Kajian Online WA Hamba الله SWT
Senin, 6 Maret 2017
Rekapan Grup Nanda 1
Narasumber : Ustadz Kaspin
Tema : Kajian Umum
Editor : Rini Ismayanti
Dzat
yang dengan Kebesaran-Nya, seluruh makhluk menyanjung dan mengagungkan-Nya...
Dzat
yang dengan Keperkasaan-Nya, musuh-musuh dihinakan lagi diadzab-Nya...
Dzat
yang dengan Kasih dan Sayang-Nya, kita semua mampu mengecap manisnya Islam dan
indahnya ukhuwah di jalan-Nya, memadukan hati kita dalam kecintaan kepadaNya,
yang mempertemukan kita dalam keta'atan kepadaNya, dan menghimpunkan kita untuk
mengokohkan janji setia dalam membela agamaNya.
AlhamduliLlah...
tsumma AlhamduliLlah...
Shalawat
dan salam semoga tercurah kepada tauladan kita, Muhammad SAW. Yang memberi arah
kepada para generasi penerus yang Rabbaniyyah bagaimana membangkitkan ummat
yang telah mati, memepersatukan bangsa-bangsa yang tercerai berai, membimbing
manusia yang tenggelam dalam lautan syahwat, membangun generasi yang tertidur
lelap dan menuntun manusia yang berada dalam kegelapan menuju kejayaan,
kemuliaan, dan kebahagiaan.
Amma
ba'd...
Ukhti
fillah sekalian. Agar ilmunya barokah, maka alangkah indahnya kita awali dengan
lafadz Basmallah
Bismillahirrahmanirrahim...
HUSNUDZAN
Contoh-Contoh
Perilaku Husnudzan
A. Husnudzan Kepada Allah SWT
Husnudzan
kepada Allah SWT artinya berbaik sangka kepada Allah Yang memiliki segala
kesempurnaan serta bersih dari segala sifat kekurangan. Dengan demikian, kita
menyakini segala perbuatan dan ciptaan Allah tiada yang sia-sia. Segalanya
pasti ada hikmahnya.
Manifestasi
perilaku husnudzan manusia kepada Allah SWT adalah syukur dan sabar. Rasulullah
SAW mengungkapkan bahwa orang beriman itu tidak pernah rugi. Jika ia diberi
nikmat, maka dia bersyukur. Syukur adalah kebaikan bagi dirinya. Dan jika ia
diberi ujian dia bersabar. Sabar adalah kebaikan bagi dirinya.
1. Syukur
Dalam
QS Al-Baqarah [2] :152, Allah SWT berfirman, ''Maka ingatlah kamu kepada-Ku
niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku.'' Ayat ini secara jelas dan gamblang memerintahkan
kepada kita untuk selalu mengingat Allah dan bersyukur atas segala nikmat-Nya.
Secara
bahasa, syukur berarti berterima kasih kepada Allah. Sedangkan Ar-Raghib
Al-Isfahani, salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa Alquran, dalam Al
Mufradat fi Gharib Al Quran , mengatakan bahwa kata 'syukur' mengandung arti
gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan.
Kesyukuran,
pada hakikatnya, merupakan konsekuensi logis bagi seorang manusia, yang
notabene sebagai makhluk, kepada Allah, sebagai Tuhan yang telah menciptakan
dan melimpahkan berbagai nikmat. Namun, kerap kali manusia terlupa dan tidak
bersyukur atas karunia-Nya.
Ketidakbersyukuran
manusia, biasanya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, salah melakukan
ukuran/menilai. Dalam konteks ini maksudnya bahwa manusia selalu mengukur suatu
nikmat dari Allah itu dengan ukuran keinginannya. Artinya, jika keinginannya
dipenuhi, maka ia akan mudah untuk bersyukur. Sebaliknya, jika belum dikabulkan,
maka ia akan enggan untuk bersyukur.
Penilaian
seperti ini jelas bertentangan dan cenderung menafikan nikmat yang diberikan.
Penilaian yang benar adalah berdasarkan apa yang kita peroleh. Karena, apa yang
kita inginkan belum tentu yang terbaik di hadapan Allah. Dan, belum tentu juga
itu yang terbaik buat diri kita. Perhatikan firman Allah,
''Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui.'' (QS. Al Baqarah [2] : 216).
Kedua,
selalu melihat kepada orang lain yang diberikan lebih banyak nikmat. Perilaku
ini hanya menyuburkan iri, hasad, dan dengki kepada orang lain. Sedangkan
perilaku bagi orang beriman haruslah melihat kepada orang yang kurang
beruntung. Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim,
mengajarkan,
''Apabila
seseorang di antara kamu melihat orang yang dilebihkan Allah dalam hal harta
benda dan bentuk rupa, maka hendaklah ia melihat kepada orang-orang yang lebih
rendah daripadanya.''
Ketiga,
menganggap apa yang didapati dari nikmat Allah adalah hasil usahanya. Perilaku
ini menumbuhkan sifat kikir dan melupakan Allah sebagai pemberi nikmat
tersebut. Padahal, tidak ada satu nikmat pun yang datang dengan sendirinya.
Melainkan, Allah yang telah mengatur semuanya. Firman Allah SWT,
''Bersyukurlah
kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur
untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.'' (QS. Luqman [31] : 12). Kini, mumpung
Allah masih memberikan waktu, sudahkah kita mensyukuri semua nikmat-Nya?
Wallahu a'lam bis-shawab.
2. Sabar
Salah
satu sifat yang dapat dijadikan parameter kualitas keimanan seseorang adalah sabar.
Semakin kuat keimanan seseorang kepada Allah SWT, semakin kuat pula kesabaran
yang dimilikinya, dan begitu sebaliknya. Dengan begitu, iman dan sabar bagaikan
dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. ''Iman itu sabar,'' sabda
Rasulullah SAW.
Sabar
menurut bahasa adalah tahan menghadapi cobaan, tidak lekas marah, tidak lekas
putus asa, tidak lekas patah hati, tabah, tenang, tidak tergesa-gesa, dan tidak
terburu nafsu. Sedangkan lawan dari sabar adalah sedih dan keluh kesah. Dalam
Alquran, sabar diartikan sebagai sikap menahan diri atas sesuatu yang tidak
disukai karena mengharap ridha Allah (QS. Ar Ra’d [13] : 22).
Sabar
tidak identik dengan ketidakberdayaan. Sabar juga bukan merupakan kejumudan
(statis), hanya berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa. Sabar adalah
kemampuan mengendalikan diri untuk tidak mengambil tindakan sebelum tepat
saatnya. Sabar lebih cenderung kepada usaha untuk menjaga kejernihan pikiran
dan kebersihan hati, sehingga tidak mengambil tindakan secara tergesa-gesa.
Oleh
sebab itulah Allah memerintahkan orang-orang beriman agar bersikap sabar dalam
menghadapi berbagai cobaan kehidupan (QS. Al Baqarah [2]: 155-157), sebagai
ujian untuk menentukan kualitas keimanan seseorang (QS. Muhammad [47]: 31 dan
QS An Nahl [16] : 65). Allah SWT juga menyatakan bahwa orang-orang yang besar
imannya hanyalah orang yang sabar (QS. Al Baqarah [2] : 177), hamba yang sabar
adalah pribadi yang tidak pernah mengeluh ketika cobaan datang menghantamnya,
karena ia meyakini bahwa di balik kesusahan dan cobaan itu terdapat kemudahan
(QS. Al Insyirah [94]: 5-6) atau hikmah kebaikan yang tidak ia ketahui (QS. Al
Baqarah [2] : 216).
Untuk
itulah Rasulullah mengatakan, ''Sungguh aneh persoalan seorang Mukmin!
Sesungguhnya semua permasalahannya adalah baik baginya, hal ini tidak dimiliki
kecuali oleh orang-orang Mukmin. Jika mendapatkan kebaikan maka ia bersyukur
dan kesyukurannya itu menjadi hak baginya, dan jika ditimpa kesusahan maka ia
bersabar dan kesabaran itu menjadi baik baginya.'' (HR Muslim).
Adapun
buah dari kesabaran yang dilakukan seseorang adalah ridha, kedamaian,
kebahagiaan, terciptanya 'izzah (keagungan), kemuliaan, kebaikan, kemenangan,
bantuan, dan kecintaan dari Allah. Dan, puncak dari semua itu adalah buah yang
akan didapat di akhirat, yaitu kenikmatan abadi yang tidak terbatas (QS. Az
Zumar [39] : 10).
Siapa
pun kita hendaknya mampu mewujudkan dan mengedepankan sikap sabar ini dalam
setiap aspek kehidupan. Tak sepatutnya kita hanya pandai berkeluh kesah dan
berputus asa apabila menghadapi persoalan. Karena, keluh kesah, tidak tenang,
tidak tabah, cepat marah, dan cepat putus asa adalah sifat yang tidak layak
disandang oleh seorang Muslim. Wallahu a'lam bis-shawab.
B. Husnudzan Kepada Diri
Sendiri
Setiap
orang yang berperilaku husnudzan kepada diri sendiri akan berpeilaku positif
terhadap dirinya sendiri. Di antara perilaku positif tersebut adalah perilaku
percaya diri dan perilaku gigih.
1. Percaya Diri
Percaya
diri termasuk sikap dan perilaku terpuji yang harus dimiliki oleh setiap umat
Islam. Seseorang yang percaya diri tentu akan yakin terhadap kemampuan dirinya,
sehingga ia berani mengeluarkan pendapat dan melakukan suatu tindakan. Sikap
optimis terhadap rahmat dan pertolongan Allah akan membawa kepada sikap percaya
diri. Tentunya percaya diri dalam menjalan segala yang tidak dilarang oleh
Allah SWT.
Imam
Malik, dalam bukunya Al-Muwatha' meriwayatkan bahwa Abu 'Ubaidah ibn al-Jarrah,
sahabat Nabi yang memimpin pasukan Islam menghadapi Romawi pada masa
pemerintahan Umar bin Khattab, suatu ketika menyurati Umar, menggambarkan
kekhawatirannya akan kesulitan menghadapi pasukan Romawi.
Umar
menjawab, "Betapapun seorang Muslim ditimpa kesulitan, Allah akan
menjadikan sesudah kesulitan itu kelapangan, karena sesungguhnya satu kesulitan
tidak akan mampu mengalahkan dua kelapangan.
Kesulitan
dan kelapangan adalah dua hal yang senantiasa berputar menimpa diri manusia,
silih berganti. Kesulitan identik dengan kegagalan dan kesengsaraan. Seseorang
yang ditimpa kesulitan, maka ia tengah berkutat dengan kekhawatiran dan
kesedihan.
Kelapangan
yang dimaksud dalam jawaban Umar merupakan bentuk penyikapan terhadap
kesulitan, mengubah energi negatif menjadi energi positif. Kelapangan akan
mampu mengalahkan kesulitan tatkala dalam diri pemilik kesulitan terpatri sikap
optimisme.
Optimisme
tidak berarti kepercayaan diri berlebih, bukan pula kepasrahan jiwa. Akan
tetapi, sebentuk semangat yang bersemayam dalam hati untuk senantiasa berusaha
dan berupaya ketika kesulitan menimpa.
Di
samping itu, dalam konteks seorang Muslim, optimisme merupakan pemicu agar kita
bersungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu pekerjaan, walaupun baru saja
menyelesaikan pekerjaan yang lainnya. Tiada kekosongan setelah satu bidang
terpenuhi.
Rasulullah
Saw mengajak umatnya agar terus-menerus bekerja dan berusaha tanpa
menggantungkan diri kepada orang lain. Sabda beliau, "Demi Tuhan,
sesungguhnya seseorang di antara kamu mengambil tali, kemudian mengikat
sekeping kayu dan memikul di punggungnya untuk dijual, sehingga Allah
memelihara air mukanya dari meminta-minta, adalah lebih baik daripada ia
meminta kepada orang lain, baik ia diberi maupun tidak." (HR Bukhari).
Sepatutnya
sikap optimisme tetap tersemai di hati umat Islam. Membangun sikap optimisme,
setidaknya ada dua hal yang seyogianya kita lakukan, Pertama, melakukan
perbaikan diri lewat usaha-usaha konkret dan amal nyata. Sesungguhnya
keterpurukan menimpa umat Islam karena kita belum mampu menghasilkan karya
berharga bagi umat. Kata belum menjadi perbuatan. Konsep belum berwujud aksi.
Kedua,
yakin akan ada kelapangan di hari kemudian. Kelapangan yang diperoleh dari
kesungguhan, kontinuitas beramal, dan berinovasi tiada henti dengan dibarengi
keyakinan adanya bantuan Ilahi. "Sesungguhnya kewajiban kita lebih banyak
dari waktu yang tersedia," demikian kata Muhammad Abduh.
2. Gigih
Seorang
yang berbaik sangka kepada Allah terhadap dirinya sendiri tentu akan
berperilaku gigih, karena ia yakin bahwa dengan berperilaku gigih apa yang
diinginkan akan tercapai. Dorongan agar kita gigih berusaha adalah spirit yang
terkandung dalam QS Ar Ra’d [13]: 11
“…
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaaan yang ada pada diri mereka sendiri.…”
Sikap
gigih yang sejati dicontohkan oleh Rasulullah saw. Sesampainya Rasulullah saw
dan kaum Muhajirin di Madinah, agenda yang Beliau prioritaskan adalah memperat
tali persaudaraan ( ukhuwah) antara Muhajirin dan Anshar. Ikatan kuat inilah
yang mendasari kerukunan, kasih sayang, serta berlomba-lomba untuk melakukan
kebaikan dengan pengorbanan harta benda, jiwa, dan raga. Hal ini mereka
tumpahkan hanya untuk mengharapkan keridlaan-Nya. Bahkan, kaum Anshar
senantiasa mengutamakan kaum Muhajirin, sekalipun mereka dalam keadaan susah.
Terdengarlah
pada saat itu, Abdurahman bin 'Auf dari Muhajirin dipersaudarakan dengan
sahabat Sa'ad bin Rabi'. Sa'ad bin Rabi' adalah salah seorang konglomerat
Madinah. Sa'ad mempersilakan kepada Abdurrahman untuk mengambil apa saja yang
ia inginkan untuk memenuhi kebutuhannya.
Abdurrahman
bin 'Auf selaku seorang sahabat yang zuhud, wara', jujur, serta baik akhlaknya
tidak serta-merta mengabulkan permohonan saudaranya ini. Ia tidak mau menerima
sesuatu tanpa didasari oleh usaha dan kerja keras untuk mendapatkannya. Oleh
karenanya, Abdurrahman meminta kepada Sa'ad untuk mengantarkannnya ke pasar.
Kepiawaian berdagang yang ia miliki tidak disia-siakannya. Ia tidak hanya
berpangku tangan untuk mendapatkan belas kasih orang lain, selagi masih ada
kemampuan untuk berusaha.
idak
lama kemudian, karena sifatnya yang jujur, ulet, serta kerja keras, akhirnya ia
pun menjadi pedagang yang sukses, sehingga ia menjadi seorang konglomerat yang
dermawan, serta senantiasa menginfakkan hartanya demi keberlangsungan dakwah.
Dari
kisah tersebut, kita bisa memetik hikmah, di tengah-tengah himpitan krisis
ekonomi yang berkepanjangan ini, bangsa Indonesia sangat membutuhkan semangat
Abdurahman bin 'Auf-Abdurahman bin 'Auf yang baru guna menyegarkan dan
menghidupkan bangsa ini, sehingga mampu mengembalikan identitas bangsa ini
menjadi bangsa yang bermartabat di mata dunia. Karena selama ini, kita telah
kehilangan jati diri sebagai bangsa besar, disebabkan pemimpin-pemimpinnya yang
selalu berharap untuk mendapatkan bantuan dari bangsa lain. Hal ini
mengakibatkan ketergantungan rakyatnya untuk senantiasa mendapatkan sesuatu
tanpa didasari usaha.
Bukankah
bangsa ini sangat kaya dengan sumber daya alamnya? Ini adalah modal dasar yang
telah kita miliki. Untuk itu, selanjutnya tinggal bagaimana kita mampu
mengolahnya. Insya Allah dengan kejujuran, keuletan, dan kerja keras di antara
kita, baik pejabat maupun rakyat, bangsa ini akan kembali menjadi bangsa yang
diperhitungkan di kancah dunia. Semoga! Wallahu a'lam bis-shawab.
C. Husnudzan Kepada Sesama
Manusia
Husnudzan
atau berbaik sangka terhadap sesama manusia merupakan sikap mental terpuji yang
harus diwujudkan melalui sikap lahir, ucapan, dan perbuatan yang baik dan
diridhai Allah SWT dan bermanfaat.
Sikap,
ucapan dan perbuatan baik, sebagai perwujudan husnudzan
itu
hendaknya diterapkan dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga serta
bermasyarakat.
1. Kehidupan Berkeluarga
Tujuan
hidup berkeluarga yang islami adalah terbentuknya keluarga atay rumah tangga
yang memperoleh ridha dan rahmat Allah SWT, bahagia serta sejahtera baik di
dunia maupun di akhirat.
Agar
tujuan luhur tersebut terwujud, maka suami sebagai kepala keluarga dan isteri
sebagai ibu rumah tangga, pendamping suami, hendaknya saling berperasangka
baik, tidak boleh saling curiga, saling memenuhi hak dan melaksanakan kewajiban
masing-masing dengan sebaik-baiknya.
Demikian
juga hubungan antara anak-anak dan orang tua hendaknya dilandasi dengan
perasangka dan saling pengertian. Anak-anak berbakti pada orang tuanya dengan
bersikap terpuji dan menyenangkan kedua orang tua. Orang tua pun hendaknya
memberi kepercayaan yang diperlukan anak un tuk mengembangkan diri dalam
melakukan hal-hal yang bermanfaat.
2. Kehidupan Bertetangga
Tetangga
adalah orang-orangnya yang tempat tinggalnya berdekatan dengan tempat tinggal
kita. Antara tetangga yang satu dengan tetangga lainnya hendaknya saling
berperasangka baik dan jangan saling mencurigai.
Kehidupan
bertetangga dianggap saling berperasangka baik dan tidak saling mencurigai
apabila antara lain bersikap dan berperilaku berikut ini:
a.
saling menghormati
Antara
tetangga yang satu dengan tetangga lainnya hendaknya saling menghormati dan
menghargai, baik melalui sikap dan ucapan lisan atau melalui perbuatan sikap.
Ucapan lisan dan perbuatan menghormati serta menghargai tetangga termasuk
akhlaq mulia, serta termasuk tanda-tanda beriman. Rasulullah saw bersabda :
ﻣَﻦْ
ﻛَﺎﻥَ
ﻳُﺆْﻣِﻦُ
ﺑِﺎﻟﻠﻪِ
ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ
ﺍﻟْﺎﺧِﺮِ
ﻓَﻠْﻴُﻜْﺮِﻡْ
ﺟَﺎﺭَﻩُ
( ﺭَﻭَﺍﻩُ
ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢ
)
“Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia memuliakan tetangganya.”
(HR. Muslim)
b.
berbuat baik kepada tetangga
Perintah
berbuat baik kepada tetangga tercantum dalam QS. An Nisa [4] : 36
“Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh [294] , dan teman sejawat, ibnu sabi
dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
dan membangga-banggakan diri.”
Berbuat
baik kepada tetangga adalah dengan cara melakukan kewajiban terhadap tetangga
dan perbuatan-perbuatan baik lainnya yang bermanfaat itu.
Bersikap,
bertutur kata, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyakiti dan merugikan
tetangga termasuk perbuatan yang diharamkan Allah SWT. Pelaku tidak akan masuk
surga. Rasulullah saw bersabda:
ﻻَ
ﻳَﺪْﺧُﻞُ
ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ
ﻣَﻦْ
ﻻَ
ﻳَﺄْﻣَﻦُ
ﺟَﺎﺭَﻩُ
ﺑَﻮَﺍﺋِﻘَﻪُ
( ﺭَﻭَﺍﻩُ
ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢ
)
“Tidak masuk surga
orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguan-gangguannya.” (HR.
Muslim)
c.
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara
Tujuan
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ialah terwujudnya kehidupan yang
aman, tentram, adil dan makmur, di bawah ampunan dari ridha Allah SWT.
Agar
tujuan luhur tersebut terwujud salah satu usaha yang harus ditempuh adalah
sesama anggota masyarakat atau sesama warga negara saling berperasangka baik
yang diikuti dengan berbagai sikap dan perilaku terpuji yang bermanfaat. Sesama
mereka juga tidak boleh saling berprasangka buruk yang iikuti dengan berbagai
sikap dan perilaku tercela yang merugikan serta mendatangkan bencana.
Sikap
dan perilaku terpuji yang harus diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara itu, antara lain:
1.
Generasi tua menyayangi generasi muda, antara lain dengan membimbing mereka
agar kualitas kehidupannya dalam berbagai bidang positif lebih maju daripada
generasi tua. Sedangkan generasi muda hendaknya menghormati generasi tua dengan
sikap, ucapan, dan perbuatan yang baik dan bermanfaat, seperti melaksanakan
segala nasihat mereka yang baik dan berguna.
Rasulullah
saw bersabda :
ﻟَﻴْﺲَ
ﻣِﻨَّﺎ
ﻣَﻦْ
ﻟَﻢْ
ﻳَﺮْﺣَﻢْ
ﺻَﻐِﻴْﺮَﻧَﺎ
ﻭَ
ﻟَﻢْ
ﻳَﻮَﻗِّﺮْ
ﻛَﺒِﻴْﺮَﻧَﺎ
( ﺭَﻭَﺍﻩُ
ﺍَﺣْﻤَﺪ
)
“Bukan dari golongan
kami (umat Islam) orang yang tidak menyayangi yang muda dan tidak menghormati
yang tua.” (HR. Ahmad)
2.
Sesama anggota masyarakat atau sesama warga negara hendaknya saling menolong
dalam kebaikan, serta ketaqwaan dan jangan saling menolong dalam dosa serta
pelanggaran.
Tolong
menolong dalam kebajikan sesama anggota masyarakat atau sesama warga negara itu
antara lain:
a.
Pemerintah dan rakyat dari kelompok kaya berusaha bekerja sama untuk
menghilangkan kemiskinan. Kelompok kaya mengeluarkan sebagian hartanya untuk
menyantuni kaum dhuafa’ melalui zakat, infaq dan sedekah.
b.
Pemerintah dan masyarakat hendaknya bekerja sama dalam memberantas kejahatan
dan kemungkaran yang muncul di masyarakat dengan cara yang bijaksana, sesuai
dengan hukum yang berlaku.
c.
Membiasakan perilaku husnuzhan dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap
muslim atau muslimah hendaknya membiasakan diri berperilaku husnuzhan baik
terhadap Allah SWT, diri sendiri maupun terhadap sesama manusia. Hidup adalah
pencarian kebaikan, karena "Tuhan adalah sumber kebaikan yang
tersembunyi".
Diri
kita ini tak pernah berguna jika tidak senantiasa mencari. Mencari adalah
mengupayakan; mencari adalah memikirkan; mencari adalah kemaslahatan;
kemaslahatan adalah gerak: gerak adalah langkah yang positif. Sebaliknya adalah
kevakuman dan diam. Karena vakum dan diam itu berarti netral dan tenggelam, berarti
awal dari segala kemafsadahan.
Tidak
ada gerak tanpa semangat, yaitu ide dan pemikiran. Semangat juga berarti
ketulusan; dan tiada ketulusan tanpa akal fikiran. Makanya tindakan orang gila
itu netral (tidak bisa dihakimi), dan tindakan orang waras adakalanya baik,
adakalanya buruk. Bisa baik karena menggunakan akalnya, dan buruk karena
melampiaskan hawa nafsunya.
Yang
pertama: akal fikiran ==> ketulusan ==> ide dan pemikiran ==> semangat
==> gerak menuju ke kebaikan dan kemaslahatan.
Kebalikan
dari itu: hawa nafsu ==> kedengkian ==> kepongahan ==> gerak menuju
kemafsadahan.
Orang
diam itu tidak berdasar, makanya tenggelam, gara-gara menganggurkan akalnya.
Statusnya hampir kayak orang gila. (Lain dengan orang istirahat, karena
istirahat, selama itu sesuai kebutuhan, adalah bagian dari gerak). Patah
semangat dan putus asa, lebih parah lagi, adalah minus dan merupakan awal dari
segala kemafsadahan.
Orang
yang semangat tentu dia bahagia dan tentram.
Orang
yang semangat tentu dia bahagia dan tentram. Semangat dan gerak adalah bukti
dari adanya kebahagiaan dan ketentraman. Makanya Allah selalu mengaitkan
"pahala" --sebagai konsekuensi gerak-- (lahum ajruhum 'inda rabbihim)
dengan kemantapan-keberanian- ketidakkhawatiran (wa laa khaufun 'alaihim) dan
kebahagiaan/ketentraman/ketidaksedihan (wa laa hum yahzanuun) dalam ayat
al-Baqarah : 277.
Sebaliknya,
putus asa adalah akibat dari kesedihan, dan kesedihan mempunyai kaitan erat
dengan kebodohan sebagaimana kebahagiaan dan ketentraman berjalinan dengan
kecerdasan dan intelektualitas.
Itu
semua adalah prinsip dasar manusia hidup. Adapun hasil, besar kecilnya, itu
tergantung proses kesungguhan dan keteledorannya. (wall-ladziina jaahaduu
fiinaa lanahdiyannahum subulana) "Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh
mendekatiKU, pasti Aku tunjukkan jalannya" . (al-Ankabut: 69)
Prinsip
seperti itu menunjukkan kedirian manusia. Kedirian adalah totalitas ide dan
pemikiran dari dalam diri sendiri. Kedirian itu tidak identik dengan
ketidakperdulian, kecuekkan, dan acuh tak acuh. Karena kecuekan, acuh tak acuh,
dan sebangsanya itu sebanding dengan kebodohan, hampir setengah dari
kesombongan. Kedirian adalah penyerapan dan filterisasi informasi sehingga
menyusun sebuah keutuhan ide dan pemikiran. Walaupun ada beberapa
tiruan/takliid tapi seakan-akan keluar dari diri sendiri, karena telah difilter
dengan akal sehat tentunya.
Pemikiran
dan ide di sini berarti kemantapan (akan sebuah kebenaran). Di sinilah
relevansinya firman Allah SWT "fa idzaa 'azamta fatawakkal 'alaa
Allah" (jika kamu sudah mantap, bertawakkallah pada Allah) (Ali Imran:
159). Kemantapan di sini sebanding dengan kepengetahuan, keberanian, dan
ketegasan.
Ringkasnya,
gerak-kemantapan-kebahagian itu harus saling terkait. Kalau sudah bisa
mengkaitkan ketiganya, baru boleh bertawakkal. Semoga bermanfaat,
TANYA
JAWAB
Q
: Assalamualaikum ustad,,mau tanya kadang kita kan suka berfikir ya ustad orang
yang ibadahnya kurang misal kaya sholat,dia ga pernah sholat tapi segala
urusannya selalu mudah kaya jodohnya cepet,ekonominya lancar..sedangkan yang
sholat dan ngaji tapi masih belum mendapatkan yang di inginkan,,sedangkan kita harus
huznudzon kan sama Allah tapi kadang pikiran seperti itu terlintas pa
ustad..bagaima nyikapinya pak ustad..syukron
A
: Waalaikumsalam ukhti yang baik...ini ada uraian
MENGAPA
ORANG YANG GILA MAKSIAT TETAP BISA TAMBAH KAYA?
Selama
bertahun tahun, saya bingung dengan pertanyaan ini:
'Mengapa
orang yang suka maksiat dan pendosa terus saja diberikan rezeki yang bahkan
malah tambah banyak?'
'Memangnya
nggak ada ya hukuman buat mereka? Kok asik banget ya hidup mereka itu?'
Akhirnya,
saya mendapat jawabannya dalam Atsar ini dan bagi saya pribadi, jawaban ini,
sangatlah memuaskan. Terputusnya rasa dekat padaNya, ialah hukuman yang amat
sangat berat, jika kamu mengetahui 😊
Selamat
Menikmati penjelasan yang amat manis ini 😊
Seorang
lelaki datang pada Imam Hasan Al Bashri, seorang Tabi'in dan Ulama yang sangat
terkenal lalu berkata:
'Sesungguhnya
aku melakukan banyak dosa, tapi ternyata rezekiku lancar lancar saja, bahkan
lebih banyak dari sebelumnya'
Sang
Imam tersenyum namun raut mukanya menunjukkan rasa kasihan. Dan lalu beliau
bertanya 'Saudaraku, apakah tadi malam engkau melakukan Shalat Malam?'
'Tidak'
jawabnya, heran.
'Apa
hubungannya Shalat Malam dengan statement and pertanyaan ane tadi ya?' Mungkin
begitu pikirnya.
Sang
Imam pun menjawab 'Sungguh jika IA menghukum semua mahluk yang berdosa dengan
memutus rizkinya, niscaya semua manusia dibumi ini akan binasa seluruhnya'
'Dunia
ini tiada berharga disisiNya walau sehelai sayap nyamuk sekalipun. Maka IA
tetap memberi rizki, bahkan pada sesiapa yang menentangNya'
'Adapun
kita, orang orang yang beriman, hukuman atas dosa itu ialah terputusnya rasa
dekat padaNya'
Saat
seseorang lenyap dalam hatinya rasa dekat padaNya, itulah seberat berat hukuman
dalam jangka panjang, dunia akhirat☺
Direnungkan
dulu, ditafakuri dulu, nanti pada saatnya, atas izinNya, anda akan benar benar
mengerti maksudnya
Demikian
Alhamdulillah, kajian kita hari ini
berjalan dengan lancar. Semoga ilmu yang kita dapatkan berkah dan bermanfaat.
Aamiin....
Segala yang benar dari Allah semata, mohon
maaf atas segala kekurangan. Baiklah langsung saja kita tutup dengan istighfar
masing-masing sebanyak-banyakanya dan do'a kafaratul majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu
allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan
memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan
diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment