Home » , , » KAJIAN EKONOMI ISLAM (1): SEGITIGA KREDIT

KAJIAN EKONOMI ISLAM (1): SEGITIGA KREDIT

Posted by Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT on Thursday, July 3, 2014



Kajian Online WA Hamba اللَّهِ SWT 

Rabu, 2 Juli 2014/4 Ramadhan 1435 H
Narasumber: Ustd. Dodi Kristono
Notulen: Ana
Editor: Nofita


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Contoh dari Praktek Riba di Jaman Sekarang...
Sudah tahukan bahaya akan Riba...?
Dalam bahasa Arab riba bermakna tambahan boleh jadi tambahan pada suatu benda semisal makna kata riba dalam QS Al Hajj: 5 atau pun tambahan pada kompensasi dari benda tersebut semisal barter seribu rupiah dengan dua ribu rupiah. Dalam syariat, riba bermakna tambahan atau penundaan tertentu yang dilarang oleh syariat. Salah satu bukti otentik antusias Nabi صلى الله عليه وسلم dalam memperingatkan umatnya dari keburukan muamalah ribawi, adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Beliau صلى الله عليه وسلم bersabda:

« اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ ؟ قَالَ : « الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ »
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang menghancurkan (maksudnya 7 dosa besar). Mereka (para sahabat) bertanya; ‘Apa saja, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda; ‘Menyekutukan اللّهُ , sihir, membunuh jiwa yang diharamkan اللّهُ , memakan riba, makan harta anak yatim, berpaling dari medan perang, dan menuduh wanita mukminah yang baik-baik berbuat kekejian (zina).” (HR. al-Bukhari III/1017 no.2615, dan Muslim I/92 no.89)

Hadist di atas menyebutkan memakan RIBA. Bagaimana sih praktek riba yang terjadi dijaman sekarang...?

Begitu pesatnya pertumbuhan ekonomi makro dan mikro yang terjadi mendunia dan juga memberikan dampak terhadap perekonomian yang sesuai dengan syariat yang tentunya akan bersentuhan dengan aktifitas kita seharian. Untuk menumbuhkan kewaspadaan terhadap ancaman riba, diharapkan para Bunda dan Nanda dapat sedikit memahami praktik riba yang telah merajalela dan mengalami modernisasi. 

Yang akan kita kupas tuntas dalam praktek yang sering terjadi dan kita kelompokkan menjadi :
1. Kredit segitiga (Kajian)
2. Pergadaian
3. Mengkaitkan Nilai Piutang dengan Harga Barang. 
4. Tukar tambah Emas
5. Kartu Kredit
6. Sukuk

Yang akan kita bahas dalam kajian ini adalah yang berhubungan dengan kredit segitiga dulu ya Para Bunda dan Nanda

A. KREDIT SEGITIGA
Praktik riba berupa piutang yang mendatangkan keuntungan sering kali dikemas dalam bentuk jual beli walaupun sejatinya jual beli yang terjadi hanyalah kamuflase belaka. Di antara bentuk kamuflase riba dalam bentuk jual beli ialah dalam bentuk perkreditan yang melibatkan tiga pihak antara lain : 
1. Pemilik barang, 
2. Pembeli dan 
3. Pihak pembiayaan.

Pihak pertama sebagai pemilik barang mengesankan bahwa ia telah menjual barang kepada pihak kedua, sebagai pemilik uang dengan pembayaran tunai. Selanjutnya pembeli menjualnya kepada pihak ketiga dengan pembayaran diangsur, dan tentunya dengan harga jual lebih tinggi dari harga jual pertama.

Sekilas ini adalah jual beli biasa, namun sejatinya tidak demikian. Sebagai buktinya :
• Barang tidak berpindah kepemilikan dari penjual pertama.
• Bahkan barang juga tidak berpindah tempat dari penjual pertama
• Segala tuntutan yang berkaitan dengan cacat barang, penjual kedua tidak bertanggung jawab, namun penjual pertamalah yang bertanggung jawab.
• Sering kali pembeli kedua telah membayarkan uang muka (DP) kepada penjual pertama.

Indikator-indikator tersebut membuktikan bahwa sejatinya pembeli pertama, yaitu pemilik uang hanyalah memiutangkan sejumlah uang kepada pihak ketiga. Selanjutnya dari piutangnya ini, ia mendapatkan keuntungan.

Jauh-jauh hari Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah melarang praktik semacam ini, sebagaimana disebutkan pada hadits berikut.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَنْ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : وَأَخسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ
“Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menuturkan, “Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya’. “Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan”. [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim no. 3913]

Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menjelaskan alasan dari larangan ini kepada muridnya, yaitu Thawus. Beliau menjelaskan bahwa menjual barang yang belum diserahkan secara penuh adalah celah terjadinya praktik riba.

قُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ : كَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ : ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأ
Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, “Mengapa demikian?” Beliau (Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma) menjawab. “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah mejual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda (hanya kedok belaka)”. Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim hadits no. 3913

Contoh sederhananya :
Dalam sebuah showroom dealer sepeda motor, dipajang sebuah motor dengan harga 10 juta tunai dan 17 juta kredit. Datang pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil (kredit). Setelah deal transaksi, beliau akan diminta mengisi formulir plus tanda tangan, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.

Setelah akad jual-beli ini selesai dan pembeli-pun membawa pulang motor yang dibeli, selanjutnya beliau berkewajiban menyetorkan uang cicilan motor ke bank atau lembaga pembiayaan, dan bukan ke dealer tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang dibeli.

Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa Pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau lembaga pembiayaan, bukan ke dealer tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?

Jawabannya sederhana, karena Bank atau lembaga pembiayaan telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak dealer, yang intinya, bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban melunasi harga motor tersebut, konsekwensinya pembeli secara otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Praktik semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.

Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syariat. Akan tetapi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Bila kita mencermati kredit segitiga yang dicontohkan di atas, dapat dipahami dari dua sudut pandang :
Pertama, Bank mengutangi pembeli motor tersebut Rp 10 juta, dalam bentuk Bank langsung membayarkannya ke dealer. Kemudian pak Ahmad dituntut untuk melunasi cicilan piutang Rp 17 juta tersebut ke bank.

Bila demikian yang terjadi, maka transaksi ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Tujuh juta yang menjadi tambahan adalah riba yang diserahkan ke bank. Hukum transaksi ini terlarang, sebagaimana ancaman dalam hadis dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Beliau juga bersabda: “Mereka semua dosanya sama.” (HR. Muslim)

Kedua, Bank membeli motor tersebut dari dealer dan menjualnya kembali kepada pak Ahmad. Hanya saja bank sama sekali tidak menerima motor tersebut. Bank hanya mentransfer sejumlah uang seharga motor tunai, kemudian pembeli membayar cicilan ke bank. Bila realita bank membeli motor ini benar, maka Bank telah menjual motor yang dia beli sebelum menerima motor tersebut. Sehingga Bank atau lembaga pembiayaan telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan atas nama pembeli, dan bukan atas nama bank yang kemudian dibalik nama ke pembeli.

Bagaimana kalau Hukum Kredit Langsung dan tanpa segitiga...?

Kredit yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli merupakan transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syariat. 

Bahkan meskipun harga beli kredit lebih tinggi dibandingkan harga harga beli tunai. Inilah pendapat yang paling kuat, yang dipilih oleh mayoritas ulama. 

Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut:

1. Perhatikan Firman اللّهُ ,
">يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah 2: 28)
Akad kredit termasuk salah satu bentuk jual beli utang. Dengan demikian, keumuman ayat ini menjadi dasar bolehnya akad kredit.

2. Perhatikan hadis dari Aisyah radhialahu ‘anha, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم membeli sebagian bahan makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran diutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya. (Muttafaqun ‘alaih)

3. Perhatikan juga hadis Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu,
“Rasulullah صلى الله عليه وسلم memerintahkanku untuk mempersiapkan pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan. Nabi صلى الله عليه وسلم memerintahkan Abdullah bin Amr bin ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran tertunda, hingga datang saatnya penarikan zakat. Kemudian Abdullah bin Amer bin Ash membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan dihasankan oleh Al-Albani).

Kisah ini menunjukkan, boleh menaikkan harga barang yang dibayar secara kredit, bahkan meskipun dua kali lipat dari harga normal.

Adapun hadis yang menyatakan, “Barangsiapa yang melakukan jual beli dua kali dalam satu transaksi maka dia hanya boleh mengambil harga yang paling rendah, kalau tidak, maka dia terjatuh ke dalam riba.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan dishahihkan Al-Albani).

Hadis ini shahih, namun tafsir yang tepat adalah sebagaimana yang dijelaskan Ibnul Qayyim dan lainnya, bahwa hadis ini merupakan larangan jual beli dengan cara ‘inah.

Jual beli ‘Inah adalah si A menjual HP kepada si B seharga Rp 1,2 juta kredit. Kemudian si B menjual kembali HP itu kepada A seharga 1 juta tunai. Kemudian si A menyerahkan uang 1 juta kepada si B dan membawa HP tersebut. Sementara si B wajib membayar cicilan utang 1,2 juta kepada si A.

Kita cukupkan kajian ini sampai disini dahulu, next session kita akan masuk satu persatu kedalam point-point yang sudah disebutkan diatas. 

(To be continued in sha اللّهُ )
والله أعلم بالصواب

Penutup

Kita sudah mengetahui bahaya Riba di Kredit Segitiga ini, dan point lainnya akan dibahas pada kunjungan berikutnya. 

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.
HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya.
Luar biasa Dosa yang diakibatkan oleh Riba (menzinahi Ibu Kandung, lebih besar dari 36x zina dengan pelacur dan banyak lagi lainnya). 

TANYA DAN JAWAB:

1. Kalau di BMT dan bank syariah itu sistem kreditnya sepertinya juga segitiga tadz ?
Jawab:
In sha اللّهُ kalau yang murni syariat tidak Bunda. Barang merupakan hak milik dari Bank, bukan kita sebagai pemiliknya. Dan biasanya tidak dikenakan denda jika ada keterlambatan. 

2. Kalau kita terlanjur ada di dalamnya harus bagaimana?
Jawab:
Berdoa saja semoga ada rezeki tambahan yang memang akan kita lunaskan dengan segera .

3. Kalau jual beli dengan dua harga sepertinya ini jika beli cash harganya A kalo kredit harganya B boleh tidak ?
Jawab :
Tidak Boleh

4. Ustadz kalau yang kerja di leasing nya apa termasuk pemakan riba? Kalau bank konvensional riba juga ustadz? Bagaimana juga yang bekerja di bank nya?
Jawab:
Semuanya kena kategori pendapatan perusahaan yang dihasilkan dari RIBA. Berniat dengan sungguh-sungguh untuk mencari pekerjaan baru ya Bun. Jika belum dapat tidak keluar dulu tidak apa apa.

5. Kalau si pemilik barang tidak punya modal untuk menghutangkan barang kepada si pembeli, supaya tidak terjadi kredit segitiga bagaimana solusinya pak?
Jawab:
Kita beli tunai saja dari pemilik barang Bunda. 

6. Pa Ustadz, sayakan pembuat langsung barangnya dengan harga sekian terus orang ambil dan jual lagi dengan harga lebih tinggi apa saya juga disebut riba karena turut makan hasil penjualan tersebut. Mohon pencerahannya. Makasih, Salam.
Jawab:
Itu masuknya MARGIN KEUNTUNGAN. Di Islam diperbolehkan mengambil Margin berapapun, bahkan sampai 100% diperbolehkan.

7. Assalamualaikum pak Dody, Bagaimana dengan sistem kredit uang pak, contoh saya pinjam uang dari koperasi 100 ribu, dibayarnya jadi 120ribu, tapi dicicil tiap hari. Dan kalau misal telat bayar pun tidak ada bunga lagi, tetap segitu. Bagaimana pak?
Jawab:
Jika uang tersebut "beranak" maka kena kategori riba. Karena ini PINJAM UANG, bukan pembelian barang. Jika pembelian barang diperbolehkan.

8. Maksudnya kita yang pemilik barang, misalnya jual beli sepeda motor. Kalau kita kreditkan ke konsumen, lama-lama kan tidak punya uang untuk beli motor lain lagi.
Jawab:
Kita mengkreditkan ke orang lain tidak apa-apa kok, selama tidak ada 2 harga baik cash atau kredit. 
Jika kita tidak punya uang secara cash untuk membeli motor baru lagi, dan kita lakukan kredit (harganya ada 2), maka ini tidak diperbolehkan :
1. Riba 
2. Menjual barang yang belum sepenuhnya milik kita (motor kredit dijual lagi dengan kredit).

9. Assalamuallaikum, pak ustad saya pengurus koperasi kalau yang pinjam +1,5%. Tapi setiap tahun jasanya kita bagikan lagi di RAT sebagai sisa hasil usaha dan sebagian lagi jadi modal, bagaimana?
Jawab:
Sama saja Bunda. Karena sudah ditetapkan di akad berapa persen yang harus kembali. Ini juga masuk kategori Riba Bunda.
10. Pak mau tanya, kalau pinjam uang di bank, itu termasuk riba? Tapi kita sangat membutuhkan uang dari bank. Bagaimana menurut pak Dody, sikap yang saya ambil. Karena butuh uang itu pinjam atau mundur?
Jawab:
Lebih baik cari saudara, teman, sahabat yang mau meminjamkan kepada kita dengan kita kasih saja agunan sebagai bentuk keseriusan kita mencicil. Jika tidak ada bersifatlah - Qonaah (menyukupkan diri). Beraaattt siiihh.

Tanggapan Penanya:
Kemungkinan tidak boleh pak pinjam saudara, pinjam buat beli rumah, daripada cicilkan murah beli kontan, pakai uang bank bunganya lebih kecil jadi maju saja pak saja ya pak
Jawab:
Heheheheheheh. Keputusan ditangan Bunda yaaa.

11. Assalamualaikum pak saya mau tanya kalau bisnis yang di kelola "Ustad M" itu apakah saya bukan termasuk riba, contoh misal kita pakai model 1900, kita cari bawahan kita dapat bonus bagaimana hukumnya, sebab teman saya mengajakin terus saya jadi binggung takut itu termasuk riba, mohon penjelasanya syukron kasiron pak.
Jawab: 
Perlu kita tahu detail sistemnya seperti apa, jadi kita tidak langsung menghakiminya Bunda.

12. Pa Ustadz, travel umroh/haji kalau kita bisa dapat orang untuk member terus kita dapat uang sekian itu bagaimana ya?
Jawab: 
Itukan bisa dianggap sebagai upah marketing Bunda. In sha اللّهُ diperbolehkan Bunda.

13. Kalau pinjam uang untuk modal usaha, masuk riba juga ya ustadz? Bagaimana solusi yang baik, terkait kebutuhan kita terhadap uang untuk modal usaha agar bisa menghindari riba?
Jawab:
Kalau memang benar-benar untuk Usaha. Bank syariat ada kantong untuk mengucurkan dana ini dan mereka akan melakukam penilaian Bunda. Coba dicek cek saja yaaa

Tanggapan Penanya:
Terus gimana solusinya agar usaha terus bisa berlangsung?
Jawab:
Pinjam modal usaha ke Bank Syariat, Bunda. Akadnya harus jelas Bunda. Mana yang dibayarin mana yang tidak, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Harus disampaikan semuanya ke nasabah.

Tanggapan Penanya:
Berarti jadi agen itu harus memahami ilmunya ya kang, jangan baru AAJI dah dipaksa lidernya mencari nasabah buat ilustrasinya, kasihan nasabah jadi kobran ya kang?
Jawab: 
Tak Boleeeeh

14. Berarti kalau kita mengambil rumah cicil BTN. Itu juga riba yah pak? Terus kalau terlanjur kita ambil KPR-BTNnya dan masih tersisa sekian tahun ke depan bagaimana jadinya pa?
Jawab:
Kalau memang belum ada jalan... Teruskan saja Bunda, sambil berdoa dan siapa tahu diberi rezeki dadakan... Niatnya kita LUNASI.

15. Mau nanya lagi kang, sistim perusahaan asuransi itu apa halal kang?
Jawab:
Selama azasnya tolong menolong (tabarru) diperbolehkan, ini seperti sistem arisan di salah satu RT, ada iuran. Jika ada warganya yang sakit, maka dibantu dengan iuran tersebut. 
Asuransi terbagi 2 :
1. Asuransi Kerugian (mobil, kebakaran dll)
2. Asuransi Jiwa
Sudah dipastikan ASURANSI KERUGIAN → HARAM. 

Kita masuk yang kedua yaaa. 
Asuransi Jiwa dibagi dalam 2 juga :
1. A. Jiwa Konvensional
2. A. Jiwa Syariah. 
Asurang Jiwa Konvensional sudah dipastikan keharamannya.
Sekarang kita bahas Asuransi Jiwa Syariah. Asuransi ini bisa masuk kategori halal asalkan azasnya adalah TABARRU (tolong menolong) dan terhindar dari 3 hal yaitu :
1. Maasyir
2. Gharar
3. Riba
والله أعلم بالصواب

15. Satu lagi pak. Saya di rumah kreditin barang, suatu hari ada ibu yang pengen kredit baju seragam sekolah, tapi berhubung susah nyarinya itu barang karena ukurannya sangat besar, ibu itu bilang saya aja yang belanja, akhrnya saya kasih ibu itu uang untuk beli, setelah dapat baru dihargain kredit dengan harga tertentu. Tapi beberapa kali saya tegasin ke ibu itu, saya kreditin baju ya bu, bukan uang, tapi saya masih takut untung buat saya itu ada masuk unsur riba karena yang beliin ke pasarnya ibu yang mau ngutangnya. Gimana pak dody? 
Jawab : 
Boleh kok di islam kredit mengkredit. Asalkan jangan ada 2 harga dalam 1 barang. 
Cash = Kredit = Harga sama
Caranya kita ambil barang dari produsen kemudian kita tinggikan marginnya.

16. Kalo pinjam uang sama saudara terus minta dikembalikan dilebihkan 5 persen. Itu riba juga bukan ustadz?
Jawab:
Kalau di akadnya tidak dibicarakan, kita mau lebihkan jika sudah selesai dipersilahkan. Justru ini lebih baik, tanpa yang memberi hutangan tahu maksud kita.

17. Syukron pak. Saya mau ada orang mau pinjam uang kita dipertengahan bulan 100 ribu dia kasih kita giro yang bisa cair akhir bulan nilainya lebih dari 125 ribu. Itu bagaimana?
Jawab:
Selama tidak dibicarakan di depan tidak apa apa. Tapi dari contoh di atas, kita sudah tau didepan bahwa ada selisih 25 ribu, ini Tak Boleeeeeh. Maksudnya dia ga punya uang cash dia punya giro yang baru akan cair 2 minggu ke depan. Jadi si peminjam yang punya giro yang bilang sendiri, saya pinjam uang donk 100 ribu ini giro saya ambil buat kamu tapi cairnya 2 minggu lagi. Itu loh bunda-bunda. Tak boleeeh yaaa. Karena sudah disounding diawal.

18. Assalamuakum pak, bagaimana hukumnya kerja dengan non muslin, apa uang gajinya yang di terima haram?
Jawab:
Tidak apa apa kerja dengan non muslim, selama mereka tidak melarang kita melakukan ibadah. Uang kerjanya in sha اللّهُ halal.

19. Jadi kalau riba tuh ada akad di depan minta dilebihkan gitu ya pak? Berapa pun itu?
Jawab:
Betul Bunda. Kalau pinjaman Uang dengan Uang. Kalau pembelian barang, boleh mengambilan margin keuntungan.

Kita cukupkan sampai disini yaaa

Doa Kafaratul Majelis

 سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika

“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
Semoga bermanfaat.
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Post a Comment

Ketik Materi yang anda cari !!