Rekapitulasi
Kajian Online HA Ummahat G-5
Hari/Tgl:
Senin, 16 Juli 2018
Materi:
Mahabatullah: Anwa'lu Mahabbah(Jenis jenis Cinta)
Narasumber:
Ustadz Cipto
Waktu
kajian : Ba'da Ashar
Editor:
Sapta
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Mahabbatullah:
Anwa’ul Mahabbah (Jenis-jenis Cinta)
Cinta
terbagi menjadi dua jenis:
Pertama,
al-mahabbatu at-thabi’i (cinta yang bersifat thabi’i/tabiat/naluri). Yang
mendasarinya adalah asy-syahwah (keinginan); yang memang merupakan fitrah dan
sunnatullah atas seluruh manusia. Allah Ta’ala menyebutkan hal ini dengan
firman-Nya,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ
مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ
وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
(QS. Ali Imran, 3: 14)
Berkenaan
dengan semua itu, tabiat manusia -tanpa kecuali- adalah hubbut tamalluk (senang
untuk memiliki); ingin punya istri yang cantik, ingin punyak anak yang
lucu-lucu dan pintar, ingin punya perhiasan, ingin punya kendaraan yang bagus,
ingin punya ternak dan sawah ladang. Perlombaan manusia dalam meraihnya
kadangkala hanya sebatas untuk memuaskan keinginannya dan bermegah-megahan
semata. Manusia mengira hal itu akan membahagiakan dirinya, padahal sebanyak
apapun kesenangan hidup yang berhasil diraih, syahwat manusia tidak akan
mungkin bisa terpuaskan.
Dari
Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ
وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ ، وَلَنْ يَمْلأَ فَاهُ
إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Seandainya
seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah
lainnya, dan sama sekai tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah
(yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat.”
(Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 6439 dan Muslim no. 1048)
Manusia
pun seharusnya sadar bahwa seluruh kesenangan hidup di dunia ini tidaklah kekal
(al-fana). Bahkan hakikatnya semua itu adalah sarana ujian bagi manusia agar
diketahui siapakah diantara mereka yang paling baik amalnya.
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى
الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Sesungguhnya,
Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar kami
menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.”
(QS. Al-Kahfi, 18: 7)
Dari
sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ
خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا
الدُّنْيَا، وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ
فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya
dunia itu manis dan hijau (enak dan menyenangkan), dan sungguh Allah mengangkat
kalian silih berganti dengan yang lain didunia ini, lantas Dia akan melihat apa
yang kalian perbuat (dengan dunia itu). Oleh karena itu, hati-hatilah kalian
terhadap urusan dunia dan wanita, karena awal petaka yang menimpa Bani Israil
adalah dalam hal wanita.” (HR. Muslim)
Kedua,
al-mahabbatu as-syar’i (cinta yang sesuai syari’at)
Yang
mendasarinya adalah al-iman (iman). Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ
وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا
وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ
بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah:
‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu,
harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya,
dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan
Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah, 9: 24)
Ayat
ini memberikan arahan syar’i bahwa cinta kepada Allah Ta’ala wajib didahulukan
daripada segala macam cinta tersebut di atas, karena Dialah yang memberi hidup
dan kehidupan dengan segala macam karunia-Nya kepada manusia dan Dialah yang
bersifat sempurna dan Maha Suci dari segala kekurangan.
Sebagian
salaf mengungkapkan hal ini dengan ucapannya,
مَسَاكِيْنُ أَهْلِ الدُّنْيَا
خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟
قَالَ: مَحَبَّةُ اللهِ وَمَعْرِفَتُهُ وَذِكْرُهُ
“Sesungguhnya
orang-orang miskin dari ahli dunia adalah mereka yang meninggalkan dunia, namun
belum merasakan apa yang terlezat di dunia.” Ditanya, “Kenikmatan apakah yang
paling lezat di dunia?” Dijawab, “Kecintaan kepada Allah, mengenal-Nya dan
mengingat-Nya.”[1]
Begitu
juga cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam haruslah diutamakan,
karena beliau itu diutus Allah Ta’ala untuk membawa petunjuk dan menjadi rahmat
bagi alam semesta.
Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى
أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak
beriman salah satu dari kalian, sehingga aku ia lebih cintai daripada anaknya,
orangtuanya dan seluruh manusia.” (HR. Muslim)
Jadi,
al-mahabbatu as-syar’i adalah cinta yang telah dibingkai oleh keimanan dan
syariat Allah Ta’ala. Sehingga kecintaan tersebut tidak hanya atas dasar
dorongan thabi’i semata, tetapi cinta itu telah terbimbing oleh nilai-nilai, aturan-aturan,
dan norma agama Allah Ta’ala.
Al-mahabbatu
as-syar’i adalah cinta yang telah termenej dengan baik. Dengan begitulah
seseorang akan merasakan manisnya iman. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ
وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ إِلَيْهِ
مِمَّا سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ
أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ
يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga
sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1)
Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) Ia mencintai
seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah, (3) Ia membenci untuk
kembali kepada kekafiran –setelah Allah menyelamatkannya darinya– sebagaimana
ia benci apabila dilempar ke dalam api.” (Hadits Muttafaq ‘Alaihi)
Dengan
al-mahabbatu as-syar’i ini perasaan jiwa yang muncul pada diri seseorang bukan
hanya hubbut tamalluk (kecintaan untuk memiliki) sebagaimana dalam al-mahabbatu
at-thabi’i; lebih mulia dari itu perasaan yang muncul adalah: al-mawaddatu wal
mahabbah (kasih sayang dan cinta). Ada keakraban dan kehangatan, keramahan dan
persahabatan, keintiman dan kasih sayang yang tulus; yang diikat oleh ikatan
iman kepada Allah Ta’ala bukan hanya sebatas ikatan kepentingan dunia.
Abdullah
bin al-Abbas bin Abdil Muththalib berkata,
وَقَدْ صَارَتْ عَامَّةُ مُؤَاخَاةِ
النَّاسِ عَلَى أَمْرِ الدُّنْيَا، وَذَلِكَ لاَ يُجْدِي عَلَى أَهْلِهِ شَيْئًا
“Sungguh,
kebanyakan persaudaraan manusia karena urusan dunia (bukan lagi karena Allah),
dan yang seperti itu tidaklah memberi manfaat sedikit pun padanya.”[2]
Kecintaan
yang didasari iman adalah cinta yang kekal (al-baqa). Di akhirat nanti,
orang-orang yang saling mencintai karena Allah Ta’ala akan memperoleh kemuliaan
yang agung dari Allah Ta’ala.
Dari
Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu; “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
«إِنَّ مِنْ عِبَادِ
اللَّهِ لَأُنَاسًا مَا هُمْ بِأَنْبِيَاءَ، وَلَا شُهَدَاءَ يَغْبِطُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ
وَالشُّهَدَاءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، بِمَكَانِهِمْ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى»
“Sesungguhnya
di antara hamba-hamba Allah terdapat beberapa manusia yang bukan para nabi dan
orang-orang yang mati syahid. Para nabi dan orang-orang yang mati syahid merasa
iri kepada mereka pada Hari Kiamat karena kedudukan mereka di sisi Allah
ta’ala.”
Mereka
(para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Anda akan mengabarkan kepada
kami siapakah mereka?”
Beliau
bersabda,
«هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا
بِرُوحِ اللَّهِ عَلَى غَيْرِ أَرْحَامٍ بَيْنَهُمْ، وَلَا أَمْوَالٍ يَتَعَاطَوْنَهَا،
فَوَاللَّهِ إِنَّ وُجُوهَهُمْ لَنُورٌ، وَإِنَّهُمْ عَلَى نُورٍ لَا يَخَافُونَ إِذَا
خَافَ النَّاسُ، وَلَا يَحْزَنُونَ إِذَا حَزِنَ النَّاسُ»
“Mereka
adalah orang-orang yang saling mencintai dengan ruh dari Allah tanpa ada
hubungan kekerabatan di antara mereka, dan tanpa adanya harta yang saling
mereka berikan. Demi Allah, sesungguhnya wajah mereka adalah cahaya, dan
sesungguhnya mereka berada di atas cahaya, tidak merasa takut ketika
orang-orang merasa takut, dan tidak bersedih ketika orang-orang merasa
bersedih.”
Dan
beliau membaca ayat ini.
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ
لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus:62)” (Sunan Abu
Daud: Shahih)
Wallahu
A’lam.
➖➖➖➖➖➖➖➖➖
TANYA
JAWAB
T:
Afwan ustadz Cipto, jika cinta tidak harus memiliki berarti salah ya ustadz?
J:
ngeri
kalau gitu, dalam cinta sesama manusia sih boleh saja. Ini dalam koridor
hubungan kemanusiaan ya bukan cinta yang mengarah kepada hubungan yang biasa
muncul dalam benak manusia ketika berbicara cinta.
T:
Sering mendengar mencintai saudaranya saat bertemu dan berpisah karena Allah
itu bagaimana ustad?
J:
ini
berkenaan dengan hadist nabi. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا أَحَبَّ أَحَدُكُمْ
أَخَاهُ فَلْيُعْلِمْهُ إِيَّاهُ
Jika
salah seorang dari kalian mencintai saudaranya, maka beritahukan padanya
(HR. Tarmidzi)
Tetap
memperhatikan adab dan akhlaq ya
T:
Assalamualaikum Ustdz Izin bertanya. Bagaimana cirri-ciri cinta kepada lawan
jenis yang cintanya anugerah dari ALLAH. Dan cintanya yang datangnya dari
syaiton?
J:
sederhananya
jika karena Allah menambah kedekatan kita kepada Allah swt dan sebaliknya jika
malah bermaksiat itulah yang karena syetan dosa.
T:
Aku pernah menyayangi orang tapi orangtua gak setuju apa ini dosa ustadz, karena
kami lewat jalan belakang meski akhirnya gak jodoh juga, aku masih merasa
sayang hingga dianya meninggal juga, gimana ustadz apa ini dosa?
J:
Naam
mulai lepaskan ya dan move on, perhatikan lah cintamu apakah mendasar karena
Allah atau karena yang lain, sederhana kok kalau semakin meningkatkan ketaatan
kita kepada Allah maka inilah cinta yang harus dituruti. Namun jika sebaliknya,
maka segera beristigfar dan bersyukur kita tidak terjerumus dalam kemaksyiatan,
termasuk ridho orang tua.
T: Kan
orangnya sudah meninggal ustadz, yang saya tanyakan apa ini dosa karena
menyayangi dia dulunya, sekarang saya banyak istigfar terus karena itu.
J:
Naam
lebih baik mengikhlaskannya dan Move On, itu aja
T:
Maaf tanya lagi dengan cerita saya tadi, apa ini bisa berakibat saya tidak dapat
warisan karena perbuatan saya itu?
J:
warisan
memang hak anak tapi dengan catatan sebagai berikut, sebagian orang kadang
terburu-buru untuk menuntut dibaginya harta warisan. Padahal si ayah yang
meninggal dunia masih memiliki kewajiban lain yang mesti diprioritaskan seperti
utang dan wasiat. Penjelasan berikut berisi keterangan mengenai manakah
penyaluran harta peninggalan si mayit yang mesti didahulukan, tidak langsung
pada pembagian waris.
Urutan
prioritas penyaluran harta peninggalan si mayit adalah sebagai berikut.
Pertama:
Pengurusan jenazah si mayit
Hal
ini meliputi memandikan, mengkafani, memakamkan si mayit dan semacamnya tanpa
berlebih-lebihan dan tidak terlalu pelit. Pengurusan jenazah ini lebih
didahulukan daripada utang dan lainnya. Karena pengurusan jenazah ibarat
pakaian yang menjadi kebutuhan primer bagi seseorang yang hidup dan tidak bisa
dicopot dengan alasan untuk melunasi utang.
Kedua:
Melunasi utang yang berkaitan dengan harta peninggalan si mayit.
Hal
ini seperti utang dengan menggadaikan sebagian dari harta peninggalan.
Ketiga: Melunasi utang yang terikat dan menjadi
dzimmah (kewajiban).
Yang
dimaksud adalah harta yang tidak berkaitan dengan gadaian harta peninggalan,
yaitu meliputi utang yang berkaitan dengan hak Allah dan berkaitan dengan hak
manusia. Utang yang berkaitan dengan hak Allah seperti zakat, kafaroh atau
puasa yang belum ditunaikan. Misalnya zakat tahun saat ia meninggal dunia belum
dibayarkan dari hartanya. Begitu pula puasa yang belum ditunaikan dan bisa
diganti dengan memberi fidyah (memberi makan pada orang miskin sesuai dengan
jumlah puasa yang ditinggalkan). Sedangkan utang yang berkaitan dengan hak
sesama manusia seperti utang kepada orang lain yang belum dilunasi sampai
meninggal dunia dan pembayaran upah yang tertunda.
Keempat:
Menunaikan wasiat si mayit yang tidak lebih dari 1/3 harta yang tersisa.
Setelah
tiga kewajiban sebelumnya, barulah ditunaikan wasiat. Pelunasan utang lebih
didahulukan daripada penunaian wasiat. Di antara alasannya adalah kesepakatan
para ulama yang mendahulukan utang dari wasiat. Sebagaimana disebutkan dalam
hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ هَذِهِ
الآيَةَ (مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ) وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- قَضَى بِالدَّيْنِ قَبْلَ الْوَصِيَّةِ
“Sesungguhnya
kalian membaca ayat ini ‘sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya’[1]. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melunasi utang sebelum menunaikan wasiat” (HR. Tirmidzi no.
2094, Ibnu Majah no. 2715, dan Ahmad 1: 79. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan).
Alasan
yang lain, karena wasiat termasuk akad sosial atau pemberian cuma-cuma. Jika
harta peninggalan begitu pas-pasan, maka tidak ragu lagi penunaian utang lebih
didahulukan barulah wasiat karena menunaikan utang itu wajib sedangkan
menunaikan wasiat hanyalah sukarela.
Sedangkan
dalam ayat,
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ
بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya”[2], wasiat
lebih didahulukan karena wasiat hampir mirip dengan harta waris yaitu diberikan
secara cuma-cuma tanpa bayaran. Dan itu hanyalah tanda bahwa warisan juga
termasuk kewajiban yang harus segera ditunaikan semisal utang. Tapi jika kita
kembali hadits tetap menunjukkan secara tegas bahwa utang lebih dahulu
diselesaikan daripada wasiat.
Dan
wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) harta yang tersisa. Bahasan ini akan dikaji pada kesempatan yang lain, bi
idznillah.
Kelima:
Membagi harta peninggalan kepada ahli waris yang berhak menerima sesuai dengan
jatah yang telah ditetapkan dalam kitabullah.
Jika
telah memahami hal ini, ketika si mayit memiliki 100 juta rupiah sebagai harta
peninggalan, maka harus diprioritaskan untuk keempat hal di atas terlebih
dahulu sebelum pembagian warisan. Semisal jika untuk pengurusan jenazah
dibutuhkan 500 ribu rupiah, utang 500 ribu rupiah, utang zakat 4 juta rupiah,
wasiat 5 juta kepada anak yatim, totalnya adalah 10 juta rupiah. Maka sisa 90
juta rupiah, itulah yang dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerima. Jadi
harta peninggalan si mayit tidak dibagikan langsung untuk warisan. Akan tetapi,
harus diprioritaskan sesuai urutan yang dijelaskan di atas.
Baca
Selengkapnya:
https://rumaysho.com/2506-prioritas-dalam-penyaluran-harta-peninggalan-si-mayit.html
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Kita tutup dengan
membacakan hamdalah..
Alhamdulillahirabbil'aalamiin
Doa Kafaratul Majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك
أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma
wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya
Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah
melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
Wassalamu'alaikum
warahmatullaahi wabarakaatuh
================
Website: www.hambaAllah.net
FanPage: Kajian On line-Hamba Allah
FB: Kajian On Line - Hamba Allah
Twitter: @kajianonline_HA
IG: @hambaAllah_official
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment