Home » , , » AQIDAH DAN IMAN: FONDASI MASYARAKAT ISLAM

AQIDAH DAN IMAN: FONDASI MASYARAKAT ISLAM

Posted by Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT on Tuesday, January 23, 2018

 Kajian Online WA  Hamba الله SWT

Senin, 22 Januari 2018
Rekap Kajian Grup Bunda G6
Narasumber : Ustadz Cipto
Tema : Kajian Umum
Editor : Rini Ismayanti



Dzat yang dengan Kebesaran-Nya, seluruh makhluk menyanjung dan mengagungkan-Nya...
Dzat yang dengan Keperkasaan-Nya, musuh-musuh dihinakan lagi diadzab-Nya...
Dzat yang dengan Kasih dan Sayang-Nya, kita semua mampu mengecap manisnya Islam dan indahnya ukhuwah di jalan-Nya, memadukan hati kita dalam kecintaan kepadaNya, yang mempertemukan kita dalam keta'atan kepadaNya, dan menghimpunkan kita untuk mengokohkan janji setia dalam membela agamaNya.

AlhamduliLlah... tsumma AlhamduliLlah...

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada tauladan kita, Muhammad SAW. Yang memberi arah kepada para generasi penerus yang Rabbaniyyah bagaimana membangakitkan ummat yang telah mati, mempersatukan bangsa-bangsa yang tercerai berai, membimbing manusia yang tenggelam dalam lautan syahwat, membangun generasi yang tertidur lelap dan menuntun manusia yang berada dalam kegelapan menuju kejayaan, kemuliaan, dan kebahagiaan.

Amma ba'd...
Ukhti fillah sekalian. Agar ilmunya barokah, maka alangkah indahnya kita awali dengan lafadz Basmallah

Bismillahirrahmanirrahim...                  


AQIDAH DAN IMAN: FONDASI MASYARAKAT ISLAM

Fondasi utama masyarakat Islam adalah aqidah Islamiyah. Oleh karena itu, tugas pertama mereka adalah memelihara, menjaga, dan mengukuhkan aqidah, serta memancarkan cahayanya ke seluruh penjuru dunia.

Aqidah Islam tersebut terefleksikan dalam Iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir.

Allah Ta’ala berfirman,

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

“Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami ta’at.” (Mereka berdo’a): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah: 285)

Sedangkan slogan Aqidah Islam adalah kalimat: “Asyhadu an la ilaha illa-Llah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”: Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

Aqidah inilah yang membingkai cara pandang kaum Muslimin terhadap alam dan Tuhannya; terhadap alam fisik dan metafisiknya, terhadap kehidupan dan apa yang terjadi setelahnya, terhadap alam yang kasat mata dan yang ghaib.

Masyarakat muslim meyakini bahwa alam ini tidak mungkin tercipta dengan sendirinya. Ia pasti ada penciptanya. Pencipta Yang Mahaagung itulah Tuhan langit dan bumi, Tuhan alam semesta, Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya; segala sesuatu yang ada di jagad raya ini membuktikan bahwa Akal Yang Satu itulah yang mengatur segalanya; seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi adalah milik-Nya, tiada seorang pun—yang berakal maupun tidak berakal—menjadi sekutu atau menjadi putra-Nya.

Makna La Ilaha Illallah

Masyarakat muslim meyakini kalimat La Ilaha Illa-Llah dengan makna bahwasanya Allah Sang Pencipta inilah satu-satunya yang berhak disembah dan ditaati secara mutlak. Dialah Yang berhak mendapatkan kepatuhan dan cinta yang paripurna. Seluruh makna yang terkandung dalam “kepatuhan” dan “cinta”, itulah yang dinamakan: IBADAH. Tegasnya, tiada sesuatu pun berhak menerima ketundukkan dan kecintaan selain Allah. Oleh karena itu masyarakat muslim menolak ketundukan dan penghambaan kepada kekuasaan selain kekuasaan Allah, menolak hukum selain hukum-Nya, menolak perintah selain perintah-Nya, menolak segala bentuk loyalitas, kecuali loyalitas kepada-Nya, dan menolak segala cinta, kecuali cinta kepada dan karena-Nya.

Keyakinan seperti inilah yang disebut dengan tauhid, yakni mengesakan Allah Ta’ala. Konsekwensi tauhid ini diantaranya adalah:

Pertama, tidak menjadikan selain Allah sebagai Tuhan.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ

“Katakanlah: ‘Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu…’” (QS. Al-An’am: 164)

Maka, seorang muslim menolak berbagai tuhan palsu yang disembah oleh manusia; mereka menyerukan pembebasan manusia dari segala bentuk ketundukan dan penghambaan kepada selain Sang Pencipta, Allah Ta’ala.

Kedua, tidak menjadikan selain Allah sebagai wali.

قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَتَّخِذُ وَلِيًّا فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ يُطْعِمُ

“Katakanlah: ‘Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak memberi makan?’” (QS. Al-An’am: 14)

Maka, seorang muslim meniadakan loyalitas kepada selain Allah dan kelompoknya. Mereka menolak memberikan kesetiaan, kecintaan, dan dukungan kepada selain Allah, serta kepada musuh-musuh-Nya.

Ketiga, tidak menjadikan selain Allah sebagai hakim.

أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا

“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quraan) kepadamu dengan terperinci?” (QS. Al-An’am: 114)

Maka, seorang muslim menolak ketundukan kepada setiap hukum selain hukum Allah, setiap perintah selain perintah dari Allah, setiap sistem selain sistem yang ditetapkan-Nya, setiap undang-undang selain undang-undang-Nya, setiap aturan, tradisi, adat-istiadat, manhaj, pemikiran, dan nilai kehidupan, kecuali yang diridhai oleh-Nya.

Makna Muhammad Rasulullah

Mengakui Allah Ta’ala sebagai Ilah dan Rabb tidaklah cukup apabila tidak disempurnakan dengan ikrar kalimat yang kedua: Muhammad Rasulullah.

Allah mengutus para Rasul kepada umat manusia yang bertugas memberikan petunjuk, bimbingan, dan arahan kepada mereka menuju ridha-Nya, serta mengingatkan mereka akan murka-Nya.

Para Rasul juga bertugas meletakkan dasar-dasar ajaran, nilai-nilai, dan standar-standar yang mengarahkan kehidupan masyarakat serta menunjukkan jalan yang lurus.

Seorang muslim meyakini Rasul terakhir adalah Muhammad Rasulullah; ketaatan mereka kepadanya merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah.

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

“Barangsiapa menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah…” (QS. An-Nisa: 80)

Keimanan kepada Rasulullah diwujudkan dengan ittiba (mengikuti/mentaati) Rasul; mentaati hukum dan syariat yang ditetapkannya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36). [1]

Makna Tegaknya Masyarakat Islam di Atas Aqidah Islam

Sebuah masyarakat layak dikatakan telah tegak di atas aqidah Islam, jika masyarakat itu benar-benar memuliakan aqidah, bekerja untuk mengukuhkannya dalam hati dan pikiran, mendidik generasi muda dengannya, melakukan pembelaan terhadap kebatilan yang dilontarkan oleh para pendengki yang sesat, dan berusaha menampakkan aqidah secara nyata pada kehidupan pribadi dan sosial kemasyarakatan.

Namun perlu dipahami, menegakkan masyarakat muslim di atas aqidah bukan berarti memaksa orang-orang non muslim agar melepas keyakinan mereka, karena:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan sesat…” (QS. Al-Baqarah: 256).

Masyarakat Islam bukan masyarakat materialis, bukan sekuler, bukan paganis (musyrik), bukan Yahudi atau Nasrani, bukan liberal atau sosialis, bukan pula masyarakat komunis maupun marxis.

Bukanlah masyarakat Islam yang didalamnya tidak disebut nama Muhammad, dan malah akrab dengan nama figur Marx, Lenin, Mao, atau para pemikir baik di timur maupun Barat.

Bukanlah masyarakat Islam yang meninggalkan Kitabullah Al-Qur’an sebagai sumber hidayah, syariat dan undang-undang, digantikan oleh kitab-kitab lainnya yang disakralkan dan dijadikan sistem pemikiran, perundangan, perilaku, atau sumber nilai dan tolok ukurnya.

Bukanlah masyarakat Islam ketika nama Allah, kitab, dan rasul-Nya dilecehkan, anggotanya membisu terhadap kekufuran ini.

Bukanlah masyarakat Islam bila menjadikan masalah aqidah sebagai persoalan sampingan dalam kehidupannya, dimana ia tidak dijadikan fondasi sistem pendidikan, pengajaran, pemikiran, penerangan,  dan pengarahan.

Masyarakat Islam dan Fenomena Kemurtadan

Persoalan paling besar dan berbahaya yang dihadapi seorang mulim adalah ancaman aqidah, yakni riddah (kemurtadan).  Dan inilah misi paling utama yang diperjuangkan musuh-musuh Islam.

Allah Ta’ala mengingatkan,

وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا

“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup…” (QS. Al-Baqarah: 217)

Masyarakat muslim terus mengalami gempuran pemurtadan ini melalui praktik kristenisasi, imperialis komunis, kaum sekuler anti agama, dan lain-lain. Abul Hasan Nadawi menyebut kondisi pemurtadan di dunia Islam ini dengan ungkapan: “Kemurtadan Tanpa Abu Bakar.”


TANYA JAWAB

Q : Bagaimana cara menempatkan cinta pada Allah sebagai yang tertinggi. Karena jika berada ditengah-tengah keluarga, dikecewakan sedikit saja sakitnya sangat. Tapi ketika melalaikan Allah kurang berasa.Syukran
A : Menarik memang menempatkan cinta kepada Allah lebih tinggi....bunda bisa ceritakan kah bagaimana yang lain bisa lebih dicintai dari Allah? Bisakah hal itu dibalik?  Yuk coba simulasikan. Pada dasarnya cinta itu bisa datang jika kita mengenal betul apa dan siapa yang dicintai....bagaimana kita bisa mencintai tanpa kita mengenal atau mengetahui ttg yang kita cintai...ini yang mendasar....makanya ada materi ttg ma'rifatullah....
Kenal saja belum cukup perlu hal lain tuk membangun cinta.....ada yang tau....atau yang mau berbagi tips mencintai sesuatu atau seseorang yang sederhananya bisa digunakan tuk membangun kecintaan kepada Allah...

Q : Iya ustadz..contohnya mencintai pasangan..dimana ketika cinta pasangan dirasakan berkurang mengakibatkan duka yang amat sangat ...
A : Nah itu makhluq yang punya keterbatasan saja kita bisa mencintai sedemikian tentu mencintai sang khaliq akan lebih dahsyat lagi karena Dia tidaklah terbatas dan tanpa batas....cintaNya pun tak bertepi....sejengkal kita mendekat padaNya sehasta Dia mendekati kita...kita melangkah mendekatiNya, Dia berlari mendekati kita...dstnya...Hanya sensitivitas kecintaaan kepadaNya memang spesifik bergantung pada hidayah dan juga kadar keberimanan kita...sementara ini iman ini berbanding lurus dengan ibadah-ibadah yang kita laksanakan....

Q : Jika aqidah terefleksikan salah satunya dengan iman kepada Allah lalu orang tersebut tidak beribadah seperti shalat dst.nya. Maka bagaimana aqidah orang tersebut ustadz?
A : Aqidahnya masih bisa dibilang dangkal...islamnya "masih KTP" Ibadah itu cerminan paling dasar dari aqidah meski adapula yang ibadahnya masih karena seseorang atau sesuatu itulah indikator sederhana dari aqidah seseorang... Biasanya sense atas ancaman terhadap aqidah gak bisa merasakan....hingga sangat mungkin digoyahkan trutama dgn kebutuhan-kebutuhan pokok..kebergantungan kepada Allah menjadi berkurang karena tidak pernah beribadah....

Q : Hmm.. mengarah ke cinta kepada Allah ya ustadz..afwan ustadz.. seperti kata Rasullullah kita ummat yang paling dirindukan karena Rasullullah tidak mendampingi tapi ummat nya selalu berusaha istiqomah.. namun jaman now sulit rasanya istiqomah, ustadz.. mohon doakan kami,ustadz..
kemudian apakah jalan istiqomah ditempuh jika seorang hamba sudah mendapat hidayahNya??
A : Aamiin semoga kita semua dilimpahi keistiqomahan menjaga hidayah yang telah sampai ke kita. Hidayah itu hak prerogatif Allah. Istiqomah adalah bentuk upaya menjaga hidayah ttp berada dalam diri kita. Jadi keduanya bisa dikatakan saling melengkapi...menjadi istiqomahpun tak lepas dari adanya hidayah Allah pd diri...

Sama sama kita belajar bunda....jangan pernah lelah dan bertanyalah trus...

Q : Saya pernah denger kalimat "orang kalò bisa liat mahluk halus tu di pertanyakan aqidahnya". Bagaimana penjelasannya ustadz? Karena dulu waktu anak sulung saya umur dibawah 4 tahun sering ketakutan sambil bilang ada hantu mah di situ (sambil nunjuk tempatnya). Pernah juga dia kayà ngomong sama orang padahal nggak ada siapa-siapa di deket dia, waktu di tanya "nang lagi ngomong sama siapa? Ini lho gangguin terus". Alhamdulillah sekarang sudah nggak kayà gitu lagi. Apa bener ustadz kalò bisa liat mahluk halus tu aqidahnya bermasalah? Afwan pertanyaannya kepanjangan.
A : Klo anak-anak memang ada masa-masa yang sensitif terhadap kehadiran makhluk halus....namun terkait aqidah kita balik ke hadist bahwa setiap kelahiran adalah fitrah/masih suci jadi aqidahnya masih cenderung lurus kecuali ortu nya yang merubahnya... Nah jadi pertanyaannya tentang makhluk halus pada anak biasanya tidak lepas dari perilaku ortunya yang pernah berhubungan dengan makhluk halus. Atau anak ini pernah diinteraksikan dengan makhluq halus contoh menempatkan jimat atau benda-benda yang begituan ke anak seperti kalung, rajah dll maka itulah bentuk interaksinya dengan anak....Jadi kembali klo pada anak kasusnya hrs ditelusuri sampai ke ortunya.... Tutuplah semua dengan taubatan nasuhah...tinggalkan dan buang hal-hal yang berkaitan dengan makhluq gaib...Wallahu alam bishawab..

Alhamdulillah, kajian kita hari ini berjalan dengan lancar. Semoga ilmu yang kita dapatkan berkah dan bermanfaat. Aamiin....

Segala yang benar dari Allah semata, mohon maaf atas segala kekurangan. Baikalauah langsung saja kita tutup dengan istighfar masing-masing sebanyak-banyakanya dan do'a kafaratul majelis:


سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك

Subhanakallahumma wabihamdika asayahadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika

“Maha Suci Engakau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”


Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Post a Comment

Ketik Materi yang anda cari !!