RUMAHKU MADRASAHKU

Posted by Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT on Thursday, May 19, 2016

Kajian Online WA  Hamba الله SWT

Kamis, 19 Mei 2016
Narasumber : Ustadzah Azizah
Rekapan Grup Nanda M103 (Mietha)
Tema : Parenting
Editor : Rini Ismayanti


Puji syukur kehadirat Allah SWT yang masih memberikan kita nikmat iman, islam dan Al Qur'an semoga kita selalu istiqomah sebagai shohibul qur'an dan ahlul Qur'an dan dikumpulkan sebagai keluarga Al Qur'an di JannahNya.
Shalawat beriring salam selalu kita hadiahkan kepada uswah hasanah kita, pejuang peradaban Islam, Al Qur'an berjalan, kekasih Allah SWT yakninya nabi besar Muhammad SAW, pada keluarga dan para sahabat nya semoga kita mendapatkan syafaat beliau di hari akhir nanti. InsyaAllah aamiin.

RUMAHKU MADRASAHKU
(Sari Kajian Keluarga, bersama Ustadz Salim A. Fillah)

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Saya ikut tercengang, waktu ustadz menyampaikan hasil survei kecil-kecilan yang beliau lakukan pada keluarga aktivis di Yogyakarta tahun 2005 lalu. Salah satu hal yang beliau survei adalah para anak-anak dari keluarga aktivis tersebut. Dan hasilnya, 30% dari seluruh sampel menyatakan harapannya, kelak jika sudah dewasa mereka tidak ingin mengikuti jejak orangtuanya (menjadi aktivis dakwah).

Melihat hasil survei yang begitu “menyakitkan” tersebut, ustadz pun memfollow-up dan melakukan kontak intensif dengan narasumber. Fenomena apakah ini?

Dan ternyata, anak-anak para aktivis ini menganggap bahwa dakwah telah merebut sebagian besar waktu kedua orang tuanya. Dakwah sudah merebut bahkan hampir seluruh perhatian orang tuanya.

Mendapat jawaban yang demikian, ustadz pun mengkroscekkan hasil tersebut pada para orang tua. Dan memang, ternyata “ada yang salah”. Salahnya bukan pada dakwahnya, melainkan ada pada cara orang tua memposisikan diri di tengah-tengah keluarganya, sehingga menimbulkan persepsi yang salah dalam diri anak-anak.

Salah satu contoh kecil saja, tentang kepulangan. Bagi anak-anak, saat-saat yang paling dinantikan adalah berada di pelukan kedua orang tuanya. Namun, masih banyak di antara kita yang ternyata semangat luar biasa saat mau aktivitas ke luar, namun lesu saat pulang ke rumah. Bahkan sekadar menyambut pelukan anak-anak yang antusias menunggu bapak atau ibunya pulang saja, mereka enggan. Apatah lagi saat diajak main, apatah lagi saat diminta gendong dan seterusnya.

“Abaaaaah!!” teriak seorang balita begitu tahu abahnya pulang dan berjalan memasuki rumah.

Tapi, alangkah mirisnya. Jawaban yang diperoleh si anak justru, “Nak, abah capek. Abah tadi habis ngisi kajian ini-itu, sekarang mau istirahat. Tolong main sendiri dulu ya.”

Dan si anak akhirnya kembali masuk rumah dengan lesu dan penuh kekecewaan.

Dan itu terjadi tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali. Bahkan mungkin setiap hari.

Poin pertama: kepulangan.
Pulang, seyogyanya menjadi momen paling indah dalam rangkaian kegiatan harian kita. Tidak hanya bagi para ayah atau ibu yang beraktivitas di luar rumah. Namun juga bagi anggota keluarga yang lain, yang berada di rumah, menunggu. Bukankah kita pun mengharapkan kepulangan yang indah berjumpa dengan Rabb kita? Kenapa dengan anugerah-Nya, nikmat berupa keluarga, kita tidak mengupayakan kepulangan terbaik?

Rasulullah saw sudah mencontohkan. Bagaimana beliau sibuk aktivitas di luar rumah, namun dalam kondisi terbaik saat pulang ke rumah. Pun saat pasukan Muslim hendak memasuki kota Madinah setelah berperang, beliau menyuruh pasukan tersebut bermalam dulu dan merapikan badannya. Sebab, kondisi badan terbaik itu hak Allah dan hak keluarga.

Saat pulang pun, Rasulullah langsung memeluk istri dan anak/cucunya. Bahkan juga tak jarang langsung bermain-main dengan Hasan dan Husain, cucu beliau dari Fatimah. Masya Allah!

Poin pertama: pulang. Jadikan kepulangan sebagai momen terbaik bagi seluruh anggota keluarga. Bagi para suami, jangan lupa berikan senyum terbaik saat memasuki rumah. Bagi para istri, sambut kepulangan suami dengan kondisi terbaik. Jangan sampai justru sebaliknya, saat hendak pergi dengan kondisi terbaik, dan saat pulang lesu tak bersemangat. Na’udzubillah.

Selain masalah kepulangan, hal selanjutnya yang menjadi sorotan yaitu persepsi anak tentang ajaran agama. Pernah suatu ketika ada yang datang dan berkonsultasi dengan Ustadz Salim. “Ustadz, anak saya usianya sudah 10 tahun lebih kok susah banget ya disuruh sholat?” tanya seorang ibu.

Usut punya usut, si ibu sudah mulai mengajarkan sholat bahkan sejak usia 2 tahun. Namun bukan itu yang menjadi pokok permasalahan. Pengenalan ibadah (khususnya sholat) menjadi hal yang begitu menyeramkan. Betapa ibu ini langsung berubah menjadi monster di saat sholat. Saat anak menaiki punggungnya, menarik-narik mukenanya, berisik di kanan kirinya, itulah momen yang membuat si ibu naik darah. Anak yang belum paham apa-apa itu dimarahinya, bahkan tak jarang dicubitnya.

Rasulullah saw bersabda, “Ajarkan anak sholat di usia 7 tahun, pukul ia (jika melawan) saat usia 10 tahun, dan pisahkan tempat tidurnya.”

Hal yang perlu kita renungkan. Mengapa Allah dan Rasulullah memberikan batasan pengajaran sholat MULAI umur 7 tahun? Kenapa tidak 3 tahun, atau bahkan 2 tahun? Kenapa lama sekali harus menunggu 7 tahun?

Ternyata, jawabannya ada di surat Lukman. Allah mengabadikan nama Lukman Al-Hakim dalam Al-Qur’an karena bijaknya beliau mendidik anak. Dalam surat Lukman ayat 12-17, kita bisa sarikan tentang tahap-tahap mendidik anak, yakni:
1. Menanamkan kesyukuran
2. Menanamkan tauhid (tidak menyekutukan Allah)
3. Menanamkan muraqabatullah (rasa dekat dengan Allah)
4. Mendirikan sholat

Hal yang menarik. Kenapa mendirikan sholat ada di urutan terakhir pada tahapan di atas? Tidak lain karena tugas berat kita, bahkan yang telah diterapkan oleh generasi awal Islam, adalah mengajarkan 3 hal ke anak. Yakni rasa syukur, tidak menyekutukan Allah, dan muraqabatullah. Ini berat, sangat berat. Perlu waktu bertahun-tahun. Dan Allah memberi tenggang kepada kita sampai umur 7 tahun.

Pertama, menanamkan kesyukuran kepada Allah. Pengajaran syukur tidak sekadar mengajarkan anak mengucap alhamdulillah. Akan tetapi syukur yang sebenarnya syukur. Dimulai dengan penanaman konsep diri ke anak sejak bayi. Bahwa kehadirannya merupakan nikmat tak ternilai dari Allah lebih dari apapun. Berada di sisinya menyejukkan kalbu. Bercanda dengannya adalah demikian menyenangkan. Bahwa seluruh anggota keluarga adalah qurrota a’yun (penyejuk mata) bagi anggota keluarga yang lain harus diupayakan. Jangan justru hal yang menyejukkan mata kita dari bangun tidur hingga tidur lagi ialah gadget. Na’udzubillah.

Kedua, menanamkan tauhid (tidak menyekutukan Allah). Mengajarkan kepada anak tentang tauhid ini sungguh hal yang luar biasa berat. Salah-salah, kita bukannya membuat anak mengesakan Allah, namun justru malah menjadikan anak takut kepada “marahnya kita waktu mengajarkan tauhid”. Atau juga terjadi, saking semangatnya kita mengaitkan Allah dalam keseharian anak kita, namun tidak pada tempatnya.

Sebagai contoh, saat anak “mengganggu” orang sholat, kita langsung meradang, sambil bilang, “Nak, nggak boleh begitu, Allah nggak suka.” Atau saat anak berisik di pengajian, kita menegurnya pula dengan bilang, “Nak, Allah nggak suka itu. Jangan berisik ya.”

Niat kita bagus, menegur anak dan mengaitkan Allah pada segala hal yang “buruk”. Namun dampaknya justru seringkali tertanam dalam diri anak, bahwa Allah itu Maha Tidak Suka. Padahal sebenarnya, kitalah yang tidak suka dengan perbuatan anak kita tersebut. Alih-alih mengajarkan tauhid, kita malah melenceng tanpa sadar dari ketauhidan itu sendiri (dikarenakan menyandarkan sesuatu yang Allah larang tidak pada tempatnya, tidak ada dalil pastinya).

Dan, terkait kondisi si ibu tadi, bahwa setiap anaknya “mengganggunya” sholat, ia marah, meradang, bahkan mencubit, itu juga tidak dianjurkan. Tanpa sadar, kita justru sedang mengajarkan bahwa ibadah itu menyebalkan, mengganggu masa-masa bermain anak. Padahal, teladan terbaik kita, Rasulullah saw sangat lembutnya pada anak-anak. Hatta saat beliau sedang sholat. Ingatlah, bagaimana beliau mengimami sholat sambil menggendong Umamah, anaknya Zainab binti Muhammad. Ingatlah, bagaimana beliau melamakan sujudnya karena punggungnya ditunggangi Hasan bin Ali. Untuk urusan pengajaran ibadah, beliau saw sangatlah lembut. Sebaliknya, untuk urusan makanan yang masuk ke perut, beliau tegas. Harus yakin halal-haramnya dulu.

Fenomena yang terjadi justru terbalik. Kita sangat tegas, bahkan cenderung menakut-nakuti, saat mengajarkan ibadah pada anak, namun melunak dalam soal makanan. Jajan misalnya. Itu terbalik ya ibu-ibu, bapak-bapak…!

Ketiga, muraqabatullah atau kedekatan kepada Allah. Amalan kita, sekecil apapun, seberat zarrah (biji sawi) sekalipun, akan dihisab di hadapan Allah. Pun perbuatan buruk kita, sekecil apapun, juga tak luput dari perhitungan-Nya. Ini juga sangat penting kita ajarkan kepada anak. Ialah menjalin kedekatan dengan Allah.

Dan yang keempat, barulah aqimissholah, mendirikan sholat. Puncak dari rasa syukur, mengesakan Allah, dan muraqabatullah, tidak lain dan tidak bukan ialah ringannya kita beribadah kepada Allah. Oleh karenanya, Allah memberi tenggang waktu kita, tujuh tahun, untuk mengajarkan 3 hal tersebut sebelum pada waktunya diajari sholat.

Ini PR kita bersama. Jangan sampai kita terlalu bersemangat mengajarkan anak-anak sholat, namun lalai mengajarkan rasa syukur, tauhid, dan muraqabatullah. Jangan sampai kita hanya terfokus pada gerakan dan bacaan sholat anak, namun abai terhadap 3 poin tersebut. Dan selanjutnya, pada masa anak mulai diajarkan sholat di usia 7 tahun, dan lebih tegas lagi di usia 10 tahun. Boleh dipukul jika anak lalai di usia itu. Namun tetap, pukulan yang tidak menyakiti.

Adapun setelah anak diajari sholat, ajarkan pula konsekuensi sholat. Bahwa sholat itu (hendaknya) mencegah kita dari perbuatan keji dan munkar. Wallahu a’lam bish showwab.

***
Catatan:
Artikel di atas ini adalah sedikit di antara sekian banyak hikmah yang saya dapatkan dari kajian keluarga bersama Ustadz Salim A. Fillah dalam sepemahaman saya. Jadi mungkin akan ada sedikit perbedaan persepsi antara saya dengan para peserta kajian yang lain.

Sumber: FB Yannah Ak

TANYA JAWAB

Q : Assalamualaikum bunda, bagaimana caranya ya bunda memberikan pengertian ke anak tentang perbuatan yang tidak baik?  katanya tidak boleh ya bunda bilang jangan?
A ; Waduhh itu teori dari mana gak boleh bilang jangan..? Sementara contoh pendidikan paling ideal itu adalah lukman. Bunda punya bantahan yang nulis ust fauzil azhim tentang waspada propaganda terselubung  dalam parenting. Salah satunya tentang kata jangan yang banyak di ggunakn dalam alquran.
Ada 500 kata jangan dalam Al qur'an. Klo kitab kita aja pake kata jangan, lantas kenapa kita tidak menggunakan? Trus landasan kita mendidik anak pake pedoman siapa?
Ajaran utama luqman dalam alqur'an adalah "ya bunayya laa tusyrik billah'
Wahai anakku *jangan* lah kau menyekutukan Allah

Q : Bagaimana cara kita (calon ibu) menanamkan tauhid kepada anak agar anak tidak salah pengertian seperti yang sudah disampaikan dalam pemaparan materi tadi?
A : Ketika mengajarkan tauhid kenalkan sejak kita tau bahwa kita hamil. Contoh  ketika ada azan elus perut katakan dede itu azan namanya. Bunda mau wudhu dede ikut ya  kita sholat sama-sama ya. Ketika bayi bunda mengganti popok lalu azan. Maka tatap mata baby katakan...sayang itu azan namanya  saatnya Allah memanggil kita untuk sholat. Yuk segera kita sholat. Nanti adik  liat bunda sholat ya.
Ketika 3 tahun pergi jalan-jalan maka harus ada ekspresi wauw ketika kita mendengar azan dan melihat menara masjid. Jangan mall yang ditunjuk dan kita kagum. Bunda katakan "masyaAllah dek/kak...coba lihat itu kubah dan menara masjid namanya. Ibadah nian. Itu rumah Allah. Allah sangat memuliakan orang yang mndatangi rumah Nya. Dan Allah mmbenci pasar dan mall sebagai seburuk-buruk tempat. Itu hadist nakkk. Anak mungkin gak paham. Usia masih balita. Tapi dengan hadist shohih maka akan melekat dalam jiwanya. Karena otak ruh dan hatinya akan merekam kata-kata ibu dan bapaknya.

Q : Bunda, saya ingin bertanya tentang mengajarkan ketauhidan kepada anak. Alhamdulillah, adik-adik sudah tahu bahwa Allah-lah yang Maha Esa, Dia-lah yang menciptakan alam semesta.  Lalu saat adik kembali bertanya 'Allah kan menciptakan bumi, gunung, dsb. Tapi kenapa Allah tidak kelihatan??' Bagaimana cara menjwb dan menjelaskan kepada mereka, bun? (Adik saya msh TK).
A : Ketika anak bunda bertanya Allah dimana dan kenapa gak kelihatan. Bunda jawab Allah itu ada di Arsy nya. Yang maha agung yang tak terbayangkn oleh kita manusia. Karena Allah yang menciptakan isi dunia ini maka Dia berbeda dengan makhluknya. Ceritakan kisah musa yang tak sanggup melihat Allah. Ajarin ke masjid usia dini. Kenalkan Allah melalui makhluknya. Anak bunda terkagum-kagum sama Allah saat menemukan ulat di balik pintu sedang bertapa. Ulat yang hndak menjadi kupu-kupu. Tiap hari mereka bertiga bunda ajak mengamati sampai benar-benar menjelma jadi kupu-kupu. Disana bunda ajarkan proses ilmiah yang disebut metamorfosis. Dari kupu bunda ajarkn pada mereka bahwa untuk bisa menjadi cantik itu perlu melalui perjuangan yang menyakitkan. Ulat itu betapa dari makan. Artinya ada proses menahan diri  dia berjuang merobek kepompong artinya itu lelah dan meyakinkan. Belajarpun lelah dan bosan  tapi ulat tak pernah menyerah. Dan hasilnya adlh kecantikan. Bunda menjdikan halaman dan dapur menjadi laboratorium yang mengasyikkan buat belajar banyak hal. Meet point dari ulat dibalik pintu adalah Allah itu maha kuasa untuk merubah segalanya.

Q : Afwan bunda saya mau tanya. Saya punya teman kajian yang memang dalam hal mengajari anaknya sama sekali tidak mau berkata jangan kepada anaknya. Sehingga saat kami kajian, anaknya terus beraktifitas seperti melempar kursi, aqua gelas kepada kita, merusak buku dan pulpen, bahkan memukul teman kajian lain. Tapi ibunya hanya diam dan minta maaf kepada kami. Namun tetap tidak melarang anaknya. Dengan alasan jangan memarahi anak karena masih kecil. Tapi sama saya tetap saya bilang pelan-pelan ke anaknya, jangan ya sayang nanti kakaknya nangis kalau di lempar aqua. Tapi karena ibunya tidak ikut melarang, anaknya tetap tidak nurut saya. Saya jadi bingung bunda kalau punya anak apakah saya biarkan seperti itu juga biar besarnya bisa jadi anak kreatif atau tetap saya larang kalau memang tindakannya salah?
A : Klo bunda akan tegur ibunya. Meminta maaf wajib tapi jangan mengulangi. Ajak bicara ibunya. Apa dengan meminta maaf anak yang lain gak sakit? Bunda pernah mengalami itu dan bunda tegur ibunya. Kita haruz punya kesepakatan brsama. Jangan sampai cara dia mendidik menjadikan anak kita korban. Dunia di luar rumah itu kejam. Gak semua orang akan diam seperti ibunya. Itu yang harus dipahamkan pada ibunya.

Q : Bunda, saya nambahin, kemaren ada temen yang ngeluh karena banyak jamaah bawa anak ke masjid, waktu sholat anak-anak tsb ribut malah ada yang manjat/naik ke punggung jamaah yang lain ketika sujud, sehingga ketika hendak bangun susah&ketika selesai dan ditegur ibu anak-anak malah berkata "anak-anak harus diajak ke masjid dari kecil..."
A : Memang ia anak harus dianjurkn ke mesjid tapi harus bijak  yang gak sholat wajib jagain. Jangan mengganggu jamaah lainnya. Klo gak gantian jamaahnya, 3 org jaga anak-anak yang lain sholat. Yang 3 jamaah setelah usai dan yang udah sholat gantiin jaga.

Q : Bunda ada kata motivasi buat kita yang sedang ada dalam masa penantian.. yang sering memanjatkan doa jodoh terus terkadang lupa memanjatkan doa ampunan
terlalu baper kalo ngeliat temen nikah jadi doanya jodoh terus            
A : Jodoh itu pasti sudah disiapkan Allah. Tinggal gimana kita menyiapkan diri memantaskan diri bahwa Allah layak menilai cukup atas penantian itu

Alhamdulillah, kajian kita hari ini berjalan dengan lancar. Semoga ilmu yang kita dapatkan berkah dan bermanfaat. Aamiin....

Segala yang benar dari Allah semata, mohon maaf atas segala kekurangan. Baiklah langsung saja kita tutup dengan istighfar masing-masing sebanyak-banyaknya dan do'a kafaratul majelis:

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك

Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika

“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”

​السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ



Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT

0 komentar:

Post a Comment

Ketik Materi yang anda cari !!