Kajian Hamba Allah Nanda M104
Tema : SI, Loyalitas dalam Islam (Al-Wala’)
Narasumber : Bunda Malik
Tanggal : 10 Maret 2015
Notulen : Ria
Editor : Ana Trienta
Tema : SI, Loyalitas dalam Islam (Al-Wala’)
Narasumber : Bunda Malik
Tanggal : 10 Maret 2015
Notulen : Ria
Editor : Ana Trienta
Bukti keimanan seseorang
adalah adanya amal nyata dalam kehidupan sehari-hari oleh karena iman
bukan sekadar pengakuan kosong dan “lip service” belaka, tanpa mampu
memberikan pengaruh dalam kehidupan seorang Mukmin. Selain merespon
seluruh amal islami dan menyerapnya ke dalam ruang kehidupannya. Seorang
Mukmin juga harus selalu loyal dan memberikan wala’-nya kepada Allah
dan Rasul-Nya. Ia harus mencintai dan mengikuti apa-apa yang
diperintahkan dan menjauhi seluruh perbuatan yang dilarang.
Perhatikan firman Allah berikut ini:
Di sisi lain, seorang Mukmin tidak boleh loyal dan cinta terhadap musuh-musuh Islam. Oleh karenanya, dalam beberapa firman-Nya, Allah mengingatkan orang-orang beriman tentang hal ini.
Oleh karena itu, setiap Muslim harus memahami dengan baik tentang konsep al-wala’ dalam perspektif Islam.
Definisi
Secara etimologi, al-wala’ memiliki beberapa makna, antara lain ‘mencintai’, ‘menolong’, ‘mengikuti’ dan ‘mendekat kepada sesuatu’. Ibnu al-A’rabi berkata, “Ada dua orang yang bertengkar, kemudian pihak ketiga datang untuk meng-ishlah (memberbaiki hubungan). Kemungkinan ia memiliki kecenderungan atau wala’ kepada salah satu di antara keduanya.”
Adapun maula memiliki banyak makna, sebagaimana berikut ini.
“Ar-Rabb, Pemilik, Sayyid (Tuan), Yang Memberikan kenikmatan, Yang Memerdekakan, Yang Menolong, Yang Mencintai tetangga, anak paman, mitra, atau sekutu, Yang Menikahkan mertua, hamba sahaya, dan yang diberi nikmat. Semua arti ini menunjukkan arti pertolongan dan percintaan.” (Lihat Lisanul-Arab, Ibnu Mandzur, 3/985-986)
Selanjutnya, kata muwaalah adalah anonim dari kata mu’aadah ‘permusuhan’ dan kata al-wali adalah anonim dari kata al-aduw ‘musuh’.
Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.
Dalam terminologi syariat, al-wala’ bermakna penyesuaian diri seorang
hamba terhadap apa yang disukai dan diridhai Allah, berupa perkataan,
perbuatan, keyakinan, dan orang (pelaku). Jadi, ciri utama orang Mukmin
yang ber-wala’ kepada Allah SWT adalah mencintai apa yang dicintai Allah
dan membenci apa yang dibenci Allah. Ia mengimplementasikan semua itu
dengan penuh komitmen.
Kedudukan Aqidah Wala’
Akidah al-wala’ ini memiliki kedudukan yang sangat urgen dalam keseluruhan muatan Islam.
Pertama, ia merupakan bagian penting dari makna syahadat. Maka, menetapkan “hanya Allah” dalam syahadat tauhid berarti seorang Muslim harus berserah diri hanya kepada Allah, membenci dan mencintai hanya karena Allah, lembut dan marah hanya kepada Allah, dan ia harus memberikan dedikasi maupun loyalitasnya hanya kepada Allah.
Kedua, ia merupakan bagian dari ikatan iman yang kuat. Rasulullah saw. bersabda,
“Ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR Ahmad dalam Musnadnya dari al-Bara’ bin ‘Azib)
Ketiga, ia merupakan sebab utama yang menjadikan hati bisa merasakan manisnya iman. Rasulullah saw. bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ: مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga hal yang apabila seseorang mendapatkan dalam dirinya, niscaya ia akan merasakan manisnya iman: hendaklah Allah dan Rasulnya lebih ia cintai daripada dirinya sendiri; hendaklah ia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah; hendaklah ia benci kepada kekufuran seperti bencinya untuk dilemparkan ke dalam neraka setelah Allah menyelamatkannya daripadanya.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Keempat, ia merupakan tali hubungan di mana masyarakat Islam dibangun di atasnya.
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (al-Hujuraat: 10)
Rasulullah saw. bersabda, “Cintailah saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri.” (HR Ahmad dalam Musnadnya)
Kelima, pahala yang sangat besar bagi orang yang mencintai karena Allah. Rasulullah saw. bersabda,
الْمُتَحَابُّونَ فِي جَلَالِي لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُورٍ يَغْبِطُهُمْ النَّبِيُّونَ وَالشُّهَدَاءُ
“Orang-orang yang saling mencintai karena kemuliaan-Ku (Allah) akan berada di atas mimbar dari cahaya pada hari kiamat di mana para nabi dan syuhada iri kepada mereka.” (HR at-Tirmidzi)
“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah, di mana pada hari itu tiada naungan kecuali naungan-Nya. (Di antara mereka) adalah dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah karena Allah.” (HR Muslim)
Keenam, perintah syariat untuk mendahulukan akidah al-wala’ ini daripada hubungan yang lain.
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Ketujuh, mendapatkan walayatullah.
Kedelapan, akidah ini merupakan tali penghubung yang kekal di antara manusia hingga hari kiamat. Allah berfirman,
Perhatikan firman Allah berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad
dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah
lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut
kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas
(pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya penolong kamu
hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”
(al-Maa`idah: 54-55)
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan
Rasul-Nya,’ jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir.”
(Ali ‘Imran: 31-32)
Di sisi lain, seorang Mukmin tidak boleh loyal dan cinta terhadap musuh-musuh Islam. Oleh karenanya, dalam beberapa firman-Nya, Allah mengingatkan orang-orang beriman tentang hal ini.
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian,
niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali (mu).”
(Ali ‘Imran: 28)
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi
kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka, janganlah kamu
jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah
pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka
di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di
antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong.”
(an-Nisaa`: 89)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah
pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka. Sesungguhnya, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim.”
(al-Maa`idah: 51)
Oleh karena itu, setiap Muslim harus memahami dengan baik tentang konsep al-wala’ dalam perspektif Islam.
Definisi
Secara etimologi, al-wala’ memiliki beberapa makna, antara lain ‘mencintai’, ‘menolong’, ‘mengikuti’ dan ‘mendekat kepada sesuatu’. Ibnu al-A’rabi berkata, “Ada dua orang yang bertengkar, kemudian pihak ketiga datang untuk meng-ishlah (memberbaiki hubungan). Kemungkinan ia memiliki kecenderungan atau wala’ kepada salah satu di antara keduanya.”
Adapun maula memiliki banyak makna, sebagaimana berikut ini.
“Ar-Rabb, Pemilik, Sayyid (Tuan), Yang Memberikan kenikmatan, Yang Memerdekakan, Yang Menolong, Yang Mencintai tetangga, anak paman, mitra, atau sekutu, Yang Menikahkan mertua, hamba sahaya, dan yang diberi nikmat. Semua arti ini menunjukkan arti pertolongan dan percintaan.” (Lihat Lisanul-Arab, Ibnu Mandzur, 3/985-986)
Selanjutnya, kata muwaalah adalah anonim dari kata mu’aadah ‘permusuhan’ dan kata al-wali adalah anonim dari kata al-aduw ‘musuh’.
Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung
orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu
tidak mempunyai pelindung.” (Muhammad: 11)
“Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab
dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.”
(Maryam: 45)
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka daripada
cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 257)
Kedudukan Aqidah Wala’
Akidah al-wala’ ini memiliki kedudukan yang sangat urgen dalam keseluruhan muatan Islam.
Pertama, ia merupakan bagian penting dari makna syahadat. Maka, menetapkan “hanya Allah” dalam syahadat tauhid berarti seorang Muslim harus berserah diri hanya kepada Allah, membenci dan mencintai hanya karena Allah, lembut dan marah hanya kepada Allah, dan ia harus memberikan dedikasi maupun loyalitasnya hanya kepada Allah.
“Katakanlah, sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (al-An’aam: 162)
“Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa, ‘Apakah yang telah
diturunkan oleh Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘(Allah telah menurunkan)
kebaikan.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat
(pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih
baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (an-Nahl:
30)
Kedua, ia merupakan bagian dari ikatan iman yang kuat. Rasulullah saw. bersabda,
“Ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR Ahmad dalam Musnadnya dari al-Bara’ bin ‘Azib)
Ketiga, ia merupakan sebab utama yang menjadikan hati bisa merasakan manisnya iman. Rasulullah saw. bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ: مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga hal yang apabila seseorang mendapatkan dalam dirinya, niscaya ia akan merasakan manisnya iman: hendaklah Allah dan Rasulnya lebih ia cintai daripada dirinya sendiri; hendaklah ia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah; hendaklah ia benci kepada kekufuran seperti bencinya untuk dilemparkan ke dalam neraka setelah Allah menyelamatkannya daripadanya.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Keempat, ia merupakan tali hubungan di mana masyarakat Islam dibangun di atasnya.
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (al-Hujuraat: 10)
Rasulullah saw. bersabda, “Cintailah saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri.” (HR Ahmad dalam Musnadnya)
Kelima, pahala yang sangat besar bagi orang yang mencintai karena Allah. Rasulullah saw. bersabda,
الْمُتَحَابُّونَ فِي جَلَالِي لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُورٍ يَغْبِطُهُمْ النَّبِيُّونَ وَالشُّهَدَاءُ
“Orang-orang yang saling mencintai karena kemuliaan-Ku (Allah) akan berada di atas mimbar dari cahaya pada hari kiamat di mana para nabi dan syuhada iri kepada mereka.” (HR at-Tirmidzi)
“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah, di mana pada hari itu tiada naungan kecuali naungan-Nya. (Di antara mereka) adalah dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah karena Allah.” (HR Muslim)
Keenam, perintah syariat untuk mendahulukan akidah al-wala’ ini daripada hubungan yang lain.
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri,
kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang
kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di
jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (at-Taubah:
24)
Ketujuh, mendapatkan walayatullah.
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya
kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 257)
Kedelapan, akidah ini merupakan tali penghubung yang kekal di antara manusia hingga hari kiamat. Allah berfirman,
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari
orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika)
segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” Al-Baqarah:166.
(bersambung)
Sumber : dakwatuna.com
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment