Hari / Tanggal : Rabu, 24 September 2014
Narasumber : Ustad Dian Alamanda
Materi : Kajian Umum
Notulen : Nurza
Editor : Ana Trienta
اسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الحين
Hari ini sharingnya tentang haji dan qurban ya..
Ada yang tau arti kata hajj? Hajj bisa diartikan sebagai tujuan. Jadi hari ini kita sharing tentang Tujuan Ibadah Haji
Jika selama ini kita telah sering membahas ibadah haji dan qurban dari sisi fiqh, ada baiknya kita selami sisi tujuan di syariatkannya ibadah haji dan qurban. Dengan demikian tercapailah tujuan dari ibadah sebagai sarana pensucian diri kita (tazkiyah)
Sebuah ironisme yang sering terulang dalam ajaran agama adalah hilangnya makna ajaran agama itu sendiri dari kesadaran umat. Ibadah sholat –misalnya- yang disyariatkan untuk menjadi moment ruhani dan pensucian hati, justru dirumuskan dalam kitab fiqh hanya sebagai gerakan dan ucapan tertentu mulai dari takbir sampai kepada salam. Bahkan niat yang hakekatnya murni aktifitas batin malah diartikan sebagai ucapan dan lafal-lafal tertentu.
Hal seperti itu terjadi pada hampir semua ibadah, umat Islam banyak yang menjalankan ibadah tanpa mengerti apa makna di balik semua gerakan dan ucapan yang mereka lakukan. Akhirnya Islam menjelma menjadi jasad tanpa ruh, agama menjadi bangunan besar sepi tanpa kehidupan dinamis di dalamnya.
Pembahasan tentang ibadah haji dalam al-Qur’an terdapat dalam surat al-Baqarah (ayat 158, 189, 196-203), Ali Imran (ayat 97), al-Ma’idah (1-2, 97) dan surat al-Hajj. Kita akan dapatkan bahwa al-Qur’an lebih menekankan pada makna dan maqashid ibadah dari pada hukum-hukum fiqh yang biasa kita temukan dalam kitab-kitab fiqh. Bukan hal yang aneh apabila pembahasan tentang haji dalam al-Qur’an jauh lebih “hidup” dari pada gaya pembahasan para ahli fiqh. Bukan karena pembahasan kitab-kita fiqh tersebut salah atau melenceng, tetapi perhatian para ahli fiqh terfokus pada hukum-hukum fiqh yang juga bersumber dari al-Qur’an dan hadits Nabi SAW.
Dan hal ini sebenarnya menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an yang membuktikan bagaimanapun usaha manusia menerjemahkan ajaran al-Qur’an, tetap saja manusia belum sampai mencapai ketinggian ajaran al-Qur’an. Retorika al-Qur’an dalam merangkum berbagai makna penting tidak sanggup dicapai oleh kemampuan retorika manusia, walaupun bahasa al-Qur’an adalah bahasa yang dipakai manusia, walaupun tema-tema al-Qur’an bukanlah tema-tema yang tidak mampu dipahami manusia
Ibadah dalam arahan al-Qur’an haruslah bermuara pada ketakwaan. Penyembahan seorang hamba bukanlah ritual mistis yang berhubungan dengan dunia gaib yang penuh takhayul dan serba irrasional. Ibadah dalam Islam adalah ketundukan seorang makhluk kepada Sang Pencipta penuh kuasa lagi kasih sayang. Kita temukan dalam al-Qur’an ayat-ayat ibadah selalu diakhiri dengan penegasan tentang sifat-sifat Allah.
Ambil contoh ayat 158 dari surat al-Baqarah, Allah berfirman
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar-syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-’umrah, maka tidak ada dosa baginya untuk mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui.”
Kita lihat bagaimana Allah menutup ayat tersebut dengan dua sifat-Nya yang agung yaitu “Syakir” (Maha Mensyukuri) dan “Alim” (Maha Mengetahui). Kita rasakan bagaimana Allah memperlakukan hamba-Nya dengan cara yang begitu terhormat. Allah SWT sebagai pencipta, pemilik dan penguasa seluruh alam begitu memberikan penghargaan terhadap hamba-Nya yang mengerjakan kebaikan dengan suka hati (tathawu’). Allah seolah-olah berkata bahwa beliau akan berterima kasih dan mengapresiasi kebajikan yang dilakukan hamba-Nya, dan Allah sangat mengetahui kebajikan yang dilakukan hamba-Nya
Kita selalu akan merasakan hidupnya hubungan hamba dan Tuhannya setiap kali kita merenungkan sifat-sifat Allah yang Allah sebut di akhir ayat. Kita ambil contoh ayat lain di surat al-Baqarah ayat 199:
“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak dan mohonlah ampun kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat ini berbicara tentang perintah untuk bergerak dari padang Arafah kemudian Muzdalifah menuju Mina. Allah memerintah dalam kesempatan tersebut untuk memohon ampun kepada-Nya, dan Allah mengingatkan bahwa Allah bersifat Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dalam ayat ini jelas terasa bahwa Allah begitu ingin memberikan ampunan kepada hamba-Nya, sehingga Allah hanya memerintahkan agar para jemaah haji mohon ampun. Allah menyebutkan bahwa Allah sesungguhnya suka mengampuni hamba-Nya, dan bukan hanya mengampuni hamba-Nya Allah juga sangat menyayangi hamba-hamba-Nya. Ayat ini begitu kuat memberikan suasana kasih sayang dari Allah SWT, dan mempererat hubungan antara hamba dan Sang Pencipta.
Lebih jauh lagi bahkan di surat al-Ma’dah bahkan Allah mengungkapkan bahwa seluruh rangkaian haji sesungguhnya adalah momen agar para hamba Allah dapat merasakan dengan nyata sifat-sifat keagungan Allah dalam setiap syiar-syiar yang dilakukan dalam ibadah haji. Allah berfirman:
(97) “Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai ‘qiyam’[1] bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram[2], al-hadyu[3], dan al-qalaid[4]. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (98) Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat ini secara eksplisit dan gamblang menjelaskan bahwa sesungguhnya seluruh rangkaian ibadah haji beserta semua pra sarananya Allah syariatkan agar umat Islam menyadari kekuasan dan penguasaan Allah. Kegiatan-kegiatan ibadah haji semua adalah terjemahan praktis dari bentuk ketakwaan yang merupakan ekspresi dari keyakinan kita bahwa Allah mengetahui segala perbuatan hamba-Nya, didasari oleh keyakinan bahwa Allah dengan keadilan-Nya dapat menyiksa hamba-Nya yang ingkar dan dengan rahmat-Nya mengampuni dan menyayangi hamba-Nya yang taat. Allah mengatakan bahwa itu semua diadakan “agar kalian tahu” tidak hanya secara kognitif tapi juga “tahu” secara afektif dan psikomotorik.
Rangkaian ibadah haji yang dimulai dari ihram, kemudian thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, melempar jumrah sampai menyembelih hewan kurban semuanya adalah ekspresi ketakwaan hambanya. Ukuran-ukuran fisik menjadi simbol yang bisa sirna jika tidak berakar pada ketakwaan. Semua jerih payah juga akan buyar begitu saja jika tidak melahirkan ketakwaan kepada Allah. Karena itu Allah berfirman:
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS al-Hajj: 37)
Rangkaian ibadah haji adalah rangkaian ibadah yang paling lengkap dari semua ibadah ritual Islam. Rukun-rukun Islam mulai dari mengucapkan dua kalimat syahadat, kemudian sholat, lalu zakat dan shaum adalah tangga-tangga yang mengantarkan pada kesempurnaan ekspresi ketaatan yang dikandung oleh ibadah haji.
Jika dua kalimat syahadat adalah ibadah hati yang diucapkan lisan, maka sholat melanjutkannya dengan ibadah tubuh yang lebih lengkap, tidak hanya hati dan lisan, tetapi seluruh tubuh bergerak menerjemahkan ketaatan sang manusia. Jika sholat telah lengkap mengikutsertakan tubuh dalam ketaatan, maka zakat melengkapi ketaatan tubuh dengan mengikutsertakan harta dalam mewujudkan ketaatan. Ketika seorang muslim sudah lengkap berbuat dengan seluruh jiwa dan hartanya, maka sisi lain dari kehidupan manusia dilengkapi dengan ibadah puasa yang mengharuskan manusia menahan diri dari beberapa hal yang disukai hawa nafsu, sehingga seorang muslim dengan puasa melengkapi ketaatannya tidak hanya dalam “berbuat” sesuatu tetapi juga dalam “meninggalkan” sesuatu. Seorang muslim tidak hanya wajib taat dalam berbuat tetapi juga wajib taat dalam menahan.
Ibadah haji merangkai semua jenis ibadah tesebut dalam rangkaian yang sempurna. Dimulai dari deklarasi ihram yang wajib diucapkan secara lisan, seorang haji harus menahan diri dari berbagai larangan tertentu selama masih berihram. Kemudian dilanjutkan dengan thawaf dan sa’i yang melibatkan seluruh tubuh. Dilengkapi dengan wukuf di Arafah dan lempar jumrah, prosesi diakhiri dengan menyembelih hewan kurban yang merupakan ibadah harta. Bahkan ibadah haji adalah ibadah yang paling menyita energi dan menelan biaya. Seluruh kemampuan yang diperlukan dalam ibadah-ibadah sebelumnya tercurah pada ibadah haji, sehingga pantas dikatakan bahwa ibadah haji adalah puncak ketaatan.
Jika kita ikuti satu per satu petunjuk al-Qur’an dalam ibadah haji kita akan temukan bahwa haji adalah perjalanan yang begitu sarat dengan ajakan untuk berdzikir dan mengingat nikmat Allah. Dalam surat al-Hajj Allah SWT menyebutkan untuk apa semua jerih payah tersebut, demi tujuan apa perjalanan yang mahal dan jauh tersebut? Allah berfirman di surat al-Hajj ayat 28:
“…Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.”
Allah di ayat ini menyebutkan dua tujuan dari haji yaitu agar kita menyaksikan berbagai manfaat yang begitu banyak dari ibadah haji dan agar kita banyak mengingat Allah dalam berbagai kesempatan.
Ibadah haji adalah ibadah yang sarat makna. Dia bukan bentuk hura-hura tanpa tujuan. Haji juga bukan perjalanan main-main. Haji adalah event serius yang menyimpan banyak manfaat. Seluruh langit dan bumi berisi tanda-tanda kekuasaan Allah, tetapi tanda-tanda kekuasaan Allah yang dikandung dalam ibadah haji sangat jelas dan tegas, sehingga penting untuk disaksikan dan dipersaksikan kepada seluruh umat manusia.
“…padanya (Masjidil Haram) terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim[5]. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia.”
Tanda-tanda kebenaran di tempat suci itu begitu banyak dan jelas. Sangat penting agar seluruh umat manusia menyaksikan dan menceritakan hal-hal tersebut. Allah memelihara bekas telapak kaki Nabi Ibrahim AS. Bapak para Nabi ini begitu gigih memperjuangkan ajaran tauhid sehingga Allah mengaruniai beliau banyak kemuliaan, sampai-sampai bekas telapak kaki beliau Allah abadikan dan disandingkan dengan Rumah Allah yang suci.
Di sana juga memancar mata air zamzam yang sangat ajaib. Mata air yang deras memancar di sebuah lingkungan padang pasir berbatu yang jarang mengalami hujan. Sebuah tanda kekuasaan Allah yang mengabarkan kepada seluruh umat manusia bahwa Allah yang Maha Kuasa sangat mampu melakukan apa pun yang Dia inginkan meskipun tidak lazim menurut perhitungan dan pikiran manusia.
Di sana juga ada bukit Shafa dan Marwa yang menyaksikan keteguhan Sang Ibu yang agung Siti Hajar dalam menghadapi cobaan dan kesungguhan beliau mengatasi permasalahan yang sepintas lalu tampak mustahil di atasi. Seorang wanita tangguh yang tidak hanya mampu bertahan dalam kondisi sulit, bahkan juga berhasil mendidik seorang anak yang akhirnya menjadi nabi…
Rangkaian ibadah merupakan aktifitas kolosal yang melatih umat Islam dalam menginternalisasi nilai-nilai aqidah dan akhlak secara praktis. Islam bukan cuma ajaran filosofis tanpa bimbingan praktis. Islam juga bukan cuma teori tanpa praktek. Islam juga bukan hanya keyakinan tanpa amal dan perbuatan. Ibadah haji mengajarkan bagaimana keimanan berbuah pada perbuatan dan prilaku. Ibadah haji juga menunjukkan bahwa meraih keridhoan Allah tidak cukup hanya dengan berkhayal dan berkonsep, tetapi harus dicapai dengan usaha nyata dan jerih payah riil.
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam ibadah haji bukanlah hal yang kebetulan. Semua bermuara pada pembinaan pribadi yang paripurna. Yang paling dapat menahan hawa nafsu dialah yang paling berhasil dalam pegemblengan “Mekkah Camp” ini. Yang paling bersabar dialah yang mendapatkan penghargaan ilahi dan sertifikat samawi setelah prosesi haji tersebut. Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ. رواه البخاري
“Barang siapa yang berhaji karena Allah kemudian dia tidak berkata kotor dan berbuat fasiq dia kembali seperti ketika dia dilahirkan ibunya (tanpa dosa). (HR al-Bukhari)
Dalam Hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda,
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ. متفق عليه
“Dan haji mabrur tidak ada balasannya selain sorga.” (Muttafaq ‘alaih)"
Allah S WT memilih Mekkah sebagai lokasi haji dikarenakan di tempat ini terdapat monumen-monumen ketauhidan yang penuh berkah. Komponen-komponen penegak ajaran tauhid terakit, terbangun dan terpancar di tempat suci ini. Di sini lah Nabi Ibrahim diperintahkan untuk membangun pondasi fisik ajaran tauhid, setelah beliau berhasil membangun pondasi logika tauhid di Irak, Syam dan Mesir.
Di kota Mekkah juga Allah memilih untuk menjadi tanah kelahiran Nabi akhir jaman. Dan dari kota Mekkah juga dakwah tauhid dimulai. Dan demi kesucian kota Mekkah Allah melarang selain orang muslim untuk tinggal di dalamnya. Sebuah hukum yang hanya berlaku bagi bumi Hijaz. Dan di akhir jaman Allah juga akan menjaga Mekkah dan Madinah dari kedatangan Dajjal.
Ibadah haji adalah penegasan total makna “meng-esakan” Allah. Para jemaah haji disunahkan untuk mengucapkan kalimat talbiyah (Labbaikallahumma Labbaik) dan tahlil (Laa Ilaha Illallah) sebagai deklarasi sikap dan penyerahan diri kepada Allah Yang Maha Esa. Dalam ibadah haji keyakinan akan ke-esaan Allah diungkapkan dalam semua akitfitas yang mungkin dilakukan manusia, mulai dari gerakan hati, ucapan lisan, perilaku tubuh dan pengorbanan harta.
Makna tauhid dalam ibadah haji semakin kuat jika ekspresi kecintaan kepada Allah tercurahkan. Sebagian besar jemaah haji tak mampu menahan tangis haru bercampur gembira ketika merasakan dapat beribadah di Tanah Suci. Hati seorang mukmin akan merasakan suasana emosional yang sulit diungkapkan ketika mendapatkan pancaran kesucian Tanah yang penuh berkah ini
Haji antara Simbol dan Esensi
Dalam ibadah haji kita menemukan banyak syiar-syiar ibadah yang bisa dipahami secara simbolik tetapi juga mengandung esensi nilai yang penting. Kita temukan kiblat umat Islam adalah bangunan segi empat yang terbuat dari batu cadas biasa selain hajar aswad yang istimewa.
Dasar ajaran Islam adalah memerangi penyembahan makhluk apapun. Seseorang yang sholat menghadap Ka’bah dengan anggapan bahwa dia menyembah Ka’bah, dia sama dengan musyrik penyembah berhala. (Uniknya sejak dahulu sampai sekarang belum pernah ada yang menyembah Ka’bah itu sendiri, meskipun bangsa Arab pernah menyembah berhala-berhala sebelum datangnya Islam. Mereka menyembah berhal-berhala yang mereka letakkan dalam Ka’bah. Tetapi tak satu dari mereka yang menyembah Ka’bah). Simbol-simbol ibadah yang ada di tanah Mekkah seolah-olah memang Allah jadikan syiar tauhid yang terjaga dari praktek syirik.
“Demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS al-Hajj: 32)Nilai penting syiar-syiar Allah bukan pada meterinya tetapi pada ketakwaan yang terekspresi dari sikap mengagungkan syiar-syiar itu. Hal penting yang ingin Allah perlihatkan dalam ibadah haji adalah universalitas agama ini. Islam adalah agama untuk seluruh dunia, semua bangsa, berbagai bahasa dan budaya.
Ketika Eropa berjuang menegaskan prinsip-prinsip kemanusiaan berupa persamaan, kebebasan dan persaudaraan dalam Revolusi Perancis tahun 1789 M, umat Islam telah menjelmakan prinsip-prinsip kemanusiaan itu sepuluh abad sebelum Revolusi Perancis itu. Ibadah haji mempersamakan tuan dengan budak, kaya dan miskin, Arab dan non Arab, hitam dan putih. Semuanya wajib mengenakan pakaian yang sama dan melakukan kegiatan yang sama di tempat yang sama. Semuanya sederajat tidak ada pembedaan.
Ketika Amerika Serikat mendeklarasikan kemerdekaannya 300 tahun yang lalu, dan menyatakan bahwa semua umat manusia diciptakan sejajar, banyak yang mengira itu adalah pertama kalinya hak-hak asasi manusia dikumandangkan. Padahal Nabi Muhammad SAW sudah menyatakannya pada moment Hajjatul Wada’ (Haji Perpisahan) di depan seluruh jemaah haji ketika itu.
13. “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurat: 13)
Ibadah haji juga mengajarkan bahwa keikhlasan tidak boleh dirusak oleh ekses-ekses popularitas. Ibadah haji tidak mungkin dilakukan secara sembunyi. Siapapun yang melakukan haji pasti akan diketahui orang lain. Sehingga seorang muslim yang melakukan ibadah haji harus dapat menjaga keikhlasannya bagaimanapun keadaanya.
Keikhlasan bukan selalu ada dalam kesendirian. Keikhlasan adalah menjaga agar motivasi beribadah hanya karena Allah semata. Kepopuleran, pujian atau celaan orang tidak boleh mengganggu niat dan motivasi. Untuk berbuat ikhlas dalam ibadah individual seperti puasa atau sholat malam mungkin sederhana. Tetapi tuntutan untuk tetap ikhlas dalam ibadah haji tidak dapat dipenuhi oleh semua orang. Hanya orang-orang yang mendapatkan hidayah dan ‘inayah dari Allah saja yang tetap dapat ikhlas dalam ibadah terbuka.
Dalam ibadah haji banyak harapan yang diangankan para jemaah haji. Banyak doa terucap, banyak angan-angan tercurah. Ada yang meminta keluasan rizki. Ada yang meminta keturunan. Ada yang meminta kesehatan. Ada juga yang mengharap kekuasaan. Ada yang mengharap jodoh. Seribu satu doa beredar di langit Mekkah ketika haji. Al-Qur’an menyinggung hal itu dengan mengingatkan bahwa janganlah harapan-harapan dan doa-doa mereka terbatas pada obsesi dunia saja. Seorang muslim dianjurkan berdoa dan memohon kepada Allah agar mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat. Allah berfirman:
“Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di dunia”, tetapi tidak ada bagian untukknya di akhirat. (201) Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka” (QS al-Baqarah: 200-201)
Sebuah ajaran agama yang indah dan menyenangkan. Kita sama sekali tidak dilarang untuk mengharapkan kebaikan di dunia. Kita hanya dilarang untuk tepaku pada obsesi duniawi yang sempit. Adalah naif kita memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Memberi hanya untuk kepentingan dunia yang pendek dan fana.
Kesempatan beribadah dan berdoa di tanah suci haruslah digunakan sebaik-baiknya untuk meminta kepada Allah SWT sebanyak-banyaknya. Dan Allah Sang Maha Pemurah mengingatkan agar hamba-Nya jangan lupa untuk meminta kebaikan akhirat bagi dirinya. Hal ini sangat penting karena sebagian besar manusia hanya berpikir pendek dan sempit. Seolah- olah Allah berkata, “Janganlah meminta sedikit kepada-Ku, mintalah yang banyak, karena Aku Maha Kaya dan Pemurah. Janganlah meminta sesuatu yang akan sirna, minta kenikmatan abadi, karena Aku Maha Kuasa.”
Semoga Allah jadikan kita semua nemenuhi panggilanNya berhaji, dan dijadikan ibadah haji kita sebagai bukti ketakwaan dan keihklasan. Wallahua'lam
Afwan waiyyakum. Mungkin ada dari sahabat HA yang ingin menambahkan dipersilahkan
TAMBAHAN USTADZ HILMAN
Afwan nambah sedikit tentang haji
Bagi siapa pun yang ditaqdirkan berangkat haji, maka tersemat di pundaknya dua kemulyaan;
a) sebagai tamu Allah dan
b) sebagai ambasador dari keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya.
Jangan sampe Allah murka sebagai tuan rumah dan keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya malu akibat ulah dirinya. Untuk menjamin keridhoan Allah menyertai para tamu Allah dan tidak bikin ulah yang memalukan, maka jemaah haji harus merhatiin dan bersungguh-sungguh dalam tiga hal:
1) Dalami penghayatan terhadap do'a safar
2) Murnikan niat berhaji yaitu tauhidullah dengan tidak syirk, kibr dan tidak pula nifaq ..
3) Opmatimalkan do'a, karena ibadah haji adalah himpunan momentum diqobul do'a ..
TANYA JAWAB
1. Sebelum bapak meninggal hari sabtu kemarin, kamis saya telepon untuk membelikan hewan qurban. Bagaimana itu hukumnya? Apakah saya masih bisa mengqurbankan bapak saya?
Jawab
Ulama 4 mazhab membolehkan qurban untuk yang sudah meninggal, tetapi di kalangan ulama malikiyah kurang menyukai
2. Soal qurban boleh gak misalnya niatnya qurban untuk keluarga jadi satu hewan qurban buat 1 keluarga inti?
Jawab
كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
“Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.”[3]
Asy Syaukani mengatakan, “(Dari berbagai perselisihan ulama yang ada), yang benar, qurban kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih.”
[3] HR. Tirmidzi no. 1505, Ibnu Majah no. 3138. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
3. Mengenai puasa di hari arafah, tanggal berapa aja hari arafah? Mohon penjelasannya terimakasih...
Jawab
Hari Idul Adha jatuh pada tanggal 10 Dzul Hijjah. Pada hari itu umat Islam disunnahkan untuk melakukan shalat 'Idul Adha dan menyembelih hewan qurban. Dan pada hari yang sama, jutaan jamaah haji bergerak dari Muzdalifah menuju Mina untuk melontar jumrah sebagai bagian utuh dari ritual ibadah haji. Tepat sehari sebelumnya yakni tanggal 9 Dzul Hijjah, ketika para jamaah haji berwuquf di 'Arafah, umat Islam seluruh dunia disunnahkan untuk melakukan puasa sunnah. Nama puasanya disebut dengan puasa 'Arafah. Dan puasa 'Arafah adalah ibadah yang disunnahkan terkait dengan hari Raya 'Idul Adha.
4. Ustadz ada yang bilang jika kita sudah berangkat haji terus misalnya mau berangkat lagi, percuma saja karena Allah hanya menilai haji yang pertama benarkah ust?
Jawab
Saya tidak tau/belum pernah dengar dalilnya.
5 Gimana kalo kita lagi masak daging babu, kita juga gak tau baju kita kena atau gaknya. Nah apalagi saya yang dinegeri cina gak mungkin untuk gonta ganti baju apalagi ngejar waktu, apakah tidak batal walaupun gak ganti baju waktu sholat
Jawab
Usahakan menggunakan celemek yang bisa melindungi pakaian dari najis
6. Afwan saya mau bertanya adakah yang bisa menjelaskan perihal mengapa zubair bin awwam menceraikan asma binti abu bakar? Apa iya alasannya karena zubair telah menikahi atikah yang cantik? Mohon penjelasnnya yang detail
Jawab
Mereka memang bercerai, namun saya kurang faham sebabnya. Dari sini kita bisa mengambil banyak pelajaran. Saya belum berani mengomentari karena terkait sahabat saya sangat berhati-hati dalam berpendapat.
TAMBAHAN : PUASA AWAL DZULHIJJAH
Dari Hafshah Radhiyallahu ‘Anha berkata,“Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: [1] Puasa hari Asyura, [2] Puasa 1-8 Dzulhijjah, [3] tiga hari tiap bulan, dan [4] dua rakaat sebelum fajar.”(HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasai).
Menurut Syaikh Musthafa Al Adawi, ada dua hadits berkenaan dengan puasa 10 hari di awal Dzulhijjah secara khusus: Hadits Ummul Mukminîn ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anha yang dikeluarkan oleh Muslim yang redaksinya,
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah berpuasa sepuluh (hari awal Dzulhijjah).”Dikeluarkan oleh an-Nasâi dan lainnya dari jalur seorang rawi yang bernama Hunaidah bin Khâlid, terkadang ia meriwayatkannya dari Hafshah ia berkata, “Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam: (diantaranya): puasa sepuluh (hari awal Dzulhijjah).”
Menurutnya, pernyataan Hunaidah pada riwayat ini diperselisihkan oleh ulama, sebab terkadang ia meriwayatkan dari ibunya, dari Ummu Salamah sebagai ganti dari Hafshah, dan terkadang pula dari Ummu Salamah secara langsung, kemudian ia mendatangkan bentuk lain dari bentuk-bentuk yang berbeda!”
Dari sisi keabsahan, maka yang unggul –Wallahu Subhânahu wa Ta’ala A’lam- bahwa hadits ‘Aisyah yang terdapat di dalam shahîh Muslim adalah lebih shahîh, sekalipun padanya terdapat bentuk perselisihan dari Al A’masy dan Manshûr.
Namun diantara ulama ada yang mencoba mengkompromikan dua hadits tersebut yang kesimpulannya, “Bahwa masing-masing dari istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menceritakan apa yang ia saksikan dari beliau, bagi yang tidak menyaksikan menafikkan keberadaannya, dan yang menyaksikan menetapkan keberadaannya, sedang Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sendiri menggilir setiap istrinya dalam sembilan malam (hanya) satu malam. Maka atas dasar ini dapat dikatakan, “Jika seseorang terkadang berpuasa dan terkadang tidak berpuasa, atau ia berpuasa beberapa tahun lalu tidak berpuasa beberapa tahun (berikutnya) ada benarnya, maka manapun dari dua pendapat tersebut diamalkan maka ia telah memiliki salaf (pendahulu).
Sepengetahuan saya khadijah menikah dgn Rasulullah usia 40 dan aisyah usia 6 atau 7 tahun namun baru bercampur di usia 9 tahun. Wallahua'lam
TAMBAHAN : AQIQAH ATAU QURBAN?
Orang yang paling bertanggung jawab melakukan aqiqah adalah ayah dari bayi terlahir pada waktu kapan pun ia memiliki kesanggupan. Namun jika dikarenakan si ayah memiliki halangan untuk mengadakannya maka si anak bisa menggantikan posisinya yaitu mengaqiqahkan dirinya sendiri, meskipun perkara ini tidak menjadi kesepakatan dari para ulama.
Dari dua hal tersebut diatas maka ketika seseorang dihadapkan oleh dua pilihan dengan keterbatasan dana yang dimilikinya antara kurban atau aqiqah maka kurban lebih diutamakan baginya, dikarenakan hal berikut :
- Perintah berkurban ini ditujukan kepada setiap orang yang mukallaf dan memiliki kesanggupan berbeda dengan perintah aqiqah yang pada asalnya ia ditujukan kepada ayah dari bayi yang terlahir.
- Meskipun ada pendapat yang memperbolehkan seseorang mengaqiqahkan dirinya sendiri namun perkara ini bukanlah yang disepakati oleh para ulama.
Dalil mereka yang memperbolehkan seseorang mengaqiqahkan dirinya sendiri adalah apa yang diriwayatkan dari Anas dan dikeluarkan oleh al Baihaqi,
“Bahwa Nabi saw mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah beliau diutus menjadi Rasul.”
Kalau saja hadits ini shohih, akan tetapi dia mengatakan,”Sesungguhnya hadits ini munkar dan didalamnya ada Abdullah bin Muharror dan ia termasuk orang lemah sekali sebagaimana disebutkan oleh al Hafizh. Kemudian Abdur Rozaq berkata,”Sesungguhnya mereka telah membicarakan dalam masalah ini dikarenakan hadits ini.” (Nailul Author juz VIII hal 161 – 162, Maktabah Syamilah)
Menggabungkan Akikah dengan Kurban
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Ada yang membolehkan dan menganggapnya sah sebagai akikah sekaligus kurban dan ada yang menganggap tidak bisa digabungkan.
Pendapat pertama, berkurban tidak bisa digabungkan dengan akikah. Ini adalah pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan salah satu pendapat Imam Ahmadrahimahullah. Dalil pendapat ini antara lain, bahwa akikah dan kurban adalah dua ibadah yang berdiri sendiri, sehingga dalam pelaksanaannya tidak bisa digabungkan. Disamping itu, masing-masing memiliki sebab yang berbeda. Sehingga tidak bisa saling menggantikan.
Al-Haitami mengatakan,
“Dzahir pendapat ulama Syafi’iyah bahwa jika seseorang meniatkan satu kambing untuk kurban sekaligus akikah maka tidak bisa mendapatkan salah satunya. Dan inilah yang lebih kuat. Karena masing-masing merupakan ibadah tersendiri.” (Tuhfatul Muhtaj, 9/371).
Al-Hathab mengatakan,
“Guru kami, Abu Bakr al-Fihri mengatakan, ‘Jika ada orang yang menyembelih hewan kurbannya dengan niat kurban dan akikah maka tidak sah. Tapi jika dengan niat kurban dan untuk hidangan walimah hukumnya sah. Bedanya, tujuan kurban dan akikah adalah mengalirkan darah (bukan semata dagingnya, pen). Sementara dua tujuan mengalirkan darah, tidak bisa diwakilkan dengan satu binatang. Sedangkan tujuan utama daging walimah adalah untuk makanan, dan tidak bertabrakan dengan maksud kurban yaitu mengalirkan darah, sehingga mungkin untuk digabungkan.” (Mawahibul Jalil, 3/259).
Pendapat kedua, boleh menggabungkan antara kurban dengan akikah. Ini merupakan pendapat madzhab Hanafi, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat beberapa tabi’in seperti Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirrin, dan Qatadah rahimahumullah. Dalil pendapat ini, bahwa tujuan kurban dan akikah adalah beribadah kepada Allah dengan menyembelih. Sehingga akikah bisa digabungkan dengan kurban. Sebagaimana tahiyatul masjid bisa digabungkan dengan shalat wajib, bagi orang yang masuk masjid dan langsung mengikuti jamaah. Disebutkan Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushanna (5/534) beberapa riwayat dari para tabi’in, diantaranya Hasan al-Bashri pernah mengatakan,
إذَا ضَحُّوا عَنْ الْغُلَامِ فَقَدْ أَجْزَأَتْ عَنْهُ مِنْ الْعَقِيقَةِ
“Jika ada orang yang berkurban atas nama anak maka kurbannya sekaligus menggantikan akikahnya”
Dari Hisyam dan Ibn Sirrin, beliau berdua mengatakan, “Kurban atas nama anak, itu bisa sekaligus untuk akikah.” Qatadah mengatakan, “Kurban tidak sah untuknya, sampai dia diakikahi.” Al-Buhuti mengatakan, “Jika akikah dan kurban waktunya bersamaan, dan hewannya diniatkan untuk keduanya maka hukumnya sah untuk keduanya, berdasarkan keterangan tegas dari Imam Ahmad.” (Kasyaful Qana’, 3/30)
Sementara itu, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh memilih pendapat yang membolehkan menggabungkan akikah dan kurban. Beliau menyatakan dalam fatwanya,
“Andaikan akikah dan kurban terjadi secara bersamaan maka satu sembelihan itu bisa mencukupi untuk orang yang menyembelih. Dia niatkan untuk kurban atas nama dirinya, kemudian menyembelih hewan tersebut, dan sudah tercakup di dalamnya akikah."
Menurut keterangan sebagian ulama dapat disimpulkan bahwa akikah dan kurban bisa digabung jika ‘atas namanya’ sama. Artinya kurban dan akikahnya tersebut atas nama salah seorang anak. Sementara menurut keterangan ulama lain, tidak ada syarat hal itu. Artinya, jika seorang bapak hendak berkurban maka kurbannya bisa atas nama bapak, dan sekaligus untuk akikah anaknya. Ringkasnya, jika ada orang menyembelih hewan, dia niatkan untuk berkurban, dan itu sudah mencukupi untuk akikah.” (Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/159)
PENUTUP :
Doa Kafaratul Majelis :
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”.
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT



