•┈┈◎•┈┈•❅❀●❀❅•┈┈•◎┈┈•
*REKAP KAJIAN LINK ONLINE HAMBA اللَّهِ*
*Hari, Tanggal : Selasa, 22 September 2020*
*Waktu : 19.57-21.40 WIB*
*Narsum : Ustadz Endang Mulyana*
*Materi : Menerima Taqdir Adalah Tuntutan Terbesar Ketaqwaan Seorang Hamba*
*Moderator : Sasi*
*Notulen : Rini*
★★★★★★★★★★★★★★★★
*MATERI*
Alhamdulillah, Bunda Fillah yang dimuliakan Allah, kita kembali berjumpa dalam ruang kajian online kita di malam ini.
In syaa Allah kita akan mendiskusikan satu tema penting dalam kehidupan kita yaitu menerima taqdir sebagai tuntutan tertinggi ketaqwaan seorang hamba.
Mari kita fahami terlebih dahulu makna taqdir..
Dalam pembahasan takdir, kita sering mendengar istilah qodho’ dan qodar. Dua istilah yang serupa tapi tak sama. Mempunyai makna yang sama jika disebut salah satunya, namun memiliki makna yang berbeda tatkala disebutkan bersamaan.
Jika disebutkan qodho’ saja maka mencakup makna qodar, demikian pula sebaliknya. Namun jika disebutkan bersamaan, maka qodho’ maknanya adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan, maupun perubahan terhadap sesuatu. Sedangkan qodar maknanya adalah sesuatu yang telah ditentukan Allah sejak zaman azali. Dengan demikian qodar ada lebih dulu kemudian disusul dengan qodho.
Bunda Fillah yang dirahmati oleh Allah. Perlu kita ketahui bahwa keimanan terhadap takdir harus mencakup empat prinsip.
Keempat prinsip ini harus diimani oleh setiap muslim.
*Pertama:*
Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui dengan ilmunya yang azali dan abadi tentang segala sesuatu yang terjadi baik perkara yang kecil maupun yang besar, yang nyata maupun yang tersembunyi, baik itu perbuatan yang dilakukan oleh Allah maupun perbuatan makhluknya. Semuanya terjadi dalam pengilmuan Allah Ta’ala.
*Kedua:*
Mengimani bahwa Allah Ta’ala telah menulis dalam lauhul mahfudz catatan takdir segala sesuatu sampai hari kiamat. Tidak ada sesuatupun yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi kecuali telah tercatat.
Dalil kedua prinsip di atas terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَافِي السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS. Al Hajj:70).
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَافِي الْبَرِّوَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ يَعْلَمُهَا وَلاَحَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَرَطْبٍ وَلاَيَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مًّبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS. Al An’am:59).
Sedangkan dalil dari As Sunnah, di antaranya adalah sabda Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa salam,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi” [3]
*Ketiga:*
Mengimani bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu, baik yang terjadi maupun yang tidak terjadi, baik perkara besar maupun kecil, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang terjadi di langit maupun di bumi. Semuanya terjadi atas kehendak Allah Ta’ala, baik itu perbuatan Allah sendiri maupun perbuatan makhluknya.
*Keempat:*
Mengimani dengan penciptaan Allah. Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu baik yang besar maupun kecil, yang nyata dan tersembunyi. Ciptaan Allah mencakup segala sesuatu dari bagian makhluk beserta sifat-sifatnya. Perkataan dan perbuatan makhluk pun termasuk ciptaan Allah.
Dalil kedua prinsip di atas adalah firman Allah Ta’ala,
اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ وَكِيلٌ {62} لَّهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِئَايَاتِ اللهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“.Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.”(QS. Az Zumar 62-63)
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu“.” (QS. As Shafat:96)
Di antara prinsip ahlus sunnah adalah bersikap pertengahan dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah, tidak sebagaimana sikap ahlul bid’ah. Ahlus sunnah beriman bahwa Allah telah menetapkan seluruh taqdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah tetapkan.
Dan selanjutnya kita memahami sekilas tentang taqwa.
Salah satu makna Taqwa adalah apa yang diriwayatkan dari Rosulullah saw, bahwasanya beliau bersabda:
<< لا يبلغ العبد أن يكون من المتقين حتى يدع ما لا بأس به حذرا مما به بأس
”Bahwasannya seorang hamba, tidaklah akan bisa mencapai derajat ketaqwaan sehingga ia meninggalkan apa yang tidak dilarang, supaya tidak terjerumus pada hal-hal yang dilarang." (Hadist ini Hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi no: 2451, Ibnu Majah no: 4215, Baihaqi: 2/ 335)
Diriwayatkan pula bahwa pada suatu ketika Umar bin Khattab bertanya kepada Ubai bin Ka’ab tentang Taqwa. Ubai balik bertanya: ”Apakah anda pernah melewati jalan yang banyak durinya?", "Pernah”, Jawab Umar. Ubai bertanya kembali: ”Bagaimana ketika anda melewatinya?”, Umar menjawab: ”Saya bersungguh-sungguh serta berhati-hati sekali supaya tidak kena duri.” Ubai akhirnya mengatakan: ”Itulah arti Taqwa yang sebenar-benarnya.”
Dari hadist an Atsar Umar ra, kita bisa menyimpulkan, bahwa hakikat taqwa adalah kesungguhan dan kehati-hatian terhadap apa yang dilarang Allah swt. Orang yang bertaqwa adalah orang yang sungguh–sungguh untuk menjauhi segala larangan Allah dan berhati- hati sekali supaya tidak terjerumus di dalamnya, walaupun untuk menuju kepada ketaqwaan tersebut, kadang-kadang ia harus meninggalkan apa yang tidak dilarang, jika hal tersebut akan menyeretnya kepada apa yang dilarang.
Bunda Fillah yang dirahmati Allah.
Setelah kita memahami makna taqdir dan taqwa marilah kita melihat korelasi keduanya dalam tema bahasan kita yaitu menerima taqdir sebagai tuntutan tertinggi ketaqwaan seorang hamba.
Kita diciptakan sebagai manusia yaitu makhluq yang istimewa dibandingkan dengan makhluq-makhluq lainnya..
Manusialah yang dipercayai dan diamanahi Allah sebagai pemakmur bumi dan berfungsi sebagai kholifahnya.
Untuk itu manusia dibekali akal yang dengannya manusia memungkinkan membangun peradaban.
Maka kemudian dengan akalnya, manusia dari zaman ke zaman dalam sejarahnya telah menorehkan jejak peradaban yang menakjubkan.
Di zaman kita ini akal manusia mungkin berada pada puncak kemampuannya, lihatlah betapa menakjubkan karya dari peradaban masa kini. Peradaban kita telah mencapai berbagai macam capaian yang mungkin di seratus tahun lalu hanya merupakan imajinasi dalam mimpi.
Dengan Akal tersebut manusia mampu merencanakan hal-hal hebat secara presisi dengan target yang relatif sama sesuai dengan yang di rencanakan berulang-ulang terjadi di masa kini.
Dalam pada itu, di saat manusia mampu mengeksplorasi kecerdasan akalnya dan mampu menggapai capaian tertinggi dari masa peradabannya, dimanakah manusia meletakan agama?
Mendudukan taqdir, dan menempatkan taqwa?
Bagi sebagian manusia menganggap temuan mereka sebagai alasan meminggirkan nilai-nilai agama.
Statistik masyarakat atheis tanpa agama meningkat presentasenya di masyarakat barat yang berperadaban maju sebagai buktinya.
Bunda Fillah yang dirahmati Allah...
Kita sebagai hamba Allah yang bertaqwa, Alhamdulillah dengan Islam ini Allah membimbing kehidupan kita berada di atas jalan lurus.
Kita memahami bahwa nilai kita dalam pandangan Allah adalah diukur dengan ketaqwaan kita.
Dan Ketaqwaan kita akan bernilai jika kita mengenali tuntutan tertinggi atasnya.
Dan tuntutan tertinggi ketaqwaan kita ditentukan oleh seberapa besar penerimaan kita atas taqdirNya.
Saat peradaban manusia berada pada titik tertingginya maka tetap yang benilai di sisi Allah itu bukan peradabannya, tetapi ruh dari kehidupan manusia itu sendiri termasuk peradabannya yaitu nilai ketaqwaannya..
Allah mengingatkan kita..
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 216)
Ayat ini membahas perkara inti dari peradaban manuisa yaitu Akal.
Ayat ini membahas yang tidak mudah di terima akal. Membenci sesuatu tapi bisa jadi kebaikan dan sebaliknya mencintai sesuatu dan itu bisa jadi keburukan.
Dengan akal kita, tentu saja yang kita benci adalah perkara yang secara nalar adalah perkara yang tidak kita kehendaki dan secara nalar itu adalah tidak baik bagi kita. Tetapi itulah faktanya, Rabb kita menyatakan bahwa ada perkara yang kita benci tapi itu baik buat kita, begitupun sebaliknya.
Hal ini tidak mudah dinalar oleh akal, bahkan mungkin sebagian menganggap tidak masuk akal.
Dan memang perangkat yang digunakan untuk memahaminya bukan nalar akal, tetapi oleh sikap taqwa.
Sikap berserah kepada kehendak Allah dengan bingkai husnuzhan untuk setiap peristiwa yang terjadi pada kita adalah hakikatnya kebaikan bagi kita hamba-hambaNya.
Umpama kita mengalami satu spot waktu dalam kehidupan kita yang yang linier variable-variablenya yang dengan nalar kita, kita menduga hasilnya adalah sesuai dengan hal-hal tadi.
Namun ternyata ujungnya jauh dari dugaan kita, dari keyakinan kita dan dari harapan kita. Nalar kita seringkali kalah atas fenomena itu. Kenyataan tidak seperti harapan. Bahkan bertolak belakang dengan harapan.
Sulit kita menerima apa yang kita tidak suka sebagai kebaikan buat kita. Bahkan jika itu terjadi pada manusia paling cerdas di muka bumi sekalipun, sulit baginya untuk menerima kenyataan tersebut.
Ada sebuah contoh dari ribuan kenyataan dalam kehidupan kita.
Seorang laki-laki gantung diri ketika istrinya pergi meninggalkannya. Ia mencintai istrinya dan meyakini bersama istrinya yang dia cintai adalah kebaikan dan kebahagiaan baginya, dan saat istrinya pergi maka nalarnya mati, ia merasa kalah, menderita dan memilih mati bunuh diri atas respon kejadian itu.
Pertanyaannya apakah benar saat istrinya pergi itu keburukan untuknya..?
Ia menganggapnya begitu tapi bisa jadi justeru itu kebaikan untuknya, bisa jadi Allah siapkan yang jauh lebih baik untuknya, tapi nalarnya tidak mampu membacanya.. Sedangkan ketaqwaan pun tidak ada dalam jiwanya. Jadilah ia salah ambil kesimpulan dalam hidupnya.
Contoh semisal ini amat sangat banyak dalam kehidupan sehari-hari kita di masa kini.
Bunda Fillah yang dirahmati Allah..
Maka perangkat yang akan selalu bekerja secara tepat dalam merespon kejadian-kejadian dalam hidup kita adalah ketaqwaan kita.
Ia selalu terbimbing Allah dalam membacanya.. Tidak akan salah dalam membaca dan mempersepsinya. Maka semakin tinggi nilai taqwa seorang hamba, semakin ringan ia melangkah melewati seluruh waktu dalam kehidupannya.
Tiada takut tiada cemas, sebab semua taqdir dalam hidupnya hanya "sesuatu" belaka yang jika tepat meresponnya adalah kebaikan baginya..
Bunda Fillah yang dirahmati Allah..
Kita buka ruang diskusi ya atas tema ini.. Silakan
###############
*TANYA JAWAB*
*1.* Terimakasih atas materinya. Saya izin bertanya.. Dikatakan ucapan seorang hamba adalah takdir dari Allah SWT.. Saya baru mengetahui bahwa hukum nazar tidak diperbolehkan kecuali jika tidak mencakup urusan duniawi.. Tapi apabila ada seorang hamba yang mengucap nazar, apakah hal tersebut sudah ditakdirkan? Jika jawabannya iya, apakah jika nazar yang diucapkan berhubungan dengan duniawi berdosa padahal sudah ditetapkan? Jika jawaban tidak, apakah kita boleh bertaubat atas perilaku tersebut? Apakah dengan meninggalkan hal tersebut dapat membawa kita pada ketakwaan?
Bernazar jika dapat rezeki akan berpuasa senin dan kamis..
Jawab:
1. Ucapan, perbuatan seorang Hamba adalah termasuk Taqdir dari Allah Azza wajalla..
2. Nazar sunnah adalah nazar yang diucapkan terkait dengan ibadah, seperti nazarnya sayidina Umar untuk i'tikaf. Ibnu Umar RA mengatakan bahwa Umar bin Khattaab bertanya kepada Nabi SAW. (dalam satu riwayat: dari Ibnu Umar dari Umar bin Khattab berkata, "Wahai Rasulullah! Pada zaman jahiliah dulu, saya bernazar untuk beri'tikaf semalam di Masjidil Haram." Beliau bersabda, "Penuhilah nazarmu." Lalu Umar beri'tikaf semalam. (HR Bukhari).
Inilah nazar yang di benarkan..
3. Semua perkara yang kita rasakan sebagai suatu ketidak tenangan di hati maka istighfar atau taubat kepada Allah lebih utama kita kerjakan..
Wallahu a'lam
*2.* Assalamualaikum wrwb. Ustadz, mau tanya, maaf sedikit melenceng dari tema pernikahanku sangat singkat, ini merupakan kesalahanku atau bagaimana ya, smua saudaraku menyalahkan hal ini padaku.
*Jawab: Bismillah.. Semoga Allah segera memberikan kesembuhan kepada Ibu dan mengembalikan kesehatan yang paripurna setelah sakit yang diderita, dan memberikan pahala berlimpah atas sakit itu, sekaligus mensucikan dosa dan kesalahan melalui sakit tersebut, aamiiin..
Pertama yang harus selalu kita fahami bahwa hidup kita adalah arena ujian sampai kita menjumpai kematian. Allah menyatakan ia berhak menguji siapa saja di antara hamba-hambaNya dengan ujian yang Dia kehendaki, baik waktu maupun bentuk ujiannya.
Dia tidak pantas untuk ditanya atas kehendakNya.. Karena memang kitalah yang akan ditanya OlehNya sedangkan Ia maha suci dari kesalahan sehingga ada hamba yang mempertanyakan kehendakNya.
Namun.. Ia Maha Adil.. Senantiasa menempatkan segala sesuatu atas ke-Maha AdilanNya, Maha Suci Dia dari sifat salah dan Zhalim. Mushibah yang Dia timpakan kepada hamba Nya yang mukmin bukanlah sebab si hamba dibenci Nya, tetapi Dia ingin memuliakan si hamba itu dengan sakitnya. Untuk memahami bahasa kasih sayangnya hanya memerlukan keimanan.
Orang-orang yang tidak beriman selalu tidak faham akan pesan-pesan Allah yang disampaikan kepadanya. Dan selalu gagal dalam bersikap akibat tidak fahamnya itu. Ketaqwaan adalah jalan memahami pesan-pesan Nya.. Termasuk dalam bentuk musibah.
*3.* Bismillaah. Assalamu'alaykum, ustadz Endang. Punten ijin bertanya. Jika menginginkan sesuatu, apakah kedudukan nilai sebuah perjuangan itu di mata ALLAAH? Bukankah kita berusaha dulu sampai maksimal dan baru memasrahkannya ke ALLAAH atau bagaimana, Tadz??
*Jawab: Waalaikumsalam warahmatullah. Ketika kita ingin sesuatu maka kita harus berusaha terhadap apa yang kita inginkan. Dan usaha itu adalah sebuah ibadah selagi dikerjakan karena allah dan sifatnya baik.
*4.* Ustad..Ijin bertanya. Dalam sikon pandemi gini kan banyak yang terdampak para pekerja, semisal ada seorang istri yang cerita tentang situasi rumah tanggabya karena sang suami kena PHK. Apakah ini bagian dari tidak menerima takdir ya?? Kalau sang istri cerita kemana-mana, suaminya kena PHK, afwan maksud sang istri, barangkali kawan-kawannya ada lowongan...Apakah tindakan ini dibenarkan atau sebaiknya diam saja dengan berusaha cari solusi sendiri....
*Jawab: Tindakan yang harus dilakukan oleh istri adalah mencari lowongan kerja tanpa menyebutkan permasalahan rumah tangganya.
*5.* Bulan Mei lalu, Saya kena penyakit TBC paru dan usus sekaligus. Padahal usia Saya sudah lewat setengah abad. Saya masih berpikir mengapa Allah kasih Saya penyakit seberat ini di usia yang sudah tak lagi muda? Saya mesti minum obat rutin sampai dengan 9 bulan ke depan, tiap hari, enggak boleh jeda. Padahal obat ini membuat badan menjadi enggak karuan: demam meriang, ngilu tulang, lemess dll.
*Jawab: Karena Allah sayang kepada orang yang diberi penyakit..Itulah salah satu tanda kasih sayang allah. Dengan memberikan cobaan berupa penyakit. Jika sabar dalam sakit yang dialami, maka Allah akan memberikan pahala melalui sakit tersebut. Dan sakit itu menghapus dosa-dosa yang lalu. Apakah kita masih mengeluh?
★★★★★★★★★★★★★★★★
Badan Pengurus Harian (BPH) Pusat
Hamba اللَّهِ SWT
Blog: http://kajianonline-hambaallah.blogspot.com
FanPage : Kajian On line-Hamba Allah
FB : Kajian On Line-Hamba Allah
Twitter: @kajianonline_HA
IG: @hambaAllah_official
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment