Senin, 5 Mei 2014
Narasumber: Ustad Dodo Hidayat Sunaly
Notulen: Bunda Lia dan Bunda Fita
لسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Beberapa hari belakangan banyak kiriman pesan yang berbunyi :
SELAMAT MEMASUKI BULAN RAJAB
اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان. ... آمين
Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban serta sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan !
Tiap-tiap bulan memang memiliki pesonanya sendiri-sendiri...Rajab,
Sya'ban, Ramadhan atau yang lainnya. Semuanya pesona-pesona tersebut
bila kita renungkan akan bermuara menambah tsaqafah, pengetahuan
sekaligus keimanan kita.
Seperti sudah menjadi bahagian dari ingatan kita, pada tahun ke 12 dari
kenabian Muhammad shallallahu 'alayhi wassallam, tepatnya tanggal 27
Rajab terjadi peristiwa yang sangat luar biasa yang merupakan mu'jizat
di antara sekian banyak mu'jizat Rasulullah shallallahu 'alayhi
Wasallam, yaitu Isra' dan Mi'raj.
Tapi tulisan ini sama sekali tidak akan mengupas untaian peristiwa
tersebut step by step seperti menceritakan rangkaian kisah. Atau
pro-kontra apakah perjalanannya dengan jasadnya atau cuma foton
(partikel cahaya). Tapi sengaja kita Akan batasi hanya membicarakan
hikmahnya saja dan saya akan khususkan pendalamannya tentang kewajiban
shalat. Saya rasa itu jauh lebih bermanfaat untuk kita kaji kali ini.
Tanpa bermaksud mengecilkan peristiwa besar ini, Isra' Mi'raj dapat kita sarikan -paling tidak- ada tiga hal :
1) Diwajibkannya shalat kepada ummat Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam,
2). Janji Allahu Ta'ala, bahwa ummat Muhammad shallallahu 'alayhi
wasallam akan diampuni dosa-dosanya selama Allahu Ta'ala tidak
disekutukan,
3). Diturunkannya beberapa ayat terakhir Surah Al Baqarah.
Dari tiga inti sari tersebut kita kupas yang pertama saja! Kita bicara
tentang shalat. Berbicara tentang kenapa shalat? Dan berbicara tentang
untuk apa shalat.
1). UNTUK APA SHALAT?
Sutu ketika Rasulullah Shallallahu 'alayhi wasalam shalat (malam) di
rumahnya. Shalat yang sedemikian khusyu'nya. Selain khusyu' juga
sedemikian lamanya. Shalat Rasulullah yang sedemikian itu ternyata
sedari awal diperhatikan serta disimak isteri beliau, Bunda A'isyah
radhiyallahu 'anha. Tak kuasa gelisah menahan tanya, karena kecerdasan
yang beliau miliki, beliau spontan mengajukan pertanyaan selepas
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam menyelesaikan shalat malamnya
tersebut. Beliau bertanya, mengapa shalat Rasulullah sedemikian khusyu'
dan lamanya. Bukankah Rasulullah sudah ma'shum, sepi dari dosa serta
kalau pun ada telah terlebih dahulu diampuni Allahu Ta'ala, baik
dosa-dosa beliau yang telah berlalu dan dosa beliau yaNg akan datang?
Pertanyaan cerdas Bunda A'isyah tersebut akhirnya dijawab Rasulullah
shallallahu 'alayhi wasallam dengan sangat siplomatis sekali,
فقال ” يا عائشة ! أفلا أكون عبدا شكورا ”
Rasulullah menjawab: ‘Wahai A'isyah, bukankah sepantasnya aku menjadi
hamba yang bersyukur?’” (HR. Bukhari no.1130, Muslim no.2820)
Kita diingatkan Rasulullah shallallahu 'alayhi wassalam, bahwa shalat
yang kita kerjakan tidak lain adalah sebagai ungkapan rasa syukur kita
atas nikmat serta karunia yang telah diberikan Allahu Ta'ala tanpa putus
24 jam sehari, 7 hari sepekan.
Jadi kalau kita bertanya, kenapa kita shalat ? Jawabnya karena kita butuh bersyukur !
Ahli bahasa mengatakan,
الشُكْرُ: الثناء على المحسِن بما أَوْلاكَهُ من المعروف
“Syukur adalah pujian bagi orang yang memberikan kebaikan, atas
kebaikannya tersebut” (Lihat Ash Shahhah Fil Lughah karya Al Jauhari).
Atau dalam bahasa Indonesia, bersyukur adalah berterima kasih.
Sedangkan istilah syukur dalam Islam adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Ibnul Qayyim:
الشكر ظهور أثر نعمة الله على لسان عبده: ثناء واعترافا، وعلى قلبه شهودا ومحبة، وعلى جوارحه انقيادا وطاعة
“Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan
melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa
ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan
kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan
ketaatan kepada Allah” (Madarijus Salikin, 2/244)
Lawan dari syukur adalah kufur nikmat, yaitu enggan menyadari atau
bahkan mengingkari bahwa nikmat yang ia dapatkan adalah dari Allahu
Ta’ala. Semisal Qarun yang berkata:
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
“Sungguh harta dan kenikmatan yang aku miliki itu aku dapatkan dari ilmu yang aku miliki” (Al Qashash/28 : 28)
Coba kita bandingkan Qarun dengan Nabi Ibrahim,
Allah Ta’ala menceritakan sifat Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ
مِنَ الْمُشْرِكِينَ (120) شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ
إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan
lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk
orang-orang yang musyrik, Dan ia senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat
Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus”
(QS. An Nahl/16 : 120-121)
Semoga kita termasuk dalam orang-orang yang mengingat nikmat Allahu Ta’ala dengan bersyukur.
اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ .
“Ya Allah! Berilah pertolongan kepadaku untuk mengingwtMu, syukur kepadaMu dan ibadah yang baik untukMu.”
2. UNTUK APA SHALAT ?
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
"Sesungguhnya Akulah Allah; tiada ilah (sesembahan) melainkan Aku; oleh
itu, sembahlah Aku, dan DIRIKANLAH SHALAT UNTUK MENGINGAT AKU. (Thaha/20
: 14).
Jadi Al Qur'an jelas mengatakan, mendirikan shalat itu untuk mengingat Allahu Ta'ala.
Lalu kenapa kita harus mengingat-Nya ?
Lagi-lagi Al Qur'an memberikan penjelasan,
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Karena itu, INGATLAH KAMU KEPADA-KU NISCAYA AKU INGAT (PILA) KEPADAMU ,
dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
(Al Baqarah/2 : 152)
jadi kita diminta untuk senantiasa ingat kepada Allahu Ta'ala agar Dia
juga akan imgat pada kita. Pertanyaan kenapa kita harus mengingat-Nya?
Jawabannya :
1). Nanti Allah akan mengingat kita.
Sekarang perhatikan ayat berikut,
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan HATI MEREKA MENJADI TENTERAM DENGAN
MENGINGAT ALLAH. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram. (Ar Ra'du/13 : 28)
Ternyata ketenangan, ketentraman, kebahagian hidup cuma didapat bilamana
hidup kta selalu ingat pada-Nya. Dengan kata lain mengingat berarti
taat. Hidup akan tentram bila hati kita dekat, taat, tunduk, pasrah
kapada Allahu Ta'ala.
2). Hidup akan tentram.
Sudah terjawab sekarang, shalat yang kita lakukan dengan intensitas yang
begitu tinggi tidak lain untuk kebahagiaan kita sendiri. Bahkan Al
Qur'an menegaskan, hanya dengan mengingat Allah (shalat) hati bisa
menjadi tentram.
Ketentraman bukan barang yang bisa diperjual belikan !
karenanya uang bukanlah segala-galanya. Coba tanya kepada orang yang
sudah menikah, apakah dia rela punya banyak uang tetapi suaminya jarang
pulang.
Lalu bukankah uang hanya bisa membeli tempat tidur, bukan tidurnya...?
Bukankah uang hanya bisa beli makanan, bukannya selera...?
Bukankah uang hanya bisa beli obat, bukannya kesembuhan...?
Bukannya uang hanya bisa beli aksesori, bukannya kecantikan...?
Apakah ketentraman, kebahagiaan, kepuasan bathin akan bisa diperoleh dengan makin lengkapnya semua fasilitas hidup?
TIDAK !!!
Bahkan yangnterjadi justru bisa aebaliknya. Kekacauan, kexemasan, kegalauan akan aemakin menjadi-jadi.
Bukankah di zaman modern ini
- Orang yang kelaparan tambah kronis, merata hampir ada di semua benua?
- Bukankah kekerasan sudah merajalela di semua negara?
- Bukankah kejahatan, kriminalitas sudah menjadi berita lumrah dan bisa dengan mudah dilakukan siapa saja dan di man saja?
Kata Prof Amien Rais, "Selama kematian belum ada obatnya, ketuaan belum bisa ditunda, manusia tidak akan bisa lepas darinya.
PERTANYAAN DAN JAWABAN:
PERTANYAAN PERTAMA
Shaum di bulan Rajab adakah dalilnya?
Masalah shaum di bulan Rajab sudah dibahas panjang lebar oleh Ustadz Dodi. Saya kira saya tidak perlu mengulangnya.
Intinya:
- Tidak dijumpai dalil khusus yang menyebutkan keutamaan bulan rajab.
- Tidak dijumpai dalil yang menyebutkan keutamaan puasa rajab atau shalat sunah khusus di bulan rajab.
- Beberapa sahabat melarang orang mengkhususkan puasa khusus di bulan
rajab atau melakukan puasa sebulan penuh selama bulan rajab.
- Dalil yang menyebutkan keutamaan khusus bagi orang yang melakukan
puasa rajab adalah hadis dhaif, dan tidak bisa dijadikan dalil.
- Bagi orang yang rajin puasa, dibolehkan untuk memperbanyak puasa di
bulan haram. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis Al-Bahily. Hanya saja,
hadis ini berlaku umum untuk semua puasa bulan haram, tidak hanya rajab.
Wallahu a'lam !
PERTANYAAN KEDUA
Bagaimana kiat-kiat agar kita bisa khusyu' dalam shalat?
Banyak orang berusaha mencari jawaban bagaimana agar shalat bisa
khusyu'. Karena shalat yang khusyu' merupakan karunia yang tiada
bandingannya.
“Sesungguhnya karunia pertama yang dicabut Allah dari para hamba-NYA
ialah kekhusyu’an dalam shalat .” HR.Bukhari, HR.Thabrani, An-Nasa’I Dan
lainnya.
Khuayu' itu sendiri adalah lafzhul mustarak, kata yang mempunyai aneka
makna. Khusyu' bisa berarti tunduk, pasrah, tenang, merendah, serius,
menghayati dan lain makna lagi.
Sedang Arti KHUSYU' itu sendiri mirip dengan kata KHUDHU', hanya saja
jika kata KHUDHU' itu lebih sering digunakan untuk anggota badan, tapi
kata KHUSYU' ini ialah untuk kondisi dan gerak-gerik hati.
Dan pantas saja hampir semua arti khusyu' di dalam Al Qur'an selalu
mengacu kepada HARI QIYAMAH, BANGKIT DARI KUBUR, TAKUT, SAKARATUL MAUT.
Coba perhatikan Al Qamar/ : , Al Hasyr/59 :21, Al Qalam/68:43, Al
Ghaasyiyah/88:2 mengindikasikan keseriusan, menghadirkan suasana bening,
takut, tunduk dan tidak ada yang bisa dijadikan main-main.
Dari banyak teori darn premis tentang khusyu', paling tidak ada beberapa
yang tidak bisa tidak harus dilakukan agar shalat kita bisa khusyu'.
1). Mengarti sekaligus memahami apa yang dibaca.
Hai orang-orang yang beriman, JANGANLAH kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, SEHINGGA KAMU MENGERTI APA YANG KAMU UCAPKAN. An Nisaa'/4
: 43
Kepada siapa kita persembahkan shalat ini? Bukankah kepada Dzat yang menguasai hidup dan kehidupan kita?
Apabila seorang diantaramu sedang shalat, maka sesungguhnya dirinya
sedang berbicara kepada Allah,,,, HR. Bukhari 531, HR.Muslim, An-Nasai
2). Meyakini shalat yang tengah kita laksanakan adalah shalat untuk yang terakhir kalinya.
Dari Abi Ayyub ra bahwa Nabi saw bersabda: Apabila engkau mendirikan
shalat maka maka shalatlah seperti shalatnya orang yang akan berpisah
(mati)”. (Musnad Imam Ahmad: 5/412)
3). Tenang tidak grasa-grusu (tuma'ninah)
Ingat, tuma'ninah (tenang) adalah rukunnya shalat. Tidak syah shalat yang dilakukan dengan ketergesaan.
Sejahat-jahat pencuri ialah orang yang mencuri dari shalatnya.” Mereka
bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana ia mencuri shalatnya?” Beliau
menjawab: “Ia Tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” HR. Ahmad, 5/310
dan Shahih Al-Jami’ No.997
Seperti dijelaskan di atas, kiat agar shalat khusyu' banyak sekali. Tiga hal di atas merupakan pokok-pokoknya.
Wallahu a'lam!
PERTANYAAN KETIGA
Apakah boleh isteri menasehati suami untuk mengerjakan shalat?
Tentu saja boleh, bahkan sangat dianjurkan!
Mengingatkan pasangan hidup bilamana ada yang lalai melaksanakan kewajiban adalah sesuatu yang sangat dianjurkan.
Itulah sejatinya pasangan hidup. Dia adalah leven band, tali hidup. Tak
satu pun bisa maju semili pun tanpa disertai yang lainnnya. Kita
menegenal terminologi lainnya dengan mawaddah. Mawaddah hampir sama
dengan mahabbah. Cuma kalau mahabbah itu kita pergunakan kepada Allahu
Ta'ala, karena kita yang butuh kepada Dia. Allahu Ta'ala sendiri tidak
butuh kepada kita.
Sedangkan mawaddah, sua belah pihak sama saling membutuhkan.
Jadi, sepatutnyalah bila salaha satu pasangan ada yang bermasalah
pasangan lainnya membatu mengatasinya. Bila pasangan kita tengah
terbujuk perangkap setan (enggan shalat), sepatutnya pasangan lainnya
melepaskan perangkap tersebut dengan menasehatinya, merangkulnya,
menyadarkannya, memberikan pengertian dengan tidak mudah bosan dan penuh
kesabaran.
وَالْعَصْرِ ١
إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ٢
إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ٣
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran. Al 'Ashr/103 : 1-3
Wallahu a'lam!
PERTANYAAN KEEMPAT
Bagaimana meyakinkan anggota keluarga karena mereka sering menyepelekan saya?
Meyakinkan keluarga, bahkan orang lain, agar kita tidak dianggapnya sepele mudah saja.
Buktikan terlebih dahulu dengan ketauladanan!
Mereka menyepelekan kita soal harta, jawablah mereka kalau kita lebih "kaya" daripada mereka.
Mereka menyepelekan kita soal ilmu, buktikan kepada mereka bahwa kita memang "pandai".
Mereka tidak menganggap kita dalam menyelesaikan persoalan, tantang
mereka bahwa semua persoalan yang kamu hadapi "semuanya enteng dan
ringan" (jangan malah kita menjadi bahagian dari masalah).
Rasul memberi pesan, siapa orang yang takutnya hanya kepada Allah, maka
Allah akan takutkan semua makhluk kepadanya. Siapa orang yang takut
kepada selain Allah, maka Allah akan takutkan dia kepada semua makhluk
Wallahu A'lam!
PERTANYAAN KELIMA
Apa hukum merayakan Isra' Mi'raj?
abi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang al-amin (yang
terpercaya) dan memiliki sifat amanah. Dengan sifat inilah, beliau telah
menyampaikan seluruh risalah dan syari’at Allah subhanahu wata’ala
kepada umat ini dengan lengkap dan sempurna. Tidak ada satu kebaikan
pun, kecuali pasti telah beliau ajarkan kepada umatnya. Dan tidak ada
satu kejelekan pun, kecuali pasti telah beliau peringatkan dan beliau
larang umatnya untuk mengerjakannya.
Kalau seandainya peringatan Isra’ Mi’raj itu bagian dari risalah dan
syari’at Allah subhanahu wata’ala, pasti beliau telah ajarkan kepada
umatnya. Kalau seandainya peringatan Isra’ Mi’raj ini amalan yang baik,
maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para shahabatnya adalah
orang-orang pertama yang mengadakan acara tersebut. Demikian pula para
ulama generasi berikutnya yang mengikuti dan meneladani mereka, semuanya
akan mengadakan perayaan-perayaan khusus untuk memperingati Isra’
Mi’raj Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sehingga acara peringatan Isra’ Mi’raj, dalam bentuk apapun acara
tersebut dikemas, merupakan amalan bid’ah, sebuah kemungkaran, dan
perbuatan maksiat karena:
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri tidak pernah
merayakannya atau memerintahkan kepada umatnya untuk merayakannya.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهْوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk urusan
(syari’at) kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)
2. Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan seluruh shahabat radhiyallahu ‘anhum
tidak pernah pula merayakannya. Demikian pula para tabi’in, seperti
Sa’id bin Al-Musayyib, Hasan Al-Bashri, dan yang lainnya rahimahumullah.
3. Para ulama yang datang setelah mereka, baik itu imam yang empat (Abu
Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad), Al-Bukhari, Muslim, An-Nawawi, Ibnu
Taimiyah, Ibnu Katsir, Ibnul Qayyim, Ibnu Hajar Al-’Asqalani, dan yang
lainnya rahimahumullah, hingga para ulama zaman sekarang ini. Mereka
semua tidak pernah merayakannya, apalagi menganjurkan dan mengajak kaum
muslimin untuk mengadakan peringatan itu. Tidak didapati satu kalimat
pun dalam kitab-kitab mereka yang menunjukkan disyari’atkannya
peringatan Isra’ Mi’raj.
Kalau masih ada yang beranggapan bahwa perayaan untuk memperingati Isra’
Mi’raj itu adalah baik, maka katakanlah sebagaimana kata Al-Imam Malik
bin Anas rahimahullah:
مَن ابْتَدَعَ في الإِسلام بدعة يَراها حَسَنة ؛ فَقَدْ زَعَمَ أَن مُحمّدا
– صلى الله عليه وعلى آله وسلم- خانَ الرّسالةَ ؛ لأَن اللهَ يقولُ : {
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ فما لَم يَكُنْ يَوْمَئذ دينا فَلا
يكُونُ اليَوْمَ دينا}
“Barangsiapa yang mengadaka-adakan kebid’ahan dalam agama Islam ini, dan
dia memandang itu baik, maka sungguh dia telah menyatakan bahwa
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah berkhianat
dalam menyampaikan risalah, karena Allah telah berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
(Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian), maka
segala sesuatu yang pada hari (ketika ayat ini diturunkan) itu bukan
bagian dari agama, maka pada hari ini pun juga bukan bagian dari agama.”
Wallahu A'lam!
PERTANYAAN KEENAM
Apa definisi ummat Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam?
Supaya tidak "wah", pertanyaannya saya ganti kata "definisi" dengan kata "kriteria" saja.
Ringkasnya ummat Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam yang ideal adalah
setiap orang yang bersyahadat, mendirikan shalat, berpuasa di bulan
Ramadhan, berzakat dan melaksanakan hajji.
Namun di tengah masyarakat muslim terjadi perselisihan kriteria mulai
dari shalat dan seterusnya. Cuma syahadat yang hampir semua kelompok
menyepakatinya sebagai kriteria yang tidak diperselisihkan.
Seabagai gambaran, definisi Ridah (keluar dari Islam) saja beda kelompok, beda pendapat.
Note : Ridah adalah memutuskan Islam, baik karena niat, karena
perbuatan, atau karena perkataan, dan sama halnya ia mengatakannya untuk
tujuan menghinakan, atau karena mengingkari, dan atau karena meyakini
(kata-kata kufur tersebut).
Wallahu A'lam!
PERTANYAAN KETUJUH
Sedang berdzikir ketiduran, sebaiknya diulang atau lanjut?
Tidur adalah persoalan biologis dan ritmik kehidupan. Kata "ketiduran" menegaskan kalau tidurnya itu tanpa sengaja.
Tidur, apalagi yang tidak sengaja, tidak menyebabkan jatuhnya hukum pada yang bersangkutan dalam semua perkara.
Tidak ada taklif (beban) hukum baginya, apakah halal, haram, mubah dsb.
Terlebih yang akan kita rujuk adalah soal dzikir, dimana dzikir tidak
harus berurutan, tidak perlu harus bacaannya ini dan ini baru syah.
Dalam kasus ketiduran di atas, bilamana masih tersedia waktu, silakan mengulang atau menambah jumlahnya.
Karena dzikir adalah ibadah yang diminta kita melakukannya sebanyak-banyaknya.
"Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya (QS. Al Ahzab: 41).
Wallahu a'lam !
PERTANYAAN KEDELAPAN
Bolehkah menyebut nominal sedekah, padahal yang bersangkutan sudah menutupi jatidirinya dengan sebutan Hamba Allah?
Saya kira itu soal tehnis saja. Bisa jadi yang bersangkutan hanya ingin
mengetahui apakah shadaqahnya telah diterima panitia. Bisa jadi yang
bersangkutan ingin -dengan menyebut nominalnya- orang lain bisa tergugah
untuk berfastabiqul khayrat (terpacu untuk bershadaqah lebih banyak
lagi dalam rangka berlomba beramal shalih).
Dan maskih banyak kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Selain itu, tidak semua shadaqah harus disembunyikan, baik nominalnya
maupun pendermanya. Kalau semua shadaqah wajib disembunyikan, bagaimana
kita tahu Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam dan para shahabat
ridhwanullah 'alayhim berinfaq sekian dan sekian ketika menutup biaya
perang, misalnya?
Sekali lagi, itu berkenaan dengan tehnis saja. Akan jauh lebih penting
kita harus ikhlas dalam tiap beramal termasuk bershadaqah.
Wallahu A'lam
PERTANYAAN KESEMBILAN
Bagaimana kedudukan niat dan apakah niat itu adalah membaca ashalliy?
Niat itu pekerjaan hati. Bila niat dilafazhkan atau diucapkan disebut iqrar. Bararti niat cukup di dalam hati.
Membaca niat ushalli tidak pernah dipraktekkan dan tidak pernah
diajarkan oleh Rasulullah B, berarti suatu bid’ah yang harus
ditinggalkan, sebab jika tidak maka hanya akan membuat shalat kita tidak
diterima oleh Allah; عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ "ص"
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. Barang
siapa yang membuat hal yang baru di dalam perkaraku (praktek ibadah)
yang tidak ada (contoh) di dalamnya dari perkara itu, maka (hal yang
baru) itu ditolak. HR. Al-Bukhari : 2550 (2/959) dan Muslim : 4589
PERTANYAAN KESEPULUH
Bolehkah shalat sambil memejamkan mata kalau itu bisa membuat saya lebih khusyu'?
Mayoritas Ulama Fiqh menilai makruhnya shalat dengan memejamkan kedua
mata berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam
“Bila salah seorang diantara kalian berdiri menjalankan shalat, maka
janganlah memejamkan kedua matanya” (HR. at-Thabrany dalam Mu’jam
al-Kabiir XI/34)
Tetapi mayoritas mereka juga membolehkan memejamkan mata bilamana dengan
memejamkan mata dapat mencegah dari melihat kemaksiyatan, mencegah dari
sesuatu yang membahyakan, menyebabkan kekhusyu'an.
Wallahu a'lam!
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT