PSIKOLOGI POSITIF (BERSYUKUR)

Posted by Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT on Wednesday, December 3, 2014

KAJIAN ONLINE HAMBA اللهِ NANDA 117 & 118
Hari/Tanggal : Rabu, 3 Desember 2014
Materi : Psikologi Positif (Bersyukur)
Narasumber : Ustadzah Anisa
Admin : Arin
Editor : Ira Wahyudiyanti & Herniza M.R


Bismillah…
Assalamu'alaykum wr.wb.

Yuk mulai.
Merapat merapat 
Tema kita hari ini tentang Psikologi Positif à Bersyukur
Sebelumnya ada intermezzo dulu nih. Ada cerita keren niih, mangga disimak.

Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki. Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan dan kerapihan rumah dapat ditanganinya dengan baik. Rumah tampak selalu rapih, bersih dan teratur dan suami serta anak-anaknya sangat menghargai pengabdiannya itu. Cuma ada satu masalah, ibu yang pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi terjadi dan menyiksanya. Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir, dan menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum dan berkata kepada sang ibu: "Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan". Ibu itu kemudian menutup matanya.
"Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?". Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yang murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.
Virginia Satir melanjutkan; "Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi". Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, napasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.
"Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu dan kotoran di sana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu". Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tersebut. "Sekarang bukalah mata ibu" Ibu itu membuka matanya  "Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi kekhawatiran buat ibu?". Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Aku tahu maksud anda" ujar sang ibu, "Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif".
Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu disana, ia tahu, keluarga yg dikasihinya ada di rumah.
Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder dan John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming). Dan teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana kita 'membingkai ulang' sudut pandang kita sehingga sesuatu yang tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya. Terlampir beberapa contoh pengubahan sudut pandang :

Saya BERSYUKUR;
1.  Untuk istri yang mengatakan malam ini kita hanya makan mie instan, karena itu artinya ia bersamaku bukan dengan orang lain.
2.      Untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV, karena itu artinya ia berada di rumah dan bukan di bar, kafe, atau di tempat mesum.
3.     Untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal, karena itu artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak jalanan
4.      Untuk Tagihan Pajak yang cukup besar, karena itu artinya saya bekerja dan digaji tinggi.
5.    Untuk sampah dan kotoran bekas pesta yang harus saya bersihkan, karena itu artinya keluarga kami dikelilingi banyak teman.
6.      Untuk pakaian yang mulai kesempitan, karena itu artinya saya cukup makan.
7.    Untuk rasa lelah, capai dan penat di penghujung hari, karena itu artinya saya masih mampu bekerja keras.
8.    Untuk semua sumbangan bantuan pengorbanan karena itu artinya masih mampu dan kuat atau setidaknya didoakan mampu dan kuat oleh yang menerimanya.
9.      Untuk bunyi alarm keras jam 4.30 pagi yang membangunkan saya, karena itu artinya masih bisa terbangun, masih hidup.

Nah, kita mulai ya materinya. Ayo baca basmallah dulu. Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk bersyukur. Namun apa kata psikologi mengenai bersyukur? Di dalam kajian psikologi, terutama psikologi positif, perasaan bersyukur selama ini telah banyak dijelaskan dalam berbagai konsep seperti sebuah emosi, sebuah sikap, sebuah watak, sebuah kebiasaan, sebuah nilai moral dan juga sebagai sebuah respon untuk mengurangi stress.

McCullough (2001), seorang peneliti yang telah banyak meneliti mengenai fenomena bersyukur mendefinisikannya sebagai detektor yang mengingatkan seseorang secara emosi, bahwa mereka telah mendapatkan keuntungan dari pertolongan Tuhan (Teigen dalam McCullough dan Emmons, 2003). Bersyukur itu berbeda dari menghargai (appreciation). Saat seseorang mendapatkan sesuatu dari orang lain bisa saja dia menghargai pemberian itu tanpa merasa bersyukur. Tapi jika dia bersyukur, sudah dipastikan dia memberi penghargaan terhadap pemberian (Tucker dalam Fluhler, 2010).

Perasaan bersyukur juga berbeda dari perasaan memiliki kewajiban (obligation). Singkatnya, kalimat “saya harus membalas kebaikanmu” memiliki rasa yang beda dengan kalimat ”Saya bersyukur atas bantuanmu”, walaupun di masa depan orang yang mendapat bantuan sama-sama akan membalas kebaikan yang didapatkan. Perasaan memiliki kewajiban untuk mengganti pertolongan orang lain lebih dekat perasaan negatif dan tidak nyaman. Sementara perasaan bersyukur biasanya dihubungkan dengan kesejahteraan dan perasaan bahwa hidup terasa utuh (McCullough dalam McCullough, Kimeldorf, & Cohen, 2008).

Hal di atas juga mirip dengan perasaan berhutang budi (indebtedness) yang biasanya keluar saat si pemberi menunjukkan ekspektasi atau keinginan adanya sebuah balasan. Biasanya reaksi yang terjadi adalah stress dan keinginan untuk menghindari si pemberi. Sedangkan saat orang bersyukur, ia akan lebih cenderung untuk menolong, memuji dan berdekatan dengan si pemberi (Watkins, Scheer, Ovnicek, dan Kolts; serta Tsang; dalam McCullough, Kimeldorf, & Cohen, 2008).

Jadi apa yang bisa kita pelajari dari hal di atas? Bahwa pemberian kita dapat diartikan berbeda-beda oleh orang yang menerimanya. Jadi, ikhlaslah dalam memberi. Bagi seseorang yang mendapatkan pemberian, berprasangka baiklah saat menemukan pertolongan yang ikhlas dan bersyukurlah.

Penelitian Masingale (dalam Fluhler, 2010) menemukan bahwa orang yang dapat bersyukur merasakan trauma yang lebih ringan saat sesuatu yang buruk terjadi pada mereka. Peneliti Emmons dan McCullough (dalam Fluhler, 2010) menemukan bahwa orang yang bersyukur lebih jarang menderita depresi. Hal ini dikarenakan mereka memiliki cara yang tepat untuk berhadapan dengan keadaan hidup yang menyulitkan dan lebih mampu mengingat hal-hal yang positif.

Kehidupan sosial sehari-hari pun dapat dipengaruhi secara positif oleh kebiasaan bersyukur. Perasaan bersyukur dapat memotivasi seseorang untuk membantu orang lain (perilaku prososial) dan mengurangi motivasi untuk berperilaku merusak (Emmons dan McCullough dalam Fluhler, 2010).

Orang yang bersyukur juga cenderung tidak terlalu mengejar hal materialistik. Asumsinya, karena mereka sudah bersyukur dengan apa yang telah dimiliki, maka hasrat untuk memiliki hal materiil menjadi lebih sedikit. Mereka juga tidak terburu-buru untuk mendapatkan kepuasan materiil (McCullough dan Polak dalam Fluhler, 2010).

Menurut McCullough, Emmons, dan Tsang (2002), orang yang bersyukur selain lebih banyak memiliki emosi positif dan kesejahteraan yang lebih tinggi, juga memiliki harga diri yang tinggi dan lebih mudah melihat dukungan sosial dari sekitarnya. Setelah memiliki cukup rasa syukur, orang yang sering bersyukur juga cenderung akan mudah dalam membantu orang lain dan tidak memiliki banyak rasa iri.

Perasaan bersyukur memiliki hubungan timbal-balik dengan spiritualitas. Orang yang memiliki spiritualitas tinggi lebih mudah untuk bersyukur. Sebaliknya, orang yang bersyukur juga mudah menjadi lebih relijius (Allport, Gillespie dan Young dalam McCullough, Emmons, & Tsang, 2002). Dengan segudang manfaatnya, tentunya bersyukur sangatlah penting untuk dilakukan dalam hidup kita. Beberapa tips yang diberikan oleh Emmons di dalam tulisannya di Challenge in Good Health bulan Desember 2010 :
1.      Berjanji untuk bersyukur terlebih dahulu sebelum memulai sesuatu
2.      Membuat jurnal rasa syukur. Setiap harinya catatlah 3 hal yang kita syukuri
3.    Gunakan pengingat visual seperti foto dari orang yang disayangi atau pemandangan alam yang indah untuk membawa perasaan bersyukur ini
4.   Rasakan semua inderamu bekerja. Hargai tubuh fisikmu dan banyak fungsinya yang menakjubkan. Bersyukurlah atas kemampuan untuk melihat, mendengar, berjalan, makan dan lain sebagainya.
5.  Perhatikan bahasa yang kamu gunakan. Pembicaraan positif akan meningkatkan perilaku bersyukur sementara pembicaraan negatif akan menurunkan tingkat bersyukur dan menciptakan ketidakbahagiaan.
6.    Biasakan dirimu untuk membuat orang lain tahu bagaimana kamu berterima kasih dan menghargai mereka setiap harinya. Bukan hanya akan meningkatkan kebahagiaanmu, tapi juga dapat membuat orang tersebut bahagia mendengar penghargaannmu.
7.    Tulis dan sampaikan sebuah surat penuh rasa syukur ke seseorang yang telah memiliki dampak positif di dalam hidupmu. Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa satu kali saja melakukan ini dapat menyebabkan perasaan positif untuk lebih dari sebulan.
8.  Berpikir di luar kotak. Pikirkan daftar hal-hal yang mungkin selama ini tidak terlihat untuk disyukuri olehmu.

Oke siip udahan yah materinya. Kalau ada yang mau sharing sharing boleh banget. Yuk kita belajar bareng-bareng.


TANYA JAWAB
1.  Apa benar ketika kita memberikan nasihat, maka hindari penggunaan kata "jangan", "tidak", "bukan". Karena kata-kata itu mengandung energi negative
Jawab:
Hindari iya mba. Tapi bukan berarti mengharamkan. Ada hal-hal yang harus menggunakan kata "jangan". Hanya meminimalisir penggunaannya. Di Al Qur'an sendiri juga kata positifnya lebih banyak daripada kata "jangan". Kenapa dianjurkan meminimalisir kata jangan. Hal ini dikarenakan:
a.    Anak-anak biasanya menyerap kata terakhirnya saja. Kalau kita bilang, "jangan malas", otak anak cenderung menangkap kata "malas" nya. Coba deh tawarkan pilihan ke anak-anak yang batita. Biasanya jawabannya kata terakhir.
b.    Orang-orang yang punya sifat penasaran, biasanya makin tertarik sama kata "jangan". Semakin dilarang, semakin dia ingin berbuat". Tapi ada saatnya juga kita harus pakai kata "jangan". Untuk hal-hal yang menyangkut prinsip. Namun harus disertai alasan yang jelas. Misal : "jangan main dukun. Haram hukumnya. Bla bla bla..".

2.   Ustadzah, biasanya keluhan dari diri sendri itu paling susah kalau di netralisir. Bagaimana ya ustadzah cara atasi diri. Padahal sudah tau orang lain ingin belum tentu sebaik kita. Tapi tetap saja ngeyel
Jawab:
Wah ini keren.. menyajikan ajaran Islam melalui ilmuwan barat.. syar'i dan ilmiah. Lebih tepatnya bukan melalui mereka mba. Tapi ngasih tau, apa yang mereka omongin ada di Al Qur'an. Nah, pembandingnya insya Allah dijelaskan sama ustadz dan ustadzah yang lebih mendalami

3.  Di tulisan diatas disebutkan bahwa hutang budi itu sama hampir sama dengan prasaan wajib membalas. Nah apakah merasa hutang budi sampai tidak enak hati kalau belum bayar hutang itu hal yang negatif? Dengan kata lain, apakah membalas budi itu negatif?
Jawab:
Membalas budi bukan hal negatif mba. Tapi ada perasaan negatif. Maksudnya ada rasa tidak/kurang nyaman ketika kita belum membalas budi. Seperti ada hitung hitungannya.

4.      Bagaimana bahasa kita mengungkapkan rasa bersyukur kepada seseorang? Aku lagi sedikit shock karena dibilang tidak menghargai dia padahal aku sebenarnya berterima kasih banget atas bantuannya
Jawab:
Dari hati. Yang dari hati insya Allah sampai ke hati. Kalau masih dibilang tidak tahu terima kasih. Berarti kesalahan bukan terletak pada mba. Tetapi pada pihak yang member. Tidak ada larangan berbuat baik sama orang. Jadi gini, maksudnya balas budi itu ketika kita dapat bantuan, terus kita balas, nah kita bilang impas. Padahal tidak sesederhana itu. Kalau kita bersyukur, tidak kenal kata impas. Saling memberi saja terus-menerus.

5.    Jadi bersyukur itu seperti lingkaran kebaikan yang gak pernah putus ya? Orang yang bersyukur pasti balas budi. Tapi tidak berlaku sebaliknya.
Jawab:
"Orang yang bersyukur pasti balas budi. Tapi tidak berlaku sebaliknya." Orang yang balas budi belum tentu bersyukur. Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang yang selalu bersyukur. Aamiin…


Demikian kajian hari ini. Kita tutup dengan hamdalah, istighfar 3x, dan doa kafaratul majelis.
Doa Kafaratul Majelis

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك 

Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika

“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”

Wassalamualaikum wr wb


Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Post a Comment

Ketik Materi yang anda cari !!