Kajian
Online WA Hamba الله SWT
Rabu, 15 Maret
2017
Rekapan
Grup Nanda 2
Narasumber
: Ustadz Farid
Tema : Kajian Umum
Editor
: Rini Ismayanti
Dzat
yang dengan Kebesaran-Nya, seluruh makhluk menyanjung dan mengagungakan-Nya...
Dzat
yang dengan Keperkasaan-Nya, musuh-musuh dihinakan lagi diadzab-Nya...
Dzat
yang dengan Kasih dan Sayang-Nya, kita semua mampu mengecap manisnya Islam dan
indahanyaa ukhuwah di jalan-Nya, memadukan hati kita dalam kecintaan kepadaNya,
yang mempertemukan kita dalam keta'atan kepadaNya, dan menghimpunkan kita untuk
mengokohkan janji setia dalam membela agamaNya.
AlhamduliLlah...
tsumma AlhamduliLlah...
Shalawat
dan salam semoga tercurah kepada tauladan kita, Muhammad SAW. Yang memberi arah
kepada para generasi penerus yang Rabbaniyyah bagaimana membangakitkan ummat
yang telah mati, memepersatukan bangsa-bangsa yang tercerai berai, membimbing
manusia yang tenggelam dlm lautan syahwat, membangun generasi yang tertidur
lelap dan menuntun manusia yang berada dalam kegelapan menuju kejayaan,
kemuliaan, dan kebahagiaan.
Amma
ba'd...
Ukhti
fillah sekalian. Agar ilmunya barokah, maka alangakah indahanyaa kita awali dengan
lafadz Basmallah
Bismillahirrahmanirrahim...
ADABUL IKHTILAF-ETIKA BERSELISIH PENDAPAT
Tema ini begitu krusial
hari ini bagi umat Islam, sebagai upaya menekan
potensi konflik, khususnya sesama ahlus sunnah wal jamaah ..
kita tidak pernah takut dengan segala rongrongan kaum
kuffar terhadap Islam dan kaum
muslimin, sebab itu merupakan watak
pertarungan abadi antara haq dan batil, kita sudah mempersiapkan diri dengan jihad
..
Tapi, yang justru lebih dikhawatirkan adalah
kemunduran dan kehncuran umat ini dari dalam, yaitu ketika kita tidak bisa
memanajemen konflik atau potensi konflik sesama kita. Maka, umat Islam, apalagi
aktifisnya mesti benar-benar memahami
bagaimana "etika berbeda" dengan sesama muslim ..
Ada beberapa point yang mesti di pegang teguh ..
1. Hendaknya
Ikhlas dalam menyatakan pendapat kita.
Bukan dalam rangka jago-jagoan, untuk menunjukkan
kita lebih hebat, lebih
faqih, atau merendahkan sauadara kita
betul, bahwa ikhlas urusan pribadi dan hanya Allah
Ta'ala yang tau, tapi kita bisa merasakan "masalah dalam niat" dari
gelagatnya
yaitu ketika seseorg merasa sakit hati, sempit
dada, dan tidak suka, ktika kawannya, lawannya bicara dan diskusinya, tidak
sependapat dengannya ..
Maunya dia, semua org selalu setuju dan
meng-aminkan dirinya ... maka, itu tanda dia mencari ridha makhluk, bukan
mencari ridha Allah Ta'ala
Bagi yang mncari ridha Allah, tidak akan peduli
orang lain mau setuju atau tidak, yang penting dia suda menyampaikan apa yang
diyakini, selanjutnya serahkan kepada Allah .. fa dzakkir innama anta mudzakkir
lasta 'alaihim bimushaythir - berilah peringatan, tigasmu hanya memberikan peringatan,
kamu tidak berkuasa untuk memaksa mereka
Dan, Ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya
amal shalih. maka, sayang2 jika suda berhujjah dengan argumentasi yang bagus,
bhs yang indah, dan retorika yang enak .. tp tujuannya mencari perhatian
manusia ..
Kita renungkang hadits berikut ....., Dari Ibnu
Umar Radhiallahu 'Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda:
Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang
bodoh, atau berbangga di depan ulama, atau mencari perhatian manusia kepadanya,
maka dia di neraka.
(HR. Ibnu Majah No. 253. At Tirmidzi No. 2654.
Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No.
253, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2654, Misykah Al Mashabih No. 225,
226, Shahihul Jami' No. 6382)
Al ‘Allamah Syaikh Yusuf al Qaradhawy Hafizhahullah
berkata: “Kita mengetahui bahwa niat yang ikhlas saja tidak cukup untuk
diterimanya amal, selama tidak sesuai dengan syara’ dan sunah, sebagaimana amal
yang sesuai syara’ juga tidak mencapai derajat diterima, selama di dalamnya
tidak ada ikhlas dan tajarrud (dedikasi) hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla
semata.” (Yusuf al Qaradhawy, Hawla Rukn
al Ikhlash, hal. 12. 1993M. Dar at Tauzi’ wa an Nasyr al Islamiyah )
قال الفضيل بن عياض رحمه الله :
"إن العمل إذا كان خالصاً ولم يكن صواباً لم يقبل وإذا كان صواباً ولم يكن خالصاً لم يقبل حتى يكون خالصاً صواباً والخالص أن يكون لله والصواب أن يكون على السنة".
Al Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah: “Sesungguhnya
amal itu jika ikhlas tapi tidak benar tidak akan Allah terima, jika benar tapi
tidsk benar, juga tidak diterima. Sampai amal itu ikhlas dan benar. Ikhlas itu
menjadikan amal hanya untuk Allah, dan benar itu aml yang sejalan dengan
sunnah.
(Imam Ibnu Taimiyah, Al Fatawa Al Kubra, 2/46)
Demikian adab yang pertama ...
2. Memahami
betul bahwa perbedaan adalah kehendak Allah Ta'ala
Allah ﷻ berfirman:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ (118) إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (119)
“Dan seandainya
Tuhanmu kehendaki, niscaya Dia jadikan manusia itu umat yang satu, tetapi
mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu, dan untuk itulah
Dia menciptakan mereka” (QS. Hud: 118-119)
Ayat ini menerangkan salah satu masyiah(kehendak)Nya
yaitu Dia ciptakan perbedaan di antara manusia. Baik perbedaan bahasa, warna
kulit, watak, suku bangsa, agama, kebiasaan, pemahaman, madzhab pemikiran, dan
sebagainya. Seandainya Allah ﷻ
berkehendak tentu mudah saja Dia
jadikan manusia sebagai umat yang satu.
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
ولا يزال الخُلْفُ بين الناس في أديانهم واعتقادات مللهم ونحلهم ومذاهبهم وآرائهم.
Senantiasa terjadi perselisihan di antara manusia pada
agama mereka, keyakinan, millah, ajaran, madzhab, dan pendapat mereka. (Tasir
Al Quran Al ‘Azhim, 4/361)
Bahkan menurut Imam Hasan Al Bashri, bahwa Allah ﷻ menciptakan
manusia untuk berbeda. Beliau –Rahimahullah- mengatakan:
وللاختلاف خَلَقهم
Dan untuk berselisih Allah menciptakan mereka.
(Ibid, 4/362)
Maka, hakikat ini menunjukkan bahwa pemaksaan
manusia atas manusia lainnya untuk mengikuti sebuah pemahaman, selera, pendapat
fiqih, dan semisalnya, lalu bersikap keras terhadap adanya perbedaan tersebut,
adalah bertentangan dengan sunatullah kehidupan yang Allah ﷻ ciptakan atas
makhlukNya. Selain hal itu juga bertentangan dengan prinsip da’wah Islam;
sampaikan, jangan memaksa.
Allah ﷻ berfirman:
أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Maka
apakah kamu (hendak) memaksa manusia, supaya mereka menjadi orang-orang beriman semuanya ? (QS. Yunus: 99)
Bukan hanya manusia yang berbeda-beda dan
berselisih, tapi juga makhluk Allah Ta'ala yang lain. Seperti para malaikat
misalnya, bahkan para nabi, para sahabat, apalagi para ulama.
Perselisihan pendapat malaikat bisa kita lihat
dalam Shahih Bukhari, pada zaman Bani Israel dulu ada pemuda yang membunuh 99
orang, lalu dia datang ke sebuah kampung untuk bertobat, lalu bertanya kepada
penduduk setempat apakah ada orang yang bisa diajak konsultasi? maka dia
ditunjukkan ke seorg ulama Bani Israel, lalu dia bertanya: "saya telah
membunuh 99 org, apakah saya masih bisa diterima tobatnya?" Ulama itu
menjawab: :Tidak!" Maka, marahlah pemuda itu dan dia bunuh itu ulama.
daaaaann seterusnya ... pada tahu kan kisahnya? capek ngetik nih
Akhir kisah itu ada perselisihan malaikat azab dan
malaikat rahmat, ttg masa depan pemuda itu surg atau neraka setelah perjalanan
tobat dan menuju kampung org baik ..
jadi, kalo malaikat aja bisa berselisih apalagi,
pengurus DKM, sidang itsbat, dll ..
Para nabi juga berselisih, baik dalam surat Thaha,
al Baqarah, kisah perselisihan pendapat antara Nabi Musa dan Nabi Harun, juga
Nabi Musa dan Nabi Khidr .. dst
Para sahabat nabi juga berselisih pendapat ..
sangat banyak ..
Umar bin Abdul Aziz memiliki pandangan brilian
tentang hal ini.
“ما يسرني أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يختلفوا ، لأنهم لو لم يختلفوا لم يكن لنا رخصة” .
“Tidaklah
membahagiakanku kalau para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
tidak berbeda pendapat, karena jika mereka tidak berbeda, maka bagi kita tidak
ada rukhshah (keringanan/kemudahan).” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Ibid, hal.
38. Mauqi’ Al Islam)
Dalam Majmu’ Al Fatawa-nya Imam Ibnu Taimiyah,
ucapan Umar bin Abdul Aziz agak lebih panjang, yakni ada tambahan:
لِأَن هُمْ إذَا اجْتَمَعُوا عَلَى قَوْلٍ فَخَالَفَهُمْ رَجُلٌ كَانَ ضَالًّا وَإِذَا اخْتَلَفُوا فَأَخَذَ رَجُلٌ بِقَوْلِ هَذَا وَرَجُلٌ بِقَوْلِ هَذَا كَانَ فِي الْأَمْرِ سَعَةٌ
“Karena
jika mereka bersepakat atas suatu pendapat, maka orang
yang berselisih dengan mereka akan
tersesat. Namun jika mereka berbeda pendpat, lalu ada orang yang mengambil
pendapat ini, ada orang lain yang mengambil pendapat yang lain. Maka ini adalah
urusan yang sangat luas.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, 30/80)
Ya, jika para sahabat selalu sepakat dalam segala
hal, maka tidak tersisa peluang bagi generasi selanjutnya untuk berfikir sesuai
zamannya. Sebab, mereka adalah teladan, namun kita akan kesulitan jika harus
sama dengan mereka dalam segala hal. Dengan adanya perbedaan di antara sahabat,
maka mereka telah menanamkan dan mencontohkan pemikiran dinamis bagi generasi
selanjutnya.
Contoh:
1. Perbedaan dalam menyikapi tawanan perang badar.
Abu Bakar berpendapat bebaskan saja dan minta uang tebusan, sedangkan Umar bin
Khathab berpendapat bunuh saja. Padahal mereka sahabat nabi yang pali utama,
dan berguru kepada "Guru Ngaji" yang sama, maka apalagi kita yang
guru ngajinya beda-beda .. lebih mungkin terjadi perbedaan pendapat.
2. Perbedaan dalam memaknai pesan Nabi,
"Jangan shalat ashar sebelum sampai di kampung yahudi Bani
Quraidhah."
3. Perbedaan antara Abu Bakar dan Umar tentang
witir, tidur dulu atau tidak. Umar memilih tidur dulu, sedangkan Abu Bakar
tidak, dan keduanya dipuji oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
dan masih banyak lagi
Belum lagi perbedaan yang dialami para ulama ...
Imam Ibnul Mundzir mengatakan, ada 20 lebih pendapat tentang berapa jarak
bolehnya shalat di qashar
Imam Ibnu Hajar mngatakan ada 15 pendapat berapa
jumlah minimal jamaah shalat jumat baru bisa dijalankan
Imam Ibnu Hajar juga menjelaskan ada 40an pendapat
tentang kapan datangnya "lailatul qadar", padahal malam bulan
ramadhan hanya 29-30!!
Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam Kafur Ri'a menyebuntukan
ada 11 pendapat tentang hukum nyanyian dan musik
Imam Ibnu katsir menyebuntukan ada 4 pendapat ttg
wanita hamil/menyusui, fidyah atau qadha?
dan masih banyak lagi ..
tapiiii ...
Pembicaran ini bukan berarti kita membenarkan semua
bentuk dan jenis perbedaan
karena perbedaan ada 2 macam, sebagaimana kita
ambil pelajaran dr generasi salaf
1. Ikhtilaf tanawwu', perselisihan variatif, yaitu
perbedaan dalam masalah cabang2 agama, atau rincian kaifiyat ibadah, kalau ini
.. sikap kita toleran, menghargai, dan menghormati.
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri,
sebagai berikut:
سفيان الثوري، يقول: إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.
“Jika engkau
melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau
punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim Al Asbahany,
Hilyatul Auliya’, 3/133)
ambil yang kita yakini, tapi jangan ingkari
sauadara kita yang berbeda ..
Syaikh Dr. Umar bin Abdillah Kamil berkata:
لقد كان الخلاف موجودًا في عصر الأئمة المتبوعين الكبار : أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد والثوري والأوزاعي وغيرهم . ولم يحاول أحد منهم أن يحمل الآخرين على رأيه أو يتهمهم في علمهم أو دينهم من أجل مخالفتهم .
“Telah ada
perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah, Malik,
Asy Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu pun mereka
memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan
tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau terhadap agama mereka, lantaran
perselisihan itu.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al
Ikhtilaf, hal. 32. Mauqi’ Al Islam)
Kita akan dapati, ternyata para Imam Ahlus Sunnah
sangat bijak dalam menyikapi perbedaan produk ijtihad mereka. Baik ijtihad
dalam masalah-masalah baru (ijtihad insya’i) atau dalam mentarjih yang sudah
ada dari warisan fiqih Islam (ijtihad intiqa’i). Ada sebagian kecil kalangan
yang bersikap keras terhadap masyarakat yang berbeda dengan pendapat dan
pemahaman mereka. Mereka posisikan diri
dan pemahamannya sebagai standar kebenaran, sedangkan pendapat selain mereka
adalah terdakwa yang mesti dihukum; salah, sesat, bid’ah, bahkan kafir. Padahal
bisa jadi itu merupakan zona debatable para ulama Islam sejak masa salaf. Tapi
disebabkan kekurangan referensi, serta kurang adab, membuat mereka bersikap
keras, lidahnya menjulur melebihi akalnya. Akhirnya terjadilah fitnah di tengah
manusia.
Imam An Nawawi memiliki pandangan yang jitu dalam
menyikapi perbedaan di antara ulama, mana yang mesti disikapi keras dan mana
yang ditolerir. Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah:
وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ
“Dan Adapun
yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke
dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian,
para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepati para imam. Adapun
dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di
sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini
adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq).
Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah
kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Al Minhaj
Syarh Shahih Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh
Al Islam)
Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang
jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona debatable,
maka tidak boleh saling menganulir.
Ketika membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As
Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ” لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran
terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya
berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.”
(Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285)
Saya benar-benar kagum dengan ulasan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berikut ini ... silahkan simak baik-baik
“Pokok-pokok
dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ adalah seperti kedudukan agama yang
dimiliki oleh para nabi. Tidak seorangpun yang boleh keluar darinya, dan
barangsiapa yang masuk ke dalamnya maka ia tergolong kepada ahli Islam yang
murni dan mereka adalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Adapun bervariasinya amal dan
perkataan dalam syariat adalah seperti keragaman syariat diantara masing-masing
Nabi. Perbedaan ini terkadang bisa pada perkara yang wajib, terkadang bisa juga
pada perkara yang sunnah.”
Beliau Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya
masalah-masalah rinci dalam perkara ushul tidak mungkin disatukan di antara
kelompok orang. Karena bila demikian halny tentu tidak mungkin para sahabat,
tabi’in, dan kaum salaf berselisih.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, 6/ 56)
Katanya lagi: “Ketika perluasan aktifitas dan
penganekaragaman furu’nya semakin dituntut maka sebagai akibatnya adalah
munculnya perselisihan pendapat sesuai yang cocok jiwa masing-masing
pembelanya.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, 6/58)
Ia juga berkata: “Adapun manusia yang cenderung
kepada pendapat salah seorang imam atau syaikh sesuai ijtihadnya. Sebagaimana
perbedaan mana yang lebih afdhal antara adzan dengan tidak adzan, dalam qamat
ifrad (dibaca sekali) atau itsna (dibaca dua kali), shalat fajar itu di akhir
malam atau di saat fajar, qunut subuh atau tidak, bismillah dikeraskan atau
dipelankan, dan seterusnya, adalah merupakan masalah ijtihadiyah yang juga
diperselisihkan para imam-imam salaf. Dan masing-masing mereka menetapkan
keputusan ijtihad yang lain.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20./292)
Beliau juga berkata: “Ijtihad para ulama dalam
masalah hukum itu seperti ijtihadnya orang yang menentukan arah kiblat. Empat
orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap kea rah yang
berbeda dengan lainnya dan masing-masing meyakini bahwa kiblat ada di arah
mereka. Maka shalat keempat orang itu benar adanya, sedangkan shalat yang tepat
mengahdap kiblat, dialah yang mendapat dua pahala.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid,
Juz, 20/224)
Dia juga berkata: “Sedangkan perkataan dan amal
yang tidak diketahui secara pasti (qath’i) bertentangan dengan Kitab dan
Sunnah, namun termasuk lingkup perbincangan ijtihad para ahli ilmu dan iman,
bisa jadi dianggap qath’i oleh sebagian yang lain yang telah mendapat cahaya petunjuk
dari Allah Ta’ala. Namun demikian dia tidak boleh memaksakan pendapatnya itu
kepada orang lain yang belum mendapatkan apa yang dia inginkan itu.” (Imam Ibnu
Taimiyah, Ibid, 1/383-384)
Jadi, setelah anda mengakui satu pendapat fiqih
yang benar, maka peganglah baik-baik, namun jangan paksakan kepada orang lain.
Karena masalah ini sangat luas dan lentur terjadi perbedaan:
“Sesungguhnya
perbedaan mengenai pendalilan dari sebuah lafal dan penetapan salah satunya itu
bagaikan samudera yang luas.” (Imam Ibnu Taimiyah, Raf’ul Malam, hal. 25)
kita lihat beberapa contoh sikap bijak para ulama
Ahlus Sunnah ya ..
Imam Adz Dzahabi
Rahimahullah berkata tentang Yahya bin Ma’in:
قال ابن الجنيد: وسمعت يحيى، يقول: تحريم النبيذ صحيح، ولكن أقف، ولا أحرمه، قد شربه قوم صالحون بأحاديث صحاح، وحرمه قوم صالحون بأحاديث صحاح.
Berkata Ibnu Al Junaid: “Aku mendengar Yahya bin
Ma’in berkata: “Pengharaman nabidz (air perasan anggur) adalah benar, tetapi
aku no coment, dan aku tidak mengharamkannya. Segolongan orang shalih telah meminumnya
dengan alasan hadits-hadits shahih, dan segolongan orang shalih lainnya
mengharamkannya dengan dalil hadits-hadits yang shahih pula.” (Imam Adz
Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, Juz. 11, Hal. 88. Mu’asasah ar Risalah,
Beirut-Libanon. Cet.9, 1993M-1413H)
Diceritakan dari Imam Ahmad bin Hambal tentang
shalat sunah setelah Ashar, beliau berkata:
لا نفعله ولا نعيب فاعله
Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga
menilai aib orang yang melakukannya. (Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802)
Ingat ya .. yang kita bahas bukan mana pendapat
yang paling kuat, .. tapi adab dan etika dalam menyikapi perbedaan pendapat itu
Dalam masalah qunut subuh ..Imam Ahmad bin Hambal
termasuk yang membid’ahkan qunut dalam subuh, namun Beliau memiliki sikap yang
menunjukkan ketajaman pandangan, keluasan ilmu, dan kedewasaan bersikap. Hal
ini dikatakan oleh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah
sebagai berikut:
فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض.
“Adalah Imam
Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah
bid’ah. Dia mengatakan: “Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka
aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran
demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara
satu dengan yang lainnya.” (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’
Ruh Al Islam)
Imam Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu,
sebagaimana dikutip Imam At Tirmidzi sebagai berikut:
قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ
“Berkata Sufyan
Ats Tsauri: “Jika berqunut pada shalat subuh, maka itu bagus, dan jika tidak
berqunut itu juga bagus.” (Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)
Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin Rahimahullah ditanya:
عندنا إمام يقنت في صلاة الفجر بصفة دائمة فهل نتابعه ؟ وهل نؤمن على دعائه ؟
Kami memiliki imam yang berqunut pada shalat subuh
yang melakukannya secara terus menerus, apakah kami mesti mengikutinya? Dan
apakah kami mesti mengaminkan doanya?
Beliau menjawab:
من صلى خلف إمام يقنت في صلاة الفجر فليتابع الإمام في القنوت في صلاة الفجر ، ويؤمن على دعائه بالخير ، وقد نص على ذلك الإمام أحمد رحمه الله تعالى
Barangsiapa yang shalat di belakang imam yang
berqunut pada shalat subuh, maka hendaknya dia mengikuti imam berqunut pada
shalat subuh, dan mengaminkan doanya dengan baik. Telah ada riwayat seperti itu
dari Imam Ahmad Rahimahullah. (Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Majmu’ Fafatwa,
14/177)
dan masih banyak lainnya ...
Perbedaan jenis kedua adalah ikhtilaf tadhdhadh
(perselisihan kontradiktif atau antagonis) ..
apa itu? perselisihan dalam perkara ushuluddin ..
dasar2 agama
seperti masalah ketuhanan, kenabian, al quran,
rukun Islam, rukun Iman, syahadat .. maka jika ada yang menyelisihi ini, maka
ini perbedaan tercela yang mesti disikapi tegas, iqamatul hujjah agar mereka
kembali ke jalan yang benar ..
seperti dengan Ahmadiyah, Inkar sunnah, Rafidhah,
dan semisalnya ..
Meyakini Al Quran dari Allah Ta'ala adalah prinsip
aqidah, rukun iman ke 3, .. tapi tidak meyakini BIsmillahirrahmanirrahim
sebagai bagian dari Al Fatihah adalah Fiqih ..., di mana ada 3 pendapat fuqaha
dalam masalah ini
Toyyib, segini dulu ya ... cukup 2 point aja: 1.
ikhlas dalam bependapat, 2. meyakini perbedaan pasti ada, dan derivat
pembahasannya tadi.
wallahul Hadi ilaa sawaa as sabil ...
Ada 7 point
sebnernya, tapi ini suda cukup ...
cukup melelahkan juga ..
Farid Nu'man Hasan
TANYA JAWAB
Q : Ust.
Bagaimana dengan tipe orang yang
mengajak diskusi tapi tidak memberi kesempatan teman diskusinya untuk sekedar
meluruskan apa yang salah dari pemahaman orang tsb? Sehingga ia
hanya mengutarakan kekesalan pada hal-hal yang ia belum tentu
ada kebenarannya..padahal yang namanya
diskusi kan saling mendengarkan dan memberi kesempatan temannya untuk berbicara
A : Manusia
memang beragam dalam berdiskusi. Ada yang saling berbagi ilmu dan lapang dada.
Ada yang hanya bisa menyalahkan, dan mngkritik, tp tidak mau disalahkan dan
dikritik.
Al Quran mengajarkan jika menghadapi orang keras kepala:
Lana a'maluna wa lakum a'malukum la hujjata nainana
wa bainakum laa nabtaghil jaahiliin - amal saya milik saya, amal anda milik
anda, di antara saya dan anda tidak ada permusahan, dan saya tidak butuh org2
bodoh
Jadi, tinggalkan saja jika berdiskusi dengan orang yang keras kepala.
Wallahu a'lam
Q : Ust, bagaimana menghadapi karakter
teman yang sering "membunuh karakter" di depan forum jika kita
menyampaikan pandangan lain dalam hal yang sudah dia
sampaikan sebelumnya. Sebagai contoh: waktu itu
si A mengajak acara ruqyah dalam grup. kemudian si B lainnya
hanya menyampaikan artikel kajian orang mengenai
ruqyah tersebut, yakni lebih baik dihindari kecuali memang ada sebab-sebab
syar'i seperti sakit. Tetapi si A
langsung mengkonfrontasi di
depan forum. Dan dalam kasus lainnya juga demikian padahal tujuan teman bisa
saja adalah untuk menambah wawasan dan pandangan, supaya lebih berilmu dlm
beramal. Bagaimana adabnya sebaiknya jika
berada dlm situasi ini ya ustadz?
A : Dalam hidup
berkomitas, ada 3 sikap yang mesti kita siapkan:
1. Memahami mereka
2. Memaklumi mereka
3. Memaafkan mereka
Di mana pun kita berada, tanpa ada 3 sikap ini,
pasti tidak ada yang betah dan cocok. Maka kitalah yang menyesuaikan idealita
menjadi realita.
Termasuk dengan orang-orang yang senang menshare hal-hal sensitif, lalu ada
tanggapan skeptis, yang akhirnya debat tak berujung. Berikan lapang dada yang
luas kepada saudara kita dengan
model seperti ini. Klarifikasi secukupnya. Tinggalkan jika komennya semakin
panas.
Wallahu a'lam
Alhamdulillah,
kajian kita hari ini berjalan dengan lancar. Semoga ilmu yang kita dapatkan
berkah dan bermanfaat. Aamiin....
Segala
yang benar dari Allah semata, mohon maaf atas segala kekurangan. Baikloah
langsung saja kita tutup dengan istighfar masing-masing sebanyak-banyakanya dan
do'a kafaratul majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma
wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha
Suci Engakau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan
yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat
kepada-Mu.”
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment