QANA'AH DAN SYUKUR

Posted by Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT on Friday, December 19, 2014

Kajian Online Telegram Hamba الله Ta'ala

Hari / Tanggal : Jumat, 19 September 2014
Narasumber : Ustadz Khalid
Notulen : Ana Trienta

Bismillahirrahmaniirahim.

Telah lalu telah dijelaskan keutamaan dan cara mencapai Qana’ah yang merupakan satu sifat yang sangat membantu seseorang bersyukur kepada Allah. Seorang yang qana’ah tentu akan bersyukur kepada-Nya atas rezeki yang diperoleh. Sebaliknya barangsiapa yang memandang sedikit rezeki yang diperolehnya, justru akan sedikit rasa syukurnya, bahkan terkadang dirinya berkeluh-kesah. Nabi pun mewanti-wanti kepada Abu Hurairah,

يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا، تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ، وَكُنْ قَنِعًا، تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ

“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’ niscaya dirimu akan menjadi hamba yang paling taat. Jadilah orang yang qana’ah, niscaya dirimu akan menjadi hamba yang paling bersyukur” [HR. Ibnu Majah: 4217].

Seorang yang berkeluh-kesah atas rezeki yang diperolehnya, sesungguhnya tengah berkeluh-kesah atas pembagian yang telah ditetapkan Rabb-nya. Barangsiapa yang mengadukan minimnya rezeki kepada sesama makhluk, sesungguhnya dirinya tengah memprotes Allah kepada makhluk. Seseorang pernah mengadu kepada sekelompok orang perihal kesempitan rezeki yang dialaminya, maka salah seorang diantara mereka berkata, “Sesungguhnya engkau ini tengah mengadukan Zat yang menyayangimu kepada orang yang tidak menyayangimu” [Uyun al-Akhbar karya Ibnu Qutaibah 3/206].

Kaitan antara Syukur dan Qanaah
Qana’ah mempunyai ikatan erat dengan syukur. Keduanya, seperti dua sisi mata uang yang tidak mungkin berpisah. Syukur membuahkan qana’ah. Dan qana’ah memunculkan syukur. Seperti itu korelasinya. Tidak ada qana’ah tanpa syukur. Tidak ada syukur tanpa qana’ah. Syukur tanda kita menikmati keadaan yang mungkin kurang. Qana’ah buah kesyukuran yang membuat kita tenang. Batin yang tenang karena menerima keadaan, kondisi hati yang stabil karena tidak dibenturkan harapan yang tidak tercapai, keadaan jiwa yang menyenangkan karena tidak mengeluh dan menggugat keadaan yang tidak sesuai keinginan. Itulah keberkahan yang Allah berikan.

Syukur dan Qana’ah adalah dua sikap yang tak mungkin dipisah. Orang yang qana’ah hidupnya senantiasa bersyukur. Makan dengan apa adanya akan terasa nikmat tiada terhingga jika dilandasi dengan qana’ah dan syukur. Sebab, pada saat seperti itu ia tidak pernah memikirkan apa yang tidak ada di hadapannya. Justru, ia akan berusaha untuk membagi kenikmatan yang diterimanya itu dengan keluarga, kerabat, teman atau pun tetangganya.

Meski demikian, orang-orang yang memiliki sikap qana’ah tidak berarti menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang yang hidup qana’ah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, namun bukan untuk menumpuk kekayaan.

Kekayaan dan dunia yang dimilikinya, dibatasi dengan rambu-rambu Allah SWT. Dengan demikian, apa pun yang dimilikinya tak pernah melalaikan dari mengingat Sang Maha Pemberi Rezeki. Sebaliknya, kenikmatan yang ia dapatkan justru menambah sikap qana’ah-nya dan mempertebal rasa syukurnya.
Ibrahim bin Adham, berkata dalam do’anya “Ya Allah, jadikan aku orang yang ridha dengan keputusan-Mu. Jadikan aku orang yang sabar menghadapi cobaan dari-Mu dan karuniailah aku rasa syukur atas berkah-Mu”.
Ridha, sabar dan syukur merupakan tiga unsur sifat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Tiga unsur sifat inilah yang membuat seorang mukmin menjadi qana’ah, yaitu selalu merasa cukup atas semua pemberian-Nya.

Dari ketiga sifat tersebut, ridha merupakan unsur yang paling penting dalam pembentukan sifat qanaah. Karena orang yang sudah merasa ridha terhadap sesuatu, otomatis dia akan bersabar menghadapi sesuatu yang terjadi pada dirinya, baik manis maupun pahit. Apabila sifat ridha dan sabar sudah tertanam kuat dalam diri seseorang, niscaya itu akan mengangkatnya pada tingkat syukur dan lalu lahirlah sifat qana’ah.
Lalu bagaimana hakekat Syukur?

Ujian dan Syukur
Dunia adalah negeri ujian bagi manusia, namun banyak yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang diuji, bila dalam keadaan lapang dan nikmat. Padahal Allah Ta’ala menguji hamba-hambaNya dengan berbagai macam ujian, baik dengan yang disenangi oleh jiwa berupa kemudahan dalam hidup atau kelapangan rizki, dan juga akan diuji dengan perkara yang tidak mereka sukai, berupa kemiskinan, kesulitan, atau yang lainnya. Lihatlah firman Allah Ta’ala:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ

“Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35)

‘Abdullah ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Maksudnya, Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan maksiat, serta petunjuk dan kesesatan. (Tafsiir ath-Thabari, 9/26).

Imam ibnu Katsir menjelaskan ayat diatas dengan menyatakan: Maknanya kami menguji kalian kadang-kadang dengan musibah dan kadang-kadang dengan kenikmatan. Lalu Kami melihat diapa yang syukur dan siapa yang kufur, siapa yang sabar dan siapa yang putus asa, sebagaimana disampaikan Ali bin Abi Thalhah dari Abdullah bin Abbas. Sahabat Ibnu Abaas berkata: Kami menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai ujian dengan kesempitan dan kelonggaran, sehat dan sakit, kaya dan fakir, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan serta hawa nafsu dan kesesatan. (Tafsir ibnu katsier 3/178).

Ibnul Qayyim sempat menjelaskan hal ini dengan ungkapan: Semua yang didapatkan seorang hamba didunia ini tidak lepas dari dua hal: 

Pertama, mendapatkan yang sesuai dengan keinginan dan kehendaknya dan yang lain tidak sesuai. Hamba ini dalam dua hal ini membutuhkan kesabaran, karena dia diuji dan dicoba. Sesuatu yang sesuai dengan keinginannya seperti sehat, keselamatan, kedudukan, harta dan beragam kelezatan yang mubah. Dia –dalam keadaan ini- sangat membutuhkan sekali kesabaran dari beberapa sisi: 
a) tidak bersandar dan terpedaya dengannya. Juga tidak membawanya menjadi sombong, congkak dan bahagia yang tercela yang Allah tidak mencintai pemiliknya. 
b) tidak tenggelam dan sungai kenikmatan tersebut dan berlebihan dalam menggapainya, karena itu akan membalikkannya menjadi lawannya.
c) bersabar dalam menunaikan hak Allah padanya dan tidak menyia-nyiakannya sehingga menghancurkan nikmat tersebut.
d) bersabar untuk tidak menggunakannya dalam hal-hal terlarang. Sehingga ia tidak membiarkan jiwanya bebas melakukan semua yang diinginkannya. Karena hal itu akan menjerumuskannya dalam keharaman. Apabila ia menjaganya dengan baik masih akan menjerumuskannya dalam perkara makruh yang dibenci. Tidak bersabar atas nikmat dan kelonggaran kecuali orang-orang shiddiq.

Sebagian ulama salaf menyatakan: orang mukmin dan kafir bisa bersabar atas musibah dan tidak sabar atas kesenangan kecuali orang-rang shiddiq. Abdurrahman bin Auf berkata: Kami diuji dengan kesusahan, kamipun bersabar. Kami diuji dengan kesenangan lalu kami tidak sabar. Oleh karena itu Allah memperingatkan hambaNya dari fitnah harta, istri dan anak-anak. Sesungguhnya sabar atas kenikmatan lebih berat, karena disertai kemampuan. Orang yang lapar ketika tidak ada makanan lebih mampu daripada sabar ketika ada makanan tersebut (Iddatush-Shabirin hlm 64-66)

Ternyata semua nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita adalah ujian bagi kita, untuk menjadi hamba-Nya yang bersyukur ataukah menjadi orang yang kufur. Sungguh benar apa yang diucapkan oleh Nabi Sulaiman -alaihissalam- sebagai sikap mukmin atas kenikmatan yang doianugerahkan kepadanya. Beliau mengatakan

هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْ لِيَبْلُوَنِيْ أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ

“Ini termasuk karunia dari Rabb-ku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur ataukah mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabb-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml: 40).
Marilah kita contoh sikap nabi Sulaiman ini dalam mensyukuri ujian kekayaan dan kenikmatan, semoga kita dicatat Allah sebagai orang-orang yang bersyukur. Memuji kepada Allah Sang Pemberi Nikmat ini merupakan pilar berikutnya, sebagai ungkapan hati yang bersyukur. Karena memang hakikat dari semua pujian itu sebenarnya kembali  kepada Allah. Oleh karena itu Rasulullah n mengajarkan kita untuk memuji Allah atas kenikmatan tersebut seperti dalam doa bangun tidur atau doa setelah makan.

e. Tidak menggunakan nikmat tersebut pada perkara yang dibenciNya.
Pilar kelima ini adalah pilar pelengkap kesempurnaan rasa syukur.  Di saat kita mencurahkan hati, pikiran, tenaga, harta, waktu dan segala fasilitas yang kita miliki untuk taat pada Allah, itulah yang disebut bersyukur. Kelima pilar ini bila ada pada seorang muslim ketika bersyukur kepada Allah maka rasa dan sikap syukurnya tersebut telah sempurna dan sah. Mari wujudkan pilar-pilar ini dalam rasa syukur kita!

Penutup
Do'a kafaratul majelis: 

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك

Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
Wassalamu'alaikum...

Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Post a Comment

Ketik Materi yang anda cari !!