Rekap kajian Online HA G2
Hari/ tanggal : Rabu 14 Maret 2018
Pemateri : Ustadzah Tribuwhana
Materi : Kerinduan kerinduan yang salah
alamat
Waktu kajian : 08.00- 10.00
Notulen: Nurkholistyani
Editor: Sapta
➰➰➰➰➰➰➰➰➰➰➰
KERINDUAN-KERINDUAN YANG SALAH ALAMAT
Kerinduan itu selalu ada dalam diri kita,
pada apa saja. Karena ia adalah harapan, cita-cita dan impian kita untuk
memperoleh atau meraih sesuatu yang baik. Akan tetapi, tidak selamanya kerinduan
itu berujung pada keberhasilan yang memberi manfaat. Karena seringkali kita
menambahkan kerinduan itu pada sesuatu yang salah, pada alamat-alamat yang
keliru. Sehingga bukan maslahat yang kita dapat, tetapi mafsadat yang kita
tuai.
Dari dalam diri kita selalu muncul
kerinduan-kerinduan itu, pada sesuatu yang sesungguhnya sangat menentukan jalan
hidup kita. Tetapi ia seringkali tak tercapai karena dialamatkan pada sasaran
yang salah.
1.
Kerinduan pada Pahlawan dan Figur yang Salah Alamat
Pada situasi tertentu terkadang kita
mendambakan hadirnya seseorang yang mampu memberi kita rasa aman, perlindungan,
dan harapan untuk sebuah keadaan yang lebih baik. Itulah kerinduan pada sosok
yang bernama pahlawan.
Suatu hari, di salah satu rumah di
Madinah, Umar bin Khattab ra duduk bersama para sahabatnya. Lalu ia
berkata,”Bercita-citalah kalian.” Satu persatu, mereka kemudian mengutarakan
cita-citanya. “Alangkah indahnya jika rumah ini dipenuhi emas sehingga bisa
kuinfaqkan di jalan Allah,” kata yang pertama. “Aku ingin rumah ini dipenuhi
intan mutiara agar dapat berinfaq dan bersedekah di jalan Allah,”tutur yang
kedua. Dan seterusnya, sampai tidak ada lagi yang bisa mereka keluarkan.
Terakhir giliran Umar menuturkan
cita-citanya sendiri. Katanya,”Kalau aku, aku merindukan kehadiran pemuda
seperti Abu Ubadah bin Jarrah, Mu’adz bin Jabal, dan Salim Maula Abu Hudzifah,
yang dengan mereka aku berjuang menegakkan kalimat Allah.”
Semoga Allah merahmati Umar. Ia telah
mengungkapkan sebuah cita-cita luar biasa, yang mungkin saja telah lama
membuncah dalam jiwanya, namun baru pada kesempatan itu ia utarakan; kerinduan
pada sosok yang memiliki jiwa kepahlawanan. Itulah kerinduan yang benar,
kerinduan beralamat jelas.
Sekarang ini, di tengah situasi negeri
kita yang tidak menentu, sebenarnya kita merindukan pahlawan, mendambakan
figure yang membimbing, memberi contoh dan rasa aman.
Sayangnya, kerinduan itu seringkali tidak
menemukan sasaran. Generasi muda Islam kita, yang sedang tumbuh dalam pencarian
figure, terkadang salah alamat dalam menokohkan.
Ironisnya, kerinduan yang salah alamat itu
sering pula diperankan oleh kita, orang-orang dewasa yang seharusnya lebih
mampu menggunakan akal dan pikiran secara baik. Kita terkadang terlalu memuji
seseorang, mengagungkan, bahkan mengkultuskannya, dengan alasan-alasan yang
tidak ilmiah, sehingga menutup mata kita sendiri bahwa sebenarnya orang yang
kita tuju itu tidak mampu untuk membawa kita kemana-mana. Kita terlena dengan
tampilan fisik, logika-logika yang memukau, sehingga melupakan isi.
Kita bahkan tidak pernah berani untuk
jujur pada realita, bahwa ada sosok yang seolah menikmati segala pujian dan
sanjungan orang lain pada dirinya, merasa mendapatkan dukungan yang kuat,
padahal sesungguhnya dia tidak memiliki kekuatan apa-apa, kecuali pujian itu
sendiri. Tetapi kepadanya kerinduan itu selalu kita arahkan., seolah kita tidak
lagi punya alternative yang lain. inilah kerinduan kepada pahlawan yang salah.
2.
Kerinduan pada Kebenaran yang Salah Alamat
Kerinduan pada kebenaran adalah kerinduan
kita pada keselamatan. Dan keselamatan itu adalah cita-cita besar yang harus
ada pada diri setiap kita; keselamatan yang hanya mungkin diraih jika kita
berada pada jalur yang benar. Karena itu kerinduan akan kebenaran itu harus
selalu hadir bersama hari-hari kita yang tersisa.
Hari ini, ketika manusia merasa semakin
‘pintar’ muncul banyak penafsiran tentang kebenaran. Lalu,
penafsiran-penafsiran itu diklaim dan didemonstrasikan sebagai kebenaran yang
sesungguhnya. Para pencari kebenaran pun kemudian terpana melihatnya, seperti
fatamorgana, seperti cahaya lampu yang memancing kerumunan laron.
Di jaman ini para penjaja ‘kebenaran’ itu,
menjajakannya dengan bermacam label; inklusif, kebebasan, liberal, pluralis,
toleransi dan sebagainya. Ada lagi ‘kebenaran’ yang dikemas dengan label cukup
menggoda; Ahmadiyah, Al Qiyadah Al Islamiyah, Salamullah dan sebagainya. Tidak
sedikit orang yang terjerat dalam label-label itu. Tentu karena mereka
merindukan kebenaran yang akan memberinya keselamatan, ternyata kerinduan itu
menjadi tidak berarti karena mereka salah alamat. Bukan keselamatan yang
menanti, tapi kesesatan yang menjerat hati dan membawa luka.
Kebenaran yang menyelamatkan itu, sekali
lagi hanya ada pada Islam. Dan panduannya telah jelas. Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sedikit saja melenceng dari situ, alamat kesesatan yang bakal dijumpa.
Imam Al Ghazali rahimahullah pernah
terkesima dengan ilmu kalam, logika dan filsafat. Ia coba mengais kebenaran
dari ilmu-ilmu itu, tapi ternyata tak membuat dahaganya terobati. Ia merasa
hidupnya berada dalam ketidakpastian. Akhirnya, ia menemukan kebenaran itu
hanya ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Itulah kebenaran yang memberinya
ketenangan; jiwa dan raga.
3.
Kerinduan pada Kebahagiaan yang Salah Alamat
Kebahagiaan dan kedamaian adalah kebutuhan
asasi dalam hidup kita. Rasanya tidak ada orang yang tidak merindukan itu.
Dengan tujuan itu pula kita kemudian berusaha, bekerja keras, melakukan banyak
hal untuk mendapatkannya. Orang yang setiap hari banting tulang mencari nafkah,
tentu karena ia merindukan hari esok yang bahagia dan terjamin. Orang yang
sibuk mengejar jabatan, tentu karena ada asa agar hidupnya lebih mudah dan
terhormat. Meskipun itu semua bukan jaminan mutlak kebahagiaan.
Kebahagiaan adalah keadaan jiwa ketika seseorang
mampu melakukan suatu perbuatan yang bernilai dan luhur. Ia merupakan kekuatan
batin yang memancarkan ketenangan dan kedamaian, merupakan karunia Allah SWT
yang membuat jiwa menjadi lapang dan ceria.
Kebahagiaan adalah kejernihan hati,
kebersihan perilaku dan kekuatan ruhani. Ia merupakan karunia Allah SWT yang
diberikan kepada siapa saja yang melakukan perbuatan terpuji. Kebahagiaan
adalah rasa ridho yang mendalam dan sikap qona’ah. Ia bukan barang dagangan
yang bisa dibeli di pasar oleh orang sekaya apa pun, tetapi merupakan dagangan
Allah SWT yang ditanamkan kedalam jiwa-jiwa yang terpilih.
Kebahagiaan adalah membuang jauh segala
pikiran negative dan mengisinya dengan pikiran yang positif. Ia merupakan
sebuah kekuatan yang mampu menghadapi berbagai tekanan dan sekaligus mencairi
jalan penyelesaian bukan berdasarkan emosi.
Kebahagiaan itu ada pada ilmu yang
bermanfaat dan amal yang shalih. Ada dalam meninggalkan kebencian, kedengkian
dan sikap tamak terhadap apa yang dimiliki orang lain.
Kebahagiaan itu terdapat dalam dzikir
kepada Allah SWT, syukur kepada-Nya, dan memantapkan ibadah hanya untuk-Nya.
Dan kebahagiaan hakiki adalah meraih surga dan terbebas dari api neraka.
Inilah jalan-jalan Sunnah untuk meraih
kebahagiaan, mendekatkan diri kepada Allah dengan segala cara yang
diridhoi-Nya. Itulah alamat kebahagiaan yang jelas.
Di luar itu, adalah alamat-alamat yang
salah. Merindukan ketenangan jiwa dengan mendatangi dukun, adalah salah.
Mencari jabatan dengan meminta pertolongan pada parnormal, juga keliru.
Menumpuk harta dengan jalan korupsi dan menipu, pun tidak benar.
Ada lagi orang yang mencari kebahagiaannya
dengan menebar ‘cinta’ di luar sana. Pada hal-hal yang tidak saja buruk, tetapi
berbahaya dan membawa celaka. Betapa banyak pejabat yang terjungkal dari
kursinya karena salah memberi cinta dan keliru menyimpan kasih sayang. Padahal
ia bisa menemukan itu semua dalam rumah tangganya, bersama istri dan
anak-anaknya, yang alamatnya jelas dan tidak pernah berubah.
4.
Kerinduan pada Suasana yang Salah Alamat
Hidup kita selalu berganti dari satu
suasana ke suasana yang lain. Dari satu kondisi kepada kondisi yang berbeda.
Kadang baik, tapi kadang juga buruk. Kadang aman, tapi kadang pula menyeramkan.
Antara baik dan buruk, itu sebenarnya adalah hasil rekayasa kita sendiri.
Maksudnya, jika kita menginginkan yang baik maka kita bisa membuat suasana itu
menjadi baik. Begitu juga jika kita ingin yang sebaliknya, maka huru hara bisa
kita ciptakan.
Suasana yang silih berganti itu, melahirkan
rupa karakter orang. Ada yang optimis, ada juga yang pasrah. Tidak sedikit di
antara kita yang selalu pesimis, apalagi melihat kenyataan bahwa keadaan
semakin tidak menentu, suasana semakin rumit.
Merindukan kejayaan masa lalu, tentu saja
tidak salah. Bahkan terkadang sangat diperlukan, sebab bangsa yang mampu
bangkit dari keterpurukannya adalah bangsa yang bisa menghadirkan semangat
kejayaan masa lalunya. Yang salah adalah ketika kita mengharapkan masa lalu
yang sebenarnya tidak bisa disebut kejayaan.
Karena itu, merindukan suasana seperti
tahun-tahun lalu, misalnya, hanyalah sebuah sikap putus asa dan pesimisme.
Hanyalah kerinduan yang salah alamat. Sikap ini hanya memberi isyarat kalau
kita tidak punya kemauan untuk membawa bangsa ini lebih maju; mencintai
stagnasi daripada perubahan.
Ketika kerinduan pada masa lalu masih
lebih dominan di hati anak-anak bangsa ini, maka budaya feodalisme dan
paternalism masih akan terus menguasai kita, dan kita hanya bisa membangun
kerinduan-kerinduan kita pada suasana yang lebih baik di alamat-alamat yang
salah.
5.
Kerinduan pada Kemuliaan yang Salah Alamat
Kemuliaan itu hanya milik Allah SWT,
Rasul-Nya dan orang-orang beriman yang memiliki keimanan yang benar. Dan karena
itu, kemuliaan hanya bisa didapatkan bersama atau dari mereka. Siapa yang
bersamai Mus Allah, Rasulnya dan orang-orang beriman maka ia pasti akan
mendapatkan kemuliaan itu. Siapa yang merindukan kemuliaan hendaklah ia bersama
mereka, dalam naungan Islam yang agung. Bukan berharap dari orang lain, di luar
mereka.
Di jaman Rasulullah SAW, di sekitar
beliau, ada orang-orang yang mengaku beriman tetapi imannya hanya sebatas
lisan, tidak mampu melewati tenggorokannya. Mereka hidup bersama Rasulullah SAW
dan para sahabat dengan berjubah Islam, tetapi menyimpan kekufuran di dalam
hatinya. Jumlahnya sangat sedikit, tetapi juga rindu kemuliaan. Kemana-mana,
mereka selalu mencari dukungan kekuatan, terutama di luar orang-orang Islam.
Mereka ini bahkan lebih bersahabat dengan orang-orang yang memusuhi Allah, daripada
orang-orang yang mencintai-Nya.
Karena perilaku itu, maka Allah
menegaskan,
”Katakanlah kepada orang-orang munafik
bahwa mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih; (yaitu) orang-orang yang
mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu?
Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS. An-Nisa’:138-139)
Siksaaan yang pedih pada ayat ini
menjelaskan, bahwa kemuliaan dan kekuatan yang dicari dari orang-orang kafir
adalah kerinduan yang salah alamat, yang tidak akan memberikan apa-apa kecuali
kehinaan. Sebab kemuliaan itu hanya punya satu alamat Allah SWT dengan
berpegang pada Islam.
Inilah yang pernah ditegaskan oleh Umar
bin Khattab ra, ketika ia dan umat Islam hendak berangkat merebut Baitul
Maqdis, mengambil kunci-kuncinya yang telah diabaikan oleh umat Islam. Ia
mengatakan,”Kita adalah umat yang telah diberikan kemuliaan oleh Allah SWT
dengan Islam. Maka bagaimana pun cara kita mencari kemuliaan tanpa Islam, Allah
tetap akan menjadikannya sebagai kehinaan.”
Ini adalah peringatan untuk kita semua,
selama kita mengaku sebagai muslim. Bahwa kerinduan kita akan kemuliaan,
kemenangan, dan kekuatan tidak akan bisa dicapai jika kita meninggalkan
keislaman kita.
Semoga Allah SWT senantiasa meneguhkan
Islam itu di hati-hati kita, agar ia tidak kita pandang sebelah mata, seperti
pakaian yang kekecilan sehingga kita merasa perlu tambahan pakaian di luar
pakaian Islam.
Wallahu a’lam
➰➰➰➰➰➰➰➰➰
TANYA JAWAB
Tanya: Ustadzah tanya ya, saya pernah mendengar bahwa kemuliaan seorang muslim
terletak pada akhir hidupnya (husnul khotimah)
benarkah?
Jawab: betul
Tanya: Materinya bagus tapi saya perlu berulang membacanya, itupun masih belum
paham betul. Mungkin kata-katanya begitu filosofis ya, jauh dari kata teknis. Tanya
ustadzah, untuk poin kerinduan pada kebahagiaan itu mesti diraih semua atau
cukup satu saja, dan itu sudah membuat kita bahagia? Atau jangan-jangan masih
salah alamat ya?
Jawab: Kerinduan pada kebahagiaan harus diulang-ulang, karena bahagia milik
semua orang. Maksudnya, emua orang berhak bahagia, dan kita bisa berbahagia
tanpa menyakiti yang lain
Tanya: Ustadzah mau tanya kita rindu ingin bisa membahagiakan orangtua tapi
tidak mampu maksmimal yang membuat kita jadi sedih. Apa yang bisa kita lakukan?
Jawab: Banyak berdoa untuk mereka
Tanya: Ustadzah berarti kita boleh bila merindukkan sosok-sosok para sahabat
Rasululloh ya?
Jawab: Boleh
=========================
Kita tutup dengan membacakan hamdalah..
Alhamdulillahirabbil'aalamiin
Doa Kafaratul Majelis :
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت
أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu
allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan
memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan
diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
Wassalamu'alaikum warahmatullaahi
wabarakaatuh
================
Website: www.hambaAllah.net
FanPage : Kajian On line-Hamba Allah
FB : Kajian On Line-Hamba Allah
Twitter: @kajianonline_HA
IG: @hambaAllah_official
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment