KAJIAN ONLINE HAMBA اَللّهُSWT UMMI M5
Senin, 3 Oktober 2016
Narasumber : Ustadz Dudi
Tema : Kajian Umum
Editor : SaptaSenin, 3 Oktober 2016
Narasumber : Ustadz Dudi
Tema : Kajian Umum
Assalamualaikum, kita mulai kajian dgn tema "Riba dalam Alqur'an "
dakwatuna.com –
Al-Qur`an menerangkan beberapa aturan² yang harus dipenuhi, dan menjelaskan beberapa hal yang harus dihindari. Dan salah satu yang merupakan hal yang dilarang dalam jual beli khususnya dan mu’amalah manusia pada umumnya adalah riba, yang telah jelas penjelasan pengharamannya melalui beberapa ayat yang berkaitan dengan masalah mu’amalah antar sesama manusia.
Pengertian Riba
Kata riba ➡ bahasa Arab yang artinya secara bahasa = tambahan (ziyâdah). Sedangkan menurut arti istilah, para Ulama fikih menyebutkan 3 :
1⃣ Riba qardh adalah tambahan yang disyaratkan ketika pengembalian pinjaman, yang disesuaikan dengan besar dan lama waktu pinjaman, atau yang sekarang lebih dikenal dengan bunga (fâidah).
2⃣ Riba fadhl, yaitu tambahan yang ada ketika pertukaran barang-barang ribawi yang sejenis, seperti menukar satu gram emas dengan dua gram emas.
3⃣ Riba nasa`, yaitu riba yang terjadi pada pertukaran dua barang ribawi sejenis yang mana salah satu atau keduanya ditangguhkan pembayarannya, atau tidak dibayar tunai ketika akad berlangsung.
Pembahasan Riba dalam al-Qur`ân
⚠ al-Qur`an telah memberikan penjelasan kepada kita mengenai riba yang diharamkan pada 4 tempat, yaitu :
QS. ar-Rum : 39
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”
Mengenai riba yang dijelaskan dalam ayat ini, para Ulama tafsir menyebutkan 2 arti, yaitu:
dakwatuna.com –
Al-Qur`an menerangkan beberapa aturan² yang harus dipenuhi, dan menjelaskan beberapa hal yang harus dihindari. Dan salah satu yang merupakan hal yang dilarang dalam jual beli khususnya dan mu’amalah manusia pada umumnya adalah riba, yang telah jelas penjelasan pengharamannya melalui beberapa ayat yang berkaitan dengan masalah mu’amalah antar sesama manusia.
Pengertian Riba
Kata riba ➡ bahasa Arab yang artinya secara bahasa = tambahan (ziyâdah). Sedangkan menurut arti istilah, para Ulama fikih menyebutkan 3 :
1⃣ Riba qardh adalah tambahan yang disyaratkan ketika pengembalian pinjaman, yang disesuaikan dengan besar dan lama waktu pinjaman, atau yang sekarang lebih dikenal dengan bunga (fâidah).
2⃣ Riba fadhl, yaitu tambahan yang ada ketika pertukaran barang-barang ribawi yang sejenis, seperti menukar satu gram emas dengan dua gram emas.
3⃣ Riba nasa`, yaitu riba yang terjadi pada pertukaran dua barang ribawi sejenis yang mana salah satu atau keduanya ditangguhkan pembayarannya, atau tidak dibayar tunai ketika akad berlangsung.
Pembahasan Riba dalam al-Qur`ân
⚠ al-Qur`an telah memberikan penjelasan kepada kita mengenai riba yang diharamkan pada 4 tempat, yaitu :
QS. ar-Rum : 39
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”
Mengenai riba yang dijelaskan dalam ayat ini, para Ulama tafsir menyebutkan 2 arti, yaitu:
🔹Riba halal, maksud dari riba halal pada ayat ini adalah hadiah (hibah ribawiyah), yaitu seseorang yang memberi sesuatu kepada orang lain untuk mendapat ganti dari apa yang diberikan. Dan ganti atas pemberian itu bisa jadi sesuai dengan banyaknya pemberian (tsawab mukafi’), dan bisa lebih banyak (tsawab ribawi). Pendapat ini sesuai dengan perkataan Ibnu Abbas, ‘Umar, ‘Ali, Abu Darda`, Fadhalah bin ‘Ubaid, Sa’id bin Jabir, Mujahid, Qurthubi, dan banyak Ulama yang lainnya.
🔸Riba haram, atau yang biasa disebut riba qardh (riba dalam pinjaman).
Perbandingan antara Qardh Faidah (qardh ribawi) dengan hibah tswabab (hibah ribawiyah)
Islam membolehkan untuk mengambil ganti (imbalan) dari sesuatu pemberian dengan adanya tambahan (riba), bahkan tambahan ini mungkin untuk dijadikan syarat pemberian, dan apabila orang yang akan menerima tidak menyetujui syarat itu, maka boleh bagi orang yang memberi untuk mengambil kembali pemberiannya. Hal yang demikian sesuai dengan hadis Nabi Saw., yaitu “Barang siapa yang memberi sesuatu, maka dia(pemberi) lebih berhak atas barang pemberian itu jika tidak ada ganti”.
Kemudian firman Allah dalam QS. Al-Muddatsir : 6 “ولا تمنن تستكسر”, Ulama tafsir berpendapat bahwa larangan dalam ayat ini hanya dikhususkan bagi Rasulullah SAW, karena beliau diperintahkan untuk bermuamalah dengan adab yang baik dan akhlaq yang mulia.
Sebagian Ulama mengatakan bahwa hibah yang ditujukan untuk mendapat ganti atasnya atau mengharuskan si penerima untuk menggantinya dinamakan hadiah. Tapi jika pemberian itu dimaksudkan untuk mendapat ganti dari Allah semata dan bukan balasan dunia, maka yang demikian disebut shadaqoh. Jadi disini ada hibah dengan cara shadaqoh dan dengan cara tukar.
Pinjaman (qardh) dalam Islam bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ketika qardh terbebas dari unsur riba atau bunga, maka qardh dalam hal ini dikatakan qardh hasan atau qardh shodaqoh atau qardh zakat. Qardh hasan, bisa disebut demikian apabila terjadi dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah, atau bisa dibilang dari orang kaya kepada orang miskin. Begitu juga hibah untuk mencari balasan dari Allah semata (hibah shadaqoh), yang akan dinamakan demikian apabila terjadi dari orang yang lebih tinggi derajatnya.
Singkatnya, hibah terbagi menjadi dua, hibah hasanah yang tidak ada riba di dalamnya yang tujuannya adalah balasan dari Allah semata baik di dunia maupun di akhirat, dan hibah ribawiyah, yaitu memberi sesuatu untuk mendapat ganti dari pemberian itu. Begitu juga qardh yang terbagi menjadi qardh hasan, yang tidak mengandung riba, dan qardh ribawi, yaitu pinjaman dengan riba atau bunga.
📌 QS. An-Nisa: 160-161
“Maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah - dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
Dapat kita pahami dari ayat di atas, bahwa orang-orang Yahudi terdahulu telah melakukan praktek riba walaupun sudah jelas dilarang, dan ini berarti mereka telah melanggar larangan Allah. Ayat ini juga menerangkan bahwa ternyata riba telah diharamkan atas orang-orang Yahudi, dan sesungguhnya mereka akan mendapat balasan atas apa yang mereka makan dari riba itu di dunia dan akhirat. Lalu kemudian, ketika riba diharamkan atas orang-orang Yahudi, apakah pelarangan itu juga berlaku untuk orang-orang muslim? atau dengan kata lain, sesungguhnya Al-Qur’an di sini hanya mengatakan bahwa riba diharamkan atas suatu golongan tertentu yaitu Yahudi dan ini terjadi pada zaman Nabi Musa as. dan bukankah berarti larangan itu terbatas oleh zaman dan tempat, dan larangan itu sudah tidak berlaku lagi kecuali untuk kelompok yang disebut?
Permasalahan ini masuk dalam pembahasan “Syari’at sebelum kita”, yang mana kebanyakan ulama fikih berpendapat bahwa itu juga berlaku untuk kita selama tidak ada dalil-dalil Qur’an dan Sunnah yang menentangnya. Meskipun begitu, masih ada juga sebagian kecil dari ulama yang tidak sependapat dengan pendapat tadi dan menganggap bahwa ayat ini hanya berlaku dan terbatas untuk kaum Yahudi yang disebutkan di dalam ayat, dan tidak berlaku bagi orang-orang muslim sekarang.
📌 QS. Ali Imron : 130
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Ayat ini diturunkan pada peristiwa perang uhud di tahun ketiga hijriah, yang mana ketika itu orang-orang muslim mengira bahwa kemenangan kaum musyrikin atas mereka disebabkan oleh harta yang mereka kumpulkan dengan cara riba yang kemudian mereka gunakan untuk membiayai pasukan perang mereka.
📌 QS. An-Nisa: 160-161
“Maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah - dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
Dapat kita pahami dari ayat di atas, bahwa orang-orang Yahudi terdahulu telah melakukan praktek riba walaupun sudah jelas dilarang, dan ini berarti mereka telah melanggar larangan Allah. Ayat ini juga menerangkan bahwa ternyata riba telah diharamkan atas orang-orang Yahudi, dan sesungguhnya mereka akan mendapat balasan atas apa yang mereka makan dari riba itu di dunia dan akhirat. Lalu kemudian, ketika riba diharamkan atas orang-orang Yahudi, apakah pelarangan itu juga berlaku untuk orang-orang muslim? atau dengan kata lain, sesungguhnya Al-Qur’an di sini hanya mengatakan bahwa riba diharamkan atas suatu golongan tertentu yaitu Yahudi dan ini terjadi pada zaman Nabi Musa as. dan bukankah berarti larangan itu terbatas oleh zaman dan tempat, dan larangan itu sudah tidak berlaku lagi kecuali untuk kelompok yang disebut?
Permasalahan ini masuk dalam pembahasan “Syari’at sebelum kita”, yang mana kebanyakan ulama fikih berpendapat bahwa itu juga berlaku untuk kita selama tidak ada dalil-dalil Qur’an dan Sunnah yang menentangnya. Meskipun begitu, masih ada juga sebagian kecil dari ulama yang tidak sependapat dengan pendapat tadi dan menganggap bahwa ayat ini hanya berlaku dan terbatas untuk kaum Yahudi yang disebutkan di dalam ayat, dan tidak berlaku bagi orang-orang muslim sekarang.
📌 QS. Ali Imron : 130
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Ayat ini diturunkan pada peristiwa perang uhud di tahun ketiga hijriah, yang mana ketika itu orang-orang muslim mengira bahwa kemenangan kaum musyrikin atas mereka disebabkan oleh harta yang mereka kumpulkan dengan cara riba yang kemudian mereka gunakan untuk membiayai pasukan perang mereka.
Selanjutnya, riba dalam ayat ini lebih dimaksudkan pada riba qardh, yaitu mengambil tambahan dari hutang pokok. Dengan arti ini, maka kalimat “berlipat ganda” bisa berarti hutang yang berlipat ganda yang disebabkan oleh riba, seperti ketika seorang A berhutang kepada B yang mana hutang itu harus dikembalikan satu tahun kemudian, dan pada saat jatuh tempo si A tidak bisa membayar hutangnya itu, maka si B memberi keringanan kepada Si A untuk membayar tahun depannya lagi dengan catatan dia harus membayar dua kali lipat dari hutangnya sekarang, dan begitu seterusnya setiap dia tidak bisa membayar hutangnya pada saat jatuh tempo. Maksud berlipat ganda bisa juga ditujukan untuk bunga atau tambahan yang diambil dari hutang asli. Contohnya ketika A berhutang seratus pound kepada B dengan bunga setiap tahun sepuluh pound, maka pada saat jatuh tempo si A tidak bisa membayar hutangnya, si B memberi keringanan kepada A untuk membayarnya pada tahun berikutnya dengan keharusan si A membayar kelipatan dari bunga hutang itu, atau dia harus membayar sebesar seratus dua puluh pound.
Sebagian orang mengatakan bahwa “berlipat ganda” dalam ayat ini adalah sifat dari riba yang diharamkan, dengan kata lain, mereka melihat bahwa riba yang sedikit dibolehkan. Riba yang sedikit ini mempunyai beberapa gambaran:
Riba yang sedikit, walaupun diambil lebih dari sekali.
Riba yang tidak banyak dan tidak sedikit, atau sesuai dengan bunga yang ditentukan ketika akad.
Riba yang diambil sekali saja, banyak atau sedikit.
Namun, sebagian besar Ulama tafsir mengatakan bahwa berlipat ganda pada ayat ini adalah sifat untuk riba jahiliyah, dan tidak bisa diartikan di sini bahwa riba itu dibolehkan bila tidak sampai berlipat ganda.
📌 QS. Al-Baqarah : 275-280
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba............dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui”.
Riba yang sedikit, walaupun diambil lebih dari sekali.
Riba yang tidak banyak dan tidak sedikit, atau sesuai dengan bunga yang ditentukan ketika akad.
Riba yang diambil sekali saja, banyak atau sedikit.
Namun, sebagian besar Ulama tafsir mengatakan bahwa berlipat ganda pada ayat ini adalah sifat untuk riba jahiliyah, dan tidak bisa diartikan di sini bahwa riba itu dibolehkan bila tidak sampai berlipat ganda.
📌 QS. Al-Baqarah : 275-280
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba............dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui”.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang perkataan Ibnu Abbas ra. bahwa dia telah berkata, “ayat ini adalah ayat terakhir yang diturunkan kepada Rasulullah Saw., kemudian berkata Jibril, “Letakkanlah (ayat ini) di atas dua ratus delapan puluh ayat dari surat Al-Baqarah”, dan Rasulullah Saw. hidup selama dua puluh satu hari setelah turunnya ayat ini.
Seperti yang terdapat dalam banyak pembahasan mengenai riba, kata riba selalu didahului oleh kata al-akl (memakan). Namun itu bukan berarti memakan dalam arti yang sesungguhnya, karena riba bukannlah merupakan satu jenis makanan. Tapi maksud dari penggunaan kata “memakan” untuk riba di sini adalah dilihat dari tujuan utama manusia mencari harta (dengan atau tanpa melakukan praktek riba) adalah untuk kebutuhan makan, meskipun manusia mempunyai tujuan yang lain, seperti untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan, dan yang lainnya.
Orang-orang yang memakan riba berpendapat bahwa apa yang mereka kerjakan adalah sesuatu yang sah-sah saja, dengan alasan bahwa riba menyerupai jual beli yang sudah jelas dibolehkan. Jadi mereka mengatakan bahwa hukum riba sama seperti hukum jual beli, pendapat mereka ini berlandaskan atas:
Apabila riba diharamkan, maka jual beli seharusnya diharamkan juga, karena jual beli sama dengan riba yang di dalam keduanya ada tambahan atau sama-sama mencari untung
Apabila jual beli dihalalkan, maka begitu pula yang harus terjadi pada riba. Dan yang memperjelas perkara ini adalah dengan membandingkan antara riba dan jual beli dengan pembayaran yang ditangguhkan (bai’ muajjal), yaitu ketika seseorang menjual suatu barang yang harga aslinya sepuluh pound dengan harga dua puluh pound kepada pembeli yang ingin membayarnya di waktu yang akan datang (bukan ketika akad berlangsung).
Dijelaskan di sini bahwa firman Allah (yang artinya), “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”, tidak berarti bahwa setiap jual beli adalah halal, dan tidak semua riba juga haram. Menurut pendapat Imam Syafi’i tentang ini, “Maksud dari jual beli yang dihalalkan di sini adalah jual beli yang tidak dilarang oleh syari’at”, dan sudah banyak diketahui dari buku-buku fikih dan sunnah, bahwa jual beli ada juga yang diharamkan, seperti jual beli yang di dalamnya terdapat unsur gharar (tidak jelas), ghisy (curang), dan lainnya.
Oleh karena itu, riba yang telah diambil sebelum datangnya ayat pengharaman riba boleh menjadi milik dia, sedangkan yang belum diambil, walaupun sudah ada kesepakatan sebelum pengharaman riba, maka dia wajib meninggalkan dan tidak mengambilnya. Dan barang siapa yang masih mengambil riba setelah diharamkan, kemudian dia bertaubat, maka dia harus mengembalikannya.
Allah Swt. akan menghapuskan riba dan memberkahi shadaqah, di dunia dan akhirat. Maksud dari istilah ini adalah:
Maksudnya di dunia adalah Allah Swt. menghapus barakah riba, seperti melenyapkan harta dari pemiliknya atau dari ahli warisnya sampai menjadi miskin dan hina, dan apa yang akan menimpa orang yang memakan riba dari kehinaan, kemarahan, sampai hilangnya kepercayaan. Di dunia, Allah Swt. membuat shadaqah menjadi barakah karena manfaatnya, dan sesungguhnya harta tidak akan berkurang karena shadaqah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (yang artinya), “tidak akan berkurang harta karena shadaqah”.
Di akhirat, Allah melenyapkan riba, yang itu berarti tidak menerima amalan-amalan orang yang melakukan riba. Ibnu Abbas berkata, “Tidak akan diterima (dari orang yang memakan riba) shadaqahnya, hajinya, jihadnya, dan tidak juga hubungannya”.
🔅Di dalam kandungan ayat diatas, ada ancaman bagi orang-orang yang mengambil riba yaitu apabila mereka tidak berhenti dari riba, maka Allah dan Rasul-Nya Saw. akan memerangi mereka atau menjadi musuh bagi mereka. Ahlul Ma’ani berkata, “Perang Allah atas mereka dengan neraka, dan perang Rasulullah Saw. dengan pedang”.
Seperti yang terdapat dalam banyak pembahasan mengenai riba, kata riba selalu didahului oleh kata al-akl (memakan). Namun itu bukan berarti memakan dalam arti yang sesungguhnya, karena riba bukannlah merupakan satu jenis makanan. Tapi maksud dari penggunaan kata “memakan” untuk riba di sini adalah dilihat dari tujuan utama manusia mencari harta (dengan atau tanpa melakukan praktek riba) adalah untuk kebutuhan makan, meskipun manusia mempunyai tujuan yang lain, seperti untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan, dan yang lainnya.
Orang-orang yang memakan riba berpendapat bahwa apa yang mereka kerjakan adalah sesuatu yang sah-sah saja, dengan alasan bahwa riba menyerupai jual beli yang sudah jelas dibolehkan. Jadi mereka mengatakan bahwa hukum riba sama seperti hukum jual beli, pendapat mereka ini berlandaskan atas:
Apabila riba diharamkan, maka jual beli seharusnya diharamkan juga, karena jual beli sama dengan riba yang di dalam keduanya ada tambahan atau sama-sama mencari untung
Apabila jual beli dihalalkan, maka begitu pula yang harus terjadi pada riba. Dan yang memperjelas perkara ini adalah dengan membandingkan antara riba dan jual beli dengan pembayaran yang ditangguhkan (bai’ muajjal), yaitu ketika seseorang menjual suatu barang yang harga aslinya sepuluh pound dengan harga dua puluh pound kepada pembeli yang ingin membayarnya di waktu yang akan datang (bukan ketika akad berlangsung).
Dijelaskan di sini bahwa firman Allah (yang artinya), “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”, tidak berarti bahwa setiap jual beli adalah halal, dan tidak semua riba juga haram. Menurut pendapat Imam Syafi’i tentang ini, “Maksud dari jual beli yang dihalalkan di sini adalah jual beli yang tidak dilarang oleh syari’at”, dan sudah banyak diketahui dari buku-buku fikih dan sunnah, bahwa jual beli ada juga yang diharamkan, seperti jual beli yang di dalamnya terdapat unsur gharar (tidak jelas), ghisy (curang), dan lainnya.
Oleh karena itu, riba yang telah diambil sebelum datangnya ayat pengharaman riba boleh menjadi milik dia, sedangkan yang belum diambil, walaupun sudah ada kesepakatan sebelum pengharaman riba, maka dia wajib meninggalkan dan tidak mengambilnya. Dan barang siapa yang masih mengambil riba setelah diharamkan, kemudian dia bertaubat, maka dia harus mengembalikannya.
Allah Swt. akan menghapuskan riba dan memberkahi shadaqah, di dunia dan akhirat. Maksud dari istilah ini adalah:
Maksudnya di dunia adalah Allah Swt. menghapus barakah riba, seperti melenyapkan harta dari pemiliknya atau dari ahli warisnya sampai menjadi miskin dan hina, dan apa yang akan menimpa orang yang memakan riba dari kehinaan, kemarahan, sampai hilangnya kepercayaan. Di dunia, Allah Swt. membuat shadaqah menjadi barakah karena manfaatnya, dan sesungguhnya harta tidak akan berkurang karena shadaqah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (yang artinya), “tidak akan berkurang harta karena shadaqah”.
Di akhirat, Allah melenyapkan riba, yang itu berarti tidak menerima amalan-amalan orang yang melakukan riba. Ibnu Abbas berkata, “Tidak akan diterima (dari orang yang memakan riba) shadaqahnya, hajinya, jihadnya, dan tidak juga hubungannya”.
🔅Di dalam kandungan ayat diatas, ada ancaman bagi orang-orang yang mengambil riba yaitu apabila mereka tidak berhenti dari riba, maka Allah dan Rasul-Nya Saw. akan memerangi mereka atau menjadi musuh bagi mereka. Ahlul Ma’ani berkata, “Perang Allah atas mereka dengan neraka, dan perang Rasulullah Saw. dengan pedang”.
Diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah, “Sesungguhnaya ayat ini adalah ayat yang paling menakutkan di dalam al-Qur’an”, dan dari Imam Malik, “Sesungguhnya aku telah menela’ah kitaballah dan sunnah-sunnah Nabi-Nya, dan belum aku temukan hal yang lebih buruk dari riba, karena Allah mengizinkan untuk memerangi mereka (orang yang mengambil riba)”.
🔅Ulama-ulama Tafsir sepakat bahwa mensyaratkan tambahan dalam qardh adalah perbuatan yang tidak dibenarkan (dzulm), karena hakikat dari qardh adalah kebaikan, dan kebaikan di sini adalah dengan qardh atau shadaqah yang tanpa riba. Sedangkan riba berarti mendzalimi, yaitu mengambil kesempatan (keuntungan) dari orang yang sedang kesusahan.
Orang yang berhutang ketika dia sudah mampu membayarnya, tapi kemudian sengaja menunda waktu pembayaran, maka dia sudah dianggap mendzalimi orang yang dihutangi. Larangan untuk menunda pembayaran di sini sesuai dengan sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, “Penundaan (membayar hutang) seorang yang mampu (membayar) adalah kezhaliman.”
Apabila orang yang menunda pembayaran termasuk orang yang berbuat dzalim, maka sebaliknya, orang yang belum mampu membayar hutang ketika jatuh tempo berhak mendapat keringanan untuk ditangguhkan pembayarannya sampai dia mampu.
Perintah untuk menangguhkan pembayaran dalam ayat ini mempunyai dua kemungkinan, yaitu mandub dan wajib, dan kebanyakan Ulama dan Imam Malik lebih condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa itu adalah mandub.
Daftar Pustaka
Yunus Misry, Rafiq, Al-Jami’ fi ushulir-riba, Dar el-Qalam, Damaskus, cet. 2, 2001
Zuhaili, Dr. Wahbah, Al-fiqhul-islami wa adillatuhu, Dar el-fikr, Damaskus, 2007
Pusat Kajian Ekonomi Islam, Bundel Makalah, PAKEIS ICMI, Cairo, 2010
Daftar Pustaka
Yunus Misry, Rafiq, Al-Jami’ fi ushulir-riba, Dar el-Qalam, Damaskus, cet. 2, 2001
Zuhaili, Dr. Wahbah, Al-fiqhul-islami wa adillatuhu, Dar el-fikr, Damaskus, 2007
Pusat Kajian Ekonomi Islam, Bundel Makalah, PAKEIS ICMI, Cairo, 2010
~~~~~~~~~~~
TANYA JAWAB
T : tanya Ustadz., sekarang kan sudah banyak tuh Bank syari'ah dan asuransi syari'ah. Jika pengelolanya non muslim masih boleh ga kita ikut jadi nasabahnya Ustadz?
J : Boleh, karena operasional bank syariah haruslah sesuai syariah dan difatwakan oleh dewan syariah nasional serta diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah dan OJK. Selama operasionalnya sesuai syariah maka dibolehkan, karena syariah itu kemaslahatannya diperuntukan untuk seluruh alam.
T :Ustadz tanya, Semisal kita menjual barang ke orang dengan kesepakatan awal, kalau tunai misal harga 10.000, kalau dicicil harga menjadi 11.000. Apa hal tersebut termasuk riba? Terimakasih mohon penjelasannya.
J : Jika Anda menjual barang seperti itu boleh dengan syarat harus memilih salah satu transaksi. Misal kalau mau cicilan maka harus cicilan 11 ribu dibayar dalam waktu 1 bulan dan tidak boleh ada tambahan lagi, kalau ada tambahan maka itu jadi riba. Namun jika memberikan diskon maka dibolehkan.
T : Kalau gadai emas dipegadaian bagaimana hukumnya ustadz?
J : Gadai sudah dipraktikan rasulullah sejak dulu, beliau pernah menggadaikan baju perangnya untuk sekarung beras. Namun demikian saat ini terdapat modifikasi gadai jadi gadai konvensional yang memakai bunga, dima perusahaan gadai mengambil keuntungan dengan membungakan uang yang dipinjamkan, hal ini dilarang.
Saat ini sudah ada pegadaian syariah yang mempraktikan tata cara gadai sebagaimana dibolehkan syariah yaitu mengambil keuntungan dari hasil fee atas pemeliharaan barang yang digadaikan.
T : saya masih bingung aplikasi keseharian riba halal dan haram. Mungkin kalau yang haram banyak contoh di sekitar. Tapi yang halal, bagaimana ya?!J : riba haram: bunga bank, riba halal ini hanya ada antara hamba dan tuhannya. Contoh Anda bersedekah 100 ribu dengan niatan dibalas oleh Allah jadi 1 juta itu dibolehkan.
T : Kalau jual beli emas itu harus tunai ya ustadz? Terus bagaimana halnya dengan menabung uang, dan nanti akan dikonversi dalam bentuk LM (logam mulia) sampai saat tertentu..bolehkah praktik begini? Jazakalloh jwbannya
J : jual beli emas bisa tunai bisa juga dicicil dengan akad murabahah.
Menabung uang dan nanti dijadikan emas boleh saja karena kedua benda tersebut adalah barang ribawi yg tidak sejenis.
T : Melanjutkan masalah gadai Ustadz, di daerah saya sering terjadi penggadaian Tanah. Si pemegang gadai berhak penuh atas penggarapan tanah tersebut. sedangkan pemilik tanah tidak. Kalau yang seperti itu gimana Ustadz?
J : Dibolehkan, justru salah satu gadai yang benar seperti itu. Selama orang yang menggadaikan belum bisa mengembalikan apa yang diambil dengan menggadaikan tanahnya maka si penerima barang gadai bisa mengambil manfaat dari tanah tersebut.
contoh lain: si A butuh dana usaha lalu dia menggadaikan sapinya ke si B. Maka si B bisa mengambil susu dari sapu tersebut sampai si A mengembalikan dananya milik si B.
T : Jadi boleh ya Ustadz. Kalau kasusnya si pemilik tanah hanya punya tanah itu sebagai sumber penghasilannya gimana ustadz?
J : Nah kalau ini beda lagi, kalau memang dia tidak ada pekerjaan lain kenapa dia tidak jadi pemelihara tanah tersebut lalu hasilnya dibagi dengan pemegang gadai.
T : Bagaimana dengan bpjs dan kjs ustadz
J : Hukum BPJS dan KJS, keputusan OJK, BPJS dan MUI adalah sbb:
1. Telah dicapai kesepahaman para pihak untuk melakukan pembahasan lebih lanjut terkait dengan putusan dan rekomendasi Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia tentang penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan, MUI, pemerintah, DJSN, dan OJK.
2. Rapat bersepaham bahwa di dalam keputusan dan rekomendasi Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan, tidak ada kosa kata "haram".
3. Masyarakat diminta tetap mendaftar dan tetap melanjutkan kepesertaannya dalam program Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan BPJS Kesehatan, dan selanjutnya perlu adanya penyempurnaan terhadap program Jaminan Kesehatan Nasional sesuai dengan nilai-nilai syariah untuk memfasilitasi masyarakat yang memilih program yang sesuai dengan syariah.
ucap syukur : الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِين
dan istighfar : أَسْتَغفِرُ اَللّهَ الْعَظيِمْ
serta Doa Kafaratul majelis,
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك َ
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك َ
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
إِنْ شَاءَ الله kebersamaan malam inih bermanfaat dan barokah.
أٰمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْن
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
=====================
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment