatnya tanpa landasan ilmu itu malah terkesan menghina dan
mencaci-maki semua orang yang belajar ilmu agama kepada ahlinya. Perbuatan itu
dianggapnya sesat dan taqlid.
Padahal dirinya adalah seorang yang
paling depan dalam urusan bertaqlid, yaitu bertaqlid buta kepada gurunya
sendiri, yang ternyata juga bukan ahli di bidang hukum syariah.
Kembali ke topik bahasan.. penyebab
berikutnya kenapa ada org atau klmpk anti mazhab adalah...
3. Mengidentikkan Mazhab Dengan
Tradisi Jahiliyah
Sebagian orang yang anti dengan
mazhab seringkali tidak bisa membedakan mana yang merupakan ilmu syariah yang
dihasilkan dari ijtihad ulama dan bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah, dan
mana yang sebenarnya adalah budaya jahiliyah produk dari nenek moyang yang
sesat.
Misalnya membaca Al-Quran, dzikir
dan tahlilan yang pahalanya disampaikan kepada ruh orang-orang yang sudah
meninggal dunia. Praktek yang banyak dilakukan di tengah masyarakat ini seringkali
diperangi dengan cara lembut dan kasar, seolah-olah merupakan praktek jahiliyah
peninggalan budaya Hindu yang masih dipelihara. Dan sayangnya, mazhab-mazhab
fiqih kemudian dituduh sebagai kambing hitamnya.
Padahal mazhab fiqih tidak mengajak
kepada praktek seperti ini. Dalam hal ini, sebenarnya ada perbedaan pendapat di
kalangan para ulama, tentang apakah bacaan Al-Quran serta dzikir itu bisa
disampaikan pahalanya kepada orang yang sudah wafat.
Dan umumnya para ulama mazhab
berpendapat memang hal itu menjadi wilayah ghaib, dimana hanya Allah saja yang
tahu. Namun melihat banyak nash yang menerangkan hal itu, maka banyak pendapat
yang mengatakan bahwa bacaan Al-Quran dan dzikir itu bisa disampaikan kepada
orang yang sudah wafat dan bermanfaat buat mereka.
Dengan catatan bahwa para ulama
memang berbeda pendapat tentang hal ini. Salah satu yang menentangnya justru
Al-Imam Asy-Syafi'i sendiri. Sedangkan Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim justru
sepakat bahwa bacaan Al-Quran dan dzikir bisa disampaikan pahalanya kepada
orang mati. Dan orang-orang yang anti mazhab sering mengidentikan mazhab fiqh
dengan praktek-praktek syirik yang masih berkembang di tengah masyarakat,
seperti budaya datang ke dukun, percaya kepada tahayyul dan ramalan, atau
mengkeramatkan benda-benda semacam keris, batu dan rajah. Semua itu seringkali
diidentikkan dengan orang bermazhab dalam ilmu fiqih. Padahal fiqih Islam
menentang semua praktek itu, dan memeranginya, sesuai dengan ketentuan dari
Allah SWT dan Rasulullah SAW lewat berbagai hadits shahihnya.
Penyebab berikutnya adalah ..
4. Dangkalnya Ilmu Agama
Dan faktor terbesar dari begitu
banyaknya umat Islam yang terkesan anti dengan mazhab-mazhab fiqih adalah
dangkalnya dasar-dasar ilmu agama yang mereka pelajari di waktu kecil.
Kebanyakan bangsa Indonesia ini tidak berkesempatan menempuh jenjang pendidikan
madrasah atau pesantren. Kebanyakan mereka hanya bersekolah umum, yang tidak
punya porsi cukup dalam bidang ilmu agama. Ketika mereka dewasa, ada semacam
semangat untuk belajar, tetapi sudah tidak punya waktu lagi. Akibatnya, mereka
belajar secara instan dan kilat. Tetapi resikonya, ilmunya cuma
sepotong-sepotong dan tidak utuh. Cirinya adalah tidak lancar membaca Al-Quran,
lebih sering terbata-bata. Dan pastinya tidak mengerti tafsir Al-Quran,
sehingga lebih sering menafsirkan ayat Quran berdasarkan logika lemah dan hawa
nafsu saja. Juga tidak memiliki ilmu hadits yang utuh, sehingga rancu dalam
memahami hadits shahih, hasan dan dhaif.
Yang lebih parah biasanya mereka ini
tidak paham bahasa Arab, apalagi Nahwu, sharaf dan Balaghah. Sehingga sudah
bisa dipastikan mereka itu asing dengan kitab-kitab warisan (turats) para
ulama. Kalau pun membaca buku, maka bukunya hanya terjemahan yang tidak bisa
dipertanggung-jawabkan kebenarannya, dan jumlahnya amat terbatas. Dan yang
pasti mereka tidak pernah berkesempatan belajar ilmu fiqih lewat ulama yang
ahli di bidangnya, dengan jenjang yang runtut. Dan ilmu ushul fiqih hanya
pernah dengar saja, tetapi sama sekali tidak mengerti apa maksud dari ilmu
ushul itu.
Sebenarnya masih banyak
faktor-faktor yang lainnya, namun kita cukupkan sampai disini. Harapannya
adalah semoga umat Islam ini bisa berkesempatan untuk memperluas tsaqafah
keilmuannya, tidak merasa cukup dengan ilmu yang hanya secuil dimilikinya. Dan
yang paling penting, jangan sampai kita terkena penyakit ujub, riya dan
takabbur. Tidak punya ilmu tetapi merasa paling paham urusan agama.
Wallahu a'lam bishshawab.
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
TANYA - JAWAB
Tanya:
Assalamu'alaikum ustadz, ijin bertanya. Untuk saat ini banyak bermunculan
ustadz yang terkenal dilayar kaca. Apakah mereka yang maaf bukan lulusan sekolah fiqih atau hadist
maupun tafsir, itu termasuk orang awam? Lalu sikap kita yang sering melihat
mereka dilayar kaca?
Jawab: Pada hakikatnya dakwah adalah tugas
atau kewajiban setiap muslim. Mereka yang bukan lulusan pesantren formal belum
tentu disebut awam. Mereka sangat mungkin belajar Islam di luar pesantren dan
itu sangat dimungkinkan. Misal dengan talaqqi belajar pada seorang ulama, itu
sangat memungkinkan menjadikan seseorang faqih fiddin (berilmu dalam perkara
agama tanpa melalui jalur pesantren). Yang penting saat dia belajar Islam JELAS
siapa gurunya dan jelas pemahaman yang diambil merujuk kepada ulama mu'tabar
(yanh dikenal di tengah-tengah umat Islam)
Alhasil, siapapun muslim BERHAK
menyampaikan ajaran Islam yang sudah dia pahami dari gurunya yang terbukti
mempunyai dasar rujukan dari para ulama umat Islam. Terlepas dia menyampaikam
di medsos, di tv dan radio sebagai pembicara, atau melalui media lainnya.
Adapun mengenai sikap kita, maka
kita dapat mengambil ilmu yang disampaikannya jika ilmu yang disampaikan
mempunyai rujukan pada para ulama khususnya ulama mazhab. Karena para ulama
mazhab (mujtahid) sudah pasti mendasarkan pendapatnya pada sumber2 hukum Islam
(Al Quran, Asunnah, Ijma Sajabat, dan Qiyas Syari).
Wallahualam.
Tanya : السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ijin bertanya ustadz. Saya sering
banget baca (kebetulan lewat di beranda facebook), kenapa kok kalau berbeda
mazhab yang diikuti gampang banget menafikan bahwa bukan lagi saudara
se-aqidah? Kalau berbeda mazhab dan guru kemudian mengganggap yang lain itu
tidak sejalan.
Jawab: Biasanya orang yang mudah menganggap
orang lain yang berbeda dengannya sebagai di luar Islam (bukan saudara
seakidah), adalah orang yang justru tidak bermazhab atau tidak mengambil
pendapat ulama dalam memahami agama.
Tanya: Saya awam sekali ustadz, tapi ingin
sekali mempunyai bekal ilmu agama, namun terkadang melihat akhwat atau ikhwan
berdebat karena tidak sesuai dengan mazhab bikin bingung sendiri (ini jujur). Pertanyaannya
bagaimana membedakan ilmu yang benar-benar dari ulama mahzab fiqih? Apalagi
sekarang, konon, afwan ustadz, banyak ulama su'u. Bagi yang awam seperti saya, astaghfirulloh
sukar mendeteksinya (maaf..maaf..maaf).
Jawab: Untuk mengetahui suatu pendapat apakah
merujuk pada ulama mazhab atau tidak, adalah dengan melihat langsung pada
paparan yang disampaikan apakah dia ada mengutip pendapat para ulama terdahulu
dari kalangan tabiin atau tabiut tabiin (terdahulu)? Tabiin adalah generasi
setelah sahabat. Dan tabiut tabiin adalah generasi di bawah tabiin. Inilah yg
dalam hadits Rasul disebut sebagai generasi terbaik.
النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ
الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah
generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya
(yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu
generasi tabi’ut tabi’in).
[Hadits mutawatir, riwayat Bukhari dan lainnya].
Tanya: Ustadz,
saya mau tanya, apakah seseorang yang beraliran syiah bisa/boleh bersalaman dengan yang non mahram? karena saya
pernah melihat seorang ustadz beraliran syiah bersalaman/bersentuhan dengan
istrinya sepupu saya, terimakasih ustadz.
Jawab: Saya belum mengetahui bagaimana
pendapat Syiah dalam perkara ini. Sementara dalam kalangan Ahlussunnah (suni)
sepakat 4 mazhab utama seperti Hanafi, Maliki, Syafii, dan Ahmad mengharamkan
bersentuhan dengan perempuan bukan mahram.
Tanya: Izin
bertanya ustadz tentang hukum cadar, saya yang awam jujur bingung, apakah
berasal dari madzhab
atau alqur'an sunnah, kalau dari madzhab, madzhab siapa, kalau dari alqur'an
sunnah adakah ayat atau riwayat haditsnya? Afwan ustadz saya pengen jrlas
hukumnya, agar saya bisa mengambil sikap, ya karena keterbatasan wawasan inilah
membuat saya bingung.
Jawab: Mengenai cadar, sebelumnya saya
ingin luruskan pertanyaannya. Pendapat imam Mazhab sudah tentu didasarkan pada
sumber hukum Islam baik Al Quran, Assunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas Syari. Jd
pertanyaan "berasal dari mazhab atau Quran Sunnah" jelas tidak tepat.
Adapun mengenai cadar ini adalah
perkara ikhtilaf.
Menurut madzhab Hanafi, di
zaman sekarang perempuan yang masih muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang
membuka wajahnya di antara laki-laki. Bukan karena wajah itu termasuk aurat,
tetapi lebih untuk menghindari fitnah.
فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ ( الْحَنَفِيَّةُ
وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ ) إِلَى أَنَّ الْوَجْهَ لَيْسَ
بِعَوْرَةٍ ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ عَوْرَةً فَإِنَّهُ يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَسْتُرَهُ
فَتَنْتَقِبَ ، وَلَهَا أَنْ تَكْشِفَهُ فَلاَ تَنْتَقِبَ .قَال الْحَنَفِيَّةُ : تُمْنَعُ
الْمَرْأَةُ الشَّابَّةُ مِنْ كَشْفِ وَجْهِهَا بَيْنَ الرِّجَال فِي زَمَانِنَا ،
لاَ لِأَنَّهُ عَوْرَةٌ ، بَل لِخَوْفِ الْفِتْنَةِ
Artinya, “Mayoritas fuqaha (baik
dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa wajah
bukan termasuk aurat. Jika demikian, wanita boleh menutupinya dengan cadar dan
boleh membukanya. Menurut madzhab Hanafi, di zaman kita sekarang wanita muda
(al-mar`ah asy-syabbah) dilarang memperlihatkan wajah di antara laki-laki.
Bukan karena wajah itu sendiri adalah aurat tetapi lebih karena untuk
mengindari fitnah,”.
Berbeda dengan madzhab Hanafi, madzhab
Maliki menyatakan bahwa makruh hukumnya wanita menutupi wajah baik ketika
dalam shalat maupun di luar shalat karena termasuk perbuatan berlebih-lebihan
(al-ghuluw).
Namun di satu sisi mereka
berpendapat bahwa menutupi dua telapak tangan dan wajah bagi wanita muda yang
dikhawatirkan menimbulkan fitnah, ketika ia adalah wanita yang cantik atau
dalam situasi banyak munculnya kebejatan atau kerusakan moral.
وَقَال الْمَالِكِيَّةُ : يُكْرَهُ انْتِقَابُ الْمَرْأَةِ
- أَيْ : تَغْطِيَةُ وَجْهِهَا ،وَهُوَ مَا يَصِل لِلْعُيُونِ - سَوَاءٌ كَانَتْ فِي
صَلاَةٍ أَوْ فِي غَيْرِهَا ، كَانَ الاِنْتِقَابُ فِيهَا لِأجْلِهَا أَوْ لاَ ، لِأَنَّهُ
مِنَ الْغُلُوِّ.وَيُكْرَهُ النِّقَابُ لِلرِّجَال مِنْ بَابِ أَوْلَى إِلاَّ إِذَا
كَانَ ذَلِكَ مِنْ عَادَةِ قَوْمِهِ ، فَلاَ يُكْرَهُ إِذَا كَانَ فِي غَيْرِ صَلاَةٍ
، وَأَمَّا فِي الصَّلاَةِ فَيُكْرَهُ .وَقَالُوا : يَجِبُ عَلَى الشَّابَّةِ مَخْشِيَّةِ
الْفِتْنَةِ سَتْرٌ حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ إِذَا كَانَتْ جَمِيلَةً ، أَوْ
يَكْثُرُ الْفَسَادُ.
Artinya, “Madzhab Maliki
berpendapat bahwa dimakruhkan wanita memakai cadar—artinya menutupi wajahnya
sampai mata—baik dalam shalat maupun di luar shalat atau karena melakukan
shalat atau tidak karena hal itu termasuk berlebihan (ghuluw). Dan lebih utama
cadar dimakruhkan bagi laki-laki kecuali ketika hal itu merupakan kebiasaan
yang berlaku di masyarakatnya, maka tidak dimakruhkan ketika di luar shalat.
Adapun dalam shalat maka dimakruhkan. Mereka menyatakan bahwa wajib menutupi
kedua telapak tangan dan wajah bagi perempuan muda yang dikhawatirkan bisa
menimbulkan fitnah, apabila ia adalah wanita yang cantik, atau maraknya
kebejatan moral,”
Sedangkan di kalangan madzhab
Syafi’i sendiri terjadi silang pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa
memakai cadar bagi wanita adalah wajib. Pendapat kedua adalah sunah, sedang
pendapat ketiga adalah khilaful awla, menyalahi yang utama karena utamanya
tidak bercadar.
وَاخْتَلَفَ الشَّافِعِيَّةُ فِي تَنَقُّبِ الْمَرْأَةِ
، فَرَأْيٌ يُوجِبُ النِّقَابَ عَلَيْهَا ، وَقِيل : هُوَ سُنَّةٌ ، وَقِيل : هُوَ
خِلاَفُ الأَوْلَى
Artinya, “Madzhab Syafi’i berbeda
pendapat mengenai hukum memakai cadar bagi perempuan. Satu pendapat menyatakan
bahwa hukum mengenakan cadar bagi perempuan adalah wajib. Pendapat lain (qila)
menyatakan hukumnya adalah sunah. Dan ada juga yang menyatakan khilaful
awla,”.
Poin penting yang ingin saya
sampaikan adalah bahwa persoalan hukum memakai cadar bagi wanita ternyata
merupakan persoalan khilafiyah. Bahkan dalam madzhab Syafi’i sendiri yang
dianut mayoritas orang NU terjadi perbedaan dalam menyikapinya. Meskipun harus
diakui bahwa pendapat yang mu’tamad (merujuk kepada Imam Syafii langsung)
adalah bahwa aurat perempuan dalam konteks yang berkaitan dengan pandangan
pihak lain (al-ajanib) adalah semua badannya termasuk kedua telapak tangan dan
wajah.
Konsekuensinya adalah ia wajib
menutupi kedua telapak tangan dan memakai cadar untuk menutupi wajahnya.
أَنَّ لَهَا ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ عَوْرَةٌ فِي الصَّلَاِة
وَهُوَ مَا تَقَدَّمَ، وَعَوْرَةٌ بِالنِّسْبَةِ لِنَظَرِ الْاَجَانِبِ إِلَيْهَا جَمِيعُ
بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ
“Bahwa perempuan memiliki tiga
uarat. Pertama, aurat dalam shalat dan hal ini telah dijelaskan. Kedua aurat
yang terkait dengan pandangan orang lain kepadanya, yaitu seluruh badannya
termasuk wajah dan kedua telapak tangannya menurut pendapat yang
mu’tamad...”
Intinya tergantung Ibu cenderung
pada pendapat mazhab yang mana karena ini perkara ikhtilaf yg ada perbedaan
pendapat d kalangan ulama. Saya sendiri cenderung kepada pendapat yang
menyatakan bahwa wajah bukan aurat, dan karena bukan aurat maka tidak wajib
ditutup.
Tanya: Ustadz ijin
nambah tanya ya. Batasan
kita (wanita) boleh bersalaman dengan menyentuh tangan ke anak laki-laki umur
berapa ya?
Jawab: Selama anak tersebut belum ada tanda-tanda
baligh. Tidak ada patokan pasti mengenai umur. Karena datangnya usia baligh
pada seorang lelaki beragam. Sehingga yang dilihat cukup tanda-tanda balighnya
apakah sudah ada atau belum.
Tanya: Bagaimana dengan salaman dengan
keponakan laki-laki suami saya (umur 11 tahun), apakah dia masih boleh menyium
tangan saya? Maafkan kalau kurang nyambung dari tema yaa, ustadz.
Jawab: Tetap dilihat dari sisi apakah sudah
mencapai tanda-tanda baligh atau belum. Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadlrami
dalam kitabnya Safinatun Najah menyebutkan ada 3 (tiga) hal yang
menandai bahwa seorang anak telah menginjak akil baligh.
تمام خمس عشرة سنة في الذكر والأنثى والاحتلام في الذكر
والأنثى لتسع سنين والحيض في الأنثى لتسع سنين
“Ketiga tanda baligh tersebut adalah
sempurnanya umur lima belas tahun bagi anak laki-laki dan perempuan, keluarnya
sperma setelah berumur sembilan tahun bagi anak laki-laki dan perempuan, dan
menstruasi atau haid setelah berumur sembilan tahun bagi anak perempuan”.
Jadi beragam, bisa:
1. 15 tahun. Baik keluar sperma atau
tidak.
2. Keluar sperma minimal umur 9 tahun.
Nah itu mudahnya, tanda-tanda baligh
untuk laki-laki
Wallahualam
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Kita tutup dengan
membacakan hamdalah..
Alhamdulillahirabbil'aalamiin
Doa Kafaratul Majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك
أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma
wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya
Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah
melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
Wassalamu'alaikum
warahmatullaahi wabarakaatuh
================
Website: www.hambaAllah.net
FanPage: Kajian On line-Hamba Allah
FB: Kajian On Line - Hamba Allah
Twitter: @kajianonline_HA
IG: @hambaAllah_official
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment