Senin,
20 Juni 2016
Narasumber
: Ustadz Farid Nu’man
Kajian
Link Ramadhan Pekan-4 Grup Bunda
Tema :
Fiqh Hari Raya
Editor
: Rini Ismayanti
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang masih memberikan kita nikmat iman, islam dan Al
Qur'an semoga kita selalu istiqomah sebagai shohibul qur'an dan ahlul Qur'an
dan dikumpulkan sebagai keluarga Al Qur'an di JannahNya.
Shalawat
beriring salam selalu kita hadiahkan kepada uswah hasanah kita, pejuang
peradaban Islam, Al Qur'an berjalan, kekasih Allah SWT yakaninya nabi besar
Muhammad SAW, pada keluarga dan para sahabat nya semoga kita mendapatkan
syafaat beliau di hari akhir nanti. InsyaAllah aamiin
BEBERAPA ADAB DAN SUNAH BERHARI RAYA
Berikut ini adalah adab-adab dan sunah ketika hari raya, baik
Idul Fitri dan Idul
1. Dianjurkan Mandi Sebelum Berangkat Shalat
Mandi pada hari ‘Id adalah sunah, bukan wajib, dan ini telah
menjadi ijma’ para ulama.
Berkata Imam Ibnu Rajab Rahimahullah:
والغسل للعيد غير واجب . وقد حكى ابن عبد البر الإجماع عليهِ ، ولأصحابنا وجه ضعيف بوجوبه . وروى الزهري ، عن ابن المسيب ، قال : الاغتسال للفطر والأضحى قبل أن يخرج إلى الصلاة حقٌ .
Mandi pada hari raya bukanlah kewajiban, Ibnu Abdil Bar telah
menceritakan adanya Ijma’ atas hal itu. Sedangkan terdapat riwayat lemah bagi
sahabat-sahabat kami yang menyebuntukan kewajibannya. Az Zuhri meriwayatkan
dari Ibnul Musayyib, katanya: “Mandi pada Idul Fitri dan Idul Adha sebelum
keluar menuju shalat adalah benar adanya.” (Imam Ibnu Rajab, Fathul Bari, 6/71)
Imam Ibnul Qayyim menceritakan:
كان يغتسل للعيدين، صح الحديث فيه، وفيه حديثان ضعيفان: حديث ابن عباس، من رواية جبارة بن مُغَلِّس، وحديث الفاكِه بن سعد، من رواية يوسف بن خالد السمتي. ولكن ثبت عن ابن عمر مع شِدة اتِّباعه للسُنَّة، أنه كان يغتسل يوم العيد قبل خروجه.
Nabi mandi pada dua hari raya, telah terdapat hadits shahih
tentang itu, dan ada pula dua hadits dhaif: pertama, hadits Ibnu Abbas, dari
riwayat Jabarah Mughallis, dan hadits Al Fakih bin Sa’ad, dari riwayat Yusuf
bin Khalid As Samtiy. Tetapi telah shahih dari Ibnu Umar –yang memiliki sikap
begitu keras mengikuti sunnah- bahwa Beliau mandi pada hari raya sebelum
keluar rumah. (Zaadul Ma’ad, 1/442. Muasasah Ar Risalah).
2. Memakai Pakaian Terbaik dan Minyak Wangi
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في العيدين أن نلبس أجود ما نجد و أن نتطيب بأجود ما نجد و أن نضحي بأسمن ما نجد
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami pada
dua hari raya untuk memakai pakaian terbaik yang kami punya, dan memakai
wangi-wangian yang terbaik yang kami punya, dan berkurban dengan hewan
yang paling mahal yang kami punya. (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7560,
katanya: “Kalau bukan karena kemajhulan Ishaq bin Barzakh, akan hukumi ini
sebagai hadits shahih.” Hal serupa juga dikatakan Imam Adz Dzahabi. Ath
Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 2756, dari Al Hasan bin Ali. Al Baihaqi
dalam Syu’abul Iman No. 3715. Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar No. 4730).
Tetapi, telah shahih dari para sahabat bahwa mereka memakai
pakaian terbaik ketika hari raya.
عن نافع أن بن عمر : كان يلبس في العيدين أحسن ثيابه
Dari Naafi’, bahwasanya Ibnu Umar memakai baju yang terbaik pada
dua hari raya. (Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 5938)
Dalam riwayat yang lebih panjang disebuntukan:
وَعَن مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ قَالَ : قُلْتُ لِنَافِعٍ : كَيْفَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - يَصْنَعُ يَوْمَ الْعِيدِ ؟ قَالَ : كَانَ يَشْهَدُ صَلاَةَ الْفَجْرِ مَعَ الإِمَامِ , ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى بَيْتِهِ فَيَغْتَسِلُ غُسْلَهُ مِنَ الْجَنَابَةِ ، وَيَلْبَسُ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ ، وَيَتَطَيَّبُ بِأَحْسَنِ مَا عِنْدَهُ ، ثُمَّ يَخْرُجُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى فَيَجْلِسَ فِيهِ حَتَّى يَجِيءَ الإِمَامُ ، فَإِذَا جَاءَ الإِمَامُ صَلَّى مَعَهُ ، ثُمَّ يَرْجِعُ فَيَدْخُلُ مَسْجِدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَيُصَلِّي فِيهِ رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ يَأْتِي بَيْتَهُ
Dari Muhammad bin Ishaq: Aku berkata kepada Naafi’: “Apa yang
diperbuat Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma ketika hari raya?” Beliau menjawab:
“Beliau shalat subuh berjamaah bersama imam, lalu dia pulang untuk mandi
sebagaimana mandi janabah, lalu dia berpakaian yang terbaik, dan memakai
wangi-wangian yang terbaik yang dia miliki, lalu dia keluar menuju lapangan
tempat shalat lalu duduk sampai datangnya imam, lalu ketika imam datang dia
shalat bersamanya, setelah itu dia menuju masjid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan shalat dua rakaat, lalu pulang ke rumahnya. (Imam Al Bushiri,
Ittihaf Al Khairah, No. 1587).
Imam Al Bushiri mengatakan tentang hadits ini:
رواه الحارث بن أبي أسامة ورجاله ثقات ، والبيهقي مختصرًا
Diriwayatkan Al Harits bin Abu Usamah, dan para perawinya adalah
terpercaya, dan diriwayatkan oleh Al Baihaqi secara ringkas. (Ibid)
Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri mengatakan: “Diriwayatkan oleh
Ibnu Abid Dunya dan Al Baihaqi dan isnadnya shahih.” (At Tuhfah Al
Ahwadzi, 3/59)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:
وكان يلبَس للخروج إليهما أجملَ ثيابه، فكان له حُلَّة يلبَسُها للعيدين والجمعة، ومرة كان يَلبَس بُردَين أخضرين، ومرة برداً أحمر
Ketika keluar pada dua hari raya, Rasulullah memakai pakaiannya
yang terbaik, Beliau memiliki sepasang pakaian yang khusus digunakannya ketika
hari raya dan hari Jumat, sekali-kali Beliau memakai yang hijau, sekali pernah
yang merah. (Zaadul Ma’ad, 1/440)
2. Makan Dulu Sebelum Shalat Idul Fitri, Sebaliknya Tidak Makan
Dulu Sebelum Shalat Idul Adha
Untuk hari Idul Fitri disunahkan makan kurma berjumlah ganjil,
sebelum berangkat shalat Id. Hal ini didasarkan pada riwayat berikut:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ
وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
“Pada saat Idul Fitri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
tidaklah berangkat untuk shalat sebelum makan beberapa kurma.” Murajja bin Raja
berkata, berkata kepadaku ‘Ubaidullah, katanya: berkata kepadaku Anas, dari
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Beliau memakannya berjumlah ganjil.” (HR.
Bukhari No. 953)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, mengutip dari Imam Ibnu
Qudamah Rahimahullah:
لا نعلم في استحباب تعجيل الاكل يوم الفطر اختلافا
Kami tidak ketahui adanya perselisihan pendapat tentang
sunahnya mendahulukan makan pada hari Idul Fitri. (Fiqhus Sunnah, 1/317)
Ada pun untuk Idul Adha, disunahkan tidak makan dan minum
dahulu, kecuali setelah shalat Id.
Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّيَ
Janganlah keluar pada hari Idul Fitri sampai dia makan dulu, dan
janganlah makan ketika hari Idul Adha sampai dia shalat dulu. (HR. At Tirmidzi
No. 542, Ibnu Majah No. 1756, Ibnu Hibban No. 2812, Ahmad No. 22984)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Hasan.” (Ta’liq Musnad
Ahmad No. 22984), Syaikh Al Albani menshahihkannya. (Shahih wa Dhaif Sunan Ibni
Majah No. 1756, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 542)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Dishahihkan oleh Ibnu Hibban.”
(Bulughul Maram, Hal. 176. Mawqi’ Misykah)
Imam At Tirmidzi berkata:
وَقَدْ اسْتَحَبَّ قَوْمٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ لَا يَخْرُجَ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ شَيْئًا وَيُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يُفْطِرَ عَلَى تَمْرٍ وَلَا يَطْعَمَ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ
Segolongan ulama menyunahkan agar jangan keluar dulu pada hari
Idul Fitri sampai makan sesuatu, dan disunahkan baginya untuk makan kurma, dan
jangan dia makan dulu pada hari Idul Adha sampai dia pulang. (Sunan At Tirmidzi
No. 542)
4. Pergi Menuju Lapangan Untuk Shalat Id
Shalat hari raya di lapangan adalah sesuai dengan petunjuk Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena Beliau tidak pernah shalat Id, kecuali di
lapangan (mushalla). Namun, jika ada halangan seperti hujan, lapangan yang
berlumpur atau becek, tidak mengapa dilakukan di dalam masjid. Dikecualikan
bagi penduduk Mekkah, shalat Id di Masjidil Haram adalah lebih utama.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
صلاة العيد يجوز أن تؤدى في المسجد، ولكن أداءها في المصلى خارج البلد أفضل ما لم يكن هناك عذر كمطر ونحوه لان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي العيدين في المصلى ولم يصل العيد بمسجده إلا مرة لعذر المطر.
Shalat Id boleh dilakukan di dalam masjid, tetapi melakukannya
di mushalla (lapangan) yang berada di luar adalah lebih utama, hal ini selama
tidak ada ‘udzur seperti hujan dan semisalnya, karena Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam shalat dua hari raya di lapangan, tidak pernah Beliau shalat
di masjidnya kecuali sekali karena adanya hujan. (Fiqhus Sunnah, 1/318)
Maksud dari “mushalla” adalah:
موضع بباب المدينة الشرقي
Lapangan di pintu Madinah sebelah timur. (Ibid, cat kaki. No. 2)
Imam An Nawawi menjelaskan:
أما الاحكام فقال اصحابنا تجوز صلاة العيد في الصحراء وتجوز في المسجد فان كان بمكة فالمسجد الحرام أفضل بلا خلاف
Ada pun masalah hukum-hukumnya, sahabat-sahabat kami
(Syafi’iyah) mengatakan bolehnya shalat ‘Id di lapangan dan bolehnya di
masjid. Jika di Mekkah, maka Masjidil Haram adalah lebih utama, tanpa
diperdebatkan lagi. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/5)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّهُ أَصَابَهُمْ مَطَرٌ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَصَلَّى بِهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْعِيدِ فِي الْمَسْجِدِ
Bahwasanya mereka ditimpa hujan pada hari raya, maka Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat Id bersama mereka di masjid. (HR. Abu Daud
No. 1160, Ibnu Majah No. 1313, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1094, Al Baihaqi
dalam As Sunan Al Kubra No. 6051, juga As Sunan Ash Shughra No. 732)
Adapun kalangan Syafi’iyah, lebih mengutamakan di masjid jika
masjid itu mampu menampung semua jamaah satu daerah, jika tidak, maka di
lapangan lebih baik.
Imam Abu Ishaq Asy Syirazi Rahimahullah menuliskan:
وإن كان المسجد واسعا فالمسجد أفضل من المصلى لان الأئمة لم يزالوا يصلون صلاة العيد بمكة في المسجد ولان المسجد أشرف وأنظف قال الشافعي رحمه الله فإن كان المسجد واسعا فصلى في الصحراء فلا بأس وإن كان ضيقا فصلى فيه ولم يخرج إلى المصلى كرهت لانه إذا ترك المسجد وصلى في الصحراء لم يكن عليهم ضرر وإذا ترك الصحراء وصلى في المسجد الضيق تأذوا بالزحام وربما فات بعضهم الصلاة فكره
Jika masjid itu luas, maka shalat di dalamnya lebih utama
dibanding di lapangan. Karena para imam senantiasa melakukan shalatnya di
Mekkah di dalam masjid, juga karena masjid itu lebih mulia dan lebih
bersih. Imam Asy Syafi’i berkata: “Jika masjid itu luas maka shalat di lapangan
tidak apa-apa, jika masjidnya sempit maka shalatlah di lapangan. Jika ada
yang tidak keluar menuju lapangan maka itu dibenci (makruh), karena jika mereka
meninggalkan masjid dan shalat di lapangan, tidak akan terjadi dharar
(kerusakan). Jika mereka meninggalkan lapangan, dan shalat di masjid yang
sempit, maka hal itu akan mengganggu mereka dengan berdesak-desakan, bisa jadi
di antara mereka ada yang luput shalatnya, dan hal itu menjadi makruh. (Al Muhadzdzab,
1/118)
Dalam Syarah terhadap kitab Al Muhazdzab-nya Imam Abu
Ishaq, Imam An Nawawi memberikan rincian sebagai berikut:
a. Shalat Id di Masjidil Aqsha, menurut Al Bandaniji dan Ash
Shaidalani, lebih utama dibanding di lapangan. Jumhur tidak ada yang
menolaknya, namun yang benar adalah bahwa mereka menyamakan secara mutlak bahwa
Al Aqsha sama dengan masjid lainnya.
b. Jika di negeri selain itu, maka jika mereka memiliki halangan
untuk keluar ke lapangan, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa mereka
diperintahkan shalat Id di masjid. Udzur tersebut seperti hujan, dingin,
rasa takut, dan semisalnya.
c. Jika tidak ada udzur, dan masjidnya sempit, maka tidak ada
perbedaan pendapat bahwa di lapangan lebih afdhal.
d. Jika masjid luas, tapi tidak ada udzur, maka ada dua
pendapat:
Pertama, yang shahih adalah yang tertera dalam Al Umm, dan
merupakan pendapat Al Mushannif (maksudnya Imam Abu Ishaq Asy Syirazi),
mayoritas ulama Iraq, Al Baghawi, dan selain mereka, bahwa shalat di masjid
lebih afdhal.
Kedua, yang shahih menurut komunitas ulama khurasan bahwa shalat
di lapangan lebih afdhal, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu
melakukannya di lapangan.
Golongan yang pertama memberikan jawaban, bahwa dahulu shalat di
lapangan lantaran masjid berukuran sempit sedangkan manusia yang
keluar sangat banyak, maka yang lebih benar adalah di masjid. Demikian uraian
Imam An Nawawi. (Lihat semua dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/5)
Jadi, jika dilihat perbedaan ini, nampak bahwa yang
terpenting adalah tertampungnya jamaah shalat Id dalam tempat shalat. Itulah
esensinya, kalangan Syafi’iyah bukan menolak shalat Id di lapangan sebagaimana
penjelasan tokoh-tokoh mereka, sebagaimana memang itu yang dicontohkan
nabi, tetapi mereka melihat pada maksudnya, yaitu karena manusia begitu banyak
sedangkan kapasitas masjid tidak cukup. Nah, untuk zaman ini rasio umat Islam
dan jumlah masjidnya tidak seimbang, umumnya memang masjid tidak mampu
menampung membludaknya jamaah, dan ini yang biasa terjadi maka, saat itu di
lapangan lebih afdhal.
Wallahu A’lam
5. Dianjurkan Kaum Wanita Dan Anak-Anak Keluar Ke Lapangan
Mereka dianjurkan untuk keluar karena memang ini adalah hari
raya yang mesti disambut dengan suka cita oleh siapa saja.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
يشرع خروج الصبيان والنساء في العيدين للمصلى من غير فرق بين البكر والثيب والشابة والعجوز والحائض
Dianjurkan keluarnya anak-anak dan kaum wanita pada dua hari
raya menuju lapangan, tanpa ada perbedaan, baik itu gadis, dewasa, pemudi, tua
renta, dan juga wanita haid. (Fiqhus Sunnah, 1/318)
Ummu ‘Athiyah Radhiallahu ‘Anha berkata:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
Kami diperintahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk
mengeluarkan anak-anak gadis, wanita haid, wanita yang dipingit, pada hari Idul
Fitri dan idul Adha. Ada pun wanita haid, mereka terpisah dari tempat shalat.
Agar mereka bisa menghadiri kebaikan dan doa kaum muslimin. Aku berkata: “Wahai
Rasulullah, salah seorang kami tidak memiliki jilbab.” Beliau menjawab:
“Hendaknya saudarinya memakaikan jilbabnya untuknya.” (HR. Bukhari No. 324, dan
Muslim No. 890, dan ini lafaznya Imam Muslim)
Hikmahnya adalah selain agar mereka bisa mendapatkan kebaikan
dan doa kaum muslimin juga sebagai momen bagi kaum wanita dan anak-anak untuk
mendapatkan pelajaran dan nasihat agama. Hal ini ditegaskan dalam riwayat Ibnu
Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, ketika dahulu masih kecil, katanya:
خَرَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ
Saya keluar bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari
Idul Fitri atau Idul Adha, Beliau shalat, kemudian berkhutbah, lalu mendatangi
kaum wanita dan memberikan nasihat kepada mereka, memberikan peringatakan dan
memerintahkan mereka untuk bersedekah. (HR. Bukhari No. 975)
Namun, hendaknya keluarnya kaum wanita tetap menjaga akhlak dan
adab berpakaian yang dibenarkan syariat, tidak berpakaian dan berhias seperti
orang kafir, tidak menampakkan lekuk tubuh, menutup aurat secara sempurna,
tidak mencolok, dan menjauhi wangi-wangian.
TANYA JAWAB
M 20
Q : Assalamualaikum Ustadz. Mengenai pakaian ketika hari raya,
kan menggunakan pakaian terbaik namun di masyarakat kita pakaian terbaik adalah
pakaian yang baru. Banyak yang akhirnya mencuri/mencopet dengan alasan agar
bisa membeli baju baru untuk lebaran. Selain itu kadang jadi ajang pamer,
kredit tak masalah asal bajunya mirip artis. Bagaimana cara kita memberi
penjelasan pada orang-orang disekitar?
A : Itulah tradisi yang salah kaprah. Memakai pakaian terbaik,
tidak berarti pakaian baru. Walau tidak terlarang membeli yang baru, tetapi
tidak sampai memaksakan diri untuk itu sampai melakukan pehuatan yang haram.
Janganlah hanya karena adab berhari raya dengan pakaian terbaik, mereka rela
melakukan keharaman. Ini tidak boleh dan berawal dari pemahaman yang salah.
Yang penting bersih, rapi, dan layak dipakai.
Wallahu a'lam
Wallahu a'lam
Q : Assalamualaikum ustadz, afwan saya mau tanya tapi pertanyaan
saya OOT...
bagaimana hukum nya bila ada seseorang yang akan melaksanakan tarawih ato shalat ied tapi dengan dandanan menor? Mhn penjelasannya ustadz, syukron
bagaimana hukum nya bila ada seseorang yang akan melaksanakan tarawih ato shalat ied tapi dengan dandanan menor? Mhn penjelasannya ustadz, syukron
A : Wa'alaikumussalam wa rahmatullah.. Itulah fitnah yang
dikhawatiri ibu kita, 'Aisyah Radhiallahu 'Anha jika wanita shalat di
masjid yaitu dandanannya yang bertabarruj seperti wanita jahiliyah. Padahal
casting artis aja tidak gitu-gitu banget. Maka, hendaknya kaum
muslimah menyadari bahwa dirinya bahwa masjid ada adab, shalat ada adab, juga
ketika berkumpul dengan manusia ada adabnya. Maka, perhatikanlah adab-adab ini
untuk tetap menjadi wanita yang 'iffah-terhormat. Wallahu a'lam
Q : Assalamualaikum usatdz, mohon penjelasan soal pembacaan
takbir pada saat malam menjelang iedul fitri, di mesjid 2x kan biasanya rame
pake pengarah suara bahka kadang ada yang takbir keliling, tapi ada saya
pernah mendengar ada juga mesjid yang melarang jamaahnya takbir mengunakan
pengarah suara, jadi takbir hanya terdengar di mesjid saja /dirumah saja, yang
saya ingin tanyakan sebenarnya takbir cara mana yang di perbolehkan ? Itu saja
ustadz, syukron atas penjelasannya
A : Bertakbir memang dianjurkan dikeraskan suaranya, dan itu
adalah pendapat mayoritas ulama. Zaman dahulu tidak pakai microphone karena
memang belum ada.
Tertulis di dalam Al Mausu’ah:
أَمَّا التَّكْبِيرُ فِي عِيدِ الْفِطْرِ فَيَرَى جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يُكَبَّرُ فِيهِ جَهْرًا وَاحْتَجُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ } قَال ابْنُ عَبَّاسٍ : هَذَا وَرَدَ فِي عِيدِ الْفِطْرِ بِدَلِيل عَطْفِهِ عَلَى قَوْله تَعَالَى : { وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ } وَالْمُرَادُ بِإِكْمَال الْعِدَّةِ بِإِكْمَال صَوْمِ رَمَضَانَ
Ada pun pada Idul Fitri jumhur (mayoritas) fuqaha memandang
bahwa bertakbir dilakukan dengan suara dikeraskan. Mereka berdalil dengan
firman Allah Ta’ala: “hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,” berkata Ibnu Abbas: ayat ini berbicara
tentang Idul Fitri karena kaitannya dengan firmanNya: “Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya,” maksudnya dengan menyempurnakan jumlahnya, dengan
menggenapkan puasa Ramadhan. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,
13/213)
Ada pun kalangan Hanafiyah mereka menganjurkan bertakbir secara
disirr-kan, pada hari raya Idul Fitri. Berikut ini keterangannya :
وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ إِلَى عَدَمِ الْجَهْرِ بِالتَّكْبِيرِ فِي عِيدِ الْفِطْرِ لأِنَّ الأْصْل فِي الثَّنَاءِ الإْخْفَاءُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى {وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْل } وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ الذِّكْرِ الْخَفِيُّ. وَلأِنَّهُ أَقْرَبُ مِنَ الأْدَبِ وَالْخُشُوعِ ، وَأَبْعَدُ مِنَ الرِّيَاءِ
Pendapat Abu Hanifah adalah takbir tidak dikeraskan saat Idul
Fitri, karena pada asalnya pujian itu mesti disembunyikan, karena Allah Ta’ala
berfirman: “dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri
dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara,” dan sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam: “Sebaik-baiknya dzikir adalah yang
tersembunyi.” Karena hal itu lebih dekat dengan adab,
khusyu’, dan lebih jauh dari riya’. (Al Mausu’ah, 13/214)
Q : Klo anaknya masih balita gimana?? Sebaiknya ikut dibawa
shalat ke masjid atau tidak??
A : Pada prinsipnya tetap dibawa, sebagaimana penjelasan Syaikh
Sayyid Sabiq Rhimahullah:
يشرع خروج الصبيان والنساء في العيدين للمصلى من غير فرق بين البكر والثيب والشابة والعجوز والحائض
Dianjurkan keluarnya anak-anak dan kaum wanita pada dua hari
raya menuju lapangan, tanpa ada perbedaan, baik itu gadis, dewasa, pemudi, tua
renta, dan juga wanita haid. (Fiqhus Sunnah, 1/318)
Tapi, sebaiknya tetap bisa dijaga agar tidak mengganggu jamaah
lainnya. Kalau diperkirakan tidak bisa dikendalikan, sehingga berdampak buruk
bagi jamaah lain lebih baik tidak dibawa. Tentu orang tua lebih tahu watak
anaknya dan bagaimana menanganinya. Kaidahnya: adh dhararu yuzaal -
madharat itu mesti dihilangkan.
Wallahu a'lam
M3
Q : 1. Apakah sholat id di aula sah hukumnya?
2. Bagi ibu yang punya bayi apakah harus keluar juga pada saat hari raya?
3. Bagaimana hukumnya saling mengunjungi ke rumah tetangga pada saat hari raya?
2. Bagi ibu yang punya bayi apakah harus keluar juga pada saat hari raya?
3. Bagaimana hukumnya saling mengunjungi ke rumah tetangga pada saat hari raya?
A : 1. Sah, .. selama itu tempat yang suci. Apalagi di negeri
minoritas muslim, tidak ada lapangan yang cukup dan tidak ada masjid, maka
mereka bs melaksanakannya di aula, basement, dan semisalnya. Pada prinsipnya
semua permukaan bumi adalah masjid, sebagaimana hadits:
وجعلت لنا الأرض كلها مسجدا. وجعلت تربتها لنا طهورا
“Dijadikan bagi kita semua bumi adalah masjid, dan dijadikan
tanahnya bagi kita adalah suci.” (HR. Muslim No. 522, Ibnu Hibban No. 6400, Al
Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 963, Ibnu Khuzaimah No. 263, 787, Ibnu Abi
Syaibah dalam Al Mushannaf, 7/411)
Sedangkan hadits yang berbunyi:
وجعلت لي الأرض مسجدا وطهورا
“Bumi dijadikan untukku sebagai masjid dan suci.”
Diriwayatkan oleh: Bukhari No. 328, 427, 2954, dari Jabir bin
Abdullah. Muslim No. 521, dari Jabir bin Abdullah, dengan lafaz: “Bumi
dijadikan untukku dengan keadaan baik (thayyibah), suci dan sebagai masjid.
2. Ya, ibu-ibu yang punya bayi, jika bisa datang maka
datanglah ke lapangan. Itu menjadi syiar kaum muslimin dan agar bisa mendengarkan
khutbah.
3. Itu 'urf shahih, tradisi yang baik. Tidak ada dalil
khususnya, tapi itu bagus dan baik. Istilah dalam fiqih, 'urf shahih, yaitu
tradisi umat Islam yang baik, yang tidak memiliki dasar khusus tapi syariat
tidak melarangnya. Hanya saja tetap dijaga adab2 bertamu, berkunjung, termasuk
masalah jabat tangan dengan lawan jenis sebaiknya dihindari.
Wallahu a'lam
M6
Q : Bagaimana sikap kita menghadapi perbedaan hari raya di
negara yang sama.
Jika kita ikut pemerintah idul fitri di hari esok. Sedangkan dihari sebelumnya sudah ada yang ber idul fitri. Bagaimana hukum puasanya? Apakah tetap puasa ramadhan atw tidak. Jazakallah ustd
Jika kita ikut pemerintah idul fitri di hari esok. Sedangkan dihari sebelumnya sudah ada yang ber idul fitri. Bagaimana hukum puasanya? Apakah tetap puasa ramadhan atw tidak. Jazakallah ustd
A : Hendaknya jangan saling mengingkari. Maksudnya, jika kita
ikut pemerintah berhariraya, padahal sudah ada yang berhariraya duluan, maka
dalam sudut pandang mereka masing-masing adalah benar. Puasa mereka tetap sah,
sebab dalam pandangan mereka memang masih Ramadhan. Sedangkan bagi yang sudah
berhari raya tidak boleh menyalahkan yang masih berpuasa, dan menuduh
"kok 1 syawal masih berpuasa" sebab dalam pandangan yang masih
berpuasa adalah masih bulan Ramadhan walau anda menganggap sudah syawwal. Yang
berpuasa pun tidak boleh menyalahkan yang harirayanya duluan, dan menyebut
mereka "kok muslim tidak berpuasa Ramadhan" sebab dalam
pandangan mereka memang sudah 1 syawwal, bukan Ramadhan. Yang salah adalah
orang yang tidak konsisten. Mengikuti pendapat sudah 1 syawwal tapi masih puasa
juga. Atau mengikuti pendapat belum 1 Syawwal alias masih Ramadhan, tapi dia
tidak berpuasa. Demikian itu etika fiqihnya. Namun, masalah seperti ini,
sebenarnya adalah domain pemerintah, bukan pribadi atau ormas. Hendaknya kita
mengalah demi persatuan umat Islam, jangan menyendiri dalam berhariraya.
Perhatikan dan renungkan ini .. Imam Abul Hasan As Sindi
menyebuntukan dalam Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah:
وَالظَّاهِر أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ
“Jelasnya, maknanya adalah *bahwasanya perkara-perkara semacam
ini (menentukan awal Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha, pen) keputusannya
bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya
sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada
pemimpin (imam) dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun
wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam.*
Maka jika ada seseorang yang melihat hilal namun penguasa
menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian
tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam
permasalahan itu.” (Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, 3/431)
Apa yang dikatakan oleh Imam Abul Hasan As Sindi, bahwa
penentuan masuknya Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha merupakan domain dan
wewenang pemerintah, tidak berarti mematikan potensi umat dan ormas. Mereka
boleh saja memberikan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah tetapi
keputusan terakhir tetap di tangan pemerintah, dan hendaknya mereka legowo
menerimanya, sebagai bukti bagusnya adab hidup berjamaah.
Syaikh Al Albani berkata – dan ini adalah komentar yang sangat
bagus darinya:
و هذا هو اللائق بالشريعة السمحة التي من غاياتها تجميع الناس و توحيد صفوفهم ، و إبعادهم عن كل ما يفرق جمعهم من الآراء الفردية ، فلا تعتبر الشريعة رأي الفرد - و لو كان صوابا في وجهة نظره - في عبادة جماعية كالصوم و التعبيد و صلاة الجماعة ، ألا ترى أن الصحابة رضي الله عنهم كان يصلي بعضهم وراء بعض و فيهم من يرى أن مس المرأة و العضو و خروج الدم من نواقض الوضوء ، و منهم من لا يرى ذلك ، و منهم من يتم في السفر ، و منهم من يقصر ، فلم يكن اختلافهم هذا و غيره ليمنعهم من الاجتماع في الصلاة وراء الإمام الواحد ، و الاعتداد بها ، و ذلك لعلمهم بأن التفرق في الدين شر من الاختلاف في بعض الآراء ، و لقد بلغ
الأمر ببعضهم في عدم الإعتداد بالرأي المخالف لرأى الإمام الأعظم في المجتمع الأكبر كمنى ، إلى حد ترك العمل برأيه إطلاقا في ذلك المجتمع فرارا مما قد ينتج من الشر بسبب العمل برأيه ، فروى أبو داود ( 1 / 307 ) أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا ، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله
عليه وسلم ركعتين ، و مع أبي بكر ركعتين ، و مع عمر ركعتين ، و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها ، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين ، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت أربعا ؟ ! قال : الخلاف شر . و سنده صحيح . و روى أحمد ( 5 / 155 ) نحو هذا عن
أبي ذر رضي الله عنهم أجمعين . فليتأمل في هذا الحديث و في الأثر المذكور أولئك الذين لا يزالون يتفرقون في
صلواتهم ، و لا يقتدون ببعض أئمة المساجد ، و خاصة في صلاة الوتر في رمضان ، بحجة كونهم على خلاف مذهبهم ! و بعض أولئك الذين يدعون العلم بالفلك ، ممن يصوم و يفطر وحده متقدما أو متأخرا عن جماعة المسلمين ، معتدا برأيه و علمه ، غير مبال بالخروج عنهم ، فليتأمل هؤلاء جميعا فيما ذكرناه من العلم ، لعلهم يجدون شفاء لما في نفوسهم من جهل و غرور ، فيكونوا صفا واحدا مع إخوانهم المسلمين فإن يد الله مع الجماعة .
الأمر ببعضهم في عدم الإعتداد بالرأي المخالف لرأى الإمام الأعظم في المجتمع الأكبر كمنى ، إلى حد ترك العمل برأيه إطلاقا في ذلك المجتمع فرارا مما قد ينتج من الشر بسبب العمل برأيه ، فروى أبو داود ( 1 / 307 ) أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا ، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله
عليه وسلم ركعتين ، و مع أبي بكر ركعتين ، و مع عمر ركعتين ، و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها ، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين ، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت أربعا ؟ ! قال : الخلاف شر . و سنده صحيح . و روى أحمد ( 5 / 155 ) نحو هذا عن
أبي ذر رضي الله عنهم أجمعين . فليتأمل في هذا الحديث و في الأثر المذكور أولئك الذين لا يزالون يتفرقون في
صلواتهم ، و لا يقتدون ببعض أئمة المساجد ، و خاصة في صلاة الوتر في رمضان ، بحجة كونهم على خلاف مذهبهم ! و بعض أولئك الذين يدعون العلم بالفلك ، ممن يصوم و يفطر وحده متقدما أو متأخرا عن جماعة المسلمين ، معتدا برأيه و علمه ، غير مبال بالخروج عنهم ، فليتأمل هؤلاء جميعا فيما ذكرناه من العلم ، لعلهم يجدون شفاء لما في نفوسهم من جهل و غرور ، فيكونوا صفا واحدا مع إخوانهم المسلمين فإن يد الله مع الجماعة .
“Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang
diantara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka
serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan.
Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan
benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Id, dan shalat
berjamaah. Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian shahabat Radhiallahu ‘Anhum
shalat bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang
berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah
dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat
demikian?! Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna dalam safar dan
diantara mereka pula ada yang mengqasharnya. Namun perbedaan itu tidaklah
menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam
dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah. Hal itu karena adanya
pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada
sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa
daripada pendapat pribadinya pada saat berkumpulnya manusia seperti di Mina.
Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan)
bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh
Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan Radhiallahu
‘Anhu shalat di Mina 4 rakaat. Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu
‘Anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku dulu shalat bersama Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat,
dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan diantara
kalian, dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2
rakaat darinya”. Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru
shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari
‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!”
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih.
Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari
shahabat Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhum Ajma’in
Hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan
renungan oleh orang-orang yang selalu berpecah-belah dalam urusan shalat mereka
serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, khususnya shalat witir
di bulan Ramadhan dengan dalih bahwa keadaan para imam itu beda dengan madzhab
mereka! Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik
mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih
mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan kebanyakan kaum
muslimin. Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan
ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada
pada diri mereka. Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama
saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala
bersama Al Jama’ah.” (As Silsilah Ash Shahihah, 1/389)
Wallahu a'lam
M7
Q : Apakah hikmahnya pada hari Idul Fitri disunnahkan makan
sesuatu dulu sebelum sholat Ied tapi pada hari Idul Adha jangan makan dulu
sampai selesai sholat Ied? Jazakallah khairan.
A : Wallahu a'lam. Yang jelas:
1. Demikianlah nabi kita mengajarkan, baik tahu atau tidak
tahu apa hikmahnya kita tetap patuh kepadanya sebagai konsekuensi ketaatan kita
kepada Allah Ta'ala.
2. Mengetahui hikmahnya bukanlah kewajiban dan tuntutan,
dan tidak berdosa tidak mengetahuinya, maka tidak memaksakan diri untuk
mengetahuinya.
3. Boleh saja ada yang mengatakan hikmahnya adalah kalau
idul fitri karena puasanya sudah demikian panjang dan lama, maka wajar jika
dianjurkannya adalah makan dulu sebelum shalat 'Id. Kebalikannya dengan Idul
Adha yang singkat shaumnya, yakni 9 zulhijah saja, maka dianjurkan tidak makan
sebelum shalat 'Id. Tetapi, tetaplah ini "perkiraan manusia" saja.
Kembalikan ilmunya kepada Allah Ta'ala.
Q : Bagaimanakah cara pembayaran fidyah bagi yang tidak berpuasa
?(sakit karena sudah tua)berapa perhari ? Dibayarkan pas Ramadhan apa sesudah
Ramadhan?
Terus klo sedang melahirkan apa cukup membayar fidyah saja atau diganti dilain hari...?
Terus klo sedang melahirkan apa cukup membayar fidyah saja atau diganti dilain hari...?
A : Bagi yang sudah berat berpuasa seperti sakit karena sudah
tua ..., maka hitung jumlah hari yang dia tinggalkan. Misal 30 hari. Maka
berikan makan yang mengenyangkan kepada orang miskin sebanyak 30 orang, 1 kali
makan. Anas bin Malik menyontohkan, saat Beliau membayar fidyah dengan
mengundang makan fakir miskin untuk makan di rmhnya sampai kenyang.
Ini cara yang simpel dan tidak pusing meribuntukan ukuran dan takaran yang para ulama madzhab berbeda pendapat. Maka cara Anas bin Malik ini termasuk recomended untuk dilakukan. Bagus jika dilakukan Ramadhan, tapi tidak terlarang jika setelahnya, tergantung kelapangan rezki. Melahirkan itu menjadi wanita keadaannya nifas, nifas itu qadha bukan fidyah. Ganti puasa di hari lain.
Ini cara yang simpel dan tidak pusing meribuntukan ukuran dan takaran yang para ulama madzhab berbeda pendapat. Maka cara Anas bin Malik ini termasuk recomended untuk dilakukan. Bagus jika dilakukan Ramadhan, tapi tidak terlarang jika setelahnya, tergantung kelapangan rezki. Melahirkan itu menjadi wanita keadaannya nifas, nifas itu qadha bukan fidyah. Ganti puasa di hari lain.
Wallahu a'lam
M9
Q : Sudah dterangkan bahwa untuk kaum wanita supaya menjaga adab
berpakaian yang dibenarkan syariat, tidak berpakaian dan berhias seperti orang
kafir, tidak menampakan lekuk tubuh, menutup aurat secara sempurna, tidak
mencolok dan menjauhi wangi-wangian.. Tapi kalo buat suami di rumah boleh kan
ustadz?
A : Boleh banget, bahkan itu bisa bernilai ibadah jika tujuannya
ibadah, agar suami gak kelayaban ke yang lain. Wallahu a'lam.
Q : Afwan ust..untuk perihal memakai minyak wangi..apakah hal
tsb dianjurkn pula oleh para kaum Hawa..? Syukron wa jazakallahu khoir
A : Tidak, konteks pembahasan itu untuk kaum laki-laki. Wanita
sebagaimana keadaan umumnya, memakai minyak wangi saat untuk suaminya. Cukup
bagi wanita memakai yang bisa menetralisir BB saja yang tidak tajam aromanya.
Seperti bedak-bedak penghilang BB yang aromanya kalem. Wallahu a'lam
M 13
Q : Ustadz.. ana biasa lebaran di kampong, di kampung ana
seringnya yang jadi imam sholat id bacaannya masih salah-salah baik
makhroj maupun tajwidnya, suami kadang sampe geleng-geleng kepala. Kebiasaan di
kampung yang di jadikan imam untuk sholat id orang yang dituakan sepertinya
tad. Padahal banyak anak muda yang bacaannya fasih. Gimana hukumnya tad?
Bolehkah kita bermakmum kepadanya. Jazakallah
A : Bismillah wal hamdulillah.. Jika kita mengalami ini, maka
ketahuilah kekurangan imam, atau bahkan kesalahan fatal imam, semuanya
ditanggung oleh imam itu sendiri, dan tidaklah ditanggung oleh
makmum. Hal ini berdasarkan beberapa dalil berikut :
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain. dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya. (QS. An Najm : 38-39)
Ayat lain:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya.” (QS. Al Mudatsir (74): 38)
Dalam hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلُّونَ بِكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
Dari Abu Hurairah dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallambersabda: “Mereka shalat sebagai imam bagi kalian, maka jika
mereka benar, pahalanya bagi kalian dan mereka, dan jika mereka salah, maka
pahalanya untuk kalian, dosanya ditanggung mereka.” (HR.
Bukhari No. 694)
Sahl berkata:
إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْإِمَامُ ضَامِنٌ فَإِنْ أَحْسَنَ فَلَهُ وَلَهُمْ وَإِنْ أَسَاءَ يَعْنِي فَعَلَيْهِ وَلَا عَلَيْهِمْ
“Sesungguhnya aku mendengar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallambersabda:”Imam itu adalah penanggung jawab, jika dia benar, maka
pahalanya bagi dia dan bagi makmum, jika dia salah, maka tanggung jawabnya
adalah kepadanya, bukan kepada makmum.” (HR. Ibnu Majah
No. 981, Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat Shahih wa Dhaif
Sunan Ibni Majah No. 981)
Berkata Syaikh Sayyid SabiqRahimahullah:
تصح إمامة من أخل بترك شرط أو ركن إذا أتم المأموم وكان غير عالم بما تركه الامام
“Bermakmum kepada orang yang tertinggal syarat dan rukun shalat
adalah sah, dengan syarat makmum tidak tahu kesalahan tersebut dan dia
menyempurnakan apa-apa yang ditinggalkan oleh imam.” (Fiqhus
Sunnah, 1/241)
Wallahu a'lam
Q : Bagaimana kalau terlambat sholat ied, sementara sudah sampai
lapangan ?
A : Ya masbuq seperti biasa ikuti gerakan imam, dan lanjuntukan
serta sempurnakan yang sisanya. Wallahu a'lam
M8
Q : Assalamualaikum wr wb...mau tanya...bagaimana dengan pergi
dan pulang ke tempat sholat Ied melalui rute yang berbeda, apakah ada
tuntunannya...trimakasih, wassalamualaikum wr wb
A : Wa'alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh. Ya, itu
sunnah, bukan kewajiban. Sunah ini diterangkan dalam berbagai riwayat. Di
antaranya:
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika keluar pada hari
Id akan menempuh jalan yang berbeda. (HR. Bukhari No. 986)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان النبي صلى الله عليه و سلم كان إذا خرج إلى العيدين رجع في غير الطريق الذي خرج فيه
Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika keluar menuju
shalat dua hari raya, pulangnya menempuh jalan yang berbeda dengan keluarnya.
(HR. Ahmad No. 8454, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1099, Al Baihaqi dalam As
Sunan Ash Shughra No. 727, Ibnu Khuzaimah No. 1468)
Imam At Tirmidzi juga meriwayatkan dengan lafaz:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيدِ فِي طَرِيقٍ رَجَعَ فِي غَيْرِهِ
Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika keluar pada hari
raya menempuh sebuah jalan, pulangnya dia melewati jalan yang lain. (HR. At
Tirmidzi No. 541, katanya: hasan gharib. Syaikh Al Albani menshahihkan
dalam Shahihul Jami’ No. 4710)
Imam At Tirmidzi mengomentari hadits ini:
وَقَدْ اسْتَحَبَّ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ لِلْإِمَامِ إِذَا خَرَجَ فِي طَرِيقٍ أَنْ يَرْجِعَ فِي غَيْرِهِ اتِّبَاعًا لِهَذَا الْحَدِيثِ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ
Sebagian ulama menyunahkan bagi imam jika keluar melewati sebuah
jalan, hendaknya pulang melalui jalan lain, untuk mengikuti hadits ini. Ini
adalah pendapat Asy Syafi’i. (Sunan At Tirmidzi No. 541)
Namun, secara zahir hadits ini tidak menunjukkan kekhususan
untuk imam. Oleh karenanya, mesti dipahami bahwa kesunahan ini berlaku secara
umum, bagi imam, juga selain imam.
Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri menjelaskan:
قال أبو الطيب السندي الظاهر أنه تشريع عام فيكون مستحبا لكل أحد ولا تخصيص بالإمام إلا إذا ظهر أنه لمصلحة مخصوصة بالأئمة فقط
Berkata Abu Thayyib As Sindi: yang benar adalah bahwa
pensyariatannya adalah umum, maka hal ini menjadi sunah bagi setiap orang tidak
dikhususkan bagi imam saja, kecuali jika ada kejelasan adanya maslahat
khusus terkait dengan para imam saja. (Tuhfah Al Ahwadzi, 3/78)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengoreksi informasi apa yang ditulis Imam
At Tirmidzi tentang pendapat Imam Asy Syafi’i yang katanya sunah bagi imam
saja, kata Al Hafizh:
والذي في الأم أنه يستحب للإمام والمأموم وبه قال أكثر الشافعية
Dan, yang ada di dalam Al Umm, bahwa Beliau (Asy Syafi’i)
menyunahkan bagi imam dan ma’mum sekaligus, dan ini merupakan pendapat
mayoritas Syafi’iyah. (Fathul Bari, 2/472)
Syaikh Al Mubarkafuri menambahkan :
وبالتعميم قال أكثر أهل العلم انتهى قلت وبالتعميم قال الحنفية أيضا
Dan, mayoritas ulama berpendapat bahwa hal ini berlaku umum. Aku
berkata: “untuk umum” juga pendapat Hanafiyah. (Tuhfah Al Ahwadzi, 3/79)
Apa hikmahnya disunahkan menempuh jalan berbeda? Tidak ada
keterangan dalam As Sunah tentang alasan kenapa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam melakukan hal ini. Oleh karenanya, terjadi beragam tafsir dari para
ulama tentang maksudnya, sampai lebih dari 20 pendapat.
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
وقد اختلف في معنى ذلك على أقوال كثيرة اجتمع لي منها أكثر من عشرين
Telah terjadi perselisihan tentang makna hal ini dengan
perselisihan yang banyak, saya telah mengumpulkan pendapat-pendapat itu,
di antaranya lebih dari 20 pendapat. (Fathul Bari, 2/473)
Di antara mereka ada yang mengatakan; untuk saling mengunjungi
satu sama lain, untuk berbagi keberkahan di antara mereka, agar mereka
menyebarkan wangi-wangian yang memang disunahkan untuk memakainya
saat itu dan bisa dicium oleh orang lain, untuk membuat jengkel Yahudi
dan kaum munafik, menunjukkan syiar, untuk mesyiarkan dzikrullah, dan
sebagainya.
Boleh menempuh jalan yang sama. Tidak terlarang jika pada
akhirnya ketika pulang dari shalat ‘Id memilih jalan yang sama dengan
berangkatnya. Hal ini berdasarkan riwayat berikut :
Dari Bakr bin Mubasysyir Al Anshari, katanya:
كُنْتُ أَغْدُو مَعَ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمُصَلَّى يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى فَنَسْلُكُ بَطْنَ بَطْحَانَ حَتَّى نَأْتِيَ الْمُصَلَّى فَنُصَلِّيَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ نَرْجِعَ مِنْ بَطْنِ بَطْحَانَ إِلَى بُيُوتِنَا
Saya berangkat pagi-pagi bersama para sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menuju lapangan pada hari Idul Fitri dan Idul
Adha, kami menempuh lembah Bath-han sampai kami datang ke lapangan lalu kami
shalat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian kami pulang
melewati lembah Bath-han ke rumah-rumah kami. (HR. Abu Daud No. 1158, Al Hakim
dalam Al Mustadrak No. 1100, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6048,
Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 24520, katanya: Ibnu Sikkin
berkata isnadnya shaalih (baik). Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No.
1156)
Sebagian ulama mendhaifkan hadits, namun demikian hal ini tidak
mengubah hakikat masalah ini, yakni menempuh jalan berbeda antara pergi dan
pulang adalah sunah, bukan wajib.
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan:
ولكن يدل على أن الإنسان له أن يذهب من طريق ويرجع من نفس طريقه دون أن يخالف الطريق، لكن الحديث غير ثابت؛ لأن فيه من هو ضعيف ومن هو مجهول، والثابت هو ما تقدم من أنه يخالف الطريق، وأنه يذهب من طريق ويرجع من طريق، وهذا سنة، ولو أن الإنسان ذهب من طريقه ورجع من طريقه فلا بأس بذلك، فالذهاب من طريق والرجوع من طريق أخرى ليس بواجب وإنما هو مستحب، إن فعله الإنسان أثيب وإن لم يفعله فلا شيء عليه
Tetapi hadits ini menunjukkan bahwa manusia dapat pergi dan
pulang melalui jalan yang sama tanpa menempuh jalan yang berbeda, tetapi hadits
ini tidak tsaabit (kuat), karena di dalamnya terdapat perawi yang lemah dan
majhuul, yang shahih adalah hadits yang telah lalu bahwa nabi menempuh jalan
yang berbeda, Beliau pergi melalui sebuah jalan dan kembali melalui jalan yang
lain, dan ini adalah sunah. Seandainya manusia pergi melalui sebuah jalan lalu
pulang lewat jalan itu lagi, hal itu tidak apa-apa. Jadi, pergi menempuh suatu
jalan dan pulangnya menempuh jalan lain adalah bukan hal yang wajib, itu hanya
mustahab (disukai), jika manusia melakukannya maka dia mendapatkan pahala, jika
tidak, maka tidak apa-apa. (Syarh Sunan Abi Daud, 6/470)
Wallahu a'lam
Alhamdulillah, kajian kita hari ini berjalan dengan lancar.
Semoga ilmu yang kita dapatkan berkah dan bermanfaat. Aamiin....
Segala yang benar dari Allah semata, mohon maaf atas segala
kekurangan. Baiklah langsung saja kita tutup dengan istighfar masing-masing
sebanyak-banyaknya dan do'a kafaratul majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta
astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa
tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon
pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment