Home » , , , » Cara Pemulasaran Jenazah Yang Benar

Cara Pemulasaran Jenazah Yang Benar

Posted by Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT on Thursday, April 4, 2019


Hasil gambar untuk jenazah 


Rekap Kajian Online HA (LINK)
Hari, Tgl: Sabtu, 08 Desember 2018 
Materi: Cara Pemulasaran Jenazah yang Benar
Nara Sumber: Ustadzah Halimah
Waktu Kajian: 09.00-11.00 WIB
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖




Kajian kita pagi ini adalah tentang Cara Pemulasaran Jenazah yang Benar

Apa sich pengertian Pemulasaran?
Pemulasaraan berasal dari kata Pulasara yang dalam bahasa Jawa  kuno berarti Merawat atau Mengurus. Sedang Jenazah berasal dari bahasa Arab Janazah yang berati jasad orang yang telah meninggal dunia. Dalam kontek ini yang dimaksud orang adalah orang Islam / Muslim.

Sebelum kita membahas tentang Pemulasaran Jenazah kita bahas tentang sebelum orang tersebut meninggal.

HAL-HAL YANG HARUS DIKERJAKAN OLEH ORANG YANG SAKIT

1. Rela terhadap qadha dan qadar Allah, sabar dan berprasangka baik kepadaNya.

2. Diperbolehkan untuk berobat dengan sesuatu yang mubah, dan tidak boleh berobat dengan sesuatu yang haram, atau berobat dengan sesuatu yang merusak aqidahnya; misalnya, seperti datang kepada dukun, tukang sihir atau ke tempat lainnya.

Dari Abu Hurairah,dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:

البخاري أخرجه.شِفَاءًلَهُ أَنْزَلَ إِلاَّ دَاءً اللهُ أَنْزَلَ مَا
Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah turunkan juga obatnya. [HR Al Bukhari].

Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بِحَرَامٍ تَدَاوَوْا وَلاَ فَتَدَاوَوْا وَالدَّوَاءَ الدَّاءَ خَلَقَ اللهَ إِنَّ

Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah kalian, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram. [Dikeluarkan Al Haitsami di dalam Majma’az Zawa’id].

3. Apabila bertambah parah sakitnya, tidak boleh baginya untuk mengharapkan kematian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عُمْرُهُ الْمُؤْمِنَ يَزِيدُ لآوَإِنَّهُ عَمَلُهُ انْقَطَعَ أَحَدُكُمْ مَاتَ إِذَا إِنَّهُ يَأْتِيَهُ أَنْ قَبْلِ مِنْ بِهِ يَدْعُ وَلَا الْمَوْتَ أَحَدُكُمْ يَتَمَنَّى لَا
خَيْرًا إِلَّا

Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian, dan janganlah meminta kematian sebelum datang waktunya. Apabila seorang di antara kalian meninggal, maka terputus amalnya. Dan umur seorang mukmin tidak akan menambah baginya kecuali kebaikan. [HR Muslim].

4. Hendaknya seorang muslim berada di antara khauf (rasa takut) dan raja’ (berhara).
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi seorang pemuda yang dalam keadaan sakaratul maut; kemudian Beliau bertanya: “Bagaimana engkau menjumpai dirimu?” Dia menjawab: “Wahai, Rasulullah! Demi Allah, aku hanya berharap kepada Allah, dan aku takut akan dosa-dosaku.” Kemudian Rasulullah bersabda:

يَخَافُ مِمَّا وَآمَنَهُ يَرْجُو مَا اللَّهُ أَعْطَاهُ إِلَّا الْمَوْطِنِ هَذَا مِثْلِ فِي عَبْدٍ قَلْبِ فِي يَجْتَمِعَانِ لآ

Tidaklah berkumpul dua hal ini ( yaitu khauf dan raja’) di dalam hati seseorang, dalam kondisi seperti ini, kecuali pasti Allah akan berikan dari harapannya dan Allah berikan rasa aman dari ketakutannya. [HR At Tirmidzi].

5. Wajib baginya untuk mengembalikan hak dan harta titipan orang lain, atau dia juga meminta haknya dari orang lain. Kalau tidak memungkinkan, hendaknya memberikan wasiat untuk dilunasi hutangnya, atau dibayarkan kafarah atau zakatnya.

6. Hendaknya bersegera untuk berwasiat sebelum datang tanda-tanda kematian.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عِنْدَهُ مَكْتُوبَةٌ وَوَصِيَّتُهُ إِلَّا لَيْلَتَيْنِ يَبِيتُ فِيهِ يُوصِي شَيْءٌ لَهُ مُسْلِمٍ امْرِئٍ حَقُّ مَا

Tidak sepatutnya bagi seorang muslim yang masih memiliki sesuatu yang akan diwasiatkan untuk tidur dua malam kecuali wasiatnya sudah tertulis di dekatnya [HR Al Bukhari].

Apabila hendak berwasiat dari hartanya, maka tidak boleh berwasiat lebih banyak dari sepertiga hartanya. Dan tidak boleh diwasiatkan kepada ahli waris. Tidak diperbolehkan untuk merugikan orang lain dengan wasiatnya, dengan tujuan untuk menghalangi bagian dari salah satu ahli waris, atau melebihkan bagian seorang ahli waris daripada yang lain.


HAL-HAL YANG DIKERJAKAN KETIKA SESEORANG SAKARATUL MAUT

1. Mentalqin (menuntun) dengan bacaan Laa ilaaha illallah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اللهإِلاَّ إِلَهَ لاَ مَوْتَاكُمْ لَقِّنُوْا

Tuntunlah orang yang akan mati di antara kalian dengan bacaan Laa ilaha illallah. [HR Muslim].

Dari Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْجَنَّةَ دَخَلَ اللهُ إِلاَّ إِلَهَ لاَ كَلاَمِهِ آخِرُ كَانَ مَنْ

Barangsiapa yang akhir perkataannya Laa ilaha illallah, dia akan masuk surga. [HR Al Bukhari].

Apabila berbicara dengan ucapan yang lain setelah ditalqin, maka diulangi kembali, supaya akhir dari ucapannya di dunia kalimat tauhid.

2. Berdo’a untuknya dan tidak berkata kecuali yang baik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَقُولُونَ مَا عَلَى يُؤَمِّنُونَ الْمَلَائِكَةَ فَإِنَّ خَيْرًا فَقُولُوا الْمَيِّتَ أَوْ الْمَرِيضَ حَضَرْتُمْ إِذَا

Apabila kalian mendatangi orang sakit atau orang mati, maka janganlah berkata kecuali yang baik, karena sesungguhnya malaikat mengamini yang kalian ucapkan. [HR Muslim, Al Baihaqi dan yang lainnya].

Tanda-Tanda Kematian:
Para ulama menyebutkan beberapa tanda, bahwa seseorang sudah bisa dikatakan mati. Di antaranya:
a. Terhentinya nafas.
b. Kedua pelipisnya melemas.
c. Hidung menjadi lunak.
d. Kulit wajahnya menjadi lebih panjang.
e. Terpisahnya kedua telapak tangan dari kedua lengannya.
f. Kedua kakinya melemas dan terpisah dari kedua mata kaki.
g. Tubuh menjadi dingin.
h. Tanda yang sangat jelas, yaitu adanya perubahan bau pada tubuhnya. [Lihat Fiqhun Nawazil, Syaikh Bakr Abu Zaid (1/227), Asy Syarhul Mumti’ (5/331)].

Tanda-tanda di atas diketahui dengan tanpa menggunakan alat, dan ada tanda lain yang bisa diketahui dengan alat-alat kedokteran.

3. Tidak mengapa bagi seorang muslim untuk mendatangi seorang kafir yang dalam keadaan sakaratul maut untuk menawarkan kepadanya agama Islam.
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Dahulu ada seorang budak Yahudi yang melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dia sakit, maka Rasulullah menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى النَّبِيُّ فَخَرَجَ فَأَسْلَمَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى الْقَاسِمِ أَبَا أَطِعْ لَهُ فَقَالَ عِنْدَهُ وَهُوَ أَبِيهِ إِلَى فَنَظَرَ أَسْلِمْ
النَّارِ مِنْ أَنْقَذَهُ الَّذِي لِلَّهِ الْحَمْدُ يَقُولُ وَهُوَ وَسَلَّمَ

Masuklah ke dalam agama Islam, maka dia melihat ke arah bapaknya yang berada di sampingnya. Bapaknya berkata: “Taatilah Abul Qasim (ya’ni Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Maka dia masuk Islam, kemudian Rasulullah keluar, dan Beliau berkata: “Segala puji bagi Allah Yang telah menyelamatkan dia dari neraka.” [HR Al Bukhari].


HAL-HAL YANG DIKERJAKAN SETELAH SESEORANG MENINGGAL DUNIA

1. Disunnahkan untuk menutup kedua matanya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup kedua mata Abu Salamah Radhiyallahu ‘anhu ketika dia meninggal dunia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ فَلاَ تَقُوْلُوْا إِلاَّ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ

Sesungguhnya ruh apabila telah dicabut, akan diikuti oleh pandangan mata, maka janganlah kalian berkata kecuali dengan perkataan yang baik, karena malaikat akan mengamini dari apa yang kalian ucapkan. [HR Muslim].

2. Disunnahkan untuk menutup seluruh tubuhnya, setelah dilepaskan dari pakaiannya yang semula. Hal ini supaya tidak terbuka auratnya. Dari Aisyah Radhiyallahu a’nha, beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِبُرْدٍ حِبَرَةٍ

Dahulu ketika Rasulullah meninggal dunia ditutup tubuhnya dengan burdah habirah (pakaian selimut yang bergaris). [Muttafaqun ‘alaih].

Kecuali bagi orang yang mati dalam keadaan ihram,maka tidak ditutup kepala dan wajahnya.

3. Bersegera untuk mengurus jenazahnya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ مُسْلِمٍ أَنْ تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ

Tidak pantas bagi mayat seorang muslim untuk ditahan di antara keluarganya. [HR Abu Dawud].

Karena hal ini akan mencegah mayat tersebut dari adanya perubahan di dalam tubuhnya. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Kehormatan seorang muslim adalah untuk disegerakan jenazahnya.” Dan tidak mengapa untuk menunggu diantara kerabatnya yang dekat apabila tidak dikhawatirkan akan terjadi perubahan dari tubuh mayit.

Hal ini dikecualikan apabila seseorang mati mendadak, maka diharuskan menunggu terlebih dahulu, karena ada kemungkinan dia hanya pingsan (mati suri). Terlebih pada zaman dahulu, ketika ilmu kedokteran belum maju seperti sekarang. Pengecualian ini, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama. [Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/330), Al Mughni (3/367)].

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Jika ada orang yang bertanya, bagaimana kita menjawab dari apa yang dikerjakan oleh para sahabat, mereka mengubur Nabi pada hari Rabu, padahal Beliau meninggal pada hari Senin? Maka jawabnya sebagai berikut: Hal ini disebabkan untuk menunjuk Khalifah setelah Beliau. Karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin yang pertama telah meninggal dunia, maka kita tidak mengubur Beliau hingga ada Khalifah sesudahnya. Hal ini yang mendorong mereka untuk menentukan Khalifah. Dan ketika Abu Bakar dibai’at, mereka bersegera mengurus dan mengubur jenazah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, jika seorang Khalifah (Pemimpin) meninggal dunia dan belum ditunjuk orang yang menggantikannya, maka tidak mengapa untuk diakhirkan pengurusan jenazahnya hingga ada Khalifah sesudahnya.” [Asy Syarhul Mumti’ 5/333].

4. Diperbolehkan untuk menyampaikan kepada orang lain tentang berita kematiannya. Dengan tujuan untuk bersegera mengurusnya, menghadiri janazahnya dan untuk menyalatkan serta mendo’akannya. Akan tetapi, apabila diumumkan untuk menghitung dan menyebut-nyebut kebaikannya, maka ini termasuk na’yu (pemberitaan) yang dilarang.

5. Disunnahkan untuk segera menunaikan wasiatnya, karena untuk menyegerakan pahala bagi mayit. Wasiat lebih didahulukan daripada hutang, karena Allah mendahulukannya di dalam Al Qur’an.

6. Diwajibkan untuk segera dilunasi hutang-hutangnya, baik hutang kepada Allah berupa zakat, haji, nadzar, kaffarah dan lainnya. Atau hutang kepada makhluk, seperti mengembalikan amanah, pinjaman atau yang lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

Jiwa seorang mukmin terikat dengan hutangnya hingga dilunasi. [HR Ahmad, At Tirmidzi, dan beliau menghasankannya].

Adapun orang yang tidak meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya,sedangkan dia mati dalam keadaan bertekad untuk melunasi hutang tersebut, maka Allah yang akan melunasinya.

7. Diperbolehkan untuk membuka dan mencium wajah mayit. Aisyah Radhiyallahu anha berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُونٍ وَهُوَ مَيِّتٌ حَتَّى رَأَيْتُ الدُّمُوعَ تَسِيلُ

Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Utsman bin Madh’un Radhiyallahu ‘anhu , saat dia telah meninggal, hingga aku melihat Beliau mengalirkan air mata. [HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].

Demikian pula Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, beliau mencium Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamn ketika beliau meninggal dunia.


MEMANDIKAN MAYIT

1. Hukum memandikan dan mengkafani mayit adalah fardhu kifayah. Apabila telah dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin, maka bagi yang lain gugur kewajibannya. Dengan dalil sabda Nabi n tentang seorang muhrim (orang yang mengerjakan ihram) yang terjatuh dan terlempar dari untanya:

اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ

Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah dengan dua helai kainnya. [Muttafaqun ‘alaih].

2. Orang yang paling berhak memandikan seorang mayit, ialah orang yang diberi wasiat untuk mengerjakan hal ini. Seseorang terkadang berwasiat karena ingin dimandikan oleh orang yang bertaqwa, orang yang mengetahui hukum-hukum memandikan mayit.

Dahulu Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu berwasiat supaya dimandikan oleh isterinya, yaitu Asma’ binti Umais, kemudian dia (Asma’ binti Umais) mengerjakannya. Dikeluarkan oleh Malik dalam Al Muwatha’, Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah.

Setelah orang yang diberi wasiat, orang yang paling berhak untuk memandikan ialah bapaknya, kemudian kakeknya, kemudian kerabat dekat dari ashabahnya (kerabat lelaki). Jika mereka semua sama di dalam hak ini, maka diutamakan orang yang paling mengetahui hukum-hukum mengurus jenazah.

3. Diperbolehkan bagi suami atau isteri untuk memandikan pasangannya.
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘€nha:

لَوْ مُتِّ قَبْلِيْ لَغَسَلْتُكِ وَكَفَنْتُكِ

Seandainya engkau mati sebelumku, pasti aku akan memandikan dan mengkafanimu. [HR Ahmad, Ibnu Majah, Ad Darimi].

4. Bagi seorang lelaki atau wanita, boleh memandikan anak yang di bawah umur tujuh tahun, baik laki-laki atau perempuan.
Ibnul Mundzir berkata,”Telah sepakat para ulama yang kami pegang pendapatnya, bahwa seorang wanita boleh memandikan anak kecil laki-laki.” Karena tidak ada aurat ketika hidupnya, maka demikian pula setelah matinya. [Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi (1/207)].

5. Seorang muslim tidak boleh memandikan dan menguburkan seorang kafir.
Allah berfirman kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِالله

Janganlah engkau menyalatkan seorang yang mati di antara mereka selama-lamanya, dan janganlah engkau berdiri di atas kuburnya, sesungguhnya mereka kafir kepada Allah.[At Taubah:84].

Yang dimaksud dengan ayat tersebut, yaitu haram menguburnya seperti mengubur seorang muslim. Akan tetapi kita gali untuknya lubang, kemudian dimasukkan mayat orang kafir ke dalam lubang tersebut, atau ditutup dengan sesuatu. Karena Rasulullah n memerintahkan untuk melempar mayat-mayat kaum musyrikin yang terbunuh dalam Perang Badar ke dalam satu sumur di antara sumur-sumur yang ada di Badar. [HR Al Bukhari di dalam kitab Al Maghazi].

6. Kaifiyat memandikan jenazah.
Hendaklah dipilih tempat yang tertutup, jauh dari pandangan umum, tidak disaksikan kecuali oleh orang yang memandikan dan orang yang membantunya. Kemudian melepaskan pakaiannya semula dipakainya setelah diletakkan kain di atas auratnya, sehingga tidak terlihat oleh seorangpun. Kemudian dilakukan istinja’ terhadap mayit dan dibersihkan kotorannya. Sesudah itu dilakukan wudhu’ seperti wudhu’ ketika akan shalat. Akan tetapi, Ahlul Ilmi mengatakan, tidak dimasukkan air ke dalam mulut dan hidungnya, namun diambil kain yang dibasahi dengan air, lalu dipakai untuk menggosokkan giginya dan bagian dalam hidungnya, kemudian dibasuh kepala dan seluruh tubuhnya, dimulai dengan bagian kanan.

Hendaknya dicampurkan daun bidara ke dalam air. Daun bidara tersebut dipakai untuk membersihkan rambut kepala dan janggutnya. Pada kali yang terakhir diberi kapur (butir wewangian), karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan demikian kepada para wanita yang memandikan putrinya. Beliau bersabda: “Ambillah kapur pada kali yang terakhir, atau sesuatu dari kapur.” Kemudian dikeringkan dan diletakkan di atas kain kafan. [70 Su’alan Fi Ahkamil Janaiz, Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin, hlm. 6].

7. Tidak diperbolehkan untuk mendatangi tempat pemandian mayit, kecuali orang yang akan memandikan dan orang yang membantunya.

8. Ketika memandikan mayit, perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:
Yang wajib dalam memandikan mayit adalah sekali. Apabila belum bersih, maka tiga kali dan seterusnya yang diakhiri dengan hitungan ganjil. Dan disunnahkan untuk menyertainya dengan daun bidara atau sesuatu yang membersihkan, seperti sabun atau yang lainnya. Hendaknya pada kali yang terakhir, dicampurkan butir wewangian (kapur). Melepaskan ikatan rambut dan membersihkannya dengan baik, menguraikan dan menyisir rambutnya, mengikat rambut wanita menjadi tiga ikatan dan meletakkan di belakangnya. Memulai memandikan dengan bagian tubuhnya yang kanan, anggota wudhu’nya terlebih dahulu. [Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 48].

9. Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau dikhawatirkan akan tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut seorang wanita di tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya, maka mayat tersebut di tayammumi dengan tanah (debu) yang baik, diusap wajah dan kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau yang lainnya.

10. Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia wudhu’. [HR Ahmad, Abu Dawud dan beliau menghasankannya].

11. Seorang yang mati syahid (terbunuh) di medan perang tidak boleh dimandikan, meskipun dia dalam keadaan junub, bahkan dikubur dengan pakaian yang menempel padanya.

Dalam hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu :

أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِدَفْنِ شُهَدَاءِ أُحُدٍ فِي دِمَائِهِمْ وَلَمْ يُغَسَّلُوْا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur para syuhada’ Uhud dalam (bercak-bercak ) darah mereka, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. [HR Al Bukhari].

Hukum ini khusus bagi syahid ma’rakah (orang yang terbunuh di medan perang). Adapun orang yang mati terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya, mereka tetap dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian pula orang yang mati karena wabah tha’un, atau karena penyakit perut, mati tenggelam atau terbakar. Meskipun mereka syahid, mereka tetap dimandikan. Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/364).

12. Apabila janin yang mati keguguran dan telah berumur lebih dari empat bulan, maka dimandikan dan dishalatkan. Berdasarkan hadits Al Mughirah yang marfu’:

وَ الطِّفْلُ (و في رواية: السِّقْطُ) يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ

Seorang anak kecil (dan dalam satu riwayat, janin yang mati keguguran), dia dishalatkan dan dido’akan untuk kedua orang tuanya dengan ampunan dan rahmat. [HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].

Karena setelah empat bulan sudah ditiupkan padanya ruh, sebagaimana dalam hadits tentang penciptaan manusia yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud.


Rukun Memandikan Jenazah
🔅Niat
🔅Basmallah
🔅Maratakan air ke seluruh tubuhnya

Siapakah Mayyit yang Dimandikan

1. Yang wajib dimandikan:
Muslim
Muslim yang mati syahid bukan karena orang kafir

2. Yang tidak wajib dimandikan:
Kafir
Muslim yang mati syahid di tangan orang kafir

Diriwayatkan oleh Ahmad, Rasullullah SAW bersabda: …janganlah kamu memandikan mereka, karena setiap luka atau setiap tetes darah akan semerbak dengan bau yang wangi pada hari kiamat”. (HR Ahmad)

 Tujuh Golongan Muslim yang Syahid Bukan di Tangan Orang Kafir

Meninggal karena terkena wabah suatu penyakit
Meninggal karena kolera
Meninggal karena tumor/kanker ganas
Meninggal terbakar
Meninggal tenggelam
Meninggal tertimbun
Meninggal ketika melahirkan

Tayamum Untuk Mayyit
Karena tidak ada air
Karena badannya akan semakin hancur jika dimandikan

Menyiapkan Barang-barang Yang Diperlukan

1. Kain kafan sebanyak ± 10 – 12 meter
2. Kapur barus atau kamper sebanyak ± 300 gram dihaluskan
3. Cendana ± 100 gram
4. Kapas ± 200 -300 gram atau tergantung keadaan jenazah
5. Minyak wangi 1 botol
6. 5 helai kain panjang untuk menutup tubuh jenazah
7. Gayung dan ember serta air secukupnya
8. Sabun dan shampoo untuk memandikan jenazah
9. Tali raffia 1 gulung kecil, untuk mengukur jenazah
10. Tirai untuk menghijab tempat mandi dan tempat mengkafani jenazah
11. Beberapa orang untuk memangku jenazah ketika dimandikan atau meja
12. Handuk untuk mengeringkan jenazah setelah dimandikan
13. Tikar untuk mengkafani jenazah
14. Jarum dan benang untuk menjahit jilbab sedikit di bawah dagu.


Mempersiapkan  Jenazah

Periksa Jenazah
Apa bajunya sudah dibuka?
Apa matanya sudah tertutup?
Apa ada barang-barang yang melekat di tubuh jenazah yang belum dibuka?
Apa tubuh jenazah luka-luka?

Mengukur Jenazah
Panjang dari ujung kepala sampai ujung kaki
Panjang dari bahu sampai akhir paha (untuk panjang baju)
Panjang dari bawah dada sampai mata kaki (untuk sarung)
Panjang dari dahi sampai pucuk kepala (untuk memperkirakan letak jilbab)


Cara Memandikan Jenazah
1. Jenazah dihadapkan ke kiblat dengan kepala lebih tinggi daripada kaki agar air yang mengandung najis tidak mengalir kembali ke bagian yang sudah bersih
2. Jenazah dilunakkan persendian-persendiannya dengan cara menggerak-gerakkan tangan sampai siku ke pundak.  Kaki digerak-gerakkan sampai paha kemudian diluruskan kembali.  Jika jenazah sudah kaku ditidak usah dilunakkan persendiannya.
3. Memakai sarung tangan dari bahan yang lembut seperti kaos untuk membersihkan najis.  Caranya, perut ditekan perlahan-lahan.  Bagi yang hamil supaya diusap.  Bila sarung tangannya sudah kotor diganti.
4. Membersihkan jenazah dari berbagai kotoran yang melekat padanyA
5. Bekas plester dibersihkan dengan semacam minyak (baby oil atau minyak kelapa)
6. Kotoran lain dengan air sabun
7. Kotoran mata diusap dengan sarung tangan
8. Lubang hidung diusap dari luar
9. Rongga mulut diusap dengan sarung tangan perlahan-lahan
10. Daun telinga diusap seperti ketika wudhu
11. Sela-sela jari diusap seperti ketika wudhu
12. Sela-sela kuku dibersihkan dengan alat yang tidak tajam
13. Mewudhukan secara sempurna (tidak berkumur dan tidak memasukkan air ke hidung.
14. Mandikan.  Sesuai dengan sunnah menggunakan sabun.  Mendahulukan bagian kanan,
Bagian depan tubuh, dicuci sebanyak 3 kali:
Kepala dan jenggot (tempat tumbuh rambut)
Leher
Pundak sampai ke telapak
Bahu dan dada sampai ke perut
Kaki
15. Tubuh dimiringkan ke kiri, dicuci sebanyak 3 kali
16. Cuci badan bagian belakang (punggung, pinggang, pinggul)
Leher
Pundak sampai telapak tangan
Bahu dan dada sampai ke perut
Kaki
17. Tubuh dimiringkan ke kanan, dicuci sebanyak 3 kali
18. Cuci badan bagian belakang
Leher
Pundak sampai telapak tangan
Bahu dan dada sampai ke perut
Kaki
Mencuci 3 kali: pertama menggunakan air, kedua menggunakan air, ketiga menggunakan air yang dicampur dengan kamper.  Bersihkan jenazah 3 kali, bila masih mengeluarkan najis dicuci 5 kali sampai 7 kali kemudian tutup tempat keluarnya najis menggunakan kapas.
19. Setelah selesai dimandikan diwudhukan lagi.  Setelah itu dikeringkan menggunakan handuk.


Mengkafani Mayyit

Hukum mengkafani fardu kifayah, minimal dengan 1 lapis kain.  Menurut riwayat Bukhari dan Khibab ra Mus’ab bin Umair yang terbunuh di perang Uhud dikafani dengan selembar kain burdah yang pendek sehingga kakinya terbuka, kemudian ditutup dengan rumput idzkir.

Hal-hal yang disukai mengenai kafan:
1. Kafan yang baik, kalau bisa yang baru
2. Bersih
3. Menutupi seluruh tubuh
4. Berwarna putih. Hadits Rasulullah SAW, ..Pakailah pakaian yang putih karena itulah yang terbaik dan kafanilah yang meninggal di antara kamu dengan itu.”
5. Diberi cendana dan minyak wangi di muka dan tempat sujud
6. 3 lapis bagi laki-laki dan 5 lapis bagi perempuan. Dari Aisyah ra, …Nabi dikafani dengan 3 helai kain putih mulus dan baru, tanpa kemeja dan sorban”. (Riwayat Jumhur)
Dari Ummu Athiyyah, …Kaun wanita memandikan putri Rasul SAW, kemudian memakaikan kain, baju kurung dan kerudung serta dua lapis kain dibalut padanya”.

Bagi yang ihram
1. Dipakaikan kain ihram
2. Kemudian dilapis dengan 2 helai kain lagi
3. Tidak berjahit dan tidak memakai wangi-wangian
4. Bagi laki-laki bagian kepala tidak tertutup.


Cara mengkafani mayyit
1. Menyediakan 2 helai kain sepanjang tinggi badan + 2 jengkal tangan (untuk tempat mengikat)
2. Menyediakan:
- 1 helai kafan untuk sarung sepanjang ukuran sarung
- 1 helai kafan untuk kerudung
- 1 helai untuk baju kurung, dibentuk kerung leher untuk memasukkan kepala
3. Menyediakan 5 helai tali atau 7 helai (jika jenazahnya gemuk)
Nomor 1, 2, 3 diambil dari kain kafan
4. Menyediakan kapas untuk menutup bagian qubul dan dubur,
5. Menyediakan kapas untuk bagian-bagian persendian dan sedikit untuk muka. Jika perlu menyediakan kapas untuk bagian-bagian tubuh jenazah yang luka
6. Menyediakan kapur barus dan cendana untuk ditabur pada penutup qubul dan dubur
7. Menyediakan candana bubuk untuk ditabur pada lapisan-lapisan kain kafan dan minyak wangi untuk muka dan dahi
8. Mengatur kafan di atas dipan atau tikar dengan arah kepala menghadap kiblat
9. Menyediakan kain-kain lain untuk menutup seluruh tubuh jenazah selama proses memandikan, menggotong dan mengkafani jenazah
10. Rambut wanita disisir, dijalin tiga jalinan dan ditekuk
11. Mengkafani jenazah sesuai urut-urutannya.

Demikianlah cara Pemulasaran Jenazah... Silahkan dibaca lagi....


==============

TANYA JAWAB


1. G6
Ijin bertanya, apakah yang termasuk golongan syahid karena sakit perut itu orang yang sakit maag kronis atau sakit usus sampe meninggal?
Jawab:
Syahid Akhirat. Selain dua jenis syahid diatas, ada juga jenis syahid akhirat. Yakni orang-orang yang meninggal karena beberapa sebab diantaranya:
Karena Sakit Perut
Karena Sakit Lepra
Karena Tertimpa Bangunan
Karena Kecelakaan
Karena Tenggelam
Karena Tebunuh Saat Mempertahankan Harta dan Kehormatannya
Dan lain-lain

Orang yang meninggal karena sebab-sebab diatas memang tidak dihukumi syahid di dunia karena jenazahnya harus tetap dimandikan, dikafani dan dishalatkan. Namun, ia akan mendapatkan pahala syahid tersebut di akhirat hanya saja tidak seperti pahala orang yang syahid karena berperang dijalan Allah SWT. Dalil yang mengatakan bahwa orang-orang yang mati karena sebab-sebab tersebut dikatakan syahid ada banyak, beberapa diantaranya adalah hadits riwayat Bukhari dan Muslim ini, dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

“Syuhadaa (orang-orang yang mati syahid) itu ada lima, “orang mati karena terkena penyakit tha’un (lepra), orang yang meninggal karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang tertimpa bangunan rumah atau tembok; dan orang yang gugur di jalan Allah.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Kemudian Imam ath-Thabrani pernah juga meriwayatkan hadits dari Jabir bin Utaik, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Syahid ada tujuh macam selain gugur (terbunuh) di jalan Allah; orang yang mati karena penyakit lepra adalah syahid. Orang yang mati tenggelam adalah syahid, orang yang mati karena penyakit bisul perut adalah syahid; orang yang mati terbakar adalah syahid; orang yang mati karena tertimpa bangunan atau tembok adalah syahid; dan wanita yang gugur disaat melahirkan (nifas).” [HR. ath-Thabrani]

Selain itu Imam ath-Thabrani juga meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah bersabda:

“Siapa saja yang mati karena terlempar dari kendaraannya, ia adalah syahid.” [HR. ath-Thabrani]

Dan juga dalam hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah bersabda:

“Siapa saja yang terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid. Siapa saja yang terbunuh karena membela keluarganya, nyawanya, atau agamanya, maka ia mati syahid.” [HR. Abu Dawud]

Namun, pahala syahid itu tentu saja hanya dapat diperoleh oleh orang-orang yang taat dan kepada Allah, tidak bermaksiat, tidak kafir, dan lain sebagainya kecuali apabila ia telah bertaubat sebelum ajal menjemput.
Itulah beberapa macam-macam mati syahid yang dapat kami sampaikan kepada Anda. Semoga menambah pengetahuan dan menambah iman dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Semoga bermanfaat dan apabila ada kesalahan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.


2. G6
Ustadzah saya mau tanya. Bagaimana tugas para  pemandu jenazah di rumah sakit, terkadangkan ada yang non muslim, apakah itu di bolehkan? Dan bagaimana jika seorang ayah yang wafat dan dia hanya mempunyai 3 org anak perempuan, apakah boleh ikut memandikan? tapi pada saat akan ikut malahan di larang keras  orang yang memandikan (petugas di di dekat rumah).
Jawab:
Jika ada seorang muslim meninggal dunia, ia berhak untuk dimandikan, dikafani, dishalati, dan dimakamkan. Kewajiban mengurus jenazah itu tentunya dibebankan oleh orang muslim yang hidup. Sebaiknya jenazah dimandikan di rumah karena kita tahu siapa yang memandikan jenazah. Jika di rumah sakit kita tidak tahu siapa yang memandikan ya apakah dia muslim atau tidak.
Kalau seorang ayah yang meninggal memang sebaiknya kita serahkan kepada ahli ya jika memang tidak diizinkan putrinya untuk membantu memandikan jenazah ayahnya. Dan yang terpenting kita sebagai anak mendo'akannya.


3. G4
Berdasarkan materi d atas kan tidak boleh mengharapkan kematian apabila sakit bertambah parah, tapi terkadang kasian kalau melihat, jadi kadang berdoa yang terbaik, kalaupun di segerakan untuk d ambil insyaAllah ikhlas (kira-kira begitulah bingung nulisnya), itu boleh tidak? sama juga kah dengan mengharapkan kematian?
Jawab:
Rasa sakit adalah sebuah nikmat. Karena seringkali ketulusan muncul ketika sakit mendera. Sebuah harapan yang tulus terucap. Karena sakit membuat kita sadar nikmat kesehatan. Karena detik itu pula,sakit telah membuka hijab pengingat jika hidup di dunia hanya sementara.
Terkadang rasa lelah, marah, putus asa itu muncul. Tapi bagi orang yang beriman maka ia tak akan pernah berhenti percaya, tidak akan menghentikan harapannya.

“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku,”(QS. Asy-Syu’araa: 80)

Allah telah memasukkan malam ke dalam siang. Allah telah menciptakan langit dan bumi. Begitu pula dengan rasa sakit. Tidak akan Allah menurunkan penyakit melainkan ada obatnya. Saudaraku yang mungkin sekarang sedang merintih kesakitan, percayalah air mata kesabaranmu akan menjadi saksi kekuatanmu.
Bukankah setiap insan akan melalui cobaan keimanan? Cobaan yang menyapamu dengan cobaan yang menghampirinya mungkin berbeda. Cobaan keluarga, finansial, kesehatan, dll. Dan Allah sekarang menyapamu dengan sakit yang datang. Mungkin ini cara Allah mengampuni tumpukan dosa. Mungkin, ini cara Allah untuk mengungkapkan “kerinduan” pada tangisan tobat kita.

Ketika sehat, mungkin kita lebih banyak tertawa dan sedikit sekali mengingat kematian. Pada saat kita masih bisa berlari, mungkin kita lebih disibukkan mengejar dunia. Pada saat kita masih bisa merasakan pahit, asam, manis, asin dengan sempurna, mungkin kita tidak pernah memperhatikan apa yang masuk ke dalam lambung kita. Jangankan yang syubhat, haram pun mungkin tak sempat diperhatikan. Pada saat masih mampu mengucapkan kalimat dengan fasihnya, kita mungkin lebih banyak menggunjing daripada mengingat ayat-ayat-Nya.
Dan kini, ketika kita berbaring menahan perih, satu per satu noda itu mulai terasa. Kita menikmati detik paling indah, karena kita benar-benar menghadirkan Allah. Meski sejatinya, Dia tak pernah pergi, sedetikpun.
Yang terpenting kita sabar, ikhlas, tabah dan yakin akan penyakit yang Allah berikan


4. G3
Assalamualaikum ustadzah, ijin bertanya agak banyak.
1. Siapa saja yang boleh memandikan jenazah, apa ada syarat-syaratnya?
2. Bagaimana dengan jenazah yang meninggal karena kecelakaan yang ketika dibawa pulang ke rumah sudah dalam peti, apa masih perlu dimandikan atau tidak? Lalu apa  boleh dikuburkan dengan petinya?
3. Pernah dengar kasus seorang pelaut meninggal di tengah laut yang perjalanan menuju daratan lebih dari beberapa hari dan tidak ada tempat penyimpanan di dalam kapal sehingga khawatir jenazah membusuk, kemudian jenazah dikarung di lautan, bagaimana menurut pandangan islam tentang hal ini?
Mohon penjelasan.. terima kasih.
Jawab:
4.1. Orang yang paling berhak memandikan seorang mayit, ialah orang yang diberi wasiat untuk mengerjakan hal ini. Seseorang terkadang berwasiat karena ingin dimandikan oleh orang yang bertaqwa, orang yang mengetahui hukum-hukum memandikan mayit.
Dahulu Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu berwasiat supaya dimandikan oleh isterinya, yaitu Asma’ binti Umais, kemudian dia (Asma’ binti Umais) mengerjakannya. Dikeluarkan oleh Malik dalam Al Muwatha’, Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah.
Setelah orang yang diberi wasiat, orang yang paling berhak untuk memandikan ialah bapaknya, kemudian kakeknya, kemudian kerabat dekat dari ashabahnya (kerabat lelaki). Jika mereka semua sama di dalam hak ini, maka diutamakan orang yang paling mengetahui hukum-hukum mengurus jenazah.

Diperbolehkan bagi suami atau isteri untuk memandikan pasangannya. Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘€nha:

لَوْ مُتِّ قَبْلِيْ لَغَسَلْتُكِ وَكَفَنْتُكِ

Seandainya engkau mati sebelumku, pasti aku akan memandikan dan mengkafanimu. [HR Ahmad, Ibnu Majah, Ad Darimi].

Bagi seorang lelaki atau wanita, boleh memandikan anak yang di bawah umur tujuh tahun, baik laki-laki atau perempuan.
Ibnul Mundzir berkata,”Telah sepakat para ulama yang kami pegang pendapatnya, bahwa seorang wanita boleh memandikan anak kecil laki-laki.” Karena tidak ada aurat ketika hidupnya, maka demikian pula setelah matinya. [Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi (1/207)].

4.2. Kalau kecelakaan yang mengakibatkan tubuhnya hancur tidak wajib dimandikan lagi tapi dia wajib di Sholat kan dan di kuburan ditempat yang layak. Tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang terlarangnya mengubur mayit di dalam peti, jika tidak ada kebutuhan untuk melakukan hal itu. Lain halnya jika ada kebutuhan untuk mengubur jenazah di dalam peti, seperti tanahnya mudah longsor atau dikhawatirkan akan dibongkar binatang buas, sebagian ulama membolehkannya.

Dalam kumpulan Fatwa Lajnah Daimah dinyatakan:
Tidak dikenal adanya kebiasaan mengubur mayit dengan peti di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat. Sementara prinsip hidup terbaik yang seharusnya ditempuh kaum muslimin adalah prinsip hidup mereka. Karena itu, dilarang mengubur mayit dengan peti. Baik tanahnya keras, biasa, atau mudah longsor. Jika mayit pernah berwasiat agar dia dikuburkan dengan peti maka wasiatnya tidak boleh ditunaikan. Hanya saja, ulama syafi’iyah membolehkan menggunakan peti jika tanahnya berlumpur atau mudah longsor. Jika dia berwasiat, tidak boleh dilaksanakan, kecuali dalam kondisi seperti ini. (Fatawa Lajnah Daimah, 2:312)

Ibnu Qudamah mengatakan, “Tidak ada anjuran memakamkan mayit dengan peti. Karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari para sahabat. Disamping itu, perbuatan ini termasuk meniru kebiasaan orang sombong. Sementara tanah ini cukup kering untuk menampung jenazahnya. (Al-Mughni, 2:379)

Dalam kitab Al-Inshaf dinyatakan:
Dilarang mengubur dengan peti. Meskipun mayitnya seorang wanita. (Al-Inshaf, 4:340)

Sementara Imam Asy-Syarbini Asy-Syafii mengatakan, “Dilarang mengubur mayit dengan peti dengan sepakat ulama. Karena ini adalah perbuatan bid’ah, kecuali di tanah lembek atau berlumpur. Dalam kondisi ini tidak dilarang karena ada maslahat. Wasiat untuk mengubur dengan peti tidak boleh ditunaikan, kecuali untuk keadaan tanah tersebut. Keadaan yang sama adalah ketika jasad mayit rusak karena terbakar, sehingga jasadnya tidak bisa dibungkus kecuali dengan peti.” (Mughni Al-Muhtaj, 4:343)
Allahu a’lam

4.3. Pada asalnya mengubur (ad-dafn) adalah dengan cara memendam mayat ke dalam tanah. Hukum menguburkan jenazah adalah fardu kifâyah (artinya jika telah dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin, maka gugurlah kewajiban dari kaum Muslimin lainnya). Makna mengubur mayat adalah melindungi jasadnya dari celaan fisik dan menutupi aib pribadinya. Hal ini diisyaratkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ كِفَاتًا ﴿٢٥﴾ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا

Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul, orang-orang hidup dan orang-orang mati? [al-Mursalât/77:25-26]

Oleh karena itu Allâh Azza wa Jalla menunjukkan kepada anak Adam untuk menguburkan saudaranya dengan mengirimkan burung gagak sebagai contoh, seperti dijelaskan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْءَةَ أَخِيهِ ۚ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَٰذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي ۖ فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ

Kemudian Allâh menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya berkata Qabil: “Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal. [Al-Mâidah/5:31]

Demikianlah sebaik-baik tempat menguburkan adalah di pemakaman yang telah dikhususkan, agar sesuai sunah dan senantiasa didoakan oleh orang yang melintasinya. Namun, jika meninggal di kapal atau perahu yang sedang berada di tengah lautan, para Ulama sepakat agar diupayakan terlebih dahulu mencari daratan terdekat untuk dikuburkan dengan tanah. Apabila diperkirakan akan mendapatkan daratan sebelum jasad jenazah rusak. Apabila tidak memungkinkan dikubur dengan tanah karena jauh dari daratan, penyelenggaraan jenazahnya adalah:
1. Dimandikan,
2. Dikafani,
3. Dishalatkan, dan
4. Diarungkan ke laut. (Lihat al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab 5/285 dan al-Mughni 3/431).

Batasannya adalah waktu yang dapat mengubah kondisi dan merusak mayat (membusuk).
Para Ulama berargumentasi dengan kisah yang diriwayatkan imam al-Baihaqi t dalam Sunan al-Kubra (4/10) dengan sanad yang shahih (menurut imam an-Nawawi dalam al-Majmû’ 5/286) dari Shahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu yang berkata:

أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ رَكِبَ الْبَحْرَ فَمَاتَ فَلَمْ يَجِدُوْا لَهُ جَزِيْرَةً إِلاَّ بَعْدَ سَبْعَةِ أَيَّامٍ فَدَفَنُوْهُ فِيْهَا وَلَمْ يَتَغَيَّرْ

Sesungguhnya Abu Thalhah mengarungi lautan lalu meninggal dunia. Mereka tidak mendapatkan daratan kecuali setelah tujuh hari lalu mereku kuburkan di sana dan belum rusak jasadnya.

Kemudian imam al-Baihaqi rahimahullah berkata:

وَرُوِّيْنَا عَنِ الْحَسَنِ اْلبَصْرِي أَنَّهُ قَالَ يُغْسَلُ وَيُكْفَنُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُطْرَحُ فِيْ الْبَحْرِ

Telah diriwiyatkan kepada kami dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Beliau dimandikan, dikafani dan disholatkan lalu diarungkan ke laut. [Sunan al-Kubra, 4/10].

Adapun cara menguburkan di laut masih diperselisihkan para Ulama dalam dua pendapat:
Pertama: Diarungkan ke laut tanpa diberi pemberat dan dibiarkan dilautan sampai terdampar di pantai sehingga ada yang dapat menemukannya dan menguburkannya. Inilah pendapat Ibnu Mâjisyun, Ashbagh dan Ibnu Habîb dari kalangan Ulama Mâlikiyah dan juga pendapat ulama-ulama syâfi’iyah. Ulama madzhab Syâfi’iyah menambahkan dengan meletakkan jenazah setelah disholatkan kedalam peti agar tidak membengkak dan diarungkan ke laut, dengan harapan adaorang yang akan menguburkannya.

Sedangkan Imam Syâfi’i berpendapat, Apabila penduduk pantai adalah orang-orang kafir maka jenazah dimasukkan kedalam peti dan diberi pemberat agar tenggelam kedasar laut, supaya orang-orang kafir tidak mengambilnya lalu merubah sunnah kaum Muslimin padanya. [Lihat al-Majmû’ 5/285].

Pendapat ini dikritisi dengan pernyataan: Melepas jenazah di laut tanpa pemberat dan peti akan menjadikan jenazah tersebut berubah dan rusak (membusuk) dan bisa jadi terdampar di pantai dalam keadaan sudah membusuk dan telanjang. Mungkin juga akan diambil orang-orang kafir dan musyrik sehingga diberi pemberat lebih utama [Lihat al-Mughni 3/341].

Kedua: Diberi pemberat apabila dikhawatirkan membusuk dan diarungkan ke laut. Inilah pendapat Sahnûn dari Mâlikiyah, dan menjadi pendapat mazdhab Hambaliyah.
Pendapat ini berargumen, dengan diberi pemberat maka tercapai yang dimaksud dari penguburan dan selamat dari dimakan hewan. [Lihat al-Mughni 3/341].

PENDAPAT YANG RAJIH
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang kedua karena jelas dan terwujudnya tujuan penguburan. Juga sesuai dengan penjagaan syariat terhadap kemulian manusia khususnya Muslim yang harusnya ditutupi ketika hidup dan setelah matinya. Wallahu a’lam


5. Group Nanda
Izin bertanya ustadzah. Apa semua yang meninggal karna kanker termasuk syahid? Mengapa? Untuk penyakit lainnya bagaimana?
Jawab:
Dalam hadis di atas, salah satu yang mendapatkan pahala syahid adalah orang yang mati karena sakit di dalam perut (al-Mabthun). Dan dalam hadis di atas, tidak  disebutkan kanker. Hanya saja, sebagian ulama memahami, jika kanker itu berada di perut, maka termasuk mati karena sakit di dalam perut (al-Mabthun). Sehingga termasuk hadis di atas.
An-Nawawi menyebutkan perbedaan pendapat tentang makna al-Mabthun (orang yang mati karena sakit di dalam perut). Diantara yang beliau sebutkan,

قِيلَ : هُوَ الَّذِي تَشْتَكِي بَطْنه , وَقِيلَ : هُوَ الَّذِي يَمُوت بِدَاءِ بَطْنه مُطْلَقًا

Ada yang mengatakan, itulah orang yang sakit perutnya. Ada juga yang mengatakan, orang yang mati karena sakit apapun yang ada di dalam perutnya. (Syarh Shahih Muslim, 13/63).

Syaikh Dr. Abdul Muhsin al-Abbad pernah ditanya tentang orang yang mati karena kanker, apakah mendapat pahala syahid? Jawab beliau,

لا ؛ لأن السرطان لا يكون دائماً في البطن ، فقد يكون في غير البطن

Tidak, karena kanker, tidak selalu ada di perut. Terkadang berada di selain perut. (Syarh Sunan Abu Daud, rekaman no. 230).

Kemudian, sebagian ulama menyebutkan bahwa kanker yang menjadi penyebab kematian, bukan karena dampak kemaksiatan yang dia lakukan. Misalnya kanker karena merokok, atau narkoba, atau minuman keras.
Syaikhul Islam menjelaskan, untuk kasus orang yang menempuh perjalanan, dengan peluang selamat 50%, dan peluang kecelakaan 50%. Dalam kondisi ini, dia wajib menahan diri dan tidak melanjutkan perjalanan. Jika tetap nekat, berarti sama dengan mencelakakan dirinya sendiri, sehingga matinya bukan mati syahid.

Syaikhul Islam mengatakan,

ومن أراد سلوك طريق يستوي فيها احتمال السلامة والهلاك وجب عليه الكف عن سلوكها ، فإن لم يكف فيكون أعان على نفسه ، فلا يكون شهيداً

Orang yang hendak menempuh perjalanan, sementara ada peluang yang sama antara selamat atau kecelakaan, maka wajib baginya untuk menahan diri dan tidak melanjutkan perjalanan. Jika tidak berhenti, berarti sama dengan mencelakakan dirinya sendiri. Sehingga tidak termasuk mati syahid. (al-Fatawa al-Kubro, 5/381).

Keterangan lain, disampaikan al-Qurthubi, sebagaimana yang dinukil as-Suyuthi,

قال القرطبي : وهذا والذي قبلهأي : صاحب الهدم والغريقإذا لم يغررا بنفسيهما ، ولم يهملا التحرز ، فإن فرَّطا في التحرز حتى أصابهما ذلك : فهما عاصيان

 Al-Qurthubi mengatakan, orang yang mati karena tenggelam atau karena tertindih, mendapatkan pahala syahid, jika tidak membahayakan dirinya, atau segera menghindar. Jika dia tidak segera menghindar, sehingga terkena benturan, maka dia mati maksiat. (ad-Dibaj a’ala Muslim, 4/508)

 Para ulama menilai, ketika orang berhadapan dengan resiko kecelakaan, sementara dia tidak menghindar, maka dia dinilai bermaksiat. Sehingga jika dia mati, terhitung mati maksiat. Apalagi mereka yang secara sengaja melukai isi tubuhnya dengan merokok, minuman keras, atau narkoba.
Demikian, Allahu a’lam


6. G6
Masya Allah. Luar biasa hikmah sakit ustadzah. Tapi seringkali orang yang awam tidak demikian, mereka menganggap sakit adalah siksaan, menjadi emosi dan melampiaskan kepada yang merawat dengan makian, kata-kata kasar dan sebagainya. Bagaimana jika kondisinya demikian? Apabila mendengar kabar orang lain meninggal, berkata, kok bukan aku, aku kapan? Apakah hal ini termasuk mengharapkan kematian?
Jawab:
Kita menasehati ya dengan lemah lembut dan jika yang sakit marah kita diamkan saja dan kita juga harus sabar menghadapi orang yang sakit tanpa banyak berkata atau membentak yang sakit jika sedang marah dan tetap melayaninya.

“Janganlah kalian berangan-angan mengharapkan datangnya kematian. Karena, kalaulah dia orang baik, siapa tahu ia bisa menambah kebaikannya. Dan kalaulah dia adalah orang jahat, siapa tahu ia bisa meminta penangguhan (untuk bertobat).” (HR. Bukhari)


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ إِمَّا مُحْسِنًا فَلَعَلَّهُ يَزْدَادُ وَإِمَّا مُسِيئًا فَلَعَلَّهُ يَسْتَعْتِبُرواه البخاري

Hadits di atas diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Adapun hikmah yang dapat diambil dari hadits ini adalah:

Bahwa dalam menjalani roda kehidupan di dunia ini, tak jarang ada jurang terjal menghadang, ada aral besar yang melintang, atau bahkan samudra luas yang membentang; menghadang setiap langkah dalam menempuh perjalanan. Dan tak jarang, tajamnya aral yang melintang, ditambah dengan gelapnya sisi lain kehidupan dunia yang diwarnai dengan saling fitnah dan saling hantam, dihiasi juga dengan keburukan dan kemunafikan, membuat sebagian orang berputus asa dalam menjalani bentangan samudra kehidupan. Karena ia beranggapan, lebih baik “pulang” sekarang menuju kematian, dari pada harus menunggu hari esok yang entah fitnah apalagi yang akan menghadang, ataupun karena beratnya beban kehidupan, di tengah hedonisme nya zaman, atau juga karena beratnya permasalahan, yang terasa demikian mencengkram.
Namun ternyata hadits di atas melarang siapapun untuk berharap dan meng-angankan kematian, terhenti dari segala aktivitas duniawi dan aktivitas pekerjaan. Karena betapapun, setiap detik kehidupan adalah anugrah ilahi, yang tentunya akan sangat berarti. Bisa jadi, dengan masih langgengnya nafas dalam badan, akan menambah kebaikan bagi setiap orang yang mendambakan keridhaan Ar-Rahman. Atau dengan masih langgengnya kehidupan, akan semakin memberi kesempatan bagi orang yang berbuat maksiat, untuk melakukan tauabatan nashuhan.
Maka Islam mengajarkan optimisme dalam menapaki jalan menuju hari depan, dan melarang pesimisme dalam mengarungi setiap cobaan dan ujian. Karena sekali lagi, setiap detik nafas yang dihembuskan, adalah samudra potensi kebaikan. Allah berfirman, “…dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (Yusuf : 87)


7. G2
Setelah dimandikan apakah boleh istri mencium suaminya dan sebaliknya? Maksudnya bagi yg memiliki faham istri dan suami batal wudlu bila bersentuhan?
Jawab :
Jika sang istri mencium mayat suami karena kecintaannya dengan niat bukan untuk mengambil berkah, maka hal itu boleh dilakukan. Hal itu berdasarkan riwayat bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu `anhu mencium antara dua mata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau wafat. Akan tetapi seorang perempuan tidak boleh mencium mayat lelaki kecuali jika mayat tersebut mahramnya (perempuan atau lelaki yang haram untuk dinikahi karena hubungan keturunan, sesusuan atau perkawinan). Begitu juga sebaliknya lelaki tidak boleh mencium mayat perempuan kecuali jika mahramnya. Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.
Kalau Menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat atau tidak, tetapi kalau ada pembatasnya seperti kain, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini populer dalam madzhab Syafi’i. Pendapat berlandaskan dengan berbagai argumen, yang paling masyhur dan kuat adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43.

أَوْ لاَمَسْتُم النِّسَآءَ
“Atau kamu telah berjima’ dengan istri.” (QS. An-Nisa’: 43).

Mereka mengartikan kata لاَمَسْتُمُ dalam ayat tersebut dengan menyentuh. (Lihat al-Umm 1:30 oleh Imam Syafi’i dan al-Majmu’ 2:35 oleh Imam Nawawi).


8.G2
Assalamaualaikum wr.wb., apakah betul mayat tidak boleh kena air mata? Kalau iya, apa alasannya dan hukumnya bagaimana? Syukron. Barokalloh.
Jawab :
Tidak ada dalil yang menunjukkan jika si mayit kena air mata, apalagi ketika selesai dimandikan, maka ia akan diazab. Dan menangis itu sendiri tidak terlarang jika tanpa mengeluarkan ucapan atau tidakan yang bertentangan dengan syari’at. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pun menangis ketika meninggal anaknya Ibrahim, beliau memeluknya dan menciumnya, dalam keadaan beliau menangis, seraya bersabda,

إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ ، وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

"Sesungguhnya mata meneteskan air mata, hati pun bersedih, namun kita tidak boleh mengucapkan kecuali yang diridhoi oleh Rabb kita. Sesungguhnya kami sedih karena berpisah denganmu wahai Ibrahim.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu]


Clossing statement:
Kita sebagai seorang muslim wajib menjaga dan merawat jika ada saudara kita sakit. Jika di akan menjelang sakratul maut kita bisa menemani dan mentalqinnya. Dan jika Dia meninggal kita bisa menyiapkan memandikan dan mengkafani jenazahnya.

Yang benar datangnya dari Allah swt dan yang salah dari diri saya tolong di buka kan pintu maaf yang seluas-luasnya...
Akhirul kalam wabillahi taufiq walhidayah
Wassalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh. Jazakunnallah khairon katsiron atas partisipasi dan peran aktifnya dalam kajian pagi ini.




★★★★★★★★★★★★★★
Badan Pengurus Harian (BPH) Pusat
Hamba اللَّهِ SWT
Blog: http://kajianonline-hambaallah.blogspot.com
FanPage : Kajian On line-Hamba Allah
FB : Kajian On Line-Hamba Allah
Twitter: @kajianonline_HA
IG: @hambaAllah_official

Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Post a Comment

Ketik Materi yang anda cari !!