Rekap Kajian Online HA Ummi G-1
Hari, Tgl: Jumat, 9 Maret 2018
Materi: Menyikapi Masalah Rumah Tangga
NaraSumber: Ustadzah Lara
Waktu Kajian: pukul 16.30 WIB-Selesai
Editor: Sapta
=====================
Materi :
https://denisrahadian.wordpress.com/2013/04/19/highway-to-heaven/
Highway to Heaven
Oleh Lara Fridani
Berbicara tentang tempat di surga pastilah
terkait dengan segala kesenangan dan kenikmatan. Semua orang pasti sepakat
ingin mendapatkan tempat di surga, namun belum tentu sejalan dengan cara yang
ditempuh untuk layak mendapat tempat di sana. Saya menyadari perbedaan cara
pandang ini bukan saja terjadi di kalangan anak-anak, namun hingga manusia
dewasa, kemudian tua.
Saya terkesan dengan cerita salah seorang
anak saya tentang teman-teman sekolahnya yang berusia remaja, saat mereka
mengomentari kebiasaan anak saya yang dianggapnya ‘primitif’. Mereka yang
tinggal di belahan bumi Melbourne, merasa kasihan dengan anak saya karena harus
mematuhi berbagai aturan agama.
“why is your life so hard, man? You
can not eat this, you can not drink that. Come on, enjoy your life! We are
going to heaven too….!” (kenapa hidupmu begitu sulit,
teman? Kamu tak boleh makan ini, tak boleh minum itu. Ayolah nikmati hidupmu.
Kami juga akan masuk surga kok!)
Demikian komentar teman-temannya sambil
tertawa, seraya meyakinkan anak saya bahwa mereka semua (yang beragama apa
pun), semuanya akan sama-sama masuk surga. Teman-temannya yang lain
mengangguk-angguk setuju. Bahkan ada yang menambahi dengan ‘referensi’
berbagai sumber, mengkaitkan dengan berbagai ilmu pengetahuan dan memberikan
analisanya.
Sepulang sekolah, anak saya mengungkapkan
rasa herannya atas pemikiran teman-temannya tersebut yang dianggapnya justru ‘primitif’.
Anak saya mengatakan bahwa teman-temannya biasanya berpikir kritis dalam banyak
hal, namun mengapa untuk memahami Konsep kekuasaan Tuhan, urusan ibadah kepada
Pencipta dan sebagainya, mereka menganggapnya sebagai hal yang sepele
sehingga menyamaratakan semua yang mematuhi atau pun tidak mematuhi perintah
agama, tak ada bedanya?
“Kenapa ya mi, kok ada orang-orang yang
tidak mau beribadah, tapi suka bergaul bebas dan senang hiburan, bisa
sangat pede akan dapat tempat di surga? “
Saya merasa tak perlu mengomentari
‘kepedean’ teman-teman anak saya itu. Saya hanya mengatakan pada
anak saya bahwa sikap optimis ingin masuk surga memang penting, tapi harus
diiringi dengan kesungguhan kita mengikuti petunjuk jalan yang benar agar bisa
sampai ke sana. Ini artinya, jika sudah ada ‘persyaratan’ dari Pemilik Surga”,
maka kita ikuti saja aturan Sang Pemilik, jangan ‘kreatif’ membuat aturan
sendiri.
“Intinya, kalau ada orang yang bicara
tentang agama tapi landasannya bukan Al Quran atau Hadits, jangan percaya dulu,
tapi harus di cek lagi. Kalau perkataannya sejalan dengan Al-Quran,
berarti oke, kalau bertentangan atau tak jelas, tinggalkan saja. Referensi
utama orang muslim kan Al-Quran, bukan surat kabar, bukan buku teks, bukan juga
berdasarkan analisa orang yang tak punya dasar ilmu agama yang kuat. Apalagi
jika orang tersebut akhlak sehari-harinya tak bagus.” Demikian petuah singkat
saya mengakhiri percakapan kami. Anak saya mengangguk mantap. Alhamdulillah.
Pendekatan termasuk gaya komunikasi yang
saya gunakan terhadap anak-anak saya yang sudah remaja ini, cukup berbeda
dengan yang saya terapkan saat mereka kecil. Sebelum mereka baligh, saya
memfasilitasi mereka untuk banyak bertanya dan menggunakan daya
kritisnya, terutama terhadap kejadian-kejadian nyata yang ada di sekeliling
mereka. Saya bisa berkompromi dengan pendapat mereka asalkan masih dalam
batas kewajaran dan tidak bertentangan dengan ajaran agama, sebatas pengetahuan
saya. Namun dengan ‘status’ mereka yang sudah baligh dengan berbagai hak dan
kewajiban sebagai muslim yang melekat pada mereka, saya tak banyak memberikan
‘ruang’ bagi mereka untuk kreatif ‘menebak-nebak’ dan ‘bermain-main’
dengan ayat-ayat Al-Quran. Kekritisan mereka yang muncul sesekali pun lebih
saya arahkan untuk berikhtiar agar hati lebih terbuka menerima kebenaran. Saya
menjadi sadar bahwa mendidik anak untuk tawadhu (rendah hati) ternyata jauh
lebih penting dan lebih sulit daripada mengajarkan anak untuk ‘sekedar’
menjadi pintar dan kritis.
Sekalipun bidang ilmu yang saya geluti
sejauh ini cukup menjunjung kreativitas dimana berpikir kritis, ‘menembus
batas’/out of the box, adalah hal yang sangat diapresiasi, saya tetap tekankan
pada anak-anak saya maupun pada para mahasiswa saya (di Indonesia) yang
mayoritas muslim, untuk bersikap sangat ‘hati-hati’ untuk
menginterpretasi aturan-aturan di dalam Al-Quran.
Saya ingin seperti ibu saya, seorang
wanita yang sangat kritis dalam berpikir, namun tak berani berargumen dalam hal
agama. Beliau selalu berprasangka positif dengan aturan-aturan dalam Al Quran.
Beliau meyakini jika ada aturan tersebut yang ‘mengganjal’ di hati ataupun
kurang bisa diterima dengan zaman/realitas saat ini, tentulah itu karena
keterbatasan ilmu agama kita. ‘Bagaimana mungkin dengan kemampuan agama yang
minim, kita berani untuk menganalisa sesuatu yang ‘sangat besar’? katanya
pada kami, anak-anaknya. Apa itu bahasa Inggrisnya, yang suka ibu dengar: “The
right man, in the right place!” katanya pasti. Demikian pemikiran ibu saya
yang bisa menjadi tidak kritis lagi untuk urusan agama.
Dahulu saat kami remaja, kami menganggap
peryataan ibu sekedar sebuah ‘kepasrahan’ karena tidak punya kesempatan
menjadi seorang sarjana. Namun ketika kami dewasa, bisa bersekolah lebih
tinggi, belajar agama lebih dalam, dan bergelut dengan dinamika kehidupan,
barulah kami menyadari bahwa nasehat-nasehat ibu kami tidaklah sederhana, tidak
semudah ilmu akademik yang bisa kita terapkan dengan modal kepandaian.
Ini lebih kompleks karena harus menjauh dari kesombongan dan mendekat pada
kerendah-hatian. Inshaa Allah. Aamiin.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka
itu adalah penghuni-penghuni syurga; mereka kekal di dalamnya. (Huud:23)
=============
TANYA JAWAB
Tanya: afwan ustadzah, bagaimana cara mengajarkan anak berfikir out of the box
jika si ibu sebagai madarasah pertama anak masih primitif; belum kritis
menerima perubahan cara didik jaman now? afwan saya yang fakir ilmu ini
ustadzah.
Jawab: Untuk membelajarkan anak, ada banyak pihak yang berperan, jika ibu punya
keterbatasan tertentu, mudah-mudahan para guru/ustadz anak-anak kita,
lingkungan terdekat kita, atau kerabat kita yang lebih baik wawasannya bisa
membantu memberikan pencerahan pada anak. Semangat ya bunda.
Tanya: satu lagi ya bunda, bagaimana cara masyarakat modern menyikapi pergaulan
bebas? jika diluar Indonesia pergaulan bebas sudah 'biasa' sedangkan di
Indonesia yang kental budaya mulai terusik dengan fenomena barat itu ustadzah,
paling tidak kami ibu-ibu yang mempunyai anak beranjak dewasa sudah mulai resah
dengan pergaulan dilan-dilan jaman now (pergaulan anak muda jaman sekarang;
red)
Jawab: Kekuatan terbesar adalah doa terbaik kita sebagai orangtua untuk anak-anak.
Selanjutnya kita berusaha memberikan lingkungan yang baik untuk anak-anak,
memfasilitasi mereka agar memiliki semangat belajar agama, waspada kepada siapa
anak kita berteman. Bagaimanapun kita perlu menasehati dan mengontrol anak, dengan cara yang bijak.
Tanya: Ustadzah, bagaimana membekali para siswa agar senantiasa berakhlak
mulia dan menyadari akan pentingnya ajaran agama mengingat begitu bebasnya arus
informasi dan teknologi saat ini. Selain itu, para siswa kami kebanyakan
ditinggal orang tuanya merantau, sehari-hari di rumah dengan nenek. Jadi
pergaulan di rumah kurang terkontrol.
Jawab: Pembelajaran akan efektif dan lebih mudah diserap anak ketika kita para
pendidik menjadi tauladan yang bijaksana, yang saat menasehati dapat menyentuh
hati mereka, melatih dan membiasakan mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang
baik (dengan memfasilitasi mereka untuk mempraktekkan hal baik yang diajarkan),
mensupervisi mereka, dan memberi sanksi yang adil sesuai syari jika mereka
berbuat kesalahan.
Sanksi yang dimaksud adalah bukan
kekerasan fisik ataupun verbal, tetapi sanksi yang mendidik yang memberi ke arah
solusi untuk anak. Memang betul, sekalipun sanksi demikian, ini tantangan
dengan system yang sekarang. Memukul anak karena kuku panjang sebenarnya juga
tidak baik. Bisa ada cara lain yang lebih mendidik, misalnya saat anak
ditemukan kukunya panjang, beri dia kesempatan sebentar memotong kukunya dan
minta dia membuat jadwal kapan waktu memotong kuku; atau disuruh mencari
rujukan bahaya kuku panjang.
Tanya: Ijin bertanya bagaimana menyikapi anak didik yang suka berkata kotor dan
suka memukul bahkan jika marah suka melempar barang ke ustdzahnya, dan
lingkungan sekitarnya banyak yang seperti itu?
Jawab: Perlu ditelusuri dulu apakah anak tersebut anak yang relatif normal
atau berkebutuhan khusus, dalam artian misalnya anak yang mengalami gangguan
emosi sosial. Penanganannya agak berbeda. Namun dari tinjauan pendidikan, kita
perlu menegur anak saat berkata kotor, mencontohkan, mengarahkan dan
menjelaskan bahaya perkataan kasar maupun pukulan. Perbanyak juga cerita-cerita
hikmah dalam menasehati anak. Ini tentu perlu waktu, pengkondisian dan pembiasaan
yang tidak sebentar, tapi memang demikian yang namanya proses pendidikan. Tak
bisa instan.
=========================
Kita tutup dengan membacakan hamdalah..
Alhamdulillahirabbil'aalamiin
Doa Kafaratul Majelis :
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت
أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu
allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan
memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan
diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
Wassalamu'alaikum warahmatullaahi
wabarakaatuh
================
Website: www.hambaAllah.net
FanPage : Kajian On line-Hamba Allah
FB : Kajian On Line-Hamba Allah
Twitter: @kajianonline_HA
IG: @hambaAllah_official
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT



0 komentar:
Post a Comment