Cara Membersihkan Pakaian Terkena Mani.
.27 وَعَنْ عَائِشَةَ رضِي اللّه عنها ، قالت : (( كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْسِلُ الْمَنِيَّ ، ثُمَّ يَخْرُجُ إلَى الصَّلاَةِ فِيْ ذَلِكَ الثَّوْبِ ، وَأنَا أَنْظُرُ إِلَى أثَرِ الْغَسْلِ )) . متفق عليه .
27. Dari Aisyah , ia berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah mencuci (bekas) air mani (yang ada di pakaian Beliau), kemudian Beliau keluar untuk shalat dengan mengenakan pakaian tersebut dan aku melihat bekas cucian.” (Muttafaq ‘alaihi).
وَلِمُسْلمٍ : (( لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللَّهِ صلى اللّه عليه وسلم فَرْكاً ، فَيُصَلي فِيهِ )).
Dan dalam salah satu riwayat Muslim dengan lafazh: “Dan aku pun pernah mengerik bekas mani tersebut dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Beliau shalat dengan mengenakan pakaian tersebut”.
وَفِيْ لَفْظٍ لَهُ : لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفْرِيْ مِنْ ثَوْبِهِ
Dan dalam lafazh yang lainnnya yang juga diriwayatkan Imam Muslim: “(Berkata Aisyah:) Aku pun pernah mengeriknya dengan kuku jariku ketika bekas air mani tersebut telah mengering pada pakaian beliau.”
Biografi Periwayat Hadits.
Beliau adalah ummulmukminin ‘Aisyah binti Abu Bakar ash-Shidiq, Nabi menikahinya di Makkah setelah kematian Khadijah binti Khuwailid. Rasulullah menikahi ‘Aisyah dalam umur enam tahun dan berkumpul sebagai suami istri ketika beliau berusia Sembilan tahun (HR al-Bukhori no. 5133 dan Muslim no 2438). Aisyah adalah istri tercinta Nabi dan beliau pernah bersabda:
وَإِنَّ فَضْلَ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ
Sesungguhnya keutamaan ‘Aisyah atas wanita lainnya seperti keutamaan tsarid (jenis makanan) atas makanan yang lainnya. (HR al-Bukhori no. 3770 dan Muslim 2446)
Rasululah pernah berkata kepada ummu Salamah :
يَا أُمَّ سَلَمَةَ لاَ تُؤْذِينِي فِي عَائِشَةَ، فَإِنَّهُ وَاللَّهِ مَا نَزَلَ عَلَيَّ الوَحْيُ وَأَنَا فِي لِحَافِ امْرَأَةٍ مِنْكُنَّ غَيْرِهَا
Wahai Ummu Salamah jangan sakiti Aku pada ‘Aisyah, karena dia –demi Allah- tidak pernah wahyu turun kepadaku dalam keadaan aku dibawah selimut seorang wanita dari kalian selainnya. (HR al-Bukhori 3775)
Demikian juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia pada hari giliran di rumah A’isyah dan bersandar kepada dada beliau. Pernikahan beliau dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki anak dan berkunyah Ummu Abdillah. Ummulmukminin terkenal sebagai ahli ilmu dan ulama besar sahabat dan meninggal dunia dengan meninggalkan ilmu yang sangat banyak sekali pada umat ini. Beliau wafat tahun 58 H di kota Madinah.
(lihat biografi beliau di al-Isti’aab 13/84, al-Ishaabah 13/39 dan fathul Bari 7/107).
Takhrij Hadits
Hadits Aisyah ini diriwayatkan al-Bukhari (no. 229-230, 231, 232), Muslim (no.289), Abu Dawud (no. 373), Tirmidzi (no. 117), Nasaa-i (1/156), Ibnu Majah (no. 536) dan lain-lain banyak sekali. Semuanya dari beberapa jalan (thuruq), dari ‘Amr bin Maimun bin Mihran, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Sulaiman bin Yasar tentang mani yang mengenai pakaian seseorang, apakah ia mencucinya atau mencuci pakaiannya?
Sulaiman bin Yasar menjawab: Aisyah telah mengabarkan kepadaku, sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Lafadz yang dibawakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar disini adalah lafazh shahih Muslim dan al-Bukhori meriwayatkan yang semisalnya. Sedangkan lafazh Bukhari dan Muslim dalam salah satu lafazh-nya dan lain-lain diterangkan bahwa yang mencuci mani dari pakaian Rasulullah adalah Aisyah, bukan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi Muslim hanya meriwayatkan sebagiannya saja, tidak lengkap seperti Bukhari dengan lafazh:
عَنْ عَمْرُو بْنُ مَيْمُونٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنِ الْمَنِيِّ يُصِيبُ الثَّوْبَ ؟ فَقَالَتْ : كُنْتُ أَغْسِلُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ وَأَثَرُ الْغَسْلِ فِيْ ثَوْبِهِ بُقَعُ الْمَاءِ .
Dari ‘Amr bin Maimun, dari Sulaiman bin Yasar, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah tentang (hukum) air mani yang mengenai pakaian. Beliau menjawab: “Aku pernah mencucinya dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Beliau keluar (ke masjid) untuk shalat, sedangkan bekas cucian tersebut masih tetap ada di pakaian Beliau, yaitu dua warna yang berbeda”.
Dalam hadits ini Sulaiman bin Yasaar menjelaskan pendengarannya dari ‘Aisyah. Hal ini adalah bantahan bagi orang yang menyatakan Sulaiman tidak mendengar hadits dari ‘Aisyah. Memang Ibnu Mulaqqin pernah menukil dalam al-badrulmunir 2/232 dari al-Bazaar pernyataan beliau: Hadits ini diriwayatkan Maimuun dari Sulaiman dan Sulaiman tidak mendengar dari ‘Aisyah.
Oleh karena itu al-Haafizh Ibnu Hajar dalam fathul Bari 1/334 menyatakan: pernyataan : “Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah” berisi bantahan kepada al-Bazzaar ketika menganggap Sulaiman tidak mendengar hadits dari ‘Aisyah. al-Bazaar telah didahului dalam anggapan ini, asy-Syafi’i dalam kitab al-Umm menceritakan dari selainnya dan ada tambahan: Para al-Hafizh berkata: Amru bin Maimun salah dalam menjadikannya hadits marfu’, yang benar itu fatwa Sulaiman. Kemudian al-Haafizh menyatakan lagi: Telah jelas keabsahan pendengaran Sulaiman dari ‘Aisyah dari penilaian sahih dari imam al-Bukhari terhadap hadits ini dan juga persetujuan imam Muslim dalam menilai hadits ini sebagai hadits sahih. Juga jelas kemarfu’annya sahih dan tidak ada kontradiksi antara fatwa dan riwayat Sulaiman ini. Demikian juga tidak ada pengaruhnya perbedaan antara dua riwayat tersebut, dimana salah satunya Amru bin Maimun telah bertanya kepada Sulaiman dan diriwayat lainnya Sulaiman bertanya kepada ‘Aisyah; karena setiap dari keduanya betanya kepada gurunya, lalu sebagain perawi hafal yang tidak dihafal oleh yang lainnya dan semuanya tsiqat. (Tahdzib St-Tahdzib 4/230).
Sedangkan hadits kedua diriwayatkan oleh Muslim (no. 290 (1/164, 165, 166), Abu Dawud (no. 371-372), Nasaa-i (1/156-157), Ibnu Majah (no. 537, 538, 539), Ahmad 6/152, Ibnul Jaruud dalam al-Muntaqa no. 136, ath-Thahawi dalam Syarhu Ma’anil Atsar 1/48, Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya no 288 dan Ibnu Hibaan no. 1379 serta al-baihaqi 2/416. Semuanya dari jalan al-Aswad bin yazid rahmatullah dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan lafazh :
أَنَّ رَجُلًا نَزَلَ بِعَائِشَةَ، فَأَصْبَحَ يَغْسِلُ ثَوْبَهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: «إِنَّمَا كَانَ يُجْزِئُكَ إِنْ رَأَيْتَهُ أَنْ تَغْسِلَ مَكَانَهُ، فَإِنْ لَمْ تَرَ نَضَحْتَ حَوْلَهُ وَلَقَدْ رَأَيْتُنِي أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا فَيُصَلِّي فِيهِ»
Ada seorang menginap dengan ‘Aisyah lalu dipagi hari orang tersebut mencuci bajunya, lalu ‘Aisyah berkata: Sungguh cukup bagimu apabila melihatnya (mani) untuk mencuci yang terkena saja, apabila kamu tidak melihatnya maka basahilah sekitarnya. Sungguh aku dulu mengerik mani dari baju Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam lalu beliau sholat menggunakan baju tersebut.
Lafadz ini mirip dengan yang dibawakan oleh Al Hafizh. Hadits ini juga diriwayatkan dari jalan lainnya, diantaranya:
a. jalan riwayat ‘Alqamah dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang dikeluarkan imam Muslim no. 288, Ibnu Khuzaimah no. 288, Ibnu Hibaan no. 1379 dan al-baihaqi 2/416.
b. jalan riwayat Hammam bin al-Haarits dari ‘Aisyah yang dikeluarkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf no. 1439, Muslim no. 288, Ibnul Ja’d dalam Msnadnya no. 179, Abbu Daud no. 371, an-Nasaa’i no. 297, 298, 299 , at-Tirmidzi no. 116, Abu ‘Awaanah 2/205, Ath-Thahawi dalam Syarhu Ma’anil Atsaar 1/48 dan Ibnu Khuzaimah no.288.
c. jalan riwayat al-Haarits bin Naufal dari ‘Aisyah yang dikeluarkan oleh an-Nasaa’i no. 296, dan ath-Thahawi 1/49.
d. jalan riwayat Abdullah bin Syihab al-Khaulani rahimahullah yang dikeluarkan imam Muslim no.288 dengan redaksi:
كُنْتُ نَازِلًا عَلَى عَائِشَةَ فَاحْتَلَمْتُ فِي ثَوْبَيَّ فَغَمَسْتُهُمَا فِي الْمَاءِ، فَرَأَتْنِي جَارِيَةٌ لِعَائِشَةَ فَأَخْبَرَتْهَا فَبَعَثَتْ إِلَيَّ عَائِشَةُ فَقَالَتْ: مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ بِثَوْبَيْكَ؟ قَالَ قُلْتُ: رَأَيْتُ مَا يَرَى النَّائِمُ فِي مَنَامِهِ، قَالَتْ: هَلْ رَأَيْتَ فِيهِمَا شَيْئًا؟ قُلْتُ: لَا، قَالَتْ: «فَلَوْ رَأَيْتَ شَيْئًا غَسَلْتَهُ لَقَدْ رَأَيْتُنِي وَإِنِّي لَأَحُكُّهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَابِسًا بِظُفُرِي»
Aku pernah menginap diruah ‘Aisyah lalu aku bermimpi keluar mani pada dua helai pakaianku, lalu aku cuci keduanya dengan air, lalu budak perempuan milik ‘Aisyah melihatku lalu mengkhabarkan kepada beliau kemudian ‘Aisyah mengutusnya memanggil aku. Lalu ‘Aisyah bertanya: Apa yang menyebabkan kamu berbuat atas kedua pakaianmu tersebut? aku menjawab: Aku melihat apa yang dilihat orang tidur dalam mimpinya. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma berkata: Apakah kamu melihat pada keduanya sesuatu (mani)? aku menjawab: Tidak. ‘Aisyahpun berkata: Seandainya kamu lihat maninya maka cucilah, sungguh aku mengerik dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mani yang kering dengan kuku-kukuku.
e. jalan riwayat Mujahid dari ‘Aisyah yang dikeluarkan Oleh athThahawi 1/51
f. Jalan riwayat Sa’id bin Jubeir dari ‘Aisyah yang dikeluarkan oleh athThabrani dalam al-Ausaath no. 5690 .
Akan tetapi, pada lafazh yang kedua ini (لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفْرِيْ مِنْ ثَوْبِهِ) Al Hafizh menurunkannya bil ma’na (secara makna). Atau bisa jadi, naskah Shahih Muslim yang ada pada Al Hafizh dengan yang sampai kepada kita yang kemudian dicetak, ada beberapa perbedaan sedikit, meskipun tidak sampai merusak hadits.
Demikian juga lafaz riwayat lain yang disampaikan al-Haafizh Ibnu Hajar diatas, ada di Shahih Muslim dengan lafaz redaksi:
لَقَدْ رَأَيْتُنِي وَإِنِّي َلأَحُكُّهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَابِسًا بِظُفُرِي .
Jelas disini bahwa al-bukhori tidak meriwayatkan hadits mengerik mani, namun hanya mengisyaratkannya dalam tarjamah (judul bab) sebagaimana kebiasaan beliau. Nampaknya ini yang menjadi tujuan al-Haafizh menyampaikan riwayat Muslim.
wallahu a’lam
Penjelasan Kosa Kata
(كان يغسل..) termasuk fiil mudhari’ ada setelah lafazh (كان) yang menunjukkan terulang-ulang dan kontinyu perbuatannya selama tidak ada indicator yang menyelisihi makna ini.
(المني) Mani atau cairan sperma adalah cairan berwarna putih keruh, memiliki bau yang khas, keluar dengan syahwat, keluar dengan memancar dan membuat lemas, biasanya keluarnya cairan ini diiringi dengan rasa nikmat dan dibarengi dengan syahwat. Mani dapat keluar dalam keadaan sadar (seperti karena berhubungan suami-istri) ataupun dalam keadaan tidur (biasa dikenal dengan sebutan “mimpi basah”).
Mani termasuk satu dari empat cairan yang keluar dari kemaluan. Selain mani ada Madzi, Wadi dan kencing.
a. Madzi adalah cairan yang keluar dari kemaluan, bening dan lengket. Keluarnya air ini disebabkan syahwat yang muncul ketika seseorang memikirkan atau membayangkan jima’ (hubungan seksual) atau ketika pasangan suami istri bercumbu rayu (biasa diistilahkan dengan foreplay/pemanasan). Air madzi keluar dengan tidak memancar. Keluarnya air ini tidak menyebabkan seseorang menjadi lemas (tidak seperti keluarnya air mani, yang pada umumnya menyebabkan tubuh lemas) dan terkadang air ini keluar tanpa disadari (tidak terasa). Air madzi dapat terjadi pada laki-laki dan wanita, meskipun pada umumnya lebih banyak terjadi pada wanita.
b. Wadi adalah air putih kental dan keruh seperti mani yang keluar dari kemaluan seseorang setelah kencing. Wadi tidak memiliki bau dan lebih banyak keluar dimusim dingin daripada dimusim panas.
(أفركه) pada asalnya bermakna menggosok sesuatu hingga mengelupas (lisan al-Arab 10/473) dan dapat diartinya mengerik dengan tangan hingga mengelupas dan lepas yang menempel.
(فيصلي فيه) menunjukan langsung sholat. Ini menegaskan bahwa tidak terjadi pencucian setelah dikerik dengan sholat, bahkan ada dalam riwayat ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1/147 berbunyi:
أنها كانت تَحُتُّ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي.
A’isyah dulu mengerik mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beliau sholat.
Pengertian Hadits Secara Umum
Ummulmukminin ‘Aisyah menceritakan kepada kita cara menghilangkan mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau kadang mencucinya dan kadang mengeriknya. Apabila maninya dalam keadaan basah maka ‘Aisyah mencucinya lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk shalat dan sisa air masih nampak pada pakaian tersebut. Apabila maninya sudah kering maka beliau mengeriknya hingga mengelupas dan hilang kemudian sholat menggunakan pakaian tersebut tanpa dicuci. (tambihul Afhaam syarhu Umdah al-Ahkaam 1/88).
Faedah Pelajaran Ilmu Hadits
1. Yang dimaksud dengan hadits “Yang disepakati Bukhari dan Muslim” atau biasa disebut dengan “Muttafaq ‘alaihi (مُتَفَقٌ عَلَيْهِ)”, ialah hadits yang di-takhrij (dikeluarkan) oleh Bukhari dan Muslim, yang keduanya sepakat dalam asal hadits (ashlul hadits) dari jalan sahabat yang sama, meskipun terdapat perbedaan di sebagian susunan lafazh-nya.
Hal ini sebagaimana diterangkan sendiri oleh Al Hafizh di kitab besarnya Fat-hul Baari (1/279 di akhir kitab ilmu):
وَالْمُرَادُ بِمُوَافَقَةِ مُسْلِمٍ مُوَافَقَتُهُ عَلَى تَخْرِيْجِ أَصْلِ الْحَدِيْثِ عَنْ صَحَابِيْهِ وَإِنْ وَقَعَتْ بَعْضُ الْمُخَالَفَةِ فِيْ بَعْضِ السِيَقَاتِ.
yang dimaksud dengan disepakati imam Muslim adalah sepakat mengeluarkan pokok hadits dari satu sahabat walaupun terjadi sedikit perbedaan dalam sebagain alur redaksinya.
2. Hadist Aisyah di atas dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dengan lafazh “mencuci (الْغَسْلُ),” dan dengan lafazh “mengerik (الْفَرْكُ)” dan lafazh lain yang semakna dengannya.
Imam Bukhari hanya meriwayatkan dengan lafazh “mencuci (الْغَسْلُ),” tidak meriwayatkan dengan lafazh “mengerik (الْفَرْكُ)”. Tetapi Imam Bukhari sendiri, ketika meriwayatkan hadits “mencuci” di atas dalam Shahih-nya telah mengisyaratkan adanya hadits “mengerik”, meskipun ia tidak meriwayatkannya, karena memang tidak memenuhi persyaratan beliau di Shahih-nya. Beliau memberikan bab dengan judul:
بَابُ غَسْلِ الْمَنِيِّ وَفَرْكِهِ (Bab mencuci mani dan mengeriknya).
Dari keterangan di atas ada dua faidah yang dapat kita ambil:
Pertama. Bahwa tidak semua hadits shahih dimasukkan Bukhari di kitab Shahih. Demikian juga Muslim telah menegaskan di kitab Shahih, bahwa tidak semua hadits shahih, ia masukkan di dalam Shahih-nya. Insya Allah pada tempat dan kesempatan yang lain yang lebih tepat, akan saya turunkan perkataan keduanya dan alasan-alasannya.
Kedua. Keunggulan atau kelebihan Bukhari atas Muslim tidak mutlak. Tetapi dalam sebagian hadits, adakalanya Muslim lebih unggul dari Bukhari. Wallahu a’lam.
Fikih Hadits
1. Air mani itu suci dan tidak najis menurut pendapat yang rojih. Kedudukannya sama seperti air ludah, ingus dan air reak. Meskipun dianggap kotor, tetapi kotor bukan sebagai najis. Secara syar’i, ia tetap suci. Adapun kadang-kadang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan ‘Aisyah mencuci air mani yang menempel di pakaian Beliau, tidak menunjukkan najisnya, tetapi sebagai kebersihan saja. Seperti air ludah dan ingus yang mengenai pakaian kita, dikatakan kotor, kemudian dicuci untuk kebersihan. Demikian juga kuah sayur yang tumpah menimpa pakaian kita, dikatakan kotor, bukan kotor dalam arti najis secara syar’i. Dari sini, kita dapat mengambil satu kaidah, bahwa tidak setiap sesuatu yang dicuci atau dianggap kotor itu najis.
2. Kewajiban seorang isteri berkhidmat kepada suami, sampai-sampai dalam masalah yang dianggap kotor oleh manusia.
3. Zuhudnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupan dunia.
4. Setiap perkataan dan perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak disembunyikan dari umatnya. Meskipun sesuatu yang biasanya disembunyikan oleh manusia, seperti urusan air mani. Dari kaidah ini, kita mengetahui, alangkah batilnya perkataan Rafidhah (Syi’ah), bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah merahasiakan sesuatu kepada Ali yang tidak diketahui oleh seorangpun juga dari umatnya.
5. Isteri-isteri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam , terutama Aisyah, mengetahui tentang keadaan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam di rumah-rumah mereka dari sahabat yang lain.
6. Para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in menjawab pertanyaan dengan dalil.
7. Keutamaan ‘Aisyah yang berkhidmah kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan anjuran wanita membantu suaminya dalam mencuci pakaian dan membersihkan rumah.
8. Yang disyariatkan dalam menghilangkan mani pada pakaian adalah apabila maninya dalam keadaan basah maka dicuci. Apabila maninya sudah kering maka dikeriknya hingga mengelupas dan hilang. (tambihul Afhaam syarhu Umdah al-Ahkaam 1/88).
Sudah dulu. untuk masalah terkait dengan hadits insya Allah menyusul pekan depan.
TANYA
Ustadz mau tanya, biasanya wanita setelah berhubungan suami istri mengeluarkan cairan bening tapi tidak terasa dan tak bisa ditahan, keluarnya tidak langsung bahkan sudah beberapa waktu setelah mandi, apakah itu najis, jika kena pakaian, apakah mewajibkan mandi?
Jawab
Kemungkinan itu madzi sehingga najis dan pakaian yang terkena dicuci bagian yang terkenanya saja. Tidak wajib mandi lagi karena itu bukan mani.
Doa penutup majelis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ ٭
Artinya:
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Wassalamualaikum wr.wb
--------------------------------------------------
Hari / Tanggal : Jumat, 22 Januari 2016
Narasumber : Ustadz Kholid Syamhudi Al Bantani
Tema : Hadist
Notulen : Ana Trienta
Kajian Online Telegram Hamba اَﻟﻠﱣﻪ Ta'ala
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment