Rekap Kajian Online Hamba اللَّهِ
SWT Ummi G6
Hari, Tgl: Rabu, 03 April
2019
Materi: Adab Kepada Mertua,
Ipar dan Keluarga Suami
Narasumber: Ustadz Rudianto
S.
Waktu Kajian: 17.02-20.34
WIB
Notulen:
Bunda Sasi
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Adab Kepada Mertua, Ipar dan Keluarga Suami
Pernikahan adalah suatu
ikatan yang menyatukan dua keluarga besar yang mungkin berbeda suku, kultur dan
budaya serta pola asuh yang diterapkan pada masing-masing keluarga. Menjalin
pernikahan berarti seseorang telah siap menerima pasangannya sekaligus
keluarganya. Pasangan kita tidak mungkin hidup, besar dan sukses sendirian.
Pastinya ada orang-orang di sekitar beliau yang selalu menyayangi dan
membesarkannya.
Dalam membangun rumah
tangga dalam islam sudah seharusnya kita menjaga hubungan yang baik antar
keluarga. Kita harus bisa menganggap mertua sebagai orang tua sendiri. Jangan
memperlakukan mereka sebagai orang lain atau bahkan menganggapnya saingan. Hal
itu tidak dibenarkan dalam islam. Begitu juga terhadap ipar dan sepupu dari
pasangan, islam telah mengatur dengan jelas adab-adabnya untuk menjadikan
jalannya keluarga lebih harmonis dan tertata dengan baik...
Adab Kepada Mertua
Mertua adalah orang tua
yang melahirkan pasangan kita. Merekalah yang merawat, memberi makan, mendidik
dan menyekolahkan pasangan kita hingga ia sukses dan menjadi pasangan hidup
kita.. Maka itu, mertua harus diperlakukan dengan baik, diberikan kasih sayang
dan menuruti nasihat-nasihatnya yang baik. Selama itu bukan hal merugikan atau
sesuatu yang menyakiti perasaan, maka cobalah memahami mereka.
Adab kepada mertua sama
dengan adab kepada orang tua maka kewajiban kita adalah berbuat baik terhadap
mereka. Jangan mengucapkan tutur kata yang kasar. Sebaliknya, ucapkanlah
perkataan yang baik dan menyenangkan hati. Sebagaimana dijelaskan dalam
Al-Quran:
“Dan Tuhanmu
telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat
baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak
keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (QS. Al-Isra`:
23).
Bila tinggal di Rumah Mertua
Tinggal di rumah orang tua suami
(mertua), terlebih jika suami belum mampu untuk memberi tempat tinggal untuk
istri dalam pandangan Islam boleh-boleh saja dan tidak ada larangan. Istri
sepatutnya taat dan patuh kepada suami dalam kebaikan selama sang suami belum
memerintahkan kemaksiatan. Maka, apabila ada perintah untuk berbuat maksiat,
sang istri wajib menolaknya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَطَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِى مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ (رواه الترمذي )
Tidak ada ketaatan bagi seorang hamba ketika diperintah untuk
bermaksiat kepada Allah (HR. at-Tirmidzi)
Bila Mertua Suka Intervensi
Adapun sikap intervensi
mertua, selagi bentuk campur tangan pihak mertua adalah berbentuk nasehat dan
masukan positif untuk kebaikan bersama, mengapa harus ditolak? Bukankah berwasiat
dalam kebenaran dan kesabaran adalah perkara yang diperintahkan oleh Allah Azza
wa Jalla ? Saling berwasiat dalam hal di atas adalah sarana yang bisa
mengeluarkan sekaligus menyelamatkan kita dari kerugian di dunia dan akhirat,
sebagaimana telah tertuang dalam surat al-‘Ashr 1-3. Allah Azza wa Jalla
berfirman:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
1. Demi masa.
2. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian,
3. Kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Sejatinya seorang menantu
jangan terburu-buru untuk berburuk sangka terhadap sikap mertua. Sebab orang
tua suami juga merupakan orang tua Anda. Maka, berusahalah untuk dapat berbuat
baik kepada orang tua suami. Selagi bentuk intervensi mertua adalah sebagai
nasehat, mengapa kita harus merasa resah atau malah menolaknya. Setiap orang
tua ingin melihat anaknya bahagia dan dapat membina keluarga yang sakinah,
mawadah dan rahmah.
Bahkan terkadang dalam
pandangan syariat, jika orang tua menyuruh anak laki-lakinya untuk menceraikan
istrinya dengan berbagai alasan yang syar’i (jika memang ada indikasi bahwa
sikap istri bisa mempengaruhi agama dan akhlak suami) maka suami harus
menceraikan istrinya. Terdapat riwayat dalam Shahîh al-Bukhâri yang mengisahkan
bahwa Nabi Ibrâhîm Alaihissallam menyuruh putranya Ismaîl Alaihissallam untuk
menceraikan istrinya tatkala melihat adanya keburukan yang mempengaruhi
hubungan rumah tangga anaknya, maka Ismail pun menceraikan istrinya.
Demikian pula dalam riwayat
Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dia
berkata:
Dahulu, aku punya istri
yang sangat aku cintai. Namun (ayahku) ‘Umar bin Khatthab tidak menyukainya dan
berkata padaku: “Ceraikan dia (istriku)”. Namun, aku enggan menceraikannya.
Akhirnya, ‘Umar datang menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya
menceritakan kejadian tadi. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ceraikan dia (istrimu)”. .
Itu semua dapat terlaksana
jika orang tua suami merupakan orang yang shalih dan baik serta tahu akan
munculnya indikasi yang bisa merugikan kelangsungan hubungan rumah tangga jika
suami tetap mempertahankan istrinya. Sementara si istri memiliki perangai atau
akhlak yang buruk. Apabila dibiarkan malah merugikan dan merusak masa depan
rumah tangga anaknya.
Adab Kepada Ipar
Di antara tanda kesempurnaan
ajaran Islam adalah dicegahnya segala macam kerusakan yang bisa timbul dari
mana saja, termasuk interaksi yang tidak memperhatikan adab dalam hubungan
keluarga, dalam hal ini adalah saudara ipar.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ . قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Berhati-hatilah kalian masuk menemui
wanita.” Lalu seorang laki-laki Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana
pendapat Anda mengenai ipar?” Beliau menjawab, “Hamwu (ipar) adalah maut.” (HR. Bukhari & Muslim).
Sebagian ulama menjelaskan,
Al-Hamwu adalah ipar (saudara laki-laki dari suami) dan keluarga dekat suami.
Adapun dengan yang dimaksud
maut adalah perlunya kehati-hatian yang ketat terkait interaksi antara istri
dengan saudara laki-laki sang suami. Sebab, bagaimanapun, saudara laki-laki
suami terhadap istrinya tetaplah bukan muhrim, dan karena itu harus tepat adab
dalam interaksi keduanya.
Sementara itu, menurut Imam
Nawawi, ‘ipar adalah kematian’ maknanya adalah kekhawatiran darinya lebih
banyak daripada selainnya, keburukan bisa terjadi darinya, dan fitnah lebih
banyak, karena ipar memungkinkan untuk bisa sampai kepada perempuan dan berdua
(berkhalwat) dengannya tanpa ada yang mengingkarinya.
Oleh karena itu, penting
bagi kaum Muslimah dan para ipar dari istri adik laki-laki atau pun kakak
laki-lakinya agar interaksi dengan saudara ipar berjalan sesuai dengan tuntunan
sunnah.
Pertama, para istri atau
wanita dilarang bersolek, kecuali kepada dan untuk membahagiakan suami.
Kedua, tidak membukakan
pintu kala sendiri di dalam rumah kepada semua tamu laki-laki yang bukan
muhrim, terutama saudara ipar laki-laki.
Ketiga, andai pun
membutuhkan komunikasi dan interaksi, maka lakukanlah dengan menggunakan tirai
atau hijab (pembatas).
Keempat, senantiasa
menundukkan pandangan, dan bersuaralah dengan suara yang tegas dan jelas,
jangan lemah lembut dan mendayu-dayu.
Adab Kepada Keluarga dari Keluarga Suami
Kepada keluarga dari
keluarga pasangan, haruslah berbuat baik selayaknya kepada umat muslim umumnya.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda, “Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar
menghadapi gangguan mereka lebih baik daripada seorang mukmin yang tidak
bergaul dengan manusia dan tidak bersabar menghadapi gangguan mereka.” (HR.
Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Tetap berkelakuan layaknya
batas-batas syariat, mereka tetap bukan muhrim meski kita sudah menikah dengan
pasangan..
Wallahu'alam bi showab..
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
TANYA JAWAB
1. Assalamualaikum ustadz. Bagaimana jika
istri enggan untuk mengikuti suami yang bertugas di luar daerah dengan alasan
pekerjaannya dan menjaga orangtuanya yang sudah sepuh, hingga pernikahan lebih
dari 10 tahun dan tetap selalu menolak jika diajak pindah ataupun sekedar
datang untuk bersilaturahim saat idul fitri dengan alasan cuaca yang terlalu
dingin di tempat tinggal suami yang juga tinggal dengan seorang ibu yang sudah
tua?
Jawab:
Setelah menikah, maka suami
adalah orang pertama yang harus dituruti oleh istri perintahnya baik dalam
masalah rumah tangga, tempat tinggal, sandang, pangan, ranjang bahkan jika
suami melarang istri berpuasa sunnah, maka istri wajib mengikuti perintah
suaminya..
Sebagaimana sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud
kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada
suaminya.” (at-Tirmidzi no. 1159)
Dalam kasus ini, istri
berdosa karena menolak keinginan suami, suami mengajak pindah pasti dengan
alasan yang syar'i. Bisa karena ia ingin menjaga istrinya, ia ingin
terselamatkan dari fitnah dan zina, atau ia ingin dekat dengan anaknya.
Pada posisi ini, jika suami
ingin poligami atau menikah lagi dengan satu istri di lokasi dia kerja, istri
tidak boleh menolak karena sang istri lalai dalam mentaati suaminya.
2. Assalaamu'alaikuum
ustadz. Bagaimana cara bersikap dengan suami adik ipar seharusnya? Apa memang
benar-benar kita anggap orang luar yang baru kita kenal? Termasuk cara
berpakaian kami sebagai istri? Posisi suami anak sulung 3 bersaudara, 2 adik
cewek sudah berkeluarga semua, bapak mertua sudah meninggal.
Jawab:
Kalau adik iparnya adalah
sesama perempuan, maka perlakukanlah dia seperti adik kandung sendiri. Berbuat
baik dan bercengkramalah dengan mereka. Namun masalah dalam keluarga dengan
suami, jangan diceritakan. Karena akan ada kecenderungan beliau berat ke
abangnya. Sedangkan pada suami ipar tersebut. Harus dijaga hijabnya, menutup aurat
dan berperilaku yang sopan.
3. Assalamualaikum ustadz. Saya pernah
mendengar bahwa saudara ipar merupakan muhrim karena sebab pernikahan,
bagaimana maksudnya ustadz?
Terimakasih.
Jawab:
Terdapat hadist dari ‘Uqbah
bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ . قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Berhati-hatilah kalian masuk menemui
wanita.” Lalu seorang laki-laki Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana
pendapat Anda mengenai ipar?” Beliau menjawab, “Hamwu (ipar) adalah maut.” (HR. Bukhari 5232 dan Muslim 2172).
Dan kebiasaan orang
menganggap biasa masalah ini. Ada orang yang berduaan dengan istri saudaranya.
Inilah kebinasaan (al-Maut). Sehingga mereka lebih layak untuk dicegah agar
tidak terjadi khalwah, dari pada orang lain. (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi,
14/154).
Berdasarkan Hadits dan
pendapat ulama' di atas maka jelas bahwa Ipar BUKAN MAHRAM, berbeda dengan Ayah
suami, itu jelas mahram...
Mungkin yang dimaksud
adalah tidak bolehnya mengumpulkan dua saudara dalam satu pernikahan. Hal ini
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala;
وَأَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا.
”Dan (diharamkan bagi kalian) mengumpulkan
dua wanita yang bersaudara (dalam satu pernikahan), kecuali yang telah terjadi
pada masa lalu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 23)
Jadi ketika menikah dengan
seorang wanita/lelaki, tidak boleh menikahi saudaranya. Namun ingat, status
Ipar (lawan jenis) tetaplah bukan mahram. Artinya jika terjadi perceraian atau
pasangan meninggal, maka dibolehkan menikah dengan ipar tersebut.
4. Assalamualaikum ustadz. Ibu mertua saya
berselisih paham dengan adiknya (bibi suami), tidak saling bertegur sapa,
bahkan saat bibi menikahkan anaknya, emak tidak diberitahu. Bagaimana sikap
saya seharusnya, karena saat bertemu dan saya sapa pun bibi tidak respon,
padahal saya dan suami tidak tau apa-apa, emak pun tidak pernah melibatkan kami?
Jawab:
Memang banyak kasus seperti
ini, karena kita dekat dengan mertua, dianggap saudara lain kalau kita satu
kubu atau Sekutu mertua. Tetaplah berbuat baik kepada bibi dari suami tersebut, anggap tidak
pernah terjadi perselisihan dan tidak tahu perselisihan tersebut. Dan akan jauh
lebih baik jika kalian suami istri menjadi jalan agar mereka baikan kembali.
Cari jalan agar dekat
dengan bibi tersebut, lalu cari jalan
agar mertua dan bibi tersebut baikan. Anty tentu sayang mertua, dan
tidak ingin pahalanya tertahan hanya karena memusuhi saudaranya sendiri..
5. Assalamu'alaykum ustadz.
Ada titipan pertanyaan dari teman. Bagaimana sikap kita terhadap ipar kita
(saudara suami) dengan sepupu suami yang sedang bertengkar. Tidak bertegur sapa
dalam waktu yang lama, sedang rumah mereka berhadapan. Karena kakak ipar pernah
engga membolehkan kita berkunjung ke rumah sepupu jika ada hajatan di sana. Apa
kita harus ikuti ustadz dengan niat menjaga perasaan ipar kita? Syukron
jawabannya.
Jawab:
Ini adalah lahan dakwah bagi
anty, ayo dakwahi ipar dan sepupunya, katakan kepada mereka bahwa memusuhi
saudara sendiri itu berdosa. Dan tetaplah pada kubu yang netral. Berbuat baik
ke ipar, dan berbuat baik ke sepupunya.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
“Sesungguhnya hanya kaum muslimin yang
bersaudara. Karena itu, berupayalah memperbaiki hubungan antara kedua saudara
kalian..” (QS. Al-Hujurat: 10).
Jika ada yang berselisih,
jadilah penengah. Jangan ikut dalam masalah mereka apalagi ikut mendengarkan
ketika ipar mengghibah saudaranya sendiri..
6. Assalamualaykum. Bagaimana sikap
kita menghadapi mertua yang selalu ikut campur dalam rumah tangga dalam hal
apapun. Bisa di katakan seperti diktator. Makasih.
Jawab:
Dalam berumah tangga, semua
urusan baiknya ditentukan oleh pasangan suami dan istri saja. Karena itu
mintalah ke suami agar tinggal menjauh dari mertua. Karena sikap mertua ikut
campur akan jadi sumber masalah di rumah tangga tersebut. Suatu saat istri akan
kesal ke mertua, lalu mengadu ke suami. Suami lalu tidak terima ibunya di cap
tidak baik dan mulailah terjadi benih-benih perpecahan, apalagi suami punya kewajiban
berbakti ke orang tua.
Karena itu, berusahalah
menjauh dari mertua, minta ke suami dengan alasan agar bisa mandiri, kalau jauh
nanti akan ada rasa kangen dan sayang ke mertua, atau alasan lainnya.
Ingatkan suami, beliau
adalah pemimpin rumah tangga, dan beliau-lah yang memutuskan sesuatunya di
rumah tangga, semakin tidak ada campur tangan orang tua, maka semakin baik kepemimpinannya.
7. Makasih ustadz. Boleh nambah pertanyaan? Bagaimana jika mertua memang
tidak bisa kita jauhi jarak tempat tinggalnya. Karena mertua bersikeras ingin
satu rumah dengan kita?
Jawab:
Kalau tidak bisa jauh, maka
buatlah komitmen pada suami. Bahwa yang mengatur rumah tangga kita adalah kita
berdua. Jika ada mertua ikut mengatur, maka jangan dibantah, namun tak perlu
dikerjakan. Jadi jika sudah komitmen berdua, suami tidak akan menuntut jika
istri tidak menuruti suami.
Satu hal lagi, sering-sering ajak ibunya ikut pengajian
agar berubah cara pandangnya.. semua orang pasti bisa berubah, mintalah pada
Allah yang maha membolak-balikkan hati agar sikap mertuanya berubah..
8. Ada teman yang titip pertanyaan ustadz. Assalamualaikum ustadz, kalau suami meminta
istri untuk resign dari kantor tetapi istri tidak mau keluar, dengan alasan
istri karena jaman sekarang susah cari kerja apalagi PNS (pekerjaan istri
sekarang adalah PNS) apalagi suami 3 tahun lagi mau pensiun dari kantor (suami
bekerja di bank), sedangkan alasan suami menyuruh istri resign karena suami
ingin istrinya mengurus anak dan mengurus suami.
Pertanyaannya:
1. Apakah berdosa istri
tidak menuruti perintah suami karena sudah 2 tahun suami menyuruh istri resign
tapi tidak dilaksanakan
2. Apa yang harus dilakukan
istrinya, menuruti suami atau resign dari kantor.
Terimakasih ustadz.
Jawab:
Lakukan tawar menawar ke
suami dengan cara yang baik. Beliau bekerja di Bank jelas pekerjaan yang
diharamkan, karena yang dimakan adalah Riba, yang dibawa pulang adalah uang
hasil riba, yang diberi ke anak istri adalah hasil kerja instansi ribawi. Tawarkan ke
beliau, jika beliau mau keluar dari bank, lalu mencari pekerjaan yang jauh dari
riba. Maka istri akan keluar dari pekerjaan dan tinggal di rumah. Pada posisi ini
istri memang harus taat pada suami, namun keluarga anty harus punya opsi
penghasilan lain selain dari uang kerja di Bank, dari bank banyak mengandung
riba.
9. Ustadz maaf, ijin bertanya ustadz, kakak-kakak ipar saya bekerja di
bank BRI, lalu istri mereka adalah ibu rumah tangga. Apakah kakak-kakak saya
juga harus keluar dari pekerjaannya ustadz?
Jawab:
Iya, hindari segala
pekerjaan yang mengandung ribawi, jangan takut dengan rezeki. Dari Jabir bin
‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ
“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau
kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena
sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah
mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah
kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah
jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits
ini shahih).
10. Izin bertanya ustadz, bagaimana sebaiknya jika kakak ipar selalu
berkata tidak baik pada keluarga suaminya terkesan selalu merendahkan karena
merasa dia lebih berpendidikan, sedangkan suaminya dilarang untuk menjalin
silaturahim dengan keluarganya sendiri, ditekan dan dilarang keras oleh
istrinya. Selama ini saudara dari suami akhirnya menjauh dan tidak berhubungan
lagi demi menghindari perkataan dan hinaan dari istri saudaranya?
Jawab:
Tidak layak seorang istri
mengatur suami, apalagi karena merasa lebih baik pendidikannya. Apalagi
melarang suami berbakti pada orang tua. Ingat, Istri itu milik suami, dan suami itu
adalah milik ibunya. Istri tersebut harus dinasihati oleh si suami, dakwahi dengan cara yang
baik. Jika tidak mau berubah, carilah istri lain yang bisa mendekatkan suami
kepada Allah dengan berbakti ke orang tua. Masih banyak wanita
sholeha yang siap diajak ke syurga bersama-sama.
11.
Kalau sikap keluarga suami yang akhirnya menjauh gimana,
Tadz, seharusnya sikap mereka gimana?
Jawab:
Suami yang baik, harus bisa
memimpin istrinya. Ingat, yang melahirkan beliau adalah ibunya. Tidak ada
namanya mantan ibu, kalau mantan istri ada.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Kita tutup dengan membacakan istighfar....hamdalah..
Astaghfirullahal’adzim..... Alhamdulillahirabbil'aalamiin
Doa Kafaratul Majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا
أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta
astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa
tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon
pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
Wassalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
★★★★★★★★★★★★★★
Badan
Pengurus Harian (BPH) Pusat
Hamba
اللَّهِ SWT
Blog:
http://kajianonline-hambaallah.blogspot.com
FanPage
: Kajian On line-Hamba Allah
FB
: Kajian On Line-Hamba Allah
Twitter:
@kajianonline_HA
IG:
@hambaAllah_official
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment