Kajian Online WA Hamba Allah SWT
Jum'at, 5 Desember 2014/ 12 Safar 1436 H
Nara Sumber : Ustadzah Tribuhawana
Tema : Salimul Aqidah
Rekapan Grup HA 30 oleh: Bd. Saydah
Admin : Bd. Nur Asmi
÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuhu.
السَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ الله
ِ وَبَرَكَاتُ
Materi pagi ini yg akan sy share adalah tentang "Salimul Aqidah"
Aqidah, bagi seseorang, merupakan pondasi awal dalam menjalankan
kehidupan. Ia adalah konsepsi dan paradigma yang ada di dalam hati yang
menuntunnya dalam menentukan arah dan berjalan untuk menuju paradigma yang
diyakininya itu.
“Sesungguhnya,” kata Syaikh Sayyid Sabiq, “Aqidah ini merupakan jiwa
bagi setiap individu. Dengan aqidah ini, ia bisa hidup dengan baik. Bila
kehilangan aqidah ini, maka ruhaninya mengalami kematian. Aqidah adalah cahaya
yang apabila manusia tidak mendapatkannya, maka ia akan tersesat dalam berbagai
kancah kehidupan, dan mengalami kebingungan di berbagai lembah kesesatan.”[1]
Pengertian aqidah meliputi enam perkara: ma’rifat (mengenal) kepada
Allah, ma’rifat kepada nama-nama Allah, ma’rifat kepada dalil-dalil wujud
Allah, dan fenomena-fenomena keagungan-Nya di alam semesta ini; ma’rifat kepada
alam yang ada di balik alam semesta ini atau alam ghaib, demikian pula
kekuatan-kekuatan yang ada di dalamnya yang tercermin pada para malaikat,
iblis, syaitan, jin dan ruh; ma’rifat kepada kitab-kitab Allah yang diturunkan
untuk menentukan rambu-rambu kebenaran dan kebathilan, kebaikan dan kejahatan,
halal dan haram, yang baik dan yang buruk; ma’rifat kepada nabi dan rasul yang
telah dipilih untuk menjadi petunjuk jalan dan pembimbing makhluk untuk
mencapai kebenaran; ma’rifat kepada hari akhir dan hal-hal yang ada di dalamnya
seperti surga dan neraka; serta ma’rifat kepada qadar yang di atas landasannya
sistem alam semesta ini berjalan, baik dalam penciptaannya ataupun
pengaturannya.[2]
Syaikh Mahmud Syaltut membagi unsur-unsur pokok keimanan ke dalam empat
bagian. Pertama, adanya Allah berikut keesaan-Nya, serta bersendiri-Nya dalam
penciptaan, pengaturan keleluasaan bertindak-Nya terhadap alam, serta suci-Nya
dari persekutuan di dalam keagungan dan kekuatan. Kedua, bahwasanya Allah
memilih dari hamba-hamba-Nya orang yang dikehendaki dan diberikan kepada orang
tersebut tugas kerasulan, sehingga iman kepada rasul Allah menjadi wajib.
Ketiga, percaya kepada malaikat, duta wahyu di antara Allah dengan para
rasul-Nya dan kepada kitab-kitab yang diturunkan-Nya sebagai risalah Allah
kepada makhluk-makhluk-Nya. Keempat, percaya kepada apa yang dikandung oleh
risalah-risalah tersebut yang berupa persoalan hari berbangkit dan hari
pembalasan, pokok kewajiban agama, dan peraturan-peraturan yang diridhai Allah
untuk hamba-hamba-Nya.[3]
Untuk menancapkan aqidah Islam secara kuat dan sempurna, seseorang
harus memulainya dengan meyakini eksistensi atau keberadaan Allah. Hal ini bisa
dilakukan dengan memperhatikan berbagai fenomena yang ada di alam semesta ini.
Setelah meyakini keberadaan Allah, ia harus mengetahui dan memahami
sifat-sifat Allah melalui apa yang telah disebutkan dalam Al Qur’an dan As
Sunnah. Langkah selanjutnya yakni mentauhidkan Allah, menjadikan Allah sebagai
satu-satunya sesembahan yang pantas.
“Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.
Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi
peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.’” (Yunus: 101)
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah mempunyai
sembilan puluh sembilan nama. Barangsiapa memeliharanya (dengan penuh
kesadaran, menghadirkan maknanya, dapat merasakan berbagai pengaruh-Nya dalam
jiwanya), maka ia masuk surga. Dan sesungguhnya, Allah itu ganjil dan menyukai
yang ganjil.” (HR Bukhari, Muslim, dan At Tirmidzi)
Imam Hasan Al Banna berkata, “Ma’rifah kepada Allah dengan sikap tauhid
dan penyucian (dzat)-Nya adalah setinggi-tinggi tingkatan aqidah Islam.
Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan hadits-hadits shahih tentangnya, serta
berbagai keterangan mutasyabihat yang berhubungan dengannya, kita cukup
mengimaninya sebagaimana adanya tanpa ta’wil dan ta’thil, serta tidak
memperuncing perbedaan yang terjadi di antara para ulama. Kita mencukupkan diri
dengan keterangan yang ada, sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya
mencukupkan diri dengannya.”[4]
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’” (Ali lmran:
7)
Selanjutnya, ia harus mengenal manusia, hubungannya dengan alam,
hubungannya dengan Allah, kemerdekaan dan tanggungjawabnya.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ‘Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman,
‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’” (Al Baqarah: 30)
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku
tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.” (Adz Dzariyat: 56-57)
Kemudian, ia harus mengenal kenabian yang mencakup manusia dan hakikat
kehidupan, tabiat kenabian, kerasulan Muhammad, keimanan terhadapnya, serta
hasil dari keimanan tersebut.
“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk
menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat.
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dan Kami telah
menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah
Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk,
dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf,
Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik. dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang
yang shaleh. dan Ismail, Alyasa’, Yunus dan Luth. Masing-masing Kami lebihkan
derajatnya di atas umat (di masanya).” (Al An’am: 83-86)
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di
antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al Ahzab: 40)
Kemudian mengenal hal-hal ghaib serta makhluk-makhluk yang termasuk di
dalam alam itu, yakni malaikat, iblis, dan jin.
Rasulullah bersabda, “Malaikat diciptakan dari cahaya, jin-jin
diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah
diterangkan kepadamu.” (HR Muslim)
“Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada
umat-umat sebelum kamu, tetapi syaitan menjadikan umat-umat itu memandang baik
perbuatan mereka (yang buruk), maka syaitan menjadi pemimpin mereka di hari itu
dan bagi mereka azab yang sangat pedih.” (An Nahl: 63)
Ustadz Sayyid Quthb berkata, “Adalah suatu penghormatan
terhadap akal kemanusiaan sendiri, apabila kita
menaruh terhadap yang ghaib dalam kehidupan
kita, bukan untuk memasrahkan kehidupan kita kepadanya
seperti halnya orang-orang yang hanyut terbawa oleh khayal dan khurafat,
namun supaya kita senantiasa merasakan keagungan alam ini sesuai dengan
hakikatnya, dan supaya kita mengenali kedudukan diri kita dalam alam raya ini.
Hal itu tentu akan membuka kesempatan kepada
semangat kemanusiaan mengungkapkan banyak kekuatan
untuk diketahui, untuk diresapi dengan
berbagai jaringan yang mengikat kita dengan alam raya itu dari
kedalaman batin kita, hal mana tentu lebih besar dan lebih dalam
dari semua yang kita capai dengan akal kita hingga hari ini.
Buktinya kita setiap hari masih saja menemukan hal-hal baru yang semula ghaib
bagi kita, dan kita hingga saat ini masih hidup.”[5]
Selanjutnya, ia mesti meyakini, memahami, dan mengamalkan kitab-kitab
Allah yang diturunkan kepada manusia.
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu,” (Al Ma’idah: 28)
Selanjutnya, ia harus mengetahui bahwa segala sesuatu akan dimintai
pertanggungjawabannya di hari akhir, hari kiamat.
“Telah dekat terjadinya hari kiamat. Tidak ada yang akan menyatakan
terjadinya hari itu selain Allah.” (An Najm: 57-58)
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang, yang menguasai di Hari Pembalasan.” (Al Fatihah: 1-4)
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shalih, mereka akan
menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al Baqarah: 62)
Selanjutnya, ia harus memahami bahwa alam semesta berjalan dalam sistem
teratur yang telah ditetapkan oleh Allah.
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa
yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri,” (Al Hadid: 22-23)
Ia juga harus mengetahui karakteristik aqidah Islam dan pengaruh
keimanan dalam kehidupan masyarakat. Syaikh Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa buah
keimanan adalah memerdekakan jiwa dari kekuasaan orang lain, membangkitkan
keberanian di dalam jiwa dan keinginan untuk terus maju, menganggap enteng
kematian dan menggandrungi mati syahid demi membela kebenaran, menetapkan
keyakinan bahwa Allah-lah yang memberi rezeki, dan bahwa rezeki tidak dapat
dipercepat karena kerakusan orang yang rakus, dan tidak dapat pula ditolak
kebencian dari orang yang benci, rasa tenang dan tenteram, meningkatkan
kekuatan maknawiyah manusia dan menghubungkan dirinya dengan contoh tauladan
tertinggi, serta memperoleh kehidupan yang lebih baik.[6]
Seorang yang membangun aqidah Islam harus menyadari bahwa Islam adalah
sistem hidup yang mengatur seluruh sendi kehidupan.
“Islam,” kata Imam Hasan Al Banna, “Adalah sistem yang menyeluruh, yang
menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah
dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan
undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan
kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana juga ia adalah
aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih.”[7]
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al Baqarah: 208)
Ia juga harus memahami hal-hal yang bertentangan dengan tauhid atau
kesempurnaan tauhid, yakni syirik, kufur, dan nifaq. Serta bentuk-bentuknya
seperti sihir, peramalan, pengobatan dengan sihir, perbintangan atau astrologi,
meminta hujan dengan posisi bintang, merasa sial karena sesuatu hal, atau pun
memakai jimat.
Imam Hasan Al Banna berkata, “Jimat, mantera, guna-guna, ramalan,
perdukunan, penyingkapan perkara ghaib, dan semisalnya, adalah kemungkaran yang
harus diperangi, kecuali mantera dari ayat Al Qur’an atau ada riwayat dari
Rasulullah.”[8]
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang
sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah
Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.”
(Az Zumar: 65-66)
“Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah
seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin
kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah
mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.”
(Ibrahim: 18)
Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah bersabda, “Tanda-tanda orang
munafiq itu ada empat: jika berkata ia dusta, jika berjanji, ia tidak
menepatinya, jika bertengkar ia berlaku curang, dan jika berjanji ia
berkhianat.” (HR Bukhari)
Dengan menancapkan aqidah Islam secara mendalam dan kuat di dalam hati
manusia. Ia akan memberikan loyalitasnya hanya kepada Islam dan menolak apa
yang bukan berdasarkan Islam. Dengan demikian, ia akan memberikan komitmennya
terhadap Islam dan kaum muslimin dan bersikap keras terhadap kekafiran.
“Sesungguhnya penolong (wali) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya
mereka tunduk (kepada Allah).” (Al Maidah: 55)
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan
keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang
daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan
merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah.
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”
(Al Mujadilah: 22)
Kemudian, hendaklah seorang muslim tidak mengkafirkan muslim yang lain
tanpa neraca yang tepat. Karena kafir-mengkafirkan ini merupakan perkara yang
berat, yang akan mengantarkan salah satunya ke dalam neraka.
Imam Hasan Al Banna berkata, “Kita tidak mengkafirkan seorang muslim,
yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, mengamalkan kandungannya, dan
menunaikan kewajiban-kewajibannya, baik karena lontaran pendapat maupun karena
kemaksiatannya, kecuali jika ia mengatakan kata-kata kufur, mengingkari sesuatu
yang telah diakui sebagai bagian penting dari agama, mendustakan secara
terang-terangan Al-Qur’an, menafsirkannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan
kaidah bahasa Arab, atau berbuat sesuatu yang tidak mungkin diinterpretasikan
kecuali dengan tindakan kufur.”[9]
Untuk mengokohkan pemahaman dan keyakinan tentang aqidah Islam, Ustadz
Mahmud Muhammad Al Juhari merekomendasikan beberapa buku kontemporer yang
mendukung pengokohan aqidah ini.
→→→→→→→→→→→
Pertanyaan kajiaan
1.Afwan ustadz Yg ingin sy tykn nipaq itu apa mungkin seklian dgn
contohx krn klu ttg syirik n kufur sdh sering ana dengar,
Nifaq itu adalah sifat dr orang munafik
Kalo contoh nifaq banyak sekali
bunda
Diselaraskan dg ciri2 org
munafik dlm artikel diatas bunda
Salah satunya contoh org munafik adalah apabila diberi amanah dia
berkhianat
2.Bunda Icha : Jdi apabilah
memiliki salah satu dri k3 ciri org munafik itu yaa ustadz?
Atau dgn kt lain munafik itu
sama aja dgn nifak afwan tlg sy dkoreksi klu salah hehe.
3.Bunda Erty
Ustdz pa bila ada orng yg munafik,& orng trsbt sdh menyadari bwa
dri'a trmsuk orang munafik,,trs orng trsbt ingin berubah & bertaubat... Pa
yg sebaik'a orang itu lakukan ? Jzkillah ُ
4.Bunda mirna
Ustadzah saya pny teman..dia seorang muslim sewaktu kecil sering main
dirumah sahabat ayahnya yg beragama nasrani, bahkan sdh spt org tua kedua bagi
dia. Sewaktu kecil pernah dbwa ke gereja pernah juga ikutan lomba" pd saat
paskah atau natal..sampai akhirnya sahabat ayahnya pindah rumah..yg jd
pertanyaan dia sering mengutarakan pertanyan kpda sy, kamu suka sholat pernah
berfikir ga gmn stlh meninggal nanti ternyta agama kamu itu salah? Karena
katanya dy suka punya pikiran spt itu. Nasihat apa yg baik untuk teman saya
ustadzah? 😘
➖➖➖➖➖➖
Jawab:
Bunda mirna bisa membaca dan m elihat Quran
Surat 2:136 , 3:19&82 , 4:125 & 5:3
5.Bunda icha
Sy tinggal diperumhn, kmi setiap bulanx adakn arisan blok, anggota
arisan kbetulan ada teman lain agama, pd saat arisan drmh teman yg lain agama
ini, aku lebih sering memilih utk tdk dtg atau klu pun terpaksa hrus dtg,aku
usahakn dlm keadaan berpuasa, krn sy ragu dgn mkn yg dsajikn, bgmn dgn sikap sy
ini?
➖➖➖➖➖
Jawab:
sdh tepat yg bunda lakukan
Dg alasan lg berpuasa kita tdk akan menyinggung tuan rumah
Kita tutup dengan membaca
Doa Kafaratul Majelis :
سبحانك اللهم
وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka
wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada
sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan
bertaubat kepada-Mu.”.
السَّلاَمُ عَلَيْكُم وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT



0 komentar:
Post a Comment