Kajian Online HA Ummi G-2
Hari/Tgl: Jum'at, 16 Maret 2018
Materi: Biyond Logic and Rationality
NaraSumber: Ustadzah Lala
Notulen: Lilis/Astrisna
Editor: Sapta
======================
Beyond Logic and Rationality
Oleh: Lara Fridani
Seorang ibu lansia merasa gelisah
mendengar penuturan anak laki-laki semata wayangnya yang dulu menjadi
kebanggaannya. Sejak kecil segala upaya dikerahkan dan biaya dikeluarkan untuk
mendidik anaknya agar menjadi cerdas, kritis, teguh pendirian dan memiliki
berbagai ketrampilan. Tak heran, jika kini anaknya tumbuh menjadi pria dewasa
yang sangat percaya diri, terpandang, dan punya karir yang membanggakan. Yang
disesalkan sang ibu adalah ‘kelebihan’ yang dimiliki anaknya itu ternyata tidak
seiring dengan meningkatnya keimanannya sebagai seorang muslim. Di usia
menjelang 60 tahun barulah sang ibu tersadar untuk segera mendekatkan diri pada
agama. Namun ternyata tidak mudah baginya untuk bisa berbagi ‘spirit’ ini
bersama anaknya. Nasehat agama yang diberikan berkali-kali oleh sang ibu agar
anaknya menunaikan kewajiban sholat, berhaji dan sebagainya, direspon hanya dengan
logikanya saja.
“Begini ya ma, coba mama lihat… berapa
banyak orang yang rajin sembahyang dan rajin mengaji, tapi kelakuannya tidak
berubah kan? Mereka cuma rajin ke mesjid untuk kepentingan diri sendiri, tapi
mana manfaatnya untuk orang lain?”
“Begini ya ma, mama pernah dengar sendiri
kan cerita teman mama saat naik haji, ternyata banyak orang di sana yang egois,
berebutan dan sikut menyikut saat beribadah. Belum lagi aturannya yang tak
masuk di akal ma. Itu lho ma, yang katanya saat ihram, kita tak boleh pakai
pakaian berjahit lah, gak boleh pakai wewangian lah. Ini alasannya apa, kita
kan tak bisa terima perintah begitu saja ma.”
“Pokoknya begini ya ma, yang penting kan
hati kita ini baik. Hidup kita gak macam- macamlah, kita kan juga kasih sedekah
sama orang miskin.” demikian petuah sang anak panjang lebar.
Sang ibu terdiam, tak punya ketrampilan
untuk bisa menepis pernyataan anaknya, beliau hanya mengungkapkan
ketidaksetujuan di dalam hati, sebagai bentuk selemah-lemahnya iman. Beliau pun
tak punya ide, darimana harus menjelaskan pada anaknya agar mau berlapang dada
menerima perintah agama. Beliau hanya bisa berdoa agar anaknya tidak termasuk
golongan orang-orang yang hatinya berpenyakit.
Ketika kecerdasan dan ketrampilan hidup
yang distimulasi orang tua sejak awal pada anaknya tidak didasarkan pada
syariat dan terlepas dari konsep akhlak sebagai muslim, maka tidak mengherankan
jika seorang anak ‘tidak hidup’ hatinya, kecuali jika ada hidayah dari Allah
SWT. Batasan kecerdasan versi barat dan Islam memang berbeda. Pandangan Islam
tentang kecerdasan, lebih mengutamakan sudut pandang ruhiyah di samping
lahiriyah.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Orang yang cerdas adalah mereka yang
mampu mengendalikan nafsunya dan beramal untuk masa sesudah mati, sedang orang
yang lemah ialah mereka yang mengikuti nafsunya dan berangan-angan kepada
Allah.” (HR. Ahmad).
Kecerdasan dalam pandangan islam bukanlah
sekedar kemampuan berpikir rasional dengan logika, namun merupakan keterpaduan
antara pikiran dan dzikirnya, suatu bentuk kerjasama antara otak dan hati.
Ajaran Islam lebih cenderung menggarap hati agar menjadi baik. Aturan sholat,
puasa, zakat, haji dan sebagainya adalah sarana untuk melembutkan kualitas hati
ini. Dengan demikian kecerdasan dalam pandangan Islam selalu melibatkan
kerendahatian dan pikiran positif terhadap aturan dari sang Pencipta.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang menjadikan pikiran-pikirannya
menjadi satu pikiran yaitu pikiran akhirat, Allah cukupkan masalah dunianya.
Dan barang siapa yang pikirannya bercabang-cabang di urusan dunia, Allah tidak
perduli di lembah dunia mana dia akan binasa.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim)
Memang sulit bagi seseorang untuk menerima
apalagi menjalankan sebuah perintah agama yang kadang tidak masuk dalam logika,
jika dia terbiasa dan terlatih dengan
nilai-nilai yang mengedepankan akal
saja, kecuali jika Allah SWT berkehendak memberi hidayah padanya.
Guru saya
pernah menjelaskan bahwa akal/logika jika digunakan secara tepat, maka
bisa meluruskan pikiran seseorang untuk
mencapai kebenaran. Peran pendidik termasuk orang tua dalam hal ini sangat
besar dalam menjelaskan dan memberi contoh keterbatasan akal dan panca indera
manusia dalam memahami sesuatu, baik ditinjau dari segi pengetahuan sains
maupun dari sudut pandang agama. Penanaman nilai-nilai keimanan juga harus
dilatih sejak dini sehingga anak memiliki kesadaran atas keterbatasan dirinya
sebagai hamba Allah, sehingga memudahkannya untuk mendahulukan kepatuhan dan
keikhlasan dalam menjalankan perintahNya. Kecerdasan yang tunduk pada keimanan
semacam inilah yang bisa membawa ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
Iman bukanlah sekedar dari sikap menerima
dan setuju, tetapi lebih kepada cinta yang kuat yang terhubung erat dengan
kepatuhan. Ketika iman didahulukan, tak akan ada bantahan dan alasan untuk
menghindar dari perintah Allah SWT. Iman
yang stabil akan melembutkan hati, sedangkan iman yang labil akan mendorong
logika dan hawa nafsu. Wallahualam.
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras
seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh
ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang
terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang
meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah
dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. 2 : 74)
➿➿➿➿➿➿➿
TANYA JAWAB
Tanya: Assalamualaikum Ustadzah. Bila sudah terjadi seperti itu, apakah lantas
ibunya tetap menanggung dosa anaknya yang tidak beriman itu, walaupun sudah
berupaya tetapi terlambat?
Jawab: و عليكم السلام
ورحمة الله
Mohon maaf bunda, saya tidak tahu urusan
dosa. Tapi setahu saya, kita akan diminta pertanggungjawaban atas amanah anak
pada kita. Tapi setelah baligh setahu saya anak menanggung dosanya sendiri. Kita
sebagai orang tua hanya bisa istighfar atas kesalahan kita di masa lalu, berdoa
dan berikhtiar menasehati. Hidayah sepenuhnya hanya Allah yang bisa memberi.
Tanya: Tanya ustadzah. Jika seseorang begitu sulit menerima perintah Allah
karena alasan logisnya, maka bagaimana cara meyakinkannya, bahwa itulah
perintah Allah, bahwa itulah teladan Rasulullah?
Jawab: Tugas kita hanya menasehati dengan bijak, memberikan informasi tentang
syariat islam. Hasilnya di luar wewenang kita. Allah melihat usaha kita untuk
amar maruf dan melihat kesungguhan kita mengajak pada jalan kebenaran
Tanya: Ustadzah lara jazakumullah ustadzah, tulisan-tulisan diblog njenengan
jadi penambah cara mendidik kidz jaman now. Ijin bertanya, jika hatinya keras,
meski diingatkan tidak dihiraukan dan sekarang diingatkan langsung sama Allah,
apakah boleh kita jugde dia di adzab sama Allah?? afwan yang fakir ini ustadzah
Jawab: Mashaa Allah semoga ada hikmah yang bisa diambil. Setahu saya kita tidak
perlu menjudge apakah musibah itu karena azab atau ujian kenaikan iman atau
jalan menuju hidayah. Ketika seseorang sedang kena musibah kita ingatkan mereka
untuk mengucapkan innalillahi. Dan beristighfar.
Tanya: ustadzah mau bertanya, jika sudah seperti di atas keras hati, semua
menggunakan logika tidak mau merujuk pada Qur'an dan Hadist, yang menjadi trend
adalah dunia barat seperti halnya dengan generasi sekarang ini, dan tidak
sedikit orang tua yang lebih bangga anaknya dapat kuliah di luar negeri dan
pulang membawa faham yang maaf kadang lebih seperti kaum nasrani atau yahudi,
bagaiman sikap kita menyikapi hal hal seperti ini di masyarakat kita yang
kebanyakan banyak yang mengidolakan umat/ manusia pintar dengan ukuran
pemikiran logika dan hasil test IQ??
Jawab: Betul bunda, ini menjadi keprihatinan kita. Saya pribadi saat S2 dan S3
belajar di negara yang berkiblat ke barat. Alhamdulillah kadang kita mendapat
hidayah untuk belajar agama dari perjalanan hidup kita di negara orang yang
banyak tak beragama.
=========================
Kita tutup dengan membacakan hamdalah..
Alhamdulillahirabbil'aalamiin
Doa Kafaratul Majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت
أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu
allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan
memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan
diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
Wassalamu'alaikum warahmatullaahi
wabarakaatuh
================
Website: www.hambaAllah.net
FanPage : Kajian On line-Hamba Allah
FB : Kajian On Line-Hamba Allah
Twitter: @kajianonline_HA
IG: @hambaAllah_official
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment