Home » , , » Kerinduan Yang Salah Alamat

Kerinduan Yang Salah Alamat

Posted by Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT on Friday, April 6, 2018

Image result for kerinduan

Rekap kajian Online HA G2
Hari/ tanggal : Rabu 14 Maret 2018
Pemateri : Ustadzah Tribuwhana
Materi : Kerinduan kerinduan yang salah alamat
Waktu kajian : 08.00- 10.00
Notulen: Nurkholistyani
Editor: Sapta
➰➰➰➰➰➰➰➰➰➰➰


KERINDUAN-KERINDUAN YANG SALAH ALAMAT

Kerinduan itu selalu ada dalam diri kita, pada apa saja. Karena ia adalah harapan, cita-cita dan impian kita untuk memperoleh atau meraih sesuatu yang baik. Akan tetapi, tidak selamanya kerinduan itu berujung pada keberhasilan yang memberi manfaat. Karena seringkali kita menambahkan kerinduan itu pada sesuatu yang salah, pada alamat-alamat yang keliru. Sehingga bukan maslahat yang kita dapat, tetapi mafsadat yang kita tuai.

Dari dalam diri kita selalu muncul kerinduan-kerinduan itu, pada sesuatu yang sesungguhnya sangat menentukan jalan hidup kita. Tetapi ia seringkali tak tercapai karena dialamatkan pada sasaran yang salah.


    1.   Kerinduan pada Pahlawan dan Figur yang Salah Alamat

Pada situasi tertentu terkadang kita mendambakan hadirnya seseorang yang mampu memberi kita rasa aman, perlindungan, dan harapan untuk sebuah keadaan yang lebih baik. Itulah kerinduan pada sosok yang bernama pahlawan.

Suatu hari, di salah satu rumah di Madinah, Umar bin Khattab ra duduk bersama para sahabatnya. Lalu ia berkata,”Bercita-citalah kalian.” Satu persatu, mereka kemudian mengutarakan cita-citanya. “Alangkah indahnya jika rumah ini dipenuhi emas sehingga bisa kuinfaqkan di jalan Allah,” kata yang pertama. “Aku ingin rumah ini dipenuhi intan mutiara agar dapat berinfaq dan bersedekah di jalan Allah,”tutur yang kedua. Dan seterusnya, sampai tidak ada lagi yang bisa mereka keluarkan.
Terakhir giliran Umar menuturkan cita-citanya sendiri. Katanya,”Kalau aku, aku merindukan kehadiran pemuda seperti Abu Ubadah bin Jarrah, Mu’adz bin Jabal, dan Salim Maula Abu Hudzifah, yang dengan mereka aku berjuang menegakkan kalimat Allah.”

Semoga Allah merahmati Umar. Ia telah mengungkapkan sebuah cita-cita luar biasa, yang mungkin saja telah lama membuncah dalam jiwanya, namun baru pada kesempatan itu ia utarakan; kerinduan pada sosok yang memiliki jiwa kepahlawanan. Itulah kerinduan yang benar, kerinduan beralamat jelas.

Sekarang ini, di tengah situasi negeri kita yang tidak menentu, sebenarnya kita merindukan pahlawan, mendambakan figure yang membimbing, memberi contoh dan rasa aman.

Sayangnya, kerinduan itu seringkali tidak menemukan sasaran. Generasi muda Islam kita, yang sedang tumbuh dalam pencarian figure, terkadang salah alamat dalam menokohkan.

Ironisnya, kerinduan yang salah alamat itu sering pula diperankan oleh kita, orang-orang dewasa yang seharusnya lebih mampu menggunakan akal dan pikiran secara baik. Kita terkadang terlalu memuji seseorang, mengagungkan, bahkan mengkultuskannya, dengan alasan-alasan yang tidak ilmiah, sehingga menutup mata kita sendiri bahwa sebenarnya orang yang kita tuju itu tidak mampu untuk membawa kita kemana-mana. Kita terlena dengan tampilan fisik, logika-logika yang memukau, sehingga melupakan isi.

Kita bahkan tidak pernah berani untuk jujur pada realita, bahwa ada sosok yang seolah menikmati segala pujian dan sanjungan orang lain pada dirinya, merasa mendapatkan dukungan yang kuat, padahal sesungguhnya dia tidak memiliki kekuatan apa-apa, kecuali pujian itu sendiri. Tetapi kepadanya kerinduan itu selalu kita arahkan., seolah kita tidak lagi punya alternative yang lain. inilah kerinduan kepada pahlawan yang salah.


    2.   Kerinduan pada Kebenaran yang Salah Alamat

Kerinduan pada kebenaran adalah kerinduan kita pada keselamatan. Dan keselamatan itu adalah cita-cita besar yang harus ada pada diri setiap kita; keselamatan yang hanya mungkin diraih jika kita berada pada jalur yang benar. Karena itu kerinduan akan kebenaran itu harus selalu hadir bersama hari-hari kita yang tersisa.

Hari ini, ketika manusia merasa semakin ‘pintar’ muncul banyak penafsiran tentang kebenaran. Lalu, penafsiran-penafsiran itu diklaim dan didemonstrasikan sebagai kebenaran yang sesungguhnya. Para pencari kebenaran pun kemudian terpana melihatnya, seperti fatamorgana, seperti cahaya lampu yang memancing kerumunan laron.

Di jaman ini para penjaja ‘kebenaran’ itu, menjajakannya dengan bermacam label; inklusif, kebebasan, liberal, pluralis, toleransi dan sebagainya. Ada lagi ‘kebenaran’ yang dikemas dengan label cukup menggoda; Ahmadiyah, Al Qiyadah Al Islamiyah, Salamullah dan sebagainya. Tidak sedikit orang yang terjerat dalam label-label itu. Tentu karena mereka merindukan kebenaran yang akan memberinya keselamatan, ternyata kerinduan itu menjadi tidak berarti karena mereka salah alamat. Bukan keselamatan yang menanti, tapi kesesatan yang menjerat hati dan membawa luka.

Kebenaran yang menyelamatkan itu, sekali lagi hanya ada pada Islam. Dan panduannya telah jelas. Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedikit saja melenceng dari situ, alamat kesesatan yang bakal dijumpa.

Imam Al Ghazali rahimahullah pernah terkesima dengan ilmu kalam, logika dan filsafat. Ia coba mengais kebenaran dari ilmu-ilmu itu, tapi ternyata tak membuat dahaganya terobati. Ia merasa hidupnya berada dalam ketidakpastian. Akhirnya, ia menemukan kebenaran itu hanya ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Itulah kebenaran yang memberinya ketenangan; jiwa dan raga.

    3.   Kerinduan pada Kebahagiaan yang Salah Alamat

Kebahagiaan dan kedamaian adalah kebutuhan asasi dalam hidup kita. Rasanya tidak ada orang yang tidak merindukan itu. Dengan tujuan itu pula kita kemudian berusaha, bekerja keras, melakukan banyak hal untuk mendapatkannya. Orang yang setiap hari banting tulang mencari nafkah, tentu karena ia merindukan hari esok yang bahagia dan terjamin. Orang yang sibuk mengejar jabatan, tentu karena ada asa agar hidupnya lebih mudah dan terhormat. Meskipun itu semua bukan jaminan mutlak kebahagiaan.

Kebahagiaan adalah keadaan jiwa ketika seseorang mampu melakukan suatu perbuatan yang bernilai dan luhur. Ia merupakan kekuatan batin yang memancarkan ketenangan dan kedamaian, merupakan karunia Allah SWT yang membuat jiwa menjadi lapang dan ceria.

Kebahagiaan adalah kejernihan hati, kebersihan perilaku dan kekuatan ruhani. Ia merupakan karunia Allah SWT yang diberikan kepada siapa saja yang melakukan perbuatan terpuji. Kebahagiaan adalah rasa ridho yang mendalam dan sikap qona’ah. Ia bukan barang dagangan yang bisa dibeli di pasar oleh orang sekaya apa pun, tetapi merupakan dagangan Allah SWT yang ditanamkan kedalam jiwa-jiwa yang terpilih.

Kebahagiaan adalah membuang jauh segala pikiran negative dan mengisinya dengan pikiran yang positif. Ia merupakan sebuah kekuatan yang mampu menghadapi berbagai tekanan dan sekaligus mencairi jalan penyelesaian bukan berdasarkan emosi.

Kebahagiaan itu ada pada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Ada dalam meninggalkan kebencian, kedengkian dan sikap tamak terhadap apa yang dimiliki orang lain.

Kebahagiaan itu terdapat dalam dzikir kepada Allah SWT, syukur kepada-Nya, dan memantapkan ibadah hanya untuk-Nya. Dan kebahagiaan hakiki adalah meraih surga dan terbebas dari api neraka.

Inilah jalan-jalan Sunnah untuk meraih kebahagiaan, mendekatkan diri kepada Allah dengan segala cara yang diridhoi-Nya. Itulah alamat kebahagiaan yang jelas.

Di luar itu, adalah alamat-alamat yang salah. Merindukan ketenangan jiwa dengan mendatangi dukun, adalah salah. Mencari jabatan dengan meminta pertolongan pada parnormal, juga keliru. Menumpuk harta dengan jalan korupsi dan menipu, pun tidak benar.

Ada lagi orang yang mencari kebahagiaannya dengan menebar ‘cinta’ di luar sana. Pada hal-hal yang tidak saja buruk, tetapi berbahaya dan membawa celaka. Betapa banyak pejabat yang terjungkal dari kursinya karena salah memberi cinta dan keliru menyimpan kasih sayang. Padahal ia bisa menemukan itu semua dalam rumah tangganya, bersama istri dan anak-anaknya, yang alamatnya jelas dan tidak pernah berubah.


    4.   Kerinduan pada Suasana yang Salah Alamat

Hidup kita selalu berganti dari satu suasana ke suasana yang lain. Dari satu kondisi kepada kondisi yang berbeda. Kadang baik, tapi kadang juga buruk. Kadang aman, tapi kadang pula menyeramkan. Antara baik dan buruk, itu sebenarnya adalah hasil rekayasa kita sendiri. Maksudnya, jika kita menginginkan yang baik maka kita bisa membuat suasana itu menjadi baik. Begitu juga jika kita ingin yang sebaliknya, maka huru hara bisa kita ciptakan.

Suasana yang silih berganti itu, melahirkan rupa karakter orang. Ada yang optimis, ada juga yang pasrah. Tidak sedikit di antara kita yang selalu pesimis, apalagi melihat kenyataan bahwa keadaan semakin tidak menentu, suasana semakin rumit.

Merindukan kejayaan masa lalu, tentu saja tidak salah. Bahkan terkadang sangat diperlukan, sebab bangsa yang mampu bangkit dari keterpurukannya adalah bangsa yang bisa menghadirkan semangat kejayaan masa lalunya. Yang salah adalah ketika kita mengharapkan masa lalu yang sebenarnya tidak bisa disebut kejayaan.
Karena itu, merindukan suasana seperti tahun-tahun lalu, misalnya, hanyalah sebuah sikap putus asa dan pesimisme. Hanyalah kerinduan yang salah alamat. Sikap ini hanya memberi isyarat kalau kita tidak punya kemauan untuk membawa bangsa ini lebih maju; mencintai stagnasi daripada perubahan.

Ketika kerinduan pada masa lalu masih lebih dominan di hati anak-anak bangsa ini, maka budaya feodalisme dan paternalism masih akan terus menguasai kita, dan kita hanya bisa membangun kerinduan-kerinduan kita pada suasana yang lebih baik di alamat-alamat yang salah.

    5.   Kerinduan pada Kemuliaan yang Salah Alamat

Kemuliaan itu hanya milik Allah SWT, Rasul-Nya dan orang-orang beriman yang memiliki keimanan yang benar. Dan karena itu, kemuliaan hanya bisa didapatkan bersama atau dari mereka. Siapa yang bersamai Mus Allah, Rasulnya dan orang-orang beriman maka ia pasti akan mendapatkan kemuliaan itu. Siapa yang merindukan kemuliaan hendaklah ia bersama mereka, dalam naungan Islam yang agung. Bukan berharap dari orang lain, di luar mereka.

Di jaman Rasulullah SAW, di sekitar beliau, ada orang-orang yang mengaku beriman tetapi imannya hanya sebatas lisan, tidak mampu melewati tenggorokannya. Mereka hidup bersama Rasulullah SAW dan para sahabat dengan berjubah Islam, tetapi menyimpan kekufuran di dalam hatinya. Jumlahnya sangat sedikit, tetapi juga rindu kemuliaan. Kemana-mana, mereka selalu mencari dukungan kekuatan, terutama di luar orang-orang Islam. Mereka ini bahkan lebih bersahabat dengan orang-orang yang memusuhi Allah, daripada orang-orang yang mencintai-Nya.
Karena perilaku itu, maka Allah menegaskan,

”Katakanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih; (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS. An-Nisa’:138-139)

Siksaaan yang pedih pada ayat ini menjelaskan, bahwa kemuliaan dan kekuatan yang dicari dari orang-orang kafir adalah kerinduan yang salah alamat, yang tidak akan memberikan apa-apa kecuali kehinaan. Sebab kemuliaan itu hanya punya satu alamat Allah SWT dengan berpegang pada Islam.

Inilah yang pernah ditegaskan oleh Umar bin Khattab ra, ketika ia dan umat Islam hendak berangkat merebut Baitul Maqdis, mengambil kunci-kuncinya yang telah diabaikan oleh umat Islam. Ia mengatakan,”Kita adalah umat yang telah diberikan kemuliaan oleh Allah SWT dengan Islam. Maka bagaimana pun cara kita mencari kemuliaan tanpa Islam, Allah tetap akan menjadikannya sebagai kehinaan.”

Ini adalah peringatan untuk kita semua, selama kita mengaku sebagai muslim. Bahwa kerinduan kita akan kemuliaan, kemenangan, dan kekuatan tidak akan bisa dicapai jika kita meninggalkan keislaman kita.

Semoga Allah SWT senantiasa meneguhkan Islam itu di hati-hati kita, agar ia tidak kita pandang sebelah mata, seperti pakaian yang kekecilan sehingga kita merasa perlu tambahan pakaian di luar pakaian Islam.

Wallahu a’lam


➰➰➰➰➰➰➰➰➰

TANYA JAWAB


Tanya: Ustadzah tanya ya, saya pernah mendengar bahwa kemuliaan seorang muslim terletak pada akhir hidupnya (husnul khotimah)  benarkah?
Jawab: betul


Tanya: Materinya bagus tapi saya perlu berulang membacanya, itupun masih belum paham betul. Mungkin kata-katanya begitu filosofis ya, jauh dari kata teknis. Tanya ustadzah, untuk poin kerinduan pada kebahagiaan itu mesti diraih semua atau cukup satu saja, dan itu sudah membuat kita bahagia? Atau jangan-jangan masih salah alamat ya?
Jawab: Kerinduan pada kebahagiaan harus diulang-ulang, karena bahagia milik semua orang. Maksudnya, emua orang berhak bahagia, dan kita bisa berbahagia tanpa menyakiti yang lain


Tanya: Ustadzah mau tanya kita rindu ingin bisa membahagiakan orangtua tapi tidak mampu maksmimal yang membuat kita jadi sedih. Apa yang bisa kita lakukan?
Jawab: Banyak berdoa untuk mereka


Tanya: Ustadzah berarti kita boleh bila merindukkan sosok-sosok para sahabat Rasululloh ya?
Jawab: Boleh



=========================

Kita tutup dengan membacakan hamdalah..
Alhamdulillahirabbil'aalamiin

Doa Kafaratul Majelis :

 سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك

Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika

“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”

Wassalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh


================
Website: www.hambaAllah.net
FanPage : Kajian On line-Hamba Allah
FB : Kajian On Line-Hamba Allah
Twitter: @kajianonline_HA
IG: @hambaAllah_official

Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT

0 komentar:

Post a Comment

Ketik Materi yang anda cari !!