Rekap
Kajian Online HA (LINK)
Hari,
Tgl: Sabtu, 08 Desember 2018
Materi:
Cara Pemulasaran Jenazah yang Benar
Nara
Sumber: Ustadzah Halimah
Waktu
Kajian: 09.00-11.00 WIB
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Kajian
kita pagi ini adalah tentang Cara Pemulasaran Jenazah yang Benar
Apa
sich pengertian Pemulasaran?
Pemulasaraan
berasal dari kata Pulasara yang dalam bahasa Jawa kuno berarti Merawat atau Mengurus. Sedang
Jenazah berasal dari bahasa Arab Janazah yang berati jasad orang yang telah
meninggal dunia. Dalam kontek ini yang dimaksud orang adalah orang Islam /
Muslim.
Sebelum
kita membahas tentang Pemulasaran Jenazah kita bahas tentang sebelum orang
tersebut meninggal.
HAL-HAL YANG
HARUS DIKERJAKAN OLEH ORANG YANG SAKIT
1.
Rela terhadap qadha dan qadar Allah, sabar dan berprasangka baik kepadaNya.
2.
Diperbolehkan untuk berobat dengan sesuatu yang mubah, dan tidak boleh berobat
dengan sesuatu yang haram, atau berobat dengan sesuatu yang merusak aqidahnya;
misalnya, seperti datang kepada dukun, tukang sihir atau ke tempat lainnya.
Dari
Abu Hurairah,dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:
البخاري أخرجه.شِفَاءً”لَهُ أَنْزَلَ إِلاَّ دَاءً اللهُ أَنْزَلَ مَا
Allah tidak
menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah turunkan juga obatnya. [HR Al
Bukhari].
Dan
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بِحَرَامٍ تَدَاوَوْا وَلاَ فَتَدَاوَوْا وَالدَّوَاءَ الدَّاءَ خَلَقَ اللهَ إِنَّ
Sesungguhnya
Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah kalian, dan jangan
berobat dengan sesuatu yang haram. [Dikeluarkan Al Haitsami di dalam Majma’az
Zawa’id].
3.
Apabila bertambah parah sakitnya, tidak boleh baginya untuk mengharapkan
kematian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عُمْرُهُ الْمُؤْمِنَ يَزِيدُ
لآوَإِنَّهُ عَمَلُهُ انْقَطَعَ أَحَدُكُمْ مَاتَ إِذَا إِنَّهُ يَأْتِيَهُ أَنْ
قَبْلِ مِنْ بِهِ يَدْعُ وَلَا
الْمَوْتَ أَحَدُكُمْ يَتَمَنَّى لَا
خَيْرًا إِلَّا
Janganlah
salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian, dan janganlah meminta
kematian sebelum datang waktunya. Apabila seorang di antara kalian meninggal,
maka terputus amalnya. Dan umur seorang mukmin tidak akan menambah baginya
kecuali kebaikan. [HR Muslim].
4.
Hendaknya seorang muslim berada di antara khauf (rasa takut) dan raja’
(berhara).
Diriwayatkan
dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendatangi seorang pemuda yang dalam keadaan sakaratul maut; kemudian Beliau
bertanya: “Bagaimana engkau menjumpai dirimu?” Dia menjawab: “Wahai,
Rasulullah! Demi Allah, aku hanya berharap kepada Allah, dan aku takut akan
dosa-dosaku.” Kemudian Rasulullah bersabda:
يَخَافُ مِمَّا
وَآمَنَهُ يَرْجُو مَا اللَّهُ أَعْطَاهُ إِلَّا الْمَوْطِنِ هَذَا
مِثْلِ فِي عَبْدٍ قَلْبِ فِي
يَجْتَمِعَانِ لآ
Tidaklah
berkumpul dua hal ini ( yaitu khauf dan raja’) di dalam hati seseorang, dalam
kondisi seperti ini, kecuali pasti Allah akan berikan dari harapannya dan Allah
berikan rasa aman dari ketakutannya. [HR At Tirmidzi].
5.
Wajib baginya untuk mengembalikan hak dan harta titipan orang lain, atau dia
juga meminta haknya dari orang lain. Kalau tidak memungkinkan, hendaknya
memberikan wasiat untuk dilunasi hutangnya, atau dibayarkan kafarah atau
zakatnya.
6.
Hendaknya bersegera untuk berwasiat sebelum datang tanda-tanda kematian.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عِنْدَهُ مَكْتُوبَةٌ وَوَصِيَّتُهُ إِلَّا لَيْلَتَيْنِ يَبِيتُ
فِيهِ يُوصِي شَيْءٌ لَهُ مُسْلِمٍ امْرِئٍ
حَقُّ مَا
Tidak
sepatutnya bagi seorang muslim yang masih memiliki sesuatu yang akan
diwasiatkan untuk tidur dua malam kecuali wasiatnya sudah tertulis di dekatnya
[HR Al Bukhari].
Apabila
hendak berwasiat dari hartanya, maka tidak boleh berwasiat lebih banyak dari
sepertiga hartanya. Dan tidak boleh diwasiatkan kepada ahli waris. Tidak
diperbolehkan untuk merugikan orang lain dengan wasiatnya, dengan tujuan untuk
menghalangi bagian dari salah satu ahli waris, atau melebihkan bagian seorang
ahli waris daripada yang lain.
HAL-HAL YANG
DIKERJAKAN KETIKA SESEORANG SAKARATUL MAUT
1.
Mentalqin (menuntun) dengan bacaan Laa ilaaha illallah.
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
اللهإِلاَّ إِلَهَ
لاَ مَوْتَاكُمْ لَقِّنُوْا
Tuntunlah
orang yang akan mati di antara kalian dengan bacaan Laa ilaha illallah. [HR
Muslim].
Dari
Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
الْجَنَّةَ دَخَلَ
اللهُ إِلاَّ إِلَهَ لاَ كَلاَمِهِ آخِرُ
كَانَ مَنْ
Barangsiapa
yang akhir perkataannya Laa ilaha illallah, dia akan masuk surga. [HR Al
Bukhari].
Apabila
berbicara dengan ucapan yang lain setelah ditalqin, maka diulangi kembali,
supaya akhir dari ucapannya di dunia kalimat tauhid.
2.
Berdo’a untuknya dan tidak berkata kecuali yang baik.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَقُولُونَ مَا
عَلَى يُؤَمِّنُونَ الْمَلَائِكَةَ فَإِنَّ خَيْرًا فَقُولُوا الْمَيِّتَ أَوْ الْمَرِيضَ حَضَرْتُمْ إِذَا
Apabila kalian
mendatangi orang sakit atau orang mati, maka janganlah berkata kecuali yang
baik, karena sesungguhnya malaikat mengamini yang kalian ucapkan. [HR Muslim,
Al Baihaqi dan yang lainnya].
Tanda-Tanda
Kematian:
Para
ulama menyebutkan beberapa tanda, bahwa seseorang sudah bisa dikatakan mati. Di
antaranya:
a.
Terhentinya nafas.
b.
Kedua pelipisnya melemas.
c.
Hidung menjadi lunak.
d.
Kulit wajahnya menjadi lebih panjang.
e.
Terpisahnya kedua telapak tangan dari kedua lengannya.
f.
Kedua kakinya melemas dan terpisah dari kedua mata kaki.
g.
Tubuh menjadi dingin.
h.
Tanda yang sangat jelas, yaitu adanya perubahan bau pada tubuhnya. [Lihat
Fiqhun Nawazil, Syaikh Bakr Abu Zaid (1/227), Asy Syarhul Mumti’ (5/331)].
Tanda-tanda
di atas diketahui dengan tanpa menggunakan alat, dan ada tanda lain yang bisa
diketahui dengan alat-alat kedokteran.
3.
Tidak mengapa bagi seorang muslim untuk mendatangi seorang kafir yang dalam keadaan
sakaratul maut untuk menawarkan kepadanya agama Islam.
Dari
Anas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Dahulu ada seorang budak Yahudi yang
melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dia sakit, maka
Rasulullah menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya. Kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْهِ اللَّهُ
صَلَّى النَّبِيُّ فَخَرَجَ فَأَسْلَمَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى الْقَاسِمِ أَبَا أَطِعْ
لَهُ فَقَالَ عِنْدَهُ وَهُوَ أَبِيهِ
إِلَى فَنَظَرَ أَسْلِمْ
النَّارِ مِنْ
أَنْقَذَهُ الَّذِي لِلَّهِ الْحَمْدُ يَقُولُ وَهُوَ
وَسَلَّمَ
Masuklah ke
dalam agama Islam, maka dia melihat ke arah bapaknya yang berada di sampingnya.
Bapaknya berkata: “Taatilah Abul Qasim (ya’ni Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam).” Maka dia masuk Islam, kemudian Rasulullah keluar, dan Beliau berkata:
“Segala puji bagi Allah Yang telah menyelamatkan dia dari neraka.” [HR Al
Bukhari].
HAL-HAL YANG
DIKERJAKAN SETELAH SESEORANG MENINGGAL DUNIA
1.
Disunnahkan untuk menutup kedua matanya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menutup kedua mata Abu Salamah Radhiyallahu ‘anhu ketika dia
meninggal dunia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ فَلاَ تَقُوْلُوْا إِلاَّ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ
Sesungguhnya
ruh apabila telah dicabut, akan diikuti oleh pandangan mata, maka janganlah
kalian berkata kecuali dengan perkataan yang baik, karena malaikat akan
mengamini dari apa yang kalian ucapkan. [HR Muslim].
2.
Disunnahkan untuk menutup seluruh tubuhnya, setelah dilepaskan dari pakaiannya
yang semula. Hal ini supaya tidak terbuka auratnya. Dari Aisyah Radhiyallahu a’nha,
beliau berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِبُرْدٍ حِبَرَةٍ
Dahulu ketika
Rasulullah meninggal dunia ditutup tubuhnya dengan burdah habirah (pakaian
selimut yang bergaris). [Muttafaqun ‘alaih].
Kecuali
bagi orang yang mati dalam keadaan ihram,maka tidak ditutup kepala dan
wajahnya.
3.
Bersegera untuk mengurus jenazahnya.
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ مُسْلِمٍ أَنْ تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ
Tidak pantas
bagi mayat seorang muslim untuk ditahan di antara keluarganya. [HR Abu Dawud].
Karena
hal ini akan mencegah mayat tersebut dari adanya perubahan di dalam tubuhnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Kehormatan seorang muslim adalah untuk
disegerakan jenazahnya.” Dan tidak mengapa untuk menunggu diantara kerabatnya
yang dekat apabila tidak dikhawatirkan akan terjadi perubahan dari tubuh mayit.
Hal
ini dikecualikan apabila seseorang mati mendadak, maka diharuskan menunggu
terlebih dahulu, karena ada kemungkinan dia hanya pingsan (mati suri). Terlebih
pada zaman dahulu, ketika ilmu kedokteran belum maju seperti sekarang.
Pengecualian ini, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama. [Lihat Asy
Syarhul Mumti’ (5/330), Al Mughni (3/367)].
Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Jika ada orang yang bertanya, bagaimana
kita menjawab dari apa yang dikerjakan oleh para sahabat, mereka mengubur Nabi
pada hari Rabu, padahal Beliau meninggal pada hari Senin? Maka jawabnya sebagai
berikut: Hal ini disebabkan untuk menunjuk Khalifah setelah Beliau. Karena Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin yang pertama telah
meninggal dunia, maka kita tidak mengubur Beliau hingga ada Khalifah
sesudahnya. Hal ini yang mendorong mereka untuk menentukan Khalifah. Dan ketika
Abu Bakar dibai’at, mereka bersegera mengurus dan mengubur jenazah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, jika seorang Khalifah
(Pemimpin) meninggal dunia dan belum ditunjuk orang yang menggantikannya, maka
tidak mengapa untuk diakhirkan pengurusan jenazahnya hingga ada Khalifah
sesudahnya.” [Asy Syarhul Mumti’ 5/333].
4.
Diperbolehkan untuk menyampaikan kepada orang lain tentang berita kematiannya.
Dengan tujuan untuk bersegera mengurusnya, menghadiri janazahnya dan untuk
menyalatkan serta mendo’akannya. Akan tetapi, apabila diumumkan untuk
menghitung dan menyebut-nyebut kebaikannya, maka ini termasuk na’yu
(pemberitaan) yang dilarang.
5.
Disunnahkan untuk segera menunaikan wasiatnya, karena untuk menyegerakan pahala
bagi mayit. Wasiat lebih didahulukan daripada hutang, karena Allah
mendahulukannya di dalam Al Qur’an.
6.
Diwajibkan untuk segera dilunasi hutang-hutangnya, baik hutang kepada Allah
berupa zakat, haji, nadzar, kaffarah dan lainnya. Atau hutang kepada makhluk,
seperti mengembalikan amanah, pinjaman atau yang lainnya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Jiwa seorang
mukmin terikat dengan hutangnya hingga dilunasi. [HR Ahmad, At Tirmidzi, dan
beliau menghasankannya].
Adapun
orang yang tidak meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya,sedangkan
dia mati dalam keadaan bertekad untuk melunasi hutang tersebut, maka Allah yang
akan melunasinya.
7.
Diperbolehkan untuk membuka dan mencium wajah mayit. Aisyah Radhiyallahu anha
berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُونٍ وَهُوَ مَيِّتٌ حَتَّى رَأَيْتُ الدُّمُوعَ تَسِيلُ
Aku melihat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Utsman bin Madh’un
Radhiyallahu ‘anhu , saat dia telah meninggal, hingga aku melihat Beliau
mengalirkan air mata. [HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].
Demikian
pula Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, beliau mencium Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallamn ketika beliau meninggal dunia.
MEMANDIKAN
MAYIT
1.
Hukum memandikan dan mengkafani mayit adalah fardhu kifayah. Apabila telah
dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin, maka bagi yang lain gugur kewajibannya.
Dengan dalil sabda Nabi n tentang seorang muhrim (orang yang mengerjakan ihram)
yang terjatuh dan terlempar dari untanya:
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ
Mandikanlah
dia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah dengan dua helai kainnya.
[Muttafaqun ‘alaih].
2.
Orang yang paling berhak memandikan seorang mayit, ialah orang yang diberi
wasiat untuk mengerjakan hal ini. Seseorang terkadang berwasiat karena ingin
dimandikan oleh orang yang bertaqwa, orang yang mengetahui hukum-hukum
memandikan mayit.
Dahulu
Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu berwasiat supaya dimandikan oleh
isterinya, yaitu Asma’ binti Umais, kemudian dia (Asma’ binti Umais)
mengerjakannya. Dikeluarkan oleh Malik dalam Al Muwatha’, Abdur Razzaq dan Ibnu
Abi Syaibah.
Setelah
orang yang diberi wasiat, orang yang paling berhak untuk memandikan ialah
bapaknya, kemudian kakeknya, kemudian kerabat dekat dari ashabahnya (kerabat
lelaki). Jika mereka semua sama di dalam hak ini, maka diutamakan orang yang
paling mengetahui hukum-hukum mengurus jenazah.
3.
Diperbolehkan bagi suami atau isteri untuk memandikan pasangannya.
Diriwayatkan
dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepada ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘€nha:
لَوْ مُتِّ قَبْلِيْ لَغَسَلْتُكِ وَكَفَنْتُكِ
Seandainya
engkau mati sebelumku, pasti aku akan memandikan dan mengkafanimu. [HR Ahmad,
Ibnu Majah, Ad Darimi].
4.
Bagi seorang lelaki atau wanita, boleh memandikan anak yang di bawah umur tujuh
tahun, baik laki-laki atau perempuan.
Ibnul Mundzir
berkata,”Telah sepakat para ulama yang kami pegang pendapatnya, bahwa seorang
wanita boleh memandikan anak kecil laki-laki.” Karena tidak ada aurat ketika
hidupnya, maka demikian pula setelah matinya. [Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi
(1/207)].
5.
Seorang muslim tidak boleh memandikan dan menguburkan seorang kafir.
Allah
berfirman kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِالله
Janganlah
engkau menyalatkan seorang yang mati di antara mereka selama-lamanya, dan
janganlah engkau berdiri di atas kuburnya, sesungguhnya mereka kafir kepada
Allah.[At Taubah:84].
Yang
dimaksud dengan ayat tersebut, yaitu haram menguburnya seperti mengubur seorang
muslim. Akan tetapi kita gali untuknya lubang, kemudian dimasukkan mayat orang
kafir ke dalam lubang tersebut, atau ditutup dengan sesuatu. Karena Rasulullah
n memerintahkan untuk melempar mayat-mayat kaum musyrikin yang terbunuh dalam
Perang Badar ke dalam satu sumur di antara sumur-sumur yang ada di Badar. [HR
Al Bukhari di dalam kitab Al Maghazi].
6.
Kaifiyat memandikan jenazah.
Hendaklah
dipilih tempat yang tertutup, jauh dari pandangan umum, tidak disaksikan
kecuali oleh orang yang memandikan dan orang yang membantunya. Kemudian
melepaskan pakaiannya semula dipakainya setelah diletakkan kain di atas
auratnya, sehingga tidak terlihat oleh seorangpun. Kemudian dilakukan istinja’
terhadap mayit dan dibersihkan kotorannya. Sesudah itu dilakukan wudhu’ seperti
wudhu’ ketika akan shalat. Akan tetapi, Ahlul Ilmi mengatakan, tidak dimasukkan
air ke dalam mulut dan hidungnya, namun diambil kain yang dibasahi dengan air,
lalu dipakai untuk menggosokkan giginya dan bagian dalam hidungnya, kemudian
dibasuh kepala dan seluruh tubuhnya, dimulai dengan bagian kanan.
Hendaknya
dicampurkan daun bidara ke dalam air. Daun bidara tersebut dipakai untuk membersihkan
rambut kepala dan janggutnya. Pada kali yang terakhir diberi kapur (butir
wewangian), karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan demikian
kepada para wanita yang memandikan putrinya. Beliau bersabda: “Ambillah kapur
pada kali yang terakhir, atau sesuatu dari kapur.” Kemudian dikeringkan dan
diletakkan di atas kain kafan. [70 Su’alan Fi Ahkamil Janaiz, Syaikh Muhammad
Al ‘Utsaimin, hlm. 6].
7.
Tidak diperbolehkan untuk mendatangi tempat pemandian mayit, kecuali orang yang
akan memandikan dan orang yang membantunya.
8.
Ketika memandikan mayit, perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:
Yang
wajib dalam memandikan mayit adalah sekali. Apabila belum bersih, maka tiga
kali dan seterusnya yang diakhiri dengan hitungan ganjil. Dan disunnahkan untuk
menyertainya dengan daun bidara atau sesuatu yang membersihkan, seperti sabun
atau yang lainnya. Hendaknya pada kali yang terakhir, dicampurkan butir
wewangian (kapur). Melepaskan ikatan rambut dan membersihkannya dengan baik,
menguraikan dan menyisir rambutnya, mengikat rambut wanita menjadi tiga ikatan
dan meletakkan di belakangnya. Memulai memandikan dengan bagian tubuhnya yang
kanan, anggota wudhu’nya terlebih dahulu. [Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 48].
9.
Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau dikhawatirkan akan
tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut seorang wanita di
tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya, maka
mayat tersebut di tayammumi dengan tanah (debu) yang baik, diusap wajah dan
kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau yang lainnya.
10.
Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa
yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang memikul
jenazah, maka hendaklah dia wudhu’. [HR Ahmad, Abu Dawud dan beliau
menghasankannya].
11.
Seorang yang mati syahid (terbunuh) di medan perang tidak boleh dimandikan,
meskipun dia dalam keadaan junub, bahkan dikubur dengan pakaian yang menempel
padanya.
Dalam
hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِدَفْنِ شُهَدَاءِ أُحُدٍ فِي دِمَائِهِمْ وَلَمْ يُغَسَّلُوْا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ
Bahwasanya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur para syuhada’
Uhud dalam (bercak-bercak ) darah mereka, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.
[HR Al Bukhari].
Hukum
ini khusus bagi syahid ma’rakah (orang yang terbunuh di medan perang). Adapun
orang yang mati terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya, mereka
tetap dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian pula orang yang mati
karena wabah tha’un, atau karena penyakit perut, mati tenggelam atau terbakar.
Meskipun mereka syahid, mereka tetap dimandikan. Lihat Asy Syarhul Mumti’
(5/364).
12.
Apabila janin yang mati keguguran dan telah berumur lebih dari empat bulan,
maka dimandikan dan dishalatkan. Berdasarkan hadits Al Mughirah yang marfu’:
وَ الطِّفْلُ
(و في رواية:
السِّقْطُ) يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ
Seorang anak
kecil (dan dalam satu riwayat, janin yang mati keguguran), dia dishalatkan dan
dido’akan untuk kedua orang tuanya dengan ampunan dan rahmat. [HR Abu Dawud dan
At Tirmidzi].
Karena
setelah empat bulan sudah ditiupkan padanya ruh, sebagaimana dalam hadits
tentang penciptaan manusia yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari
Abdullah bin Mas’ud.
Rukun
Memandikan Jenazah
🔅Niat
🔅Basmallah
🔅Maratakan air
ke seluruh tubuhnya
Siapakah
Mayyit yang Dimandikan
1.
Yang wajib dimandikan:
Muslim
Muslim
yang mati syahid bukan karena orang kafir
2.
Yang tidak wajib dimandikan:
Kafir
Muslim
yang mati syahid di tangan orang kafir
Diriwayatkan
oleh Ahmad, Rasullullah SAW bersabda: …janganlah kamu memandikan mereka, karena
setiap luka atau setiap tetes darah akan semerbak dengan bau yang wangi pada
hari kiamat”. (HR Ahmad)
Tujuh Golongan Muslim yang Syahid Bukan di
Tangan Orang Kafir
Meninggal
karena terkena wabah suatu penyakit
Meninggal
karena kolera
Meninggal
karena tumor/kanker ganas
Meninggal
terbakar
Meninggal
tenggelam
Meninggal
tertimbun
Meninggal
ketika melahirkan
Tayamum Untuk
Mayyit
Karena
tidak ada air
Karena
badannya akan semakin hancur jika dimandikan
Menyiapkan
Barang-barang Yang Diperlukan
1.
Kain kafan sebanyak ± 10 – 12 meter
2.
Kapur barus atau kamper sebanyak ± 300 gram dihaluskan
3.
Cendana ± 100 gram
4.
Kapas ± 200 -300 gram atau tergantung keadaan jenazah
5.
Minyak wangi 1 botol
6.
5 helai kain panjang untuk menutup tubuh jenazah
7.
Gayung dan ember serta air secukupnya
8.
Sabun dan shampoo untuk memandikan jenazah
9.
Tali raffia 1 gulung kecil, untuk mengukur jenazah
10.
Tirai untuk menghijab tempat mandi dan tempat mengkafani jenazah
11.
Beberapa orang untuk memangku jenazah ketika dimandikan atau meja
12.
Handuk untuk mengeringkan jenazah setelah dimandikan
13.
Tikar untuk mengkafani jenazah
14.
Jarum dan benang untuk menjahit jilbab sedikit di bawah dagu.
Mempersiapkan Jenazah
Periksa
Jenazah
Apa
bajunya sudah dibuka?
Apa
matanya sudah tertutup?
Apa
ada barang-barang yang melekat di tubuh jenazah yang belum dibuka?
Apa
tubuh jenazah luka-luka?
Mengukur
Jenazah
Panjang
dari ujung kepala sampai ujung kaki
Panjang
dari bahu sampai akhir paha (untuk panjang baju)
Panjang
dari bawah dada sampai mata kaki (untuk sarung)
Panjang
dari dahi sampai pucuk kepala (untuk memperkirakan letak jilbab)
Cara
Memandikan Jenazah
1.
Jenazah dihadapkan ke kiblat dengan kepala lebih tinggi daripada kaki agar air
yang mengandung najis tidak mengalir kembali ke bagian yang sudah bersih
2.
Jenazah dilunakkan persendian-persendiannya dengan cara menggerak-gerakkan
tangan sampai siku ke pundak. Kaki
digerak-gerakkan sampai paha kemudian diluruskan kembali. Jika jenazah sudah kaku ditidak usah
dilunakkan persendiannya.
3.
Memakai sarung tangan dari bahan yang lembut seperti kaos untuk membersihkan
najis. Caranya, perut ditekan
perlahan-lahan. Bagi yang hamil supaya
diusap. Bila sarung tangannya sudah
kotor diganti.
4.
Membersihkan jenazah dari berbagai kotoran yang melekat padanyA
5.
Bekas plester dibersihkan dengan semacam minyak (baby oil atau minyak kelapa)
6.
Kotoran lain dengan air sabun
7.
Kotoran mata diusap dengan sarung tangan
8.
Lubang hidung diusap dari luar
9.
Rongga mulut diusap dengan sarung tangan perlahan-lahan
10.
Daun telinga diusap seperti ketika wudhu
11.
Sela-sela jari diusap seperti ketika wudhu
12.
Sela-sela kuku dibersihkan dengan alat yang tidak tajam
13.
Mewudhukan secara sempurna (tidak berkumur dan tidak memasukkan air ke hidung.
14.
Mandikan. Sesuai dengan sunnah
menggunakan sabun. Mendahulukan bagian
kanan,
Bagian
depan tubuh, dicuci sebanyak 3 kali:
Kepala
dan jenggot (tempat tumbuh rambut)
Leher
Pundak
sampai ke telapak
Bahu
dan dada sampai ke perut
Kaki
15.
Tubuh dimiringkan ke kiri, dicuci sebanyak 3 kali
16.
Cuci badan bagian belakang (punggung, pinggang, pinggul)
Leher
Pundak
sampai telapak tangan
Bahu
dan dada sampai ke perut
Kaki
17.
Tubuh dimiringkan ke kanan, dicuci sebanyak 3 kali
18.
Cuci badan bagian belakang
Leher
Pundak
sampai telapak tangan
Bahu
dan dada sampai ke perut
Kaki
Mencuci 3
kali: pertama menggunakan air, kedua menggunakan air, ketiga menggunakan air
yang dicampur dengan kamper. Bersihkan
jenazah 3 kali, bila masih mengeluarkan najis dicuci 5 kali sampai 7 kali
kemudian tutup tempat keluarnya najis menggunakan kapas.
19.
Setelah selesai dimandikan diwudhukan lagi.
Setelah itu dikeringkan menggunakan handuk.
Mengkafani Mayyit
Hukum
mengkafani fardu kifayah, minimal dengan 1 lapis kain. Menurut riwayat Bukhari dan Khibab ra Mus’ab
bin Umair yang terbunuh di perang Uhud dikafani dengan selembar kain burdah
yang pendek sehingga kakinya terbuka, kemudian ditutup dengan rumput idzkir.
Hal-hal yang
disukai mengenai kafan:
1.
Kafan yang baik, kalau bisa yang baru
2.
Bersih
3.
Menutupi seluruh tubuh
4.
Berwarna putih. Hadits Rasulullah SAW,
..Pakailah pakaian yang putih karena itulah yang terbaik dan kafanilah yang
meninggal di antara kamu dengan itu.”
5.
Diberi cendana dan minyak wangi di muka dan tempat sujud
6.
3 lapis bagi laki-laki dan 5 lapis bagi perempuan. Dari Aisyah ra, …Nabi dikafani dengan 3 helai kain putih mulus dan
baru, tanpa kemeja dan sorban”. (Riwayat Jumhur)
Dari Ummu
Athiyyah, …Kaun wanita memandikan putri Rasul SAW, kemudian memakaikan kain,
baju kurung dan kerudung serta dua lapis kain dibalut padanya”.
Bagi yang
ihram
1.
Dipakaikan kain ihram
2.
Kemudian dilapis dengan 2 helai kain lagi
3.
Tidak berjahit dan tidak memakai wangi-wangian
4.
Bagi laki-laki bagian kepala tidak tertutup.
Cara
mengkafani mayyit
1.
Menyediakan 2 helai kain sepanjang tinggi badan + 2 jengkal tangan (untuk
tempat mengikat)
2.
Menyediakan:
-
1 helai kafan untuk sarung sepanjang ukuran sarung
-
1 helai kafan untuk kerudung
-
1 helai untuk baju kurung, dibentuk kerung leher untuk memasukkan kepala
3.
Menyediakan 5 helai tali atau 7 helai (jika jenazahnya gemuk)
Nomor 1, 2, 3
diambil dari kain kafan
4.
Menyediakan kapas untuk menutup bagian qubul dan dubur,
5.
Menyediakan kapas untuk bagian-bagian persendian dan sedikit untuk muka. Jika
perlu menyediakan kapas untuk bagian-bagian tubuh jenazah yang luka
6.
Menyediakan kapur barus dan cendana untuk ditabur pada penutup qubul dan dubur
7.
Menyediakan candana bubuk untuk ditabur pada lapisan-lapisan kain kafan dan
minyak wangi untuk muka dan dahi
8.
Mengatur kafan di atas dipan atau tikar dengan arah kepala menghadap kiblat
9.
Menyediakan kain-kain lain untuk menutup seluruh tubuh jenazah selama proses
memandikan, menggotong dan mengkafani jenazah
10.
Rambut wanita disisir, dijalin tiga jalinan dan ditekuk
11.
Mengkafani jenazah sesuai urut-urutannya.
Demikianlah
cara Pemulasaran Jenazah... Silahkan dibaca lagi....
==============
TANYA JAWAB
1. G6
Ijin
bertanya, apakah yang termasuk golongan syahid karena sakit perut
itu orang yang sakit maag kronis atau sakit usus sampe
meninggal?
Jawab:
Syahid
Akhirat. Selain dua jenis syahid diatas, ada juga jenis
syahid akhirat. Yakni orang-orang yang meninggal karena beberapa sebab
diantaranya:
Karena
Sakit Perut
Karena
Sakit Lepra
Karena
Tertimpa Bangunan
Karena
Kecelakaan
Karena
Tenggelam
Karena
Tebunuh Saat Mempertahankan Harta dan Kehormatannya
Dan
lain-lain
Orang
yang meninggal karena sebab-sebab diatas memang tidak dihukumi syahid di dunia
karena jenazahnya harus tetap dimandikan, dikafani dan dishalatkan. Namun, ia
akan mendapatkan pahala syahid tersebut di akhirat hanya saja tidak seperti
pahala orang yang syahid karena berperang dijalan Allah SWT. Dalil yang
mengatakan bahwa orang-orang yang mati karena sebab-sebab tersebut dikatakan
syahid ada banyak, beberapa diantaranya adalah hadits riwayat Bukhari dan
Muslim ini, dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Syuhadaa (orang-orang
yang mati syahid) itu ada lima, “orang mati karena terkena penyakit tha’un
(lepra), orang yang meninggal karena sakit perut, orang yang mati tenggelam,
orang yang tertimpa bangunan rumah atau tembok; dan orang yang gugur di jalan
Allah.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Kemudian
Imam ath-Thabrani pernah juga meriwayatkan hadits dari Jabir bin Utaik, bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
“Syahid ada
tujuh macam selain gugur (terbunuh) di jalan Allah; orang yang mati karena
penyakit lepra adalah syahid. Orang yang mati tenggelam adalah syahid, orang
yang mati karena penyakit bisul perut adalah syahid; orang yang mati terbakar
adalah syahid; orang yang mati karena tertimpa bangunan atau tembok adalah
syahid; dan wanita yang gugur disaat melahirkan (nifas).” [HR. ath-Thabrani]
Selain
itu Imam ath-Thabrani juga meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah bersabda:
“Siapa saja
yang mati karena terlempar dari kendaraannya, ia adalah syahid.” [HR.
ath-Thabrani]
Dan
juga dalam hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah bersabda:
“Siapa saja
yang terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid. Siapa saja
yang terbunuh karena membela keluarganya, nyawanya, atau agamanya, maka ia mati
syahid.” [HR. Abu Dawud]
Namun,
pahala syahid itu tentu saja hanya dapat diperoleh oleh orang-orang yang taat
dan kepada Allah, tidak bermaksiat, tidak kafir, dan lain sebagainya kecuali
apabila ia telah bertaubat sebelum ajal menjemput.
Itulah
beberapa macam-macam mati syahid yang dapat kami sampaikan kepada Anda. Semoga
menambah pengetahuan dan menambah iman dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.
Semoga bermanfaat dan apabila ada kesalahan kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
2. G6
Ustadzah
saya mau tanya. Bagaimana tugas para pemandu jenazah di rumah sakit, terkadangkan ada yang
non muslim, apakah itu di bolehkan? Dan bagaimana
jika seorang ayah yang wafat dan
dia hanya mempunyai 3 org anak perempuan, apakah
boleh ikut memandikan? tapi pada saat akan
ikut malahan di larang keras orang yang memandikan (petugas di di
dekat rumah).
Jawab:
Jika
ada seorang muslim meninggal dunia, ia berhak untuk dimandikan, dikafani,
dishalati, dan dimakamkan. Kewajiban mengurus jenazah itu tentunya dibebankan
oleh orang muslim yang hidup. Sebaiknya jenazah dimandikan di rumah karena kita
tahu siapa yang memandikan jenazah. Jika di rumah sakit kita tidak tahu siapa
yang memandikan ya apakah dia muslim atau tidak.
Kalau
seorang ayah yang meninggal memang sebaiknya kita serahkan kepada ahli ya jika
memang tidak diizinkan putrinya untuk membantu memandikan jenazah ayahnya. Dan
yang terpenting kita sebagai anak mendo'akannya.
3. G4
Berdasarkan
materi d atas kan tidak boleh mengharapkan kematian apabila sakit bertambah
parah, tapi terkadang kasian kalau melihat, jadi kadang berdoa yang terbaik,
kalaupun di segerakan untuk d ambil insyaAllah ikhlas (kira-kira begitulah
bingung nulisnya), itu boleh tidak? sama juga kah dengan mengharapkan kematian?
Jawab:
Rasa
sakit adalah sebuah nikmat. Karena seringkali ketulusan muncul ketika sakit
mendera. Sebuah harapan yang tulus terucap. Karena sakit membuat kita sadar
nikmat kesehatan. Karena detik itu pula,sakit telah membuka hijab pengingat
jika hidup di dunia hanya sementara.
Terkadang
rasa lelah, marah, putus asa itu muncul. Tapi bagi orang yang beriman maka ia
tak akan pernah berhenti percaya, tidak akan menghentikan harapannya.
“Dan apabila
aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku,”(QS. Asy-Syu’araa: 80)
Allah
telah memasukkan malam ke dalam siang. Allah telah menciptakan langit dan bumi.
Begitu pula dengan rasa sakit. Tidak akan Allah menurunkan penyakit melainkan
ada obatnya. Saudaraku yang mungkin sekarang sedang merintih kesakitan,
percayalah air mata kesabaranmu akan menjadi saksi kekuatanmu.
Bukankah
setiap insan akan melalui cobaan keimanan? Cobaan yang menyapamu dengan cobaan
yang menghampirinya mungkin berbeda. Cobaan keluarga, finansial, kesehatan,
dll. Dan Allah sekarang menyapamu dengan sakit yang datang. Mungkin ini cara
Allah mengampuni tumpukan dosa. Mungkin, ini cara Allah untuk mengungkapkan
“kerinduan” pada tangisan tobat kita.
Ketika
sehat, mungkin kita lebih banyak tertawa dan sedikit sekali mengingat kematian.
Pada saat kita masih bisa berlari, mungkin kita lebih disibukkan mengejar
dunia. Pada saat kita masih bisa merasakan pahit, asam, manis, asin dengan
sempurna, mungkin kita tidak pernah memperhatikan apa yang masuk ke dalam
lambung kita. Jangankan yang syubhat, haram pun mungkin tak sempat
diperhatikan. Pada saat masih mampu mengucapkan kalimat dengan fasihnya, kita
mungkin lebih banyak menggunjing daripada mengingat ayat-ayat-Nya.
Dan
kini, ketika kita berbaring menahan perih, satu per satu noda itu mulai terasa.
Kita menikmati detik paling indah, karena kita benar-benar menghadirkan Allah.
Meski sejatinya, Dia tak pernah pergi, sedetikpun.
Yang
terpenting kita sabar, ikhlas, tabah dan yakin akan penyakit yang Allah berikan
4. G3
Assalamualaikum
ustadzah, ijin bertanya agak banyak.
1.
Siapa saja yang boleh memandikan jenazah, apa
ada syarat-syaratnya?
2.
Bagaimana dengan jenazah yang meninggal karena kecelakaan yang ketika dibawa pulang
ke rumah sudah dalam peti, apa masih perlu dimandikan atau tidak? Lalu apa boleh dikuburkan dengan petinya?
3.
Pernah dengar kasus seorang pelaut meninggal di tengah laut yang perjalanan
menuju daratan lebih dari beberapa hari dan tidak ada tempat penyimpanan di
dalam kapal sehingga khawatir jenazah membusuk, kemudian jenazah dikarung di
lautan, bagaimana menurut pandangan islam tentang hal ini?
Mohon
penjelasan.. terima kasih.
Jawab:
4.1. Orang yang
paling berhak memandikan seorang mayit, ialah orang yang diberi wasiat untuk
mengerjakan hal ini. Seseorang terkadang berwasiat karena ingin dimandikan oleh
orang yang bertaqwa, orang yang mengetahui hukum-hukum memandikan mayit.
Dahulu
Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu berwasiat supaya dimandikan oleh
isterinya, yaitu Asma’ binti Umais, kemudian dia (Asma’ binti Umais)
mengerjakannya. Dikeluarkan oleh Malik dalam Al Muwatha’, Abdur Razzaq dan Ibnu
Abi Syaibah.
Setelah
orang yang diberi wasiat, orang yang paling berhak untuk memandikan ialah
bapaknya, kemudian kakeknya, kemudian kerabat dekat dari ashabahnya (kerabat
lelaki). Jika mereka semua sama di dalam hak ini, maka diutamakan orang yang
paling mengetahui hukum-hukum mengurus jenazah.
Diperbolehkan
bagi suami atau isteri untuk memandikan pasangannya. Diriwayatkan dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepada ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘€nha:
لَوْ مُتِّ قَبْلِيْ لَغَسَلْتُكِ وَكَفَنْتُكِ
Seandainya
engkau mati sebelumku, pasti aku akan memandikan dan mengkafanimu. [HR Ahmad,
Ibnu Majah, Ad Darimi].
Bagi
seorang lelaki atau wanita, boleh memandikan anak yang di bawah umur tujuh
tahun, baik laki-laki atau perempuan.
Ibnul Mundzir
berkata,”Telah sepakat para ulama yang kami pegang pendapatnya, bahwa seorang
wanita boleh memandikan anak kecil laki-laki.” Karena tidak ada aurat ketika
hidupnya, maka demikian pula setelah matinya. [Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi
(1/207)].
4.2. Kalau
kecelakaan yang mengakibatkan tubuhnya hancur tidak wajib dimandikan lagi tapi
dia wajib di Sholat kan dan di kuburan ditempat yang layak. Tidak ada perselisihan
di antara para ulama tentang terlarangnya mengubur mayit di dalam peti, jika
tidak ada kebutuhan untuk melakukan hal itu. Lain halnya jika ada kebutuhan
untuk mengubur jenazah di dalam peti, seperti tanahnya mudah longsor atau
dikhawatirkan akan dibongkar binatang buas, sebagian ulama membolehkannya.
Dalam
kumpulan Fatwa Lajnah Daimah dinyatakan:
Tidak dikenal
adanya kebiasaan mengubur mayit dengan peti di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam maupun para sahabat. Sementara prinsip hidup terbaik yang seharusnya
ditempuh kaum muslimin adalah prinsip hidup mereka. Karena itu, dilarang
mengubur mayit dengan peti. Baik tanahnya keras, biasa, atau mudah longsor.
Jika mayit pernah berwasiat agar dia dikuburkan dengan peti maka wasiatnya
tidak boleh ditunaikan. Hanya saja, ulama syafi’iyah membolehkan menggunakan
peti jika tanahnya berlumpur atau mudah longsor. Jika dia berwasiat, tidak
boleh dilaksanakan, kecuali dalam kondisi seperti ini. (Fatawa Lajnah Daimah,
2:312)
Ibnu Qudamah
mengatakan, “Tidak ada anjuran memakamkan mayit dengan peti. Karena tidak ada
riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari para sahabat.
Disamping itu, perbuatan ini termasuk meniru kebiasaan orang sombong. Sementara
tanah ini cukup kering untuk menampung jenazahnya. (Al-Mughni, 2:379)
Dalam
kitab Al-Inshaf dinyatakan:
Dilarang
mengubur dengan peti. Meskipun mayitnya seorang wanita. (Al-Inshaf, 4:340)
Sementara
Imam Asy-Syarbini Asy-Syafii mengatakan, “Dilarang
mengubur mayit dengan peti dengan sepakat ulama. Karena ini adalah perbuatan
bid’ah, kecuali di tanah lembek atau berlumpur. Dalam kondisi ini tidak
dilarang karena ada maslahat. Wasiat untuk mengubur dengan peti tidak boleh
ditunaikan, kecuali untuk keadaan tanah tersebut. Keadaan yang sama adalah
ketika jasad mayit rusak karena terbakar, sehingga jasadnya tidak bisa
dibungkus kecuali dengan peti.” (Mughni Al-Muhtaj, 4:343)
Allahu
a’lam
4.3. Pada asalnya
mengubur (ad-dafn) adalah dengan cara memendam mayat ke dalam tanah. Hukum
menguburkan jenazah adalah fardu kifâyah (artinya jika telah dilakukan oleh
sebagian kaum Muslimin, maka gugurlah kewajiban dari kaum Muslimin lainnya).
Makna mengubur mayat adalah melindungi jasadnya dari celaan fisik dan menutupi
aib pribadinya. Hal ini diisyaratkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ كِفَاتًا ﴿٢٥﴾ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا
Bukankah Kami
menjadikan bumi (tempat) berkumpul, orang-orang hidup dan orang-orang mati?
[al-Mursalât/77:25-26]
Oleh
karena itu Allâh Azza wa Jalla menunjukkan kepada anak Adam untuk menguburkan
saudaranya dengan mengirimkan burung gagak sebagai contoh, seperti dijelaskan
dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْءَةَ أَخِيهِ ۚ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَٰذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي ۖ فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ
Kemudian Allâh
menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan
kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya berkata
Qabil: “Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak
ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” karena itu jadilah Dia
seorang diantara orang-orang yang menyesal. [Al-Mâidah/5:31]
Demikianlah
sebaik-baik tempat menguburkan adalah di pemakaman yang telah dikhususkan, agar
sesuai sunah dan senantiasa didoakan oleh orang yang melintasinya. Namun, jika
meninggal di kapal atau perahu yang sedang berada di tengah lautan, para Ulama
sepakat agar diupayakan terlebih dahulu mencari daratan terdekat untuk
dikuburkan dengan tanah. Apabila diperkirakan akan mendapatkan daratan sebelum
jasad jenazah rusak. Apabila tidak memungkinkan dikubur dengan tanah karena
jauh dari daratan, penyelenggaraan jenazahnya adalah:
1.
Dimandikan,
2.
Dikafani,
3.
Dishalatkan, dan
4.
Diarungkan ke laut. (Lihat al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab 5/285 dan al-Mughni
3/431).
Batasannya
adalah waktu yang dapat mengubah kondisi dan merusak mayat (membusuk).
Para
Ulama berargumentasi dengan kisah yang diriwayatkan imam al-Baihaqi t dalam
Sunan al-Kubra (4/10) dengan sanad yang shahih (menurut imam an-Nawawi dalam
al-Majmû’ 5/286) dari Shahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu yang berkata:
أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ رَكِبَ الْبَحْرَ فَمَاتَ فَلَمْ يَجِدُوْا لَهُ جَزِيْرَةً إِلاَّ بَعْدَ سَبْعَةِ أَيَّامٍ فَدَفَنُوْهُ فِيْهَا وَلَمْ يَتَغَيَّرْ
Sesungguhnya
Abu Thalhah mengarungi lautan lalu meninggal dunia. Mereka tidak mendapatkan
daratan kecuali setelah tujuh hari lalu mereku kuburkan di sana dan belum rusak
jasadnya.
Kemudian
imam al-Baihaqi rahimahullah berkata:
وَرُوِّيْنَا عَنِ الْحَسَنِ اْلبَصْرِي أَنَّهُ قَالَ يُغْسَلُ وَيُكْفَنُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُطْرَحُ فِيْ الْبَحْرِ
Telah
diriwiyatkan kepada kami dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah pernah berkata,
“Beliau dimandikan, dikafani dan disholatkan lalu diarungkan ke laut. [Sunan
al-Kubra, 4/10].
Adapun
cara menguburkan di laut masih diperselisihkan para Ulama dalam dua pendapat:
Pertama:
Diarungkan ke laut tanpa diberi pemberat dan dibiarkan dilautan sampai terdampar
di pantai sehingga ada yang dapat menemukannya dan menguburkannya. Inilah
pendapat Ibnu Mâjisyun, Ashbagh dan Ibnu Habîb dari kalangan Ulama Mâlikiyah
dan juga pendapat ulama-ulama syâfi’iyah. Ulama madzhab Syâfi’iyah menambahkan
dengan meletakkan jenazah setelah disholatkan kedalam peti agar tidak
membengkak dan diarungkan ke laut, dengan harapan adaorang yang akan
menguburkannya.
Sedangkan
Imam Syâfi’i berpendapat, Apabila penduduk pantai adalah orang-orang kafir maka
jenazah dimasukkan kedalam peti dan diberi pemberat agar tenggelam kedasar
laut, supaya orang-orang kafir tidak mengambilnya lalu merubah sunnah kaum
Muslimin padanya. [Lihat al-Majmû’ 5/285].
Pendapat
ini dikritisi dengan pernyataan: Melepas jenazah di laut tanpa pemberat dan
peti akan menjadikan jenazah tersebut berubah dan rusak (membusuk) dan bisa
jadi terdampar di pantai dalam keadaan sudah membusuk dan telanjang. Mungkin
juga akan diambil orang-orang kafir dan musyrik sehingga diberi pemberat lebih
utama [Lihat al-Mughni 3/341].
Kedua:
Diberi pemberat apabila dikhawatirkan membusuk dan diarungkan ke laut. Inilah
pendapat Sahnûn dari Mâlikiyah, dan menjadi pendapat mazdhab Hambaliyah.
Pendapat
ini berargumen, dengan diberi pemberat maka tercapai yang dimaksud dari
penguburan dan selamat dari dimakan hewan. [Lihat al-Mughni 3/341].
PENDAPAT YANG
RAJIH
Pendapat
yang lebih kuat adalah pendapat yang kedua karena jelas dan terwujudnya tujuan
penguburan. Juga sesuai dengan penjagaan syariat terhadap kemulian manusia
khususnya Muslim yang harusnya ditutupi ketika hidup dan setelah matinya.
Wallahu a’lam
5. Group Nanda
Izin
bertanya ustadzah. Apa semua yang
meninggal karna kanker termasuk syahid? Mengapa? Untuk penyakit lainnya
bagaimana?
Jawab:
Dalam
hadis di atas, salah satu yang mendapatkan pahala syahid adalah orang yang mati
karena sakit di dalam perut (al-Mabthun). Dan dalam hadis di atas, tidak disebutkan kanker. Hanya saja, sebagian ulama
memahami, jika kanker itu berada di perut, maka termasuk mati karena sakit di
dalam perut (al-Mabthun). Sehingga termasuk hadis di atas.
An-Nawawi
menyebutkan perbedaan pendapat tentang makna al-Mabthun (orang yang mati karena
sakit di dalam perut). Diantara yang beliau sebutkan,
قِيلَ
: هُوَ الَّذِي تَشْتَكِي بَطْنه
, وَقِيلَ : هُوَ الَّذِي يَمُوت بِدَاءِ بَطْنه مُطْلَقًا
Ada yang
mengatakan, itulah orang yang sakit perutnya. Ada juga yang mengatakan, orang
yang mati karena sakit apapun yang ada di dalam perutnya. (Syarh Shahih Muslim,
13/63).
Syaikh
Dr. Abdul Muhsin al-Abbad pernah ditanya tentang orang yang mati karena kanker,
apakah mendapat pahala syahid? Jawab beliau,
لا ؛ لأن السرطان لا يكون دائماً في البطن ، فقد يكون في غير البطن
Tidak, karena
kanker, tidak selalu ada di perut. Terkadang berada di selain perut. (Syarh
Sunan Abu Daud, rekaman no. 230).
Kemudian,
sebagian ulama menyebutkan bahwa kanker yang menjadi penyebab kematian, bukan
karena dampak kemaksiatan yang dia lakukan. Misalnya kanker karena merokok,
atau narkoba, atau minuman keras.
Syaikhul
Islam menjelaskan, untuk kasus orang yang menempuh perjalanan, dengan peluang
selamat 50%, dan peluang kecelakaan 50%. Dalam kondisi ini, dia wajib menahan
diri dan tidak melanjutkan perjalanan. Jika tetap nekat, berarti sama dengan
mencelakakan dirinya sendiri, sehingga matinya bukan mati syahid.
Syaikhul
Islam mengatakan,
ومن أراد سلوك طريق يستوي فيها احتمال السلامة والهلاك وجب عليه الكف عن سلوكها ، فإن لم يكف فيكون أعان على نفسه ، فلا يكون شهيداً
Orang yang
hendak menempuh perjalanan, sementara ada peluang yang sama antara selamat atau
kecelakaan, maka wajib baginya untuk menahan diri dan tidak melanjutkan
perjalanan. Jika tidak berhenti, berarti sama dengan mencelakakan dirinya
sendiri. Sehingga tidak termasuk mati syahid. (al-Fatawa al-Kubro, 5/381).
Keterangan
lain, disampaikan al-Qurthubi, sebagaimana yang dinukil as-Suyuthi,
قال القرطبي
: وهذا والذي قبله
– أي : صاحب الهدم والغريق
– إذا لم يغررا بنفسيهما ، ولم يهملا التحرز ، فإن فرَّطا في التحرز حتى أصابهما ذلك
: فهما عاصيان
Al-Qurthubi
mengatakan, orang yang mati karena tenggelam atau karena tertindih, mendapatkan
pahala syahid, jika tidak membahayakan dirinya, atau segera menghindar. Jika
dia tidak segera menghindar, sehingga terkena benturan, maka dia mati maksiat.
(ad-Dibaj a’ala Muslim, 4/508)
Para ulama menilai, ketika orang berhadapan
dengan resiko kecelakaan, sementara dia tidak menghindar, maka dia dinilai
bermaksiat. Sehingga jika dia mati, terhitung mati maksiat. Apalagi mereka yang
secara sengaja melukai isi tubuhnya dengan merokok, minuman keras, atau
narkoba.
Demikian,
Allahu a’lam
6. G6
Masya
Allah. Luar biasa hikmah sakit ustadzah. Tapi seringkali orang yang awam tidak
demikian, mereka menganggap sakit adalah siksaan, menjadi emosi dan
melampiaskan kepada yang merawat dengan makian, kata-kata kasar dan sebagainya.
Bagaimana jika kondisinya demikian? Apabila mendengar kabar orang lain
meninggal, berkata, kok bukan aku, aku kapan? Apakah hal ini termasuk
mengharapkan kematian?
Jawab:
Kita
menasehati ya dengan lemah lembut dan jika yang sakit marah kita diamkan saja
dan kita juga harus sabar menghadapi orang yang sakit tanpa banyak berkata atau
membentak yang sakit jika sedang marah dan tetap melayaninya.
“Janganlah
kalian berangan-angan mengharapkan datangnya kematian. Karena, kalaulah dia
orang baik, siapa tahu ia bisa menambah kebaikannya. Dan kalaulah dia adalah
orang jahat, siapa tahu ia bisa meminta penangguhan (untuk bertobat).” (HR. Bukhari)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ إِمَّا مُحْسِنًا فَلَعَلَّهُ يَزْدَادُ وَإِمَّا مُسِيئًا فَلَعَلَّهُ يَسْتَعْتِبُ
– رواه البخاري
Hadits
di atas diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Adapun hikmah yang dapat diambil
dari hadits ini adalah:
Bahwa
dalam menjalani roda kehidupan di dunia ini, tak jarang ada jurang terjal
menghadang, ada aral besar yang melintang, atau bahkan samudra luas yang
membentang; menghadang setiap langkah dalam menempuh perjalanan. Dan tak
jarang, tajamnya aral yang melintang, ditambah dengan gelapnya sisi lain
kehidupan dunia yang diwarnai dengan saling fitnah dan saling hantam, dihiasi
juga dengan keburukan dan kemunafikan, membuat sebagian orang berputus asa
dalam menjalani bentangan samudra kehidupan. Karena ia beranggapan, lebih baik
“pulang” sekarang menuju kematian, dari pada harus menunggu hari esok yang
entah fitnah apalagi yang akan menghadang, ataupun karena beratnya beban
kehidupan, di tengah hedonisme nya zaman, atau juga karena beratnya
permasalahan, yang terasa demikian mencengkram.
Namun
ternyata hadits di atas melarang siapapun untuk berharap dan meng-angankan
kematian, terhenti dari segala aktivitas duniawi dan aktivitas pekerjaan. Karena
betapapun, setiap detik kehidupan adalah anugrah ilahi, yang tentunya akan
sangat berarti. Bisa jadi, dengan masih langgengnya nafas dalam badan, akan
menambah kebaikan bagi setiap orang yang mendambakan keridhaan Ar-Rahman. Atau
dengan masih langgengnya kehidupan, akan semakin memberi kesempatan bagi orang
yang berbuat maksiat, untuk melakukan tauabatan nashuhan.
Maka
Islam mengajarkan optimisme dalam menapaki jalan menuju hari depan, dan
melarang pesimisme dalam mengarungi setiap cobaan dan ujian. Karena sekali
lagi, setiap detik nafas yang dihembuskan, adalah samudra potensi kebaikan.
Allah berfirman, “…dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (Yusuf : 87)
7.
G2
Setelah
dimandikan apakah boleh istri mencium suaminya dan sebaliknya? Maksudnya bagi
yg memiliki faham istri dan suami batal wudlu bila bersentuhan?
Jawab :
Jika
sang istri mencium mayat suami karena kecintaannya dengan niat bukan untuk
mengambil berkah, maka hal itu boleh dilakukan. Hal itu berdasarkan riwayat
bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu `anhu mencium antara dua mata Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau wafat. Akan tetapi seorang
perempuan tidak boleh mencium mayat lelaki kecuali jika mayat tersebut
mahramnya (perempuan atau lelaki yang haram untuk dinikahi karena hubungan
keturunan, sesusuan atau perkawinan). Begitu juga sebaliknya lelaki tidak boleh
mencium mayat perempuan kecuali jika mahramnya. Wabillahittaufiq, wa
Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.
Kalau
Menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat atau
tidak, tetapi kalau ada pembatasnya seperti kain, maka tidak membatalkan wudhu.
Pendapat ini populer dalam madzhab Syafi’i. Pendapat berlandaskan dengan
berbagai argumen, yang paling masyhur dan kuat adalah firman Allah dalam surat
An-Nisa’: 43.
أَوْ لاَمَسْتُم النِّسَآءَ
“Atau
kamu telah berjima’ dengan istri.” (QS. An-Nisa’: 43).
Mereka
mengartikan kata لاَمَسْتُمُ
dalam ayat tersebut dengan menyentuh. (Lihat al-Umm 1:30 oleh Imam Syafi’i dan
al-Majmu’ 2:35 oleh Imam Nawawi).
8.G2
Assalamaualaikum
wr.wb., apakah betul mayat tidak boleh kena air mata? Kalau iya, apa alasannya dan
hukumnya bagaimana? Syukron. Barokalloh.
Jawab :
Tidak
ada dalil yang menunjukkan jika si mayit kena air mata, apalagi ketika selesai
dimandikan, maka ia akan diazab. Dan menangis itu sendiri tidak terlarang jika
tanpa mengeluarkan ucapan atau tidakan yang bertentangan dengan syari’at.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pun menangis ketika meninggal anaknya
Ibrahim, beliau memeluknya dan menciumnya, dalam keadaan beliau menangis,
seraya bersabda,
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ ، وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
"Sesungguhnya
mata meneteskan air mata, hati pun bersedih, namun kita tidak boleh mengucapkan
kecuali yang diridhoi oleh Rabb kita. Sesungguhnya kami sedih karena berpisah
denganmu wahai Ibrahim.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik
radhiyallahu’anhu]
Clossing statement:
Kita
sebagai seorang muslim wajib menjaga dan merawat jika ada saudara kita sakit.
Jika di akan menjelang sakratul maut kita bisa menemani dan mentalqinnya. Dan
jika Dia meninggal kita bisa menyiapkan memandikan dan mengkafani jenazahnya.
Yang
benar datangnya dari Allah swt dan yang salah dari diri saya tolong di buka kan
pintu maaf yang seluas-luasnya...
Akhirul
kalam wabillahi taufiq walhidayah
Wassalamualaikum
warohmatullahi wabarakatuh. Jazakunnallah khairon katsiron atas partisipasi dan
peran aktifnya dalam kajian pagi ini.
★★★★★★★★★★★★★★
Badan Pengurus Harian (BPH) Pusat
Hamba اللَّهِ
SWT
Blog: http://kajianonline-hambaallah.blogspot.com
FanPage : Kajian On line-Hamba Allah
FB : Kajian On Line-Hamba Allah
Twitter: @kajianonline_HA
IG: @hambaAllah_official
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment