Kajian
Online WA Hamba الله SWT
Senin,
13 Maret 2017
Rekapan
Grup Nanda 2
Narasumber
: Ustadzah Lilah
Tema : Fiqh
Editor
: Rini Ismayanti
Dzat
yang dengan Kebesaran-Nya, seluruh makhluk menyanjung dan mengagungakan-Nya...
Dzat
yang dengan Keperkasaan-Nya, musuh-musuh dihinakan lagi diadzab-Nya...
Dzat
yang dengan Kasih dan Sayang-Nya, kita semua mampu mengecap manisnya Islam dan
indahanyaa ukhuwah di jalan-Nya, memadukan hati kita dalam kecintaan kepadaNya,
yang mempertemukan kita dalam keta'atan kepadaNya, dan menghimpunkan kita untuk
mengokohkan janji setia dalam membela agamaNya.
AlhamduliLlah...
tsumma AlhamduliLlah...
Shalawat
dan salam semoga tercurah kepada tauladan kita, Muhammad SAW. Yang memberi arah
kepada para generasi penerus yang Rabbaniyyah bagaimana membangakitkan ummat
yang telah mati, memepersatukan bangsa-bangsa yang tercerai berai, membimbing
manusia yang tenggelam dlm lautan syahwat, membangun generasi yang tertidur
lelap dan menuntun manusia yang berada dalam kegelapan menuju kejayaan,
kemuliaan, dan kebahagiaan.
Amma
ba'd...
Ukhti
fillah sekalian. Agar ilmunya barokah, maka alangakah indahanyaa kita awali dengan
lafadz Basmallah
Bismillahirrahmanirrahim...
SHALAT JAMAK
Shalat Jama’
adalah melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu, yakni melakukan shalat
Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu dinamakan Jama’ Taqdim, atau
melakukannya di waktu Ashar dan dinamakan Jama’ Takhir. Dan melaksanakan shalat
Magrib dan shalat Isya’ bersamaan di waktu Magrib atau melaksanakannya di waktu
Isya’. Jadi shalat yang boleh dijama’ adalah semua shalat Fardhu kecuali shalat
Shubuh. Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijama’ dengan
shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.
Sedangkan
shalat Qashar maksudnya meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat.
Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat
Shubuh tidak bisa diqashar.
Shalat jama’
dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Alloh, sebagaimana firman-Nya,
yang artinya: ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa
kamu mengqashar shalatmu, (QS: Annisa: 101), Dan itu merupakan shadaqah
(pemberian) dari Alloh yang disuruh oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk menerimanya.” (HR: Muslim).
Shalat Jama’
lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan
oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat bukan
saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang
sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang muslim
untuk bolak- balik ke masjid. dalam keadaan demikian kita dibolehkan menjama’
shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, bahwasanya Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat
Dhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di Madinah. Imam Muslim
menambahkan, “Bukan karena takut, hujan dan musafir”.
Imam Nawawi
dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini mengatakan,
“Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir
bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang
demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh
Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan
Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin
memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’
shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.
Dari sini para
sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk seseorang
boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan menjama’
shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam
hadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk menjama’, (Al
Albaniy,Irwa’, III/40).
Adapun batas
jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Bahkan
Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat adalah
sebagaimana pendapat Imam Malik, Imam syafii dan mayoritas ulama: bahwa jarak
perjalanan yang boleh diqasar adalah 4 burud atau 88 kilometer. (Bidayatul
mujtahid 1/178)
Seorang
musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia
telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya dan berakhir bila ia
telah sampai kembali di rumahnya (dalam kurun masa tiga hari). Ibnu Munzir
mengatakan, “Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam
musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas menambahkan, Saya shalat
Dhuhur bersama Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah empat rakaat
dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,(HR:
Bukhari Muslim).
Menurut
syafi'iyah seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih dari
empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi kalau waktunya
empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’. Beliau tinggal
selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun
seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan
dia bisa kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya.
Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan oleh
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau
tinggal sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh
hari beliau mengqashar shalatnya (HR: Abu Daud). Ini disebabkan karena
ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami
ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar
shalatnya
Adapun
pendapat yg lain boleh menjama' dan mengqashar bagi musafir selama safarnya
tanpa batasan berapa lama krn ayat dan hadis umum tidak membatasi lamanya
safar... selagi musafir maka bolehlah dia mendapat keringanan utk menjama' dan
mengqashar shalat.
(Fiqhussunah
I/241).
Seorang
musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia
boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam
yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak
mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar
shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam.
Dan bagi
musafir boleh melakukan shalat sunah rawatib dan shalat sunnah yang lain..
TANYA JAWAB
Q : Lebih baik mana sholat di kendaraan atau dijama'? kalau misalnya kita sholat di kendaraan kemudian tiba ditujan apa harus sholat lagi??
A : Kalau jaraknya sudah bisa
dikategorikan musafir, lebih baik ambil rukhshoh untuk menjamak. Jika
memungkinkan turun dari kendaraan dan mampir di masjid, sholat di masjid. Jika
tidak memungkinkan boleh sholat dalam kendaraan. Tidak perlu mengulang kembali
sholat yang sudah dilakukan.
Q : Klo sholat di kereta atau bis
wudhunya pake tayamum? Coz saya pernah dikasih ulasan wudhu pake segelas aqua?
A : Ya mbak....kalau pakai segelas
air mineral bisa, boleh saja.
Q : Klo jama itu harus susah keluar
rumah gak ustazah? misal mau pergi abis juhur diperkirakan sampe magrib, maka
sebelum berangkat di rumah solat juhur nya jama sam asar, itu boleh gak?
A : Ya boleh. Yang gak boleh qoshor masih
di rumah
Q : Ustazah mau tanya kadang orang
suka males solat dengan alesan pakain kotor karena perjalanan ini bagaimana? Jadi
dijama saja
A : Karena jamak adalah keringanan yang
Allah berikan, maka tidak boleh seenaknya. Kecuali jika perjalanan memang sudah
memenuhi jarak musafir, maka tentu boleh
Q : Untuk niatnya bagaimana ustadzah?
A : Niat cukup dalam hati, bahwa kita
akan menjamak sholat Dzuhur dan ashar misalnya
Alhamdulillah,
kajian kita hari ini berjalan dengan lancar. Semoga ilmu yang kita dapatkan
berkah dan bermanfaat. Aamiin....
Segala
yang benar dari Allah semata, mohon maaf atas segala kekurangan. Baikloah
langsung saja kita tutup dengan istighfar masing-masing sebanyak-banyakanya dan
do'a kafaratul majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma
wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha
Suci Engakau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan
yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat
kepada-Mu.”
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment