Tahu tidak, biang keladi kemacetan di kota-kota besar di tanah air adalah riba. Kenapa bisa? Bisa saja. Karena sekarang kredit leasing semakin merajalela. Jika kredit semakin dipermudah, berarti kendaraan bermotor semakin banyak di jalan-jalan. Kita lihat sendiri bagaimana jumlah motor dan mobil yang semakin meningkat belakangan ini. Bisa terjadi kan peningkatan yang sangat dahsyat dikarenakan kredit semakin dipermudah.
Coba bayangkan dengan uang satu juta, seseorang sudah bisa bawa pulang motor. Dengan DP 25 juta-an, mobil Avanza sudah bisa di tangan. Itu semua yang mengakibatkan kemacetan. Jadi biang keladi sebenarnya adalah pada kredit leasing. Leasing saat inilah yang tak lepas dari riba.
** Leasing yang Tak Lepas dari Riba
Pembelian mobil atau motor atau rumah melalui jasa leasing atau jasa bank, mungkin jika kita saksikan seperti terjadi jual beli. Padahal kenyataannya yang terjadi adalah utang piutang. Buktinya apa? Yang sebenarnya terjadi adalah customer memesan kendaraan pada dealer dengan cara pembayaran tertunda. Karena pembayaran demikian, maka pihak dealer yang tidak ingin uang berputar lama bekerja sama dengan pihak leasing. Pembayaran secara cash dilakukan oleh pihak leasing pada dealer. Selanjutnya pelunasan pembayaran dari customer diteruskan pada pihak leasing. Hakekat transaksi yang terjadi antara leasing dan konsumen bukanlah jual beli. Namun pihak leasing mengutangkan lantas mengambil untung dari utang piutang tersebut. Padahal para ulama telah sepakati bahwa setiap utang piutang yang didalamnya ditarik keuntungan atau manfaat, maka itu adalah riba. Misalnya ingin mendapatkan motor vario 17 juta rupiah secara cash. Namun cicilan lewat leasing atau bank menjadi 22 juta rupiah. Hakekat yang terjadi adalah 17 juta rupiah dipinjamkan dari pihak leasing atau bank dan 22 juta rupiah itulah total cicilannya. Keuntungan tersebutlah yg disebut riba. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
ﻭَﻛُﻞُّ ﻗَﺮْﺽٍ ﺷَﺮَﻁَ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﻥْ ﻳَﺰِﻳﺪَﻩُ ، ﻓَﻬُﻮَ ﺣَﺮَﺍﻡٌ ، ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺧِﻠَﺎﻑٍ
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6:436)
** Kenapa tidak bisa dikatakan jual beli?
Karena pihak leasing tidak memiliki kendaraan. Yang memiliki barang adalah pihak dealer yang langsung dijual pada pihak konsumen. Kalau dikatakan pihak leasing yang menjual tidaklah benar karena kendaraan tersebut tidak berpindah tangan pada pihak leasing. Pihak leasing pun bisa melanggar hadits berikut. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallaam bersabda :
ﻣَﻦِ ﺍﺑْﺘَﺎﻉَ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎ ﻓَﻼَ ﻳَﺒِﻌْﻪُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺴْﺘَﻮْﻓِﻴَﻪُ
“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.”
Ibnu ‘Abbas mengatakan :
“Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no.2136 dan Muslim no. 1525)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata :
ﻛُﻨَّﺎ ﻓِﻰ ﺯَﻣَﺎﻥِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻧَﺒْﺘَﺎﻉُ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡَ ﻓَﻴَﺒْﻌَﺚُ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﻣَﻦْ ﻳَﺄْﻣُﺮُﻧَﺎ ﺑِﺎﻧْﺘِﻘَﺎﻟِﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﻜَﺎﻥِ ﺍﻟَّﺬِﻯ ﺍﺑْﺘَﻌْﻨَﺎﻩُ ﻓِﻴﻪِ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﻜَﺎﻥٍ ﺳِﻮَﺍﻩُ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻧَﺒِﻴﻌَﻪُ .
“Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallaam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR.Muslim no. 1527)
** Riba Hanya Mengundang Murka Allah
Bukan hanya dampak dari menyebarnya kredit leasing yang dihukumi riba ini pada kemacetan jalan. Namun lebih daripada itu, tersebarnya riba semakin mengundang murka Allah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallaam bersabda :
ﺇِﺫَﺍ ﻇَﻬَﺮَ ﺍﻟﺰِّﻧﺎَ ﻭَﺍﻟﺮِّﺑَﺎ ﻓِﻲ ﻗَﺮْﻳَﺔٍ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺣَﻠُّﻮْﺍ ﺑِﺄَﻧْﻔُﺴِﻬِﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏَ ﺍﻟﻠﻪِ
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi)
Semoga Allah senantiasa mengaruniakan kita dengan yang halal dan menjauhkan kita dari yang haram.
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻛْﻔِﻨِﻰ ﺑِﺤَﻼَﻟِﻚَ ﻋَﻦْ ﺣَﺮَﺍﻣِﻚَ ﻭَﺃَﻏْﻨِﻨِﻰ ﺑِﻔَﻀْﻠِﻚَ ﻋَﻤَّﻦْ ﺳِﻮَﺍﻙَ
Allahumak-finii bi halaalika ‘an haroomik, wa agh-niniy bi fadhlika ‘amman siwaak
[Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dg karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu].
(HR. Tirmidzi no. 3563, hasan kata Syaikh Al Albani)
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Wallaahu waliyyut taufiq.
Semoga Bermanfaat bagi kehidupan kita semua dan dijauhkan dari perkara Syubhat dan Harom.
INGAT.....!!!
SYI'AH BUKAN ISLAM. SEMOGA ALLAH MELAKNATNYA DI DUNIA DAN DI AKHIRAT.
(( AD-DIINU AN-NASHIIHAH ))
TANYA JAWAB
1. Bagaimana dengan asuransi? sekarang banyak sekali, ada juga yang syari'ah. Dan juga bank syaria'h yang pemiliknya non muslim
Jawab
Ansuransi harom dalam islam
2. Jika kita bikin rumah, duitnya pinjam bank gimana ustad? Rumah kan kebutuhan pokok?
Jawab
Pinjam uang di bank adalah harom hukumnya sekalipun untuk berbuat baik seperti sedekah dll
3. Kalo bank syariah boleh ustadz?
Jawab
Bank syariah hanya minjam nama saja tapi tetap riba
>Lo pak , bank syariah kok riba?
Jawab
Iya. Karena hanya minjam nama. Dia tetap melakukan transaksi ribawi
MUDHARABAH BANK SYARIAH, BERBAGI RIBA BERKEDOK SYARIAH.
Dalam praktik produk mudharabah di bank syariah terdapat persyaratan kontroversial, yaitu pihak mudharib (pengelola dana) diharuskan menjamin dana yang diberikan bank dari segala bentuk kerugian. Produk ini dianggap sebagai ijtihad baru dalam mudharabah yang tidak ada sebelumnya. Produk ini diberi nama mudharabah musytarakah.
** Mudharabah Musytarakah adalah gabungan dari dua kata mudharabah dan musytarakah.
Yang dimaksud dengan mudharabah adalah : transaksi penanaman dana oleh pemilik dana (shahibul mal) kepada pengelola (mudharib) untuk melakukan usaha tertentu dg pembagian hasil berdasarkan nisbah yg disepakati oleh kedua pihak, sdgkan kerugian modal hanya ditanggung oleh pemilik dana.
Musytarakah berarti : serikat, gabungan atau perkumpulan. Maka Mudharabah musytarakah hakikatnya mudharabah biasa, yang dimodifikasi untuk dijadikan produk perbankan syariah sebagai ganti dari tabungan/deposito berbunga pada bank konvensional.
Selanjutnya penulis menyebutkan definisi dan ketentuan mudharabah musytarakah yang dinyatakan oleh Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (divisi fikih OKI) dalam keputusan muktamar No. 123 (5/13) 2001.
** Hubungan Antara Mudharabah Musytarakah dan Riba Dayn
Pada dasarnya hukum mudharabah musytarakah adalah mubah (boleh). Akan tetapi setelah mudharabah musytarakah diakui sebagai produk bank syariah, beberapa peneliti ekonomi syariah menambahkan persyaratan bahwa dana yang diserahkan oleh nasabah kepada bank syariah yang dikembangkan dalam akad mudharabah, mendapatkan jaminan dari pihak mudharib (bank sebagai pengelola dana nasabah), sebagaimana halnya yg diterapkan oleh bank konvensional. Bahkan bukan hanya pokok dana tabungan yang dijamin, termasuk juga bunga atau bonusnya. (Dr. Yusuf As-Syubaily, Khadamat Ististmariyyah fil Masharif, jilid I, hal 270. Dr. Iyadh Al-Anzy, Asy-Syuruth At-Ta’widhiyyah, jilid II, hal 761).
Para peneliti tersebut berdalih dg mengqiyaskan mudharabah musytarakah dengan ajir musytarak (orang upahan yang bekerja memberikan jasa untuk orang banyak, seperti penjahit yang menerima jahitan dari banyak orang).
Ajir musytarak berbeda hukumnya dengan ajir khas (orang upahan yang bekerja memberikan jasanya untuk orang tertentu, seperti sopir pribadi). Ajir khas tidak diwajibkan mengganti kerugian pada barang yang digunakannya, jika terjadi kerusakan/lenyap tanpa ada unsur kelalaiannya. Seperti kerusakan mobil ketika kecelakaan lalu-lintas yang terjadi di luar kehendak sopir pribadi. Berbeda halnya dengan Ajir musytarak, dia diharuskan menjamin semua barang para pengguna jasanya dalam kondisi bagaimanapun juga. Kecuali jika terjadi musibah umum, seperti kebakaran yang menimpa toko penjahit akibat jalaran api dari toko yang lain. Ini pendapat dalam mazhab Hanbali. (Al Buhuty, Kasysyaful Qina’, jilid IV, hal 26)
Akan tetapi dalil yang digunakan tidaklah kuat, karena tidak memenuhi persyaratan qiyas. Qiyas semacam ini dinamakan qiyas ma’al fariq (analogi dua kasus yang hakekatnya berbeda), karena ajir musytarak berbeda dengan mudharabah musytarakah. Ajir musytarak mendapat imbalan yg disepakati dari awal, sedangkan mudharabah musytarakah, pengelola mungkin mendapat laba dan mungkin tidak.
Dengan demikian, persyaratan bahwa mudharib wajib menjamin dana nasabah pada kontrak mudharabah musytarakah ditentang keras oleh para ulama sehingga Majma’ Al Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) mengeluarkan keputusan dalam muktamar ke XIII di Kuwait, No. 123 (5/3) 2001, yang menyatakan :
“Mudharib (pengelola) adalah pihak yang menerima amanah, ia tidak menjamin dana bila terjadi kerugian, atau dana hilang, kecuali ia melalaikan amanah, atau ia melanggar peraturan syariah atau peraturan investasi. Hukum ini berlaku untuk mudharabah fardiyyah (perorangan) ataupun mudharabah musytarakah. Dan hukum ini tidak berubah dengan dalih mengqiyaskannya dengan ajir musytarak“. (Journal Islamic Fiqh Council, edisi XIII, jilid III, hal 291)
Dalil para ulama yang mengharamkan persyaratan; mudharib wajib menjamin dana pihak investor dari kerugian adalah sebagai berikut:
1. Ijma’, kesepakatan para ulama sejak abad pertama hingga sekarang, bahwa jika disyaratkan agar pihak pengelola menjamin modal dari kerugian maka persyaratan ini batal dan tidak berlaku.
Ibnu Qudamah (ulama mazhab Hanbali, wafat: 682H) mengatakan, “Bila disyaratkan bahwa mudharib (pengelola) menjamin dana dari kerugian, maka persyaratannya batal, tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam hal ini“. (Al Mughni, jilid VII, hal 176)
2. Perbedaan yang mendasar antara mudharabah dan qardh (kredit) adalah dana yang diterima oleh mudharib tidak dijamin dari kerugian, sedangkan dana yang diterima dari kreditur wajib dijamin oleh pihak debitur.
Jika mudharib disyaratkan menjamin dana yang diterimanya dari kerugian, akad mudharabah berubah menjadi qardh. Dan ketika pihak pemberi dana menerima bagi hasil sesungguhnya ia menerima bunga (riba). Karena akad mudharabahnya telah berubah menjadi akad pinjaman berbunga tidak tetap. Hal ini disepakati keharamannya oleh para ulama karena termasuk riba dayn. (Dr. Iyadh Al Anzy, Asy Syuruth At Ta’widhiyyah, jilid II, hal 762 ).
Wallaahu a'lam. Demikian... semoga bermanfaat bagi kita semua.
(( AD-DIINU AN-NASHIIHAH ))
MATERI TAMBAHAN
HUKUM ANSURANSI
Seakan-akan masa depan seseorang selalu suram. Akan terjadi kecelakaan, rumah tidak aman dan bisa saja terbakar atau terjadi pencurian, perusahaan pun tidak bisa dijamin berjalan terus, pendidikan anak bisa jadi tiba-tiba membutuhkan biaya besar di tahun-tahun mendatang. Itulah gambaran yang digembosi pihak asuransi. Yang digambarkan adalah masa depan yang selalu suram. Tidak ada rasa tawakkal dan tidak percaya akan janji Allah yang akan selalu memberi pertolongan dan kemudahan. Kenapa asuransi yang selalu dijadikan solusi untuk masa depan? Ulasan sederhana kali ini akan mengulas mengenai asuransi dan bagaimanakah seharusnya kita bersikap.
** Mengenal Asuransi
Asuransi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa, properti, kesehatan dan lain sebagainya mendapatkan penggantian dari kejadian-kejadian yang tidak dapat diduga yang dapat terjadi seperti kematian, kehilangan, kerusakan atau sakit, di mana melibatkan pembayaran premi secara teratur dalam jangka waktu tertentu sebagai ganti polis yang menjamin perlindungan tersebut. (Wikipedia)
** Berbagai Alasan Terlarangnya Asuransi
Berbagai jenis asuransi asalnya haram baik asuransi jiwa, asuransi barang, asuransi dagang, asuransi mobil, dan asuransi kecelakaan. Secara ringkas, asuransi menjadi bermasalah karena di dalamnya terdapat riba, qimar (unsur judi), dan ghoror (ketidak jelasan atau spekulasi tinggi).
Berikut adalah rincian mengapa asuransi menjadi terlarang :
1. Akad yang terjadi dalam asuransi adalah akad untuk mencari keuntungan (mu’awadhot). Jika kita tinjau lebih mendalam, akad asuransi sendiri mengandung ghoror (unsur ketidak jelasan). Ketidak jelasan pertama dari kapan waktu nasahab akan menerima timbal balik berupa klaim. Tidak setiap orang yang menjadi nasabah bisa mendapatkan klaim. Ketika ia mendapatkan accident atau resiko, baru ia bisa meminta klaim. Padahal accident di sini bersifat tak tentu, tidak ada yang bisa mengetahuinya. Boleh jadi seseorang mendapatkan accident setiap tahunnya, boleh jadi selama bertahun-tahun ia tidak mendapatkan accident. Ini sisi ghoror pada waktu.
Sisi ghoror lainnya adalah dari sisi besaran klaim sebagai timbal balik yang akan diperoleh. Tidak diketahui pula besaran klaim tersebut. Padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual beli yang mengandung ghoror atau spekulasi tinggi sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).
2. Dari sisi lain, asuransi mengandung qimar atau unsur judi. Bisa saja nasabah tidak mendapatkan accident atau bisa pula terjadi sekali, dan seterusnya. Di sini berarti ada spekulasi yang besar. Pihak pemberi asuransi bisa jadi untung karena tidak mengeluarkan ganti rugi apa-apa. Suatu waktu pihak asuransi bisa rugi besar karena banyak yang mendapatkan musibah atau accident. Dari sisi nasabah sendiri, ia bisa jadi tidak mendapatkan klaim apa-apa karena tidak pernah sekali pun mengalami accident atau mendapatkan resiko. Bahkan ada nasabah yang baru membayar premi beberapa kali, namun ia berhak mendapatkan klaimnya secara utuh, atau sebaliknya. Inilah judi yang mengandung spekulasi tinggi. Padahal Allah jelas-jelas telah melarang judi berdasarkan keumuman ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maysir (berjudi), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al Maidah: 90). Di antara bentuk maysir adalah judi.
3. Asuransi mengandung unsur riba fadhel (riba perniagaan karena adanya sesuatu yang berlebih) dan riba nasi’ah (riba krn penundaan) scara bersamaan. Bila perusahaan asuransi membayar ke nasabahnya atau ke ahli warisnya uang klaim yang disepakati, dalam jumlah lebih besar dari nominal premi yang ia terima, maka itu adalah riba fadhel. Adapun bila perusahaan membayar klaim sebesar premi yg ia terima namun ada penundaan, maka itu adalah riba nasi’ah (penundaan). Dalam hal ini nasabah seolah-olah memberi pinjaman pada pihak asuransi. Tidak diragukan kedua riba tersebut haram menurut dalil dan ijma’ (kesepakatan ulama).
4. Asuransi termasuk bentuk judi dengan taruhan yang terlarang. Judi kita ketahui terdapat taruhan, maka ini sama halnya dengan premi yang ditanam. Premi di sini sama dengan taruhan dalam judi. Namun yang mendapatkan klaim atau timbal balik tidak setiap orang, ada yang mendapatkan, ada yang tidak sama sekali. Bentuk seperti ini diharamkan karena bentuk judi yang terdapat taruhan hanya dibolehkan pada tiga permainan sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ
“Tidak ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan pacuan kuda” (HR. Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no. 2574, Ibnu Majah no. 2878. Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani).
Para ulama memisalkan tiga permainan di atas dengan segala hal yang menolong dalam perjuangan Islam, seperti lomba untuk menghafal Al Qur’an dan lomba menghafal hadits. Sedangkan asuransi tidak termasuk dalam hal ini.
5. Di dalam asuransi terdapat bentuk memakan harta orang lain dengan jalan yang batil. Pihak asuransi mengambil harta namun tidak selalu memberikan timbal balik. Padahal dalam akad mu’awadhot (yang ada syarat mendapatkan keuntungan) harus ada timbal balik. Jika tidak, maka termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku saling ridho di antara kamu” (QS. An Nisa’: 29).
Tentu setiap orang tidak ridho jika telah memberikan uang, namun tidak mendapatkan timbal balik atau keuntungan.
6. Di dalam asuransi ada bentuk pemaksaan tanpa ada sebab yang syar’i. Seakan-akan nasabah itu memaksa accident itu terjadi. Lalu nasabah mengklaim pada pihak asuransi untuk memberikan ganti rugi padahal penyebab accident bukan dari mereka. Pemaksaan seperti ini jelas haramnya.
[Dikembangkan dari penjelasan Majlis Majma Fikhi di Makkah Al Mukarromah, KSA]
“Masa Depan Selalu Suram” Ganti dengan “Tawakkal”
Dalam rangka promosi, yang ditanam di benak kita oleh pihak asuransi adalah masa depan yang selalu suram. “Engkau bisa saja mendapatkan kecelakaan”, “Pendidikan anak bisa saja membengkak dan kita tidak ada persiapan”, “Kita bisa saja butuh pengobatan yang tiba-tiba dengan biaya yang besar”. Itu slogan-slogan demi menarik kita untuk menjadi nasabah di perusahaan asuransi. Tidak ada ajaran bertawakkal dengan benar. Padahal tawakkal adalah jalan keluar sebenarnya dari segala kesulitan dan kekhawatiran masa depan yang suram. Karena Allah Ta’ala sendiri yang menjanjikan,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. Ath Tholaq: 2-3).
Tawakkal adalah dengan menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala. Namun bukan cukup itu saja, dalam tawakkal juga seseorang mengambil sebab atau melakukan usaha. Tentu saja, sebab yang diambil adalah usaha yang disetujui oleh syari’at. Dan asuransi sudah diterangkan adalah sebab yang haram, tidak boleh seorang muslim menempuh jalan tersebut. Untuk membiayai anak sekolah, bisa dengan menabung. Untuk pengobatan yang mendadak tidak selamanya dengan solusi asuransi kesehatan. Dengan menjaga diri agar selalu fit, juga persiapan keuangan untuk menjaga kondisi kecelakaan tak tentu, itu bisa sebagai solusi dan preventif yang halal. Begitu pula dalam hal kecelakaan pada kendaraan, kita mesti berhati-hati dalam mengemudi dan hindari kebut-kebutan, itu kuncinya.
Yang kami saksikan sendiri betapa banyak kecelakaan terjadi di Saudi Arabia dikarenakan banyak yang sudah mengansuransikan kendaraannya. Jadi, dengan alasan “kan, ada asuransi”, itu jadi di antara sebab di mana mereka asal-asalan dalam berkendaraan. Jika mobil rusak, sudah ada ganti ruginya. Oleh karenanya, sebab kecelakaan meningkat bisa jadi pula karena janji manis dari asuransi.
Ingatlah setiap rizki tidak mungkin akan luput dari kita jika memang itu sudah Allah takdirkan. Kenapa selalu terbenak dalam pikiran dengan masa depan yang suram? Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ
“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, krn sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani).
** Penutup
Dari penjelasan di atas tentu saja kita dapat menyimpulkan haramnya asuransi, apa pun jenisnya jika terdapat penyimpangan-penyimpangan di atas meskipun mengatasnamakan “asuransi syari’ah” sekali pun. Yang kita lihat adalah hakekatnya dan bukan sekedar nama dan slogan. Seorang muslim jangan tertipu dengan embel syar’i belaka. Betapa banyak orang memakai slogan “syar’i”, namun nyatanya hanya sekedar bualan.
Nasehat kami, seorang muslim tidak perlu mengajukan premi untuk tujuan asuransi tersebut. Klaim yang diperoleh pun jelas tidak halal dan tidak boleh dimanfaatkan. Kecuali jika dalam keadaan terpaksa mendapatkannya dan sudah terikat dalam kontrak kerja, maka hanya boleh memanfaatkan sebesar premi yang disetorkan semacam dalam asuransi kesehatan dan tidak boleh lebih dari itu. Jika seorang muslim sudah terlanjur terjerumus, berusahalah meninggalkannya, perbanyaklah istighfar dan taubat serta perbanyak amalan kebaikan. Jika uang yang ditanam bisa ditarik, itu pun lebih ahsan (baik).
Catatan: Asuransi yang kami bahas di atas adalah asuransi yang bermasalah karena terdapat pelanggaran sebagaimana yang telah disebutkan. Ada asuransi yang disebut dengan asuransi ta’awuni yang di dalamnya hanyalah tabarru’at (akad tolong menolong) dan asuransi seperti ini tidaklah bermasalah. Barangkali perlu ada bahasan khusus untuk mengulas lebih jauh mengenai asuransi tersebut. Semoga Allah mudahkan dan memberikan kelonggaran waktu untuk membahasnya.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
=============
Referensi : Akhthou Sya-i’ah fil Buyu’, Sa’id ‘Abdul ‘Azhim, terbitan Darul Iman.
(( AD-DIINU AN-NASHIIHAH ))
Salah satu kiat untuk terhindar dari riba adalah memperbanyak doa.
Perbanyaklah Do’a
Kiat terakhir yang juga jangan terlupakan adalah memperbanyak do’a. Karena kita bisa terhindar dari yang haram, tentu saja dengan pertolongan Allah termasuk dalam masalah riba. Di antara do’a yang bisa kita panjatkan,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ
“Allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot, wa tarkal munkaroot” (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan berbagai kemungkaran) (HR. Tirmidzi no. 3233, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Juga perbanyaklah do’a agar bisa terbebas dari utang,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ
“Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom” (Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari dosa dan terlilit utang).
Dalam lanjutan hadits tersebut disebutkan bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa beliau banyak meminta perlindungan dari utang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ، وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ
“Seseorang yang terlilit utang biasa akan sering berdusta jika berucap dan ketika berjanji sering diingkari” (HR. Bukhari no. 832 dan Muslim no. 589).
Ya Allah, berikanlah kepada kami sifat qona’ah, dijauhkan dari yang haram, serta dijauhkan dari riba dan debu-debunya
Doa penutup majelis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ ٭
Artinya:
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Wassalamualaikum wr.wb
--------------------------------------------------
Hari / Tanggal : Selasa, 03 November 2015
Narasumber : Ustadz Hanif
Tema : Fiqh
Notulen : Ana Trienta
Narasumber : Ustadz Hanif
Tema : Fiqh
Notulen : Ana Trienta
Kajian Online Whatsapp Hamba اَﻟﻠﱣﻪ Ta'ala
Link Bunda
Link Bunda
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment