Kajian kita hari ini hadits ke-34 dari kitab Bulughulmaram pada bab menghilangkan najis.
34. وَعَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ -فِيْ دَمِ الحَيْضِ يُصِيْبُ الثَّوْبَ- : ((تَحُتُّهُ ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ ، ثُمَّ تُصَلِّيْ فِيْهِ)) .مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
34. Dari Asma’ binti Abu Bakar, bahwasanya Nabi n bersabda -tentang pakaian yang terkena darah haidh-: “Kamu gosok, kemudian kamu cuci dengan air, lalu shalatlah dengan pakaian tersebut.” (Muttafaq ‘alaihi).
Biografi Perawi Hadits.
Beliau adalah Asma bintu Abi Bakar ash-Shidiq yang masuk islam di Makkah setelah keislaman 17 orang. Bersuamikan az-Zubeir bin al-‘Awaam dan berhijroh dalam keadaan Hamil dan melahirkan Abdullah bin az-Zubeir di Quba’ Madinah pada tahun pertama Hijriyah. Dia seorang wanita muhajir yang mulia dan tokoh yang besar karena akal dan kemuliaan jiwa serta kemauannya yang kuat. Asma' dilahirkan tahun 27 sebelum Hijrah. Asma' 10 tahun lebih tua daripada saudaranya seayah, Aisyah, Ummul Mu'minin dan dia adalah saudara se- kandung dari Abdullah bin Abu Bakar. Asma bintu ABi Bakar dijuluki dengan Dzaat an=Nithaqain (si empunya dua ikat pinggang), karena dia mengambil ikat pinggangnya, lalu memotongnya menjadi dua. Kemudian, yang satu dia gunakan untuk sufrah (bungkus makanan untuk bekal) Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan yang lain sebagai pembungkus qirbahnya pada waktu malam, ketika Rasulullah dan Abu Bakar Ash- Shiddiq keluar menuju gua.
Imam Ibnu Sa’ad mengisahkan perkataan Asma:
(صنعت سُفْرَةً للنبي صلّى الله عليه وسلّم في بيت أبي بكر حين أراد أن يهاجر إلى المدينة، فلم نجد لسفرته، ولا لسقائه ما نربطهما به فقلت لأبي بكر: والله ما أجد شيئاً أربطه به إلا نطاقي، قال: فشقيه اثنين، فاربطي بواحد منهما السقاء، وبالآخر السفرة، ففعلت، فلذلك سميت ذات النطاقين)
Aku membuat makanan sebagai bekal perjalanan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam di rumah Abu Bakar ketika beliau ingin berhijroh ke kota Madinah. Kami tidak mendapatkan pengikat tempat makanan dan minuman yang digunakan untuk mengikat keduanya. Lalu aku berkata kepada Abu Bakar: Demi Allah ! aku tidak menemukan sesuatu yang dapat digunakan untuk mengikatnya kecuali ikat pinggang kainku ini. Abu Bakar berkata: Robeklah menjadi dua dan ikatlah dengan salah satunya tempat air dan yang lain tempat makanan. Lalu aku mengerjakannya. Oleh karena itulah aku digelari dzatun Nithaqain. (Thabaqat al-Kubro 8/250). Al-Haafizh ibnu Hajar berkata: Sanadnya Shahih.
Asma’ bintu Abu Bakar meriwayatkan hadits dari Nabi shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kedua putranya Abdullah dan Urwah bin az-Zubeir meriwayatkan hadits dari beliau, juga Faathimah bin al-Mundzir bin az-Zubeir dan selain mereka.
Asma bintu Abu Bakar dikaruniai usia yang panjang sehingga hidup hingga kekhilafahan putra beliau ABdulah bin az-Zubeir hingga sang putra terpunuh pada tahun 93 Hijriyah dan meninggal beliau setelahnya. Hisyam bin Urwah mengisahkan dari bapaknya yang menyatakan Asma’ bintu ABi Bakar mencapai usia seratus tahun tanpa ada gigi yang copot dan tidak terkena pikun.
(lihat Al-Isti’ab 12/195, al-Ishaabah 6/83 dan 12/114 dan Tahdzib at-Tahdzib 12/426).
TAKHRIJUL HADITS
SHAHIH. Riwayat Malik (1/60-61), Asy-Syafi’I (1/22), Abu dawud ath-Thayalisi dalam al-Musnad 2/42-43, Abdurrazaq ash-Shan’ani dalam al-Mushannaf no. 1223, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 1/95), Ahmad bin hambal dalam al-Musnad (6/345, 346, 353), al-Bukhari (no. 227, 307), Muslim (1/166), Abu Dawud (no. 361, 362), Tirmidzi (no. 138), Nasa-i (1/155, 195), Ibnu Majah (no. 539) dan Abu ‘Awanah 1/203, ibnu al-Jaarud dalam al-Muntaqa no. 629, ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir 24/108-111, Ibnu Khuzaimah no. 1/139, ibnu Hibaan dalam shahihnya no 1396-1397dan 1398 dan al-baihaaqi dalam Sunan al-Kubro 1/13 dari jalan Hisyam bin ‘Urwah, dari Fatimah binti Mundzir, dari Asma’ binti Abi Bakar (seperti di atas).
Dan dalam lafazh Bukhari di salah satu riwayatnya (no. 307):
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ أَنَّهَا قَالَتْ سَأَلَتِ امْرَأَةٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِحْدَانَا إِذَا أَصَابَ ثَوْبَهَا الدَّمُ مِنَ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ ؟
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أَصَابَ ثَوْبَ إِحْدَاكُنَّ الدَّمُ مِنَ الْحَيْضَةِ فَلْتَقْرُصْهُ ثُمَّ لِتَنْضَحْهُ بِمَاءٍ ثُمَّ لِتُصَلِّي فِيهِ .
Dari Asma’ binti Abi Bakar Ash Shiddiq, ia berkata: Seorang perempuan pernah bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam : “Ya. Rasulullah. Bagaimana pendapatmu, salah seorang dari kami pakaiannya terkena darah haidh, apa yang harus dia lakukan?”
Jawab Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam : “Apabila pakaian salah seorang dari kamu terkena darah haidh, maka hendaklah dia menggosoknya saja (untuk menghilangkan darah haidh yang mengena pakaiannya), kemudian dia mencucinya dengan air, kemudian dia shalat dengan memakai pakaian tersebut.”
وَفِيْ رِوَايَةٍ لَهُ (رقم : 227) وَلِمُسْلِمٍ –وَغَيْرُهُمَا- قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ وَتَنْضَحُهُ وَتُصَلِّيْ فِيْهِ))
Dan dalam riwayat Bukhari yang lain (no. 227) dan Muslim -dan selain keduanya- Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia mengeriknya, kemudian menggosoknya dengan air, lalu mencucinya, kemudian dia shalat dengan memakai pakaian tersebut.”
Penguat Hadits
Dalam bab ini telah diriwayatkan dari jalan beberapa orang sahabat, di antaranya:
1. Hadits Ummu Qais binti Mihshan:
عَنْ عَدِيِّ بْنِ دِينَارٍ قَالَ : سَمِعْتُ أُمَّ قَيْسٍ بِنْتَ مِحْصَنٍ أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ دَمِ الْحَيْضِ يُصِيبُ الثَّوْبَ . قَالَ : ((حُكِّيهِ بِِصلَعٍ وَاغْسِلِيهِ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ )) .
Dari ‘Adi bin Dinar, ia berkata: Aku pernah mendengar Ummu Qais binti Mihshan berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah n tentang darah haidh yang mengena pakaian.”
Beliau menjawab: “Keriklah dengan batu dan cucilah dengan air dan daun bidara.”
Hadits ini diriwayat oleh Abdurrazaq dalam Mushannaf no. 1226, Ahmad (6/ 355, 356), Abu Dawud (no. 363), Nasa-i (154, 155 dan 195, 196), Ibnu Majah (no. 628), , Darimi (I/ 239-240), Ibnu Khuzaimah (no. 277), Ibnu Hibaan 1395, Ibnu al-Mundzir dalam al-Ausaath 2/146) dan al-Baihaqi 2/408. Semuanya dari jalan Sufyan ats-Tsauri dari Tsabit Al Haddad -yaitu Tsabit bin Hurmuz Abu Miqdam- dari ‘Adi bin Dinar (seperti di atas). Kemudian riwayat Sufyan Ats Tsauri ada mutaba’ah-nya, yaitu Israail bin Yunus bin Abi Ishaq dari Tsabit dan seterusnya. Dikeluarkan oleh Ahmad (III/356). Juga ibnu ABi Syaibah dalam Musannafnya 1/91 meriwayatkan dari jalan Hajjaaj dari Tsabit tersebut.
Isnadnya shahih dan rawi-rawinya semuanya tsiqah. Adapun keterangan Al Hafizh Ibnu Hajar tentang Tsabit bin Hurmuz Abu Miqdam Al Haddad (ثابت بن هُرْمثزْ أبو المِقْدَام الحَدَّاد) di kitabnya, Taqribut Tahdzib (no. 832), bahwa dia seorang rawi yang صَدُوْقٌ يَهِم, tidak sampai kepada tsiqah (ثقة), tidaklah tepat. Padahal di kitab Tahdzibut Tahdzib (II/ 16-17), beliau telah menurunkan perkataan para imam, seperti Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, Ali bin Madini, Abu Dawud, Nasa-i, Ya’qub bin Sufyan, Ahmad bin Shalih, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Ibnu Qaththan, semuanya telah mengatakan bahwa Tsabit bin Hurmuz tsiqah. Dan tidak ada yang menurunkannya dari martabat tsiqah, kecuali Abu Hatim yang mengatakan shalih (صَالِحٌ).
Maka terhadap seorang rawi yang telah di-tsiqah-kan oleh sepuluh orang imam, tidak tepat kalau kita katakan صَدُوْقٌ يَهِم yang menunjukkan derajat haditsnya hasan. Karena pada hafalannya terdapat ke-waham-an (keragu-raguan).
Ibnu al-Qathaan dalam kitab Bayaan al-Wahm 5/281 no. 2469 menyatakan: Ini sangat shahih… saya tidak mengetahui dalam sanad ini ‘illah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 1/334 berkata: Sanadnya Hasan.
2. hadits ‘Aisyah ;
قَالَتْ: «كَانَتْ إِحْدَانَا تَحِيضُ، ثُمَّ تَقْتَرِصُ الدَّمَ مِنْ ثَوْبِهَا عِنْدَ طُهْرِهَا، فَتَغْسِلُهُ وَتَنْضَحُ عَلَى سَائِرِهِ، ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ»
Beliau berkata: Salah seorang kami dulu haidh kemudian menggosok darah dari bajunya ketika suci lalu mancucinya dan membilas seluruhnya kemudian sholat dengan memakainya.
Hadits ini di riwayatkan oleh Abdurrazaq 1/320 , al-Bukhori 308, ibnu Majah 630, Abu Dawwud 361, ad-Daarimi 1013 dan 1013 dan selain mereka.
Dalam lafazh Abi Dawud berbunyi:
مَا كَانَ لِإِحْدَانَا إِلَّا ثَوْبٌ وَاحِدٌ تَحِيضُ فِيهِ، فَإِنْ أَصَابَهُ شَيْءٌ مِنْ دَمٍ بَلَّتْهُ بِرِيقِهَا، ثُمَّ قَصَعَتْهُ بِرِيقِهَا»
Salah seorangdari kami tidak memiliki kecuali satu baju yang digunakan pada waktu haidh, apabila terkena darah haidh maka dia membasahinya dengan air kemudian menggosoknya dengan airnya.
Syarah kosa Kata
- (فِيْ دَمِّ الْحَيْضِ) : Haidh adalah darah alami yang biasa datang pada wanita di waktu-waktu yang tertentu dan biasa ketika mancapai usia baligh dan subur.
- (تَحُتُّهُ) : menggosok dan mengupas dengan ujung batu atau kayu. Ada dalam lafazh ibnu Khuzaimah : «فحكيه ثم اقرصيه بالماء» ، وفي لفظ: «فَلْتَحُكَّهُ»
(liat Shahih ibnu Khuzaimah 1/140). Yang dimaksud disini adalah menghilangkan dzat darah tersebut, agar mudah mencucinya dengan air.
- (ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ) : mengerik darah dengan ujung jemari dengan campuran air untuk menghilangkan darah tersebut dari baju.
- (ثُمَّ تَنْضَحُهُ) : mencucinya dengan air. Makna ini jelas dalam hadits ‘Aisyah diatas yang menafsirkan hadits Asma bintu Abi bakar. Kata an-Nadhah dalam bahasa Arab memiliki dua pengertian sebagaimana dijelaskan al-Khathaabi dalam Ma’alim as-Sunan 1/220:
a. Bermakna membasahi (ar-Rasy) seperti dalam hadits mensucikan kencing anak bayi lelali yang terdahulu. Dengan pengertian ini maka bila ada pakaian yang terkena darah haidh, maka dicuci dengan mengeriknya dengan ujung kukunya hingga mengelupas dari baju dan hilang kemudian membasahi dengan jemarinya dan menggosok-gosoknya (mengucek-nguceknya) kemudian membasahinya dengan air dan suci dengan itu. Pendapat inilah yang dikuatkan oleh al-Qurthubi dalam al-Mufhim (2/648-649), beliau berkata: Karena mencuci darah diambil dari kata: mengucek dengan air (), adapaun an-Nadhh disini karean sang wanita merasa ragu masih belum bersih dari bajunya tersebut. (lihat di Fathul al-Baari 1/133).
Pendapat ini dikuatkan dengan riwayat Abu Dawud 1/152 dengan lafazh:
وَ لِتَنْضَحْ مَا لَمْ تَرَ
Membasahinya yang tidak tampak.
b. Bermakna mencucinya. Inilah yang dikuatkan oleh al-Khathaabi dan di dukung oelh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 1/133 dan menjadi sandaran an-Nawawi dalam syarah shohih Muslim (3/199-200). Dasarnya pendapat ini adalah riwayat-riwayat yang jelas menunjukkan pencucian seperti dalam hadits Ummu Qais bin Mihshan dan ‘Aisyah diatas. Inilah yang sejalan dengan asal kewajiban mencuci najis.
Syarah Hadits
Dalam hadits yang mulia ini ada kisah dan pertanyaan, sebagaimana dijelaskan Asma’ bintu ABi Bakar bahwa ada seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah tentang darah haidh yang mengenai pakaian lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengerik atau menyikatnya kemudian dicuci dengan air. Wanita yang bertanya tersebut adalah Asma’ bintu Abu bakar sendiri yang mengisahkan kisah ini, seperti dijelaskan dalam riwayat imam asy-Syafi’I (Bada’I’ al-Minan 1/22) dari Sufyaan bin ‘Uyainah dari Hisyaam dari fathimah dari Asma’ beliau berkata:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم عَنْ دَمِّ الْحَيْضَةِ
Aku bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang darah haidh
Riwayat ini ada pada as-Sunan al-Kubro karya imam al-baihaqi 1/13.
Al-Haafizh ibnu Hajar menyalahkan dalam kitab al-Talkhish (1/35) imam an-Nawawi yang menganggap sanad riwayat ini lemah. Beliau berkata: Ini keliru, yang benar sanadnya benar-benar shahih. Seakan-akan an-Nawawi mengikuti pendapat ibnu Shalaah dalam hal ini. Sejumlah orang yang mensyarah al-Muhadzdzab menganggap salah pernyataan Asma’ sebagai penanya, padahal merekalah yang salah. (lihat juga Fathul Baari 1/133 dan al-badrul; Munir 2/270-272).
Fikih hadits
Dari hadits-hadits yang mulia di atas, dapat kita ambil beberapa hukum yang sangat penting untuk diketahui, di antaranya:
(1) Hukum najisnya darah haidh dan nifas. Dalam masalah ini para ulama telah ijma’ dank arena Rasulullah shalallahu ‘ALaihi wa Sallam memerintahkan untuk mencucinya sebelum digunakan untuk shalat. Ibnu Bathaal berkata: Haditrs Asma’ adalah dalil induk menurut para ulama dalam mencuci najis-najis dari pakaian. (Syarah ibnu Bathaal 1/435-436)
Imam Asy-Syaukani berkata dalam Nail Al-Authar (1/58), “Ketahuilah bahwa darah haid adalah najis berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi.”
(2) Darah haidh, banyak atau sedikit tetap najis.
(3) Dalam membersihkan darah haidh, disukai mempergunakan sesuatu, seperti sabun dan lain-lain. Setelah itu, kalau masih ada bekasnya, tidaklah mengapa.
(4) Kewajiban mencuci pakaian yang terkena darah haidh; hal itu dengan dikerik yang keringnya dengan kuku atau kayu atau batu atau sejenisnya agar hilang dzatnya kemudian di kucek dengan air kemudian mencucinya setelah itu untuk menghilangkan sisa najisnya.
(5) Bolehnya seorang wanita sholat menggunakan pakaian haidhnya apabial telah disucikan, karena adanya lafazh dalam hadits: «ثم تصلي فيه» dan ini menjadi dalil yang kuat sekali tentang kewajiaban mensucikan pakaian untuk shalat.
(6) Kewajiban suci dalam pakaian sholat dan sebagian ulama memasukkannya dalam syarat sah sholat.
(7) Bertanya dari semua yang menyusahkannya termasuk kekhususan manusia baik lelaki maupun wanita.
Masaa’il
Semua darah apakah Najis?
Para ulama sepakat menyatakan darah haidh adalah najis. Adapaun tentang darah selain darah haidh dan nifas, para ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat:
a. Seluruh darah adalah najis. Ini merupakan pendapat mazhab Imam Empat, hanya saja mereka berpendapat bahwa darah yang jumlahnya sedikit bisa dimaafkan, walaupun mereka berbeda pendapat mengenai ukuran sedikit tersebut. Imam asy-Syafii berkata: Dalam hadits Asma ada dalil yang menunjukkan darah haidh adalah najis dan demikian juga seluruh darah selain darah haidh. (al-Umm 1/85). Imam al-Bukhori sendiri member judl babnya dalam kitab al-Wudhu : «باب غسل الدم» (lihat fathul Bari 1/330).
Bahkan sebagian ulama ada yang menukil adanya ijma’ akan najisnya darah yang mengalir, di antaranya: Imam Ahmad -sebagaimana dinukilkan dalam Syarh Al-Umdah oleh Ibnu Taimiah (1/105), beliau berkata:
إنه لم يختلف المسلمون في الدم أي: على أنه نجس
Kaum muslimin tidak berselisih dalam darah itu najis.
Diantara para ulama yang menukilkan kesepakatan dalam hal ini adalah Ibnu Hazm dalam Maratib Al-Ijma’ hal. 19, ibnu Abdilbar dalam al-Istidzkaar (3/204), ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid (1/199), An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (2/511) dan syarah Shahih Muslim 3/204, Al-Qurthubi dalam Tafsirnya (2/222), dan al-“ainii dalam ‘Umdatul Qaari (3/18) serta Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (1/352)
Pendapat ini berargumen dengan firman Allah Ta’ala:
قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
“Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor (rijs).” (QS. Al-An’am 145)
kata Rijsu dalam ayat ini digunakan dalam bahasa Arab untuk sesuatu yang dianggap kotor dan yang dimaksud disini adalah najis. (lihat Tafsir ath-Thabari 12/194).
Juga berdalil dengan hadits Asma’ -radhiallahu anha- dia berkata:
جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
“Seorang perempuan datang menemui Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- seraya berkata, “Pakaian salah seorang dari kami (wanita) terkena darah haid, apa yang harus dia lakukan?” Beliau menjawab, “Keriklah darah itu (terlebih dahulu), kemudian bilaslah dia dengan air, kemudian cucilah ia. Setelah itu (kamu boleh) memakainya untuk shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 330 dan Muslim no. 291)
dan hadits Abdullah bin Umar yang berkata:
أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
“Telah dihalalkan buat kalian dua jenis bangkai dan dua jenis darah: Kedua jenis bangkai adalah bangkai ikan dan bangkai belalang, sedangkan kedua jenis darah adalah hati dan limpa.” (HR. Al-Baihaqi: 1/254)
Hadits ini walaupun mauquf dari Ibnu Umar, akan tetapi mempunyai hukum marfu’, yakni sama saja kalau Nabi shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mengucapkannya. Karena ucapan sahabat, “Dihalalkan untuk kami …,” maksudnya adalah: Yang menghalalkan hal itu adalah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam.
Ash-Shan’ani berkata dalam Subul As-Salam (1/25), “Jika sudah jelas hadits ini mauquf maka ketahuilah bahwa hukumnya adalah marfu’, karena ucapan seorang sahabat, “Dihalalkan untuk kami ini dan diharamkan untuk kalian ini,” sama hukumnya dengan ucapannya, “Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami dan melarang kami.” Karenanya boleh berhujjah/berdalil dengan hadits mauquf semacam ini.
2. Hukumnya suci. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam Ad-Durari Al-Madhiyah (1/26) dan Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah An-Nadiyah (1/81). Di antara dalil-dalil mereka adalah:
a. Pada asalnya Asal segala sesuatu adalah suci sampai ada dalil yang menyatakannya najis. Dan tidak diketahui jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan membersihkan darah selain pada darah haidh. Padahal manusia tatkala itu sering mendapatkan luka yang berlumuran darah. Apalagi para shahabat adalah ahli jihad dan Mujahid sangat banyak terluka. Seandainya darah itu najis tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan untuk membersihkannya. Akan tetapi bersamaan dengan itu, tidak ada satupun perintah dari syariat yang memerintahkan mereka untuk mencuci darah mereka yang mengucur. Tatkala tidak ada nash yang shahih lagi tegas yang menunjukkan hal tersebut maka dari sini diketahui bahwa darah adalah suci.
b. Orang yang mati syahid tidak dimandikan, bahkan dia dikuburkan bersama pakaian dan darahnya. Maka ini dalil yang sangat tegas menunjukkan sucinya darah, karena tidak dibenarkan seorang muslim membiarkan saudaranya terkena bahkan diliputi oleh najis, baik dia dalam keadaan hidup maupun telah meninggal. Maka seandainya darah itu najis niscaya syariat yang mulia akan memerintahkan untuk membersihkannya terlebih dahulu sebelum dikubur.
c. Nabi -alaihishshalatu wassalam- mengizinkan para sahabat yang terluka dan juga para wanita yang mengalami istihadhah untuk masuk ke dalam masjid. Seandainya darah itu najis maka tidak mungkin Nabi -alaihishshalatu wassalam- membiarkan mereka masuk ke masjid karena beresiko mengotori masjid dengan darah yang najis. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Aisyah riwayat Al-Bukhari no. 563 dan Muslim no. 1769 dimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- membuatkan kemah di dalam masjid bagi Sa’ad bin Muaz yang tengah terluka agar belia bisa sering menjenguknya. Karenanya mengkiaskan darah yang mengalir kepada darah istihadhah (dan dia bukan najis), itu lebih tepat daripada mengkiaskannya dengan darah haid. Karena darah yang mengalir dan darah istihadhah sama-sama keluar dari urat yang pecah, sementara darah haid keluarnya dari rahim.
d. Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda, “Sesungguhnya mukmin itu bukanlah najis.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Jika bangkai manusia itu suci maka darahnya pun juga suci sebagaimana ikan.
e. kisah shahabat yang dipanah orang musyrikin dengan tiga panah dalam keadaan berdiri sholat di malam hari. Lalu ia tetap sholat dalam keadaan darahnya mengalir dan itu terjadi di prang dzaat ar-Riqaa’. Lihat kisah ini disampaikan imam Abu dawud dalam Sunannya no. 196 dan Ahmad bin Hambal dalam al-Musnad (23/51-52, 151-152) (lihat Manhah al-‘Alaam 1/129).
f. ada beberapa atsar dari sahabat yang menampakkan kesucian darah dan tidak wajib dicuci. Diantaranya riwayat Muhammad bin Sirin dari Yahya bin al-Jazaar :
أن ابن مسعود رضي الله عنه صلَّى وعلى بَطْنِهِ فَرْثٌ ودَمٌ من جَزُورٍ نَحَرَهَا فلم يتوضَّأ وفي لفظ: فلم يُعِدِ الصلاة
Ibnu Mas’ud sholat dan diperutnya ada kotoran dan darah dari onta yang disembelihnya lalu beliau tidak berwudhu. Dalam lafazh lainnya: Tidak mengulangi sholatnya. (HR Abdurrazaq dalam al-Mushannaf 1/125, dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 1/392 dengan sanad yang shahih.
Juga dari Bakar bin ABdillah al-Muzani beliau berkata:
(رأيت ابن عمر رضي الله عنهما عصَرَ بَثْرَةً في وجهه، فخرج شيء من دمه، فَحَكَّهُ بين أصبعيه، ثم صلّى ولم يتوضأ).
Aku melihat Ibnu Umar memencet benjolan di wajahnya lalu keluar sedikit darah, lalu menggaruknya antara jemarinya kemudian sholat dan tidak berwudhu (HR Ibnu Abi Syaibah 1/138 dan al-Baihaqi 1/151 dengan sanad shahih seperti dijelaskan ibnu Hajar dalam Fathul Baari 1/282).
Atha’ bin as-Saa`ib berkata:
(رأيت عبد الله بن أبي أوفى بزَق دماً، ثم صلَّى، ولم يتوضأ)
Aku melihat Abdullah bin Abi Aufa meludah darah kemudian shalat dan tidak berwudhu (HR Abdurrazaq 1/158, ibnu Abi Syaibah 1/124 dari ats-Tsauri dan ibnu ‘Uyainah dari ‘Atha. Al-Haafizh berkata: Sufyaan mendengar dari ‘Atha sebelum ikhthilathnya sehingga sanadnya shahih. Lihat Fathul Baari 1/282).
Pendapat Yang Rojih.
Insya Allah yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa darah yang mengalir bukanlah najis, berdasarkan semua dalil yang disebutkan di atas. Di antara yang merajihkan pendapat ini dari kalangan muta`akhkhirin adalah Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Tamaam al-Minah hlm 50 dan Silsilah Ahaadits Shahihah no. 300 dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumallah- dalam asy-Syarhil Mumti’ 1/374. Adapun ayat yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama maka bisa dijawab dari dua sisi:
1. Ayat itu hanya menjelaskan haramnya memakan darah yang mengalir, bukan untuk menjelaskan suci dan najisnya. Ada ayat ini untuk menjelaskan keharoman memakannya, sebab Allah berfirman : (عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ) sementara pengharaman sesuatu tidaklah melazimkan najisnya sesuatu tersebut. Ganja dan racun sudah jelas haramnya, akan tetapi tidak ada ulama yang mengatakan kalau daun ganja dan racun itu najis.
2. Kata ‘rijs’ dalam syariat bisa bermakna najis aini (zatnya) tapi bisa juga bermakna najis ma’nawi (sifatnya) tapi bukan najis aini. Allah Ta’ala berfirman tentang kaum munafikin,
فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ إِنَّهُمْ رِجْسٌ
“Berpalinglah kalian darinya karena sesungguhnya mereka adalah rijs,” (QS. At-Taubah: 95)
yakni najis kekafirannya tapi tidak kafir tubuhnya. Semisal dengannya ayat 33 dari surah Al-Ahzab.
Adapun nukilan ijma’ maka mungkin yang dimaksudkan adalah ijma’ ulama mazhab ataukah dikatakan bahwa para ulama ini menukil ijma’ berdasarkan nukilan ijma’ dari ulama yang lainnya, yakni mereka saling menukil satu sama lain.
[Lihat juga Shahih Fiqh As-Sunnah: 1/77-79]
3. Atsar Ibnu Umar di atas menunjukkan halal dan sucinya bangkai ikan dan belalang serta halal dan sucinya darah yang disebutkan. Namun tidak melazimkan kenajisan darah.
Wallahu a’lam.
Mensucikan Najis dengan Selain Air.
Dalam masalah ini ada tiga pendapat para ulama:
a. Mensucikan semua najis harus dengan air. Inilah pendapat madzhab asy-Syafii al-jadid, Maalik, Zufar dari madzhab Hanafiyah dan riwayat dari Ahmad. Pendapat ini dinisbatkan dalam kitab Syarhu as-Sunnah 2/93 : Kepada mayoritas Ulama dan di fathul Baari 1/331 kepada al-Jumhur. Argumentasi pendapat ini:
1. Hadits Anas bin Maalik dan lainnya dalam kisah A’rabi yang kencing di Masjid. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk diambilkan seember air dan disiramkan keatasnya. Hadits ini telah lalu dalam bab air dari kitab ini no. 14. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyiramkan air pada bekas kencing bukan dengan selain air. Ini menunjukkan keharusan menggunakan air dalam mensucikan najis.
2. Hadits Tsa’labah al-Khusyani dalam bejana ahli kitab. Ada pernyataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat at-Tirmidzi 4/53 lihat hadits no. 24:
فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا غَيْرَهَا فَاغْسِلُوهَا بِالْمَاءِ ثُمَّ كلوا فِيهَا وَاشْرَبُوا
Apabila tidak menemukan selainnya maka sucikanlah dengan air kemudian makanlah padanya dan minumlah.
Ada nash penggunaan air dalam mensucikan bejana kaum musyrikin.
3. Hadits Asma disini yang berbunyi:
((تَحُتُّهُ ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ ، ثُمَّ تُصَلِّيْ فِيْهِ))
“Kamu gosok, kemudian kamu cuci dengan air, lalu shalatlah dengan pakaian tersebut.” (Muttafaq ‘alaihi).
Menunjukkan keharusan menggunakan air dalam mensucikan darah haidh dan demikian najis-najis lainnya yang menggunakan pakaian dan selainnya.
4. Hadits Abu Hurairoh beliau berkata: Khaulah telah berkata:
يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَذْهَبِ الدَّمُ ؟ قَالَ: يَكْفِيْكِ الْمَاءُ ، وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ
Wahai, Rasulullah. (Bagaimana) bila (bekas) darahnya belum hilang?” Jawab Beliau,”Cukup bagimu mencucinya dengan air. Adapun bekasnya tidak apa-apa.” (hadits 35 yang akan datang).
Ucapan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam : يَكْفِيْكِ الْمَاءُ menunjukan kewajiban penggunaan air dalam mensucikan najis. Pengertiannya menunjukkan selain air tidak cukup.
5. Hadits Ummu Qais bintu Mihshan dan sabda beliau :
حُكِّيهِ بِِصلَعٍ وَاغْسِلِيهِ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
Ada nash penyebutan air tanpa yang lainnya.
6. Air memiliki dzat untuk bersih dan suci yang tidak dimiliki selainnya.
7. Demikian seorang tidak boleh menghilangkan hadatsnya baik mandi atau wudhu’ dengan selain air. Demikian juga tidak boleh menghilangkan najis dengan selain air. Sehingga tidak cukup tanpa air dalam menghilangkan hadats dan menghilangkan najis.
b. Diperbolehkan menghilangkan najis tanpa air, bahkan kapan hilang najis dengan cara apa saja. Dengan benda apa saja selama dapat menghilangkan najis maka suci benda yang terkena najis tersebut. Yang menjadi standar adalah hilangnya najis. Pendapat ini dinisbatkan ibnu taimiyah dalam al-Fatawa 21/474 kepada Abu hanifah dan ini adalah satu pendapat madzhab Maalik dan Ahmad. Juga merupakan pendapat ‘Urwah bin az-Zubeir, an-nakha’I dan abu Tsaur dan pendapat Dawud azh-Zhahiri dan sejumlah ulama tabi’in.
Mereka berargumentasi dengan dalil-dalil berikut:
1. Hadits ibnu Umar yang berbunyi:
كَانَتِ الْكِلَابُ تُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئا من ذَلِك
Dahulu anjing datang dan pergi di masjid di zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu mereka tidak menyiram sedikitpun atasnya. (HR al-Bukhori dan ada dalam kitab kita no. 12). Ini menunjukkan hilangnya najis kencing anjing dan liurnya tanpa dicuci dengan air, bahakan sekedar lalu lalang kaki dan matahari serta anghin dan sejenisnya menghilangkannya.
2. Hadits Abu Saaid al-Khudri beliau berkata:
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ: فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا
Apabila salah seorang kalian masuk Masjid maka hendaknya melihat: apabila melihat pada kedua sandalnya kotoran atau najis maka hendaknya mengusapkannya (ketanah) dan sholat menggunakannya. (HR Abu Dawud )
3. Hadits Abu Hurairoh :
إِذَا وَطِئَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ الْأَذَى، فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُورٌ
Rasulullah bersabda: Apabila salah seorang kalian kotoran dengan khofnya maka yang mensucikannya adalah tanah. (HR Abu Dawud dan dishahihkan al-Albani). Hadits-hadits ini dan yang lainya masih banyak menunjukkan najis yang mengenai bagian bawah sandal disucikan dengan digosokkan ke tanah dan tidak wajib mencucinya dengan air.
4. Hokum apabila ditetapkan dengan sebab illah maka akan hilang dengan hilangnya illah tersebut. Hokum berkisar bersama illahnya baik ada maupun tidak ada. Allah menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang jelek. Sifat baik atau jelek, suci atau najis ikut sifat dzatnya dan hakekatnya. Apabila najisnya hilang atau berubah menjadi dzat yang suci maka hilanglah hokum najisnya. (lihat al-Fatawa 21/475 dan 481-482 dan setelahnya). Sudah dimaklumi mensucikan najis termasuk menghilangkan dan menghapus yang tidak membutuhkan niyat dan kehendak berbeda dengan menghilangkan hadat dengan wudhu` dan mandi yang harus dengan niyat. (lihat al-Fatawa 21/474).
c. Diperbolehkan mensucikan benda terkena najis dengan selain air apabila ada kebutuhan sebagaimana sucinya mulut dan liur kucing dan sucinya mulut dna air ludah anak-anak dan sejenisnya. Ini adalag riwayat dari madzhab Ahmad bin hambal sebagaimana disampaikan dalam al-Fatawa 21/474. Nampaknya pendapat ini berargumentasi dengan mengkompromikan dali-dalil dan nash yang ada. Membawa pensucian barang terkena najis kepada hajat dan kebutuhan.
Pendapat yang Rojih
Pendapat yang rojih adalah pendapat yang kedua yaitu bolehnya menghilangkan najis dengan semua yang bisa menghilangkannya baik air atau selainnya, seperti cuka, air bunga dan sejenisnya. Inilah pendapat madzhab Hanafiyah dan dirojihkan ibnu taimiyah dan dibela habis oleh beliau. (lihat Majmu’ al-Fatawa 21/475), karena maksud tujuannya adalah menghilangkan najis dan selain air juga bisa menghilangkannya. Juga syariat memberikan kebolehan menggunakan air dalam pensucian benda terkena najis juga memberikan kepada selain air yang sama-sama mensucikan. Seperti dalam hadits Abu Sa’id yang berbunyi:
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ: فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا
Apabila salah seorang kalian masuk Masjid maka hendaknya melihat: apabila melihat pada kedua sandalnya kotoran atau najis maka hendaknya mengusapkannya (ketanah) dan sholat menggunakannya. (HR Abu Dawud )
Juga hadits tentang kelebihan pada panjang baju wanita, Nabi sabdakan:
«يطهره ما بعده»
Yang setelahnya mensucikannya. (HR Abu Dawud 383 dan dishahihkan al-Albani dalam Jilbab al-mar’at al-muslimah hlm 37).
Sedangkan hadits Asma tidak dapat dijadikan dalil pengkhususan hanya air saja; karena syariat menetapkan air disini untuk menjelaskan yang paling mudah untuk manusia dan mudah mendapatkannya. Juga pendapat yang kedua berisi kemudahan dan keluasan bagi kita. Wallahu A’lam
Doa penutup majelis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ ٭
Artinya:
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Wassalamualaikum wr.wb
--------------------------------------------------
Hari / Tanggal : Jumat, 26 Februari 2016
Narasumber : Ustadz Kholid Syamhudi Al Bantani
Tema : Hadist
Notulen : Ana Trienta
Kajian Online Telegram Hamba اَﻟﻠﱣﻪ Ta'ala
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment