Kajian Online WA Hamba الله SWT
Kamis, 25 Agustus 2016
Narasumber : Ustadzah
Riyanti
Rekapan Grup Bunda M2
Tema : Kajian Umum
Editor
: Rini Ismayanti
Puji syukur kehadirat
Allah SWT yang masih memberikan kita nikmat iman, islam dan Al Qur'an semoga kita
selalu istiqomah sebagai shohibul qur'an dan ahlul Qur'an dan dikumpulkan
sebagai keluarga Al Qur'an di JannahNya.
Shalawat beriring
salam selalu kita hadiahkan kepada uswah hasanah kita, pejuang peradaban Islam,
Al Qur'an berjalan, kekasih Allah SWT yakninya nabi besar Muhammad SAW, pada
keluarga dan para sahabat nya semoga kita mendapatkan syafaat beliau di hari
akhir nanti. Insya Allah aamiin
SEBAB SEBAB HADATS
A. Pengertian Hadats
Hadats secara etimologi (bahasa),
artinya tidak suci atau keadaan badan tidak suci jadi tidak boleh
shalat. Adapun menurut terminologi (istilah) Islam, hadats adalah keadaan badan
yang tidak suci atau kotor dan dapat dihilangkan dengan cara berwudhu, mandi
wajib, dan tayamum. Dengan demikian, dalam kondisi seperti ini dilarang (tidak
sah) untuk mengerjakan ibadah yang menuntut keadaan badan bersih dari hadats
dan najis, seperti shalat, thawaf, ’itikaf.[1]
Sebagaimana telah kami kutip dalam
sebuah buku yang ditulis oleh Mustofa Kamal Pasha hal. 19 cetakan keempat tahun
2009, mengemukakan hadats ialah “keadaan tidak suci yang mengenai
pribadiseorang muslim, sehingga menyebabbkan terhalangnya orang itu melakukan
shalat dan thawaf”. Artinya shalat atau thawaf yang dilakukannya
dinyatakan tidak sah karena dalam keadaan berhadats. Adapun yang menjadi
sebab-sebabnya seseorang dihukumkan sebagai orang yang berhadats ada
bermacam-macam, yang kemudian oleh para ahli fikih dikelompkkan menjadi dua
macam yaitu hadats kecil dan hadats besar.
B. Macam-Macam Hadats
1. Hadats Kecil
a. Pengertian Hadas Kecil
Arti hadats kecil menurut istilah
syara’ ialah sesuatu kotoran yang maknawi (tidak dapat dilihat dengan mata
kasar), yang berada pada anggota wudhu’, yang menegah ia dari melakukan solat
atau amal ibadah seumpama solat, selama tidak diberi kelonggaran oleh syara’.
Hadas kecil ini tidak akan terhapus melainkan dengan mengambil wudhu’ yang sah.
Selama mana seseorang itu dapat mengekalkan wudhu’nya, maka selama itu ia
bersih dari hadas kecil. Sebabnya dinamakan hadas kecil ialah karena kawasan
yang didiami oleh hadas kecil ini kecil saja yaitu sekadar anggota wudhu.
1.Mengeluarkan sesuatu dari dubur dan
atau kubulnya yang berupa:
a) Buang air kecil atau buang
air besar
Penegasan ini didasarkan pada firman
Allah SWT yang tersurat dalam al-Maaidah ayat 6.
“… atau salah satu diantara kalian
datang dari jamban (buang air)”
b) Mengeluarkan angin busuk
(kentut)
Penegasan ini didasarkan pada sebuah
hadits:
Bersabdalah Rasulullah
saw: ‘Allah tidak akan menerima shalatnya seseorang diantara kalian
jikalau ia berhadats sampai ia berwudhu’. Maka bertanyalah seorang lelaki dari
Hadramaut: ‘Apakah artinya hadats itu ya Abu Hurairah?’, Ia menjawab: ‘Kentut
dan berak’”.
2. Mengeluarkan madzi dan atau
wadi
Penegasan ini disandarkan pada
keterangan hadits yang menyatakan bahwa: “Karenanya harus
berwudhu” dan karena kata Ibn Abbas r.a.: “Mengenai mani, itulah yang
diwajibkan mandi karenanya. Adapun madzi dan wadi, hendaklah engkau basuh
kemaluanmu atau sekitarnya, kemudian berwudhulah sebagai wudhumu untuk shalat.”
3.Menyentuh kemaluan tanpa memakai
alas
Penegasan ini didasarkan pada Hadits
riwayat Muslim, Tirmidzi dan dishahihkan olehnya dari Busrah binti Shafwan r.a.
bahwa Nabi saw. Telah bersabda “Barang siapa menyentuh kemaluannya maka
jangan shalat sebelum beerwudhu”
4.Tidur nyenyak dengan posisi miring
atau tanpa tetapnya pinggul di atas lantai
Hal ini didasarkan sebuah hadits:
Telah berkata Ali r.a bahwa
Rasulullah saw. Bersabda: “Kedua mata itu bagaikan tali dubur. Maka barang
siapa telah tidur, berwuhulah”. (H.R. Abu Daud)
Dari penegasan seperti di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa seseorang akan menjadi batal wudhunya apabila terkena
salah satu dari apa yang telah disebutkan di atas. Atau dengan kata lain
seseorang yang akan melakukan shalat atau thawaf, sedang dirinya terkena salah
satu dari ketiga pokok di atas, maka dirinya wajib berwudhu terlebih dahulu.
Dan penegasan di atas memberikan petunjuk pula bahwa bersinggungan kulit
diantara pria dan wanita, sekalipun keduanya tidak ada hubungan muhrim tidaklah
menjadikan batal wudhunya.
Dari Aisyah r.a. berkata
:sesungguhnya Rasulullah saw. Bershalat sedang aku berbaring di mukanya dengan
melintang bagaikan jenazah, sehingga ketika beliau akan witir, beliau menyentuh
diriku dengan kakinya.”
b.Perkara-perkara yang menyebabkan
kedatangan hadas kecil (membatalkan wudhu’)
Wudhu’ seseorang itu akan terbatal
dengan salah satu dari 5 sebab berikut;
1)Keluar sesuatu dari 2 jalan iaitu
qubul atau dubur seperti kencing, berak atau buang angin (kentut).
2)Hilang akal dengan sebab gila atau
mabuk atau sakit.
3) Tidur nyenyak, kecuali tidur
orang yang duduk, yang tetap kedua papan punggungnya.
4) Bersentuh kulit lelaki dan
kulit perempuan yang halal berkahwin dengan tidak berlapik dan keduanya telah
dewasa.
5) Menyentuh qubul atau dubur
manusia dengan tapak tangan tidak berlapik walaupun qubul atau duburnya
sendiri.
c. Perkara-perkara yang
diharamkan dengan sebab hadas kecil
1) Mendirikan solat,
sama ada yang fardhu atau yang sunat.
2) Tawaf, sama ada
yang fardhu atau yang sunat.
3) Menyentuh
Al-Qur’an atau menanggungnya.
2. Hadats Besar
a. Pengertian hadas besar
Hadats besar mengikut istilah syara’
ertinya sesuatu yang maknawi (kotoran yang tidak dapat dilihat oleh mata
kasar), yang berada pada seluruh badan seseorang, yang dengannya menegah
mendirikan solat dan amal iadah seumpamanya, selama tidak diberi kelonggaran
oleh syara’. Selama seseorang itu tidak menempuh atau melakukan salah satu
perkara yang menyebabkanhadas besar, maka selama itu badannya suci dari hadas
besar. Sebab dinamakan hadas besar ialah kerana kawasan yang didiami atau
dikenai ole hadas besar ini terlalu luas iaitu meliputi seluruh badan dan
rambut
Sebagaimana yang telah kami kutip
dari sebuah buku yang ditulis oleh Musthafa Kamal Pasha, dalam karyanya
yang berjudul Fikih Islam, cetakan ke-4, hal: 22 beliau mengemukakan bahwa
yang menyebabkan seseorang dihukumkan terkena hadats besar antaralian
sebagai berikut:
1.Mengeluarkan mani (sperma)
Keluaarnya mani seseorang dapat
terjadi dalam berbagai keadaan, baik diwaktu jaga maupun diwaktu tidur (mimpi),
dengan cara disengaja atau tidak, baik bagi pria ataupun wanita.
Bahwa Rasulullah saw. telah
bersabda: “Apabila air itu terpancar keras maka mandilah”. (H.R. Abu
Daud)
Sesungguhnya Ummu Sulain r.a.
berkata:”Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu mengenai kebenaran!
Wajibkah perempuan itu mandi bilamana ia bermimpi? Beliau menjawab, benar, bila
ia melihat air”.(H.R. Bukhari dan Muslim serta lainnya).
2. Hubungan kelamin (Coitus,
Jima’)
Hubungan kelamin, baik disertai
dengan keluarnya mani, ataupun belum mengeluarkannya mengakibatkan dirinya
dalam kondisi junub. Hal seperti ini didasarkan pada surat al-Maaidah ayat 6.
“Dan jikalau kamu junub hendaklah
bersuci”.
Sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda: “Jika
seseorang telah duduk diantara kedua tempat anggota badannya (menggaulinya)
maka sesungguhnya wajiblah untuk mandi, baik mengeluarkan (mani) ataupun
tidak”. (H.R. Ahmad dan Muslim).
3.Terhentinya haid dan nifas
Ketentuan ini didasarkan pada firman
Allah yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 222:
“Dan janganlah kamu dekati istri
(yang sedang haid) sebelum mereka suci. Dan apabila sudah berxuci (mandi) maka
gaulilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian”.
Adapun terhadap hukumm nifas, yaitu
keluarnya darah dikarenakan habis melahirkan anak maka berdasarkan ijma’
shahabhat ia dihukumkan sama dengan hukumnya haid.
b. Perkara-perkara yang
diharamkan dengan sebab berhadas besar
1) Sholat
2) Tawaf
3) Menyentuh Al-Qur’an
4) Membaca Al-Qur’an.
5) I’tikaf
6) Berpuasa
C. Macam-macam dan Cara Menghilangkan Hadats
Sebagaimana yang kami kutip dari buku
karangan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy hal. 94 dalam edisi yang ke-3
yang berjudul Kuliah Ibadah, mengemukakan bahwa, fuqaha hadits dalam soal wudhu
dan mandi mengamalkan sunnah-sunnah yang tidak diperoleh oleh fuqaha-fuqaha
yang lain. Mereka mencukupkan bersuci dari hadats kecil dengan menyapu sepatu,
serban atau penutup kepala (kudung) saja bagi wanita.
Dalam bukunya beliau juga
mengemukakan bahwa Ahmad telah menyusun kitab, yang menerangkan soal menyapu
atas sepatu, pembalut kaki, di dalamnya beliau terangkan nash-nash yang
dipergunakan dalam soal menyapu atas sepatu, sorban, pembalut kaki, dan kudung
wanita.
Dan beliau juga mengemukakan dalam
bukunya bahwa Ummu Salamah istri Rasul pernah menyapu atas kudungnya, sebagai
ganti menyapu kepala. Serta Abu Musa dan Anas pernah menyapu atas topinya
(penutup kepalanya).
Para fuwaha tidak membolehkan kita
menyapu atas penutup kepala. Mereka memerlukan tersapu – walau – sedikit –
kepala sendiri.[2]
Seperti yang telah
diditerangkan di muka bahwa untuk menghilangkan hadats keci seseorang hany
diwajibkan berwudhu, sedang untukt menghilangkan hadatas besar maka wajiblah
mandi yang sesuai dengan tuntunan syara’, namun kalau dalam keadaan darurat
dapat juga dengan tayamum.
Wudhu
Wudhu ialah bersuci dengan
menggunakan air, mengenai muka, kedua tangan sampai siku, mengusap kepala dan,
kedua kakinya sampai di atas mata kaki. Hal ini didasarkan oleh Allah dalam
surat al-Maaidah ayat 6:
“Wahai sekalian orang beriman! Jka
kalian hendak berdiri melakukan shalat basuhlah mukamu, dan tanganmu sampai
siku, lalu sapulah kepalamu serta basuhlah kakimu hingga sampai kedua mata
kaki.”
Wudhu dalam ajaran Islam mempunyai
nilai tersendiri. Ia di samping ikut serta menentukan sah atau tidaknya shalat
atau thawaf seseorang, juga akan menjadi penghapus dosa dan mininggikan
derajat. Bahkan ia menjadi tanda pengenal sebagai umat Muhammad saw.
kelak di hari kiamat.[3]
Mandi
Istilah mandi secara syara’ sedikit
berbeda dengan pengertian mandi yang biasa dilakukan oleh setiap orang, apakah
mandi sore ataukah mandi pagi hari. Mandi yang dimaksud oleh syara’ adalah
bersuci guna menhilangkan hadats besar. Oleh karena itu pengertin mandi dalam
ajaran Islam mempunyai arti yang khas, yaitu menyiramkan air ke seluruh
tubuh, sejak dari ujung rambut hingga ujung kaki, dengan niat ikhlas kkarena
Allah demi kesucian dirinya dari hadats besar.[4]
Sumber :
[1]http//www.pengertiannajisdanhadats.blogspot.comhari:
Jum’at tgl 20/9/2013; pukul: 07:22 pm
[2] Prof. Dr. Teungku Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (Semarang, PT. Pustaka Rizki
Putra, Edisi ke-3, Cet. Ke-1, Tahun) Hal: 98, 99
[3] Ibid, hlm. 24.
[4] Ibid, hlm 29
TANYA JAWAB
Q : Ustadzah mohon beri penjelasan
tentang madzi dan wadi?
A : Perbedaan sifat antara mani, madzi, dan wadi adalah:
1. Mani : Cairan yang keluar dari alat kelamin dengan ciri-ciri; berwarna putih, memancar (muncrat) saat keluar, keluarnya dengan syahwat, dan akan terasa lemas setelah keluar.
2. Madzi : Cairan yang keluar dari alat kelamin dengan ciri-ciri; berwarna putih, encer dan lengket, dan keluarnya ketika bergejolaknya syahwat, namun syahwatnya belum sempurna (memuncak).
3. Wadi : Cairan yang keluar dari alat kelamin dengan ciri-ciri; berwarna putih, kental dan keruh, biasanya keluar setelah kencing atau ketika membawa barang yang berat.
A : Perbedaan sifat antara mani, madzi, dan wadi adalah:
1. Mani : Cairan yang keluar dari alat kelamin dengan ciri-ciri; berwarna putih, memancar (muncrat) saat keluar, keluarnya dengan syahwat, dan akan terasa lemas setelah keluar.
2. Madzi : Cairan yang keluar dari alat kelamin dengan ciri-ciri; berwarna putih, encer dan lengket, dan keluarnya ketika bergejolaknya syahwat, namun syahwatnya belum sempurna (memuncak).
3. Wadi : Cairan yang keluar dari alat kelamin dengan ciri-ciri; berwarna putih, kental dan keruh, biasanya keluar setelah kencing atau ketika membawa barang yang berat.
Sedangkan perbedaan hukumnya:
1. Keluarnya mani mewajibkan mandi besar, namun tidak mewajibkan wudhu, dan mani dihukumi sebagai benda yang suci. Keluarnya mani mewajibkan mandi besar besar jika ditemui salah satu dari 3 tanda berikut ini:
A. Terasa enak saat keluar, karena keluarnya saat syahwat telah memuncak.
B. Keluarnya memancar, maksudnya keluar sedikit demi sedikit.
C. Ketika masih basah baunya seperti adonan roti atau mayang kurma, sedangkan jika sudah kering baunya seperti putih telur.
Jadi warna putih dan lemasnya badan saat keluar bukanlah ciri-ciri utama mani, namun kebanyakan memang warnanya putih dan terasa lemas saat keluar.
1. Keluarnya mani mewajibkan mandi besar, namun tidak mewajibkan wudhu, dan mani dihukumi sebagai benda yang suci. Keluarnya mani mewajibkan mandi besar besar jika ditemui salah satu dari 3 tanda berikut ini:
A. Terasa enak saat keluar, karena keluarnya saat syahwat telah memuncak.
B. Keluarnya memancar, maksudnya keluar sedikit demi sedikit.
C. Ketika masih basah baunya seperti adonan roti atau mayang kurma, sedangkan jika sudah kering baunya seperti putih telur.
Jadi warna putih dan lemasnya badan saat keluar bukanlah ciri-ciri utama mani, namun kebanyakan memang warnanya putih dan terasa lemas saat keluar.
2. Hukum madzi dan wadi sebagaimana
hukumnya air kencing, keduanya membatalkan wudhu dan dihukumi najis. Kewajiban
mandi besar bagi orang yang mengeluarkan mani didasarkan pada beberapa hadits
diantaranya hadits yang diriwayatkan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau
mengisahkan;
جَاءَتْ أَمُّ سُلَيْمٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ اللهِ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ، فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ»
“Ummu Sulaim dating kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia berkata; “Ya Rasulullah, sesungguhnya
Allah tak pernah “malu” dalam hal kebenaran, apakah wanita diharuskan mandi
apabila ia mimpi basah?” Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wasallam menjawab;
“Ya, (wanita tersebut wajib mandi), jika ia melihat ada air (keluar
maninya),” (Shahih Bukhari, no.282 dan Shahih Muslim, no.313)
Sedangkan dalil tidak diwajibkannya
wudhu ketika seseorang mengeluarkan madzi berdasarkan hadits yang diriwayatkan
dari Ali karromallahu wajhah, beliau menceritakan;
كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ: «يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ»
“Aku adalah lelaki yang sering keluar
madzi, tetapi aku malu untuk bertanya Nabi Shallallahu'alaihiwasallam karena
puteri beliau adalah istriku sendiri. Maka kusuruh al-Miqdad bin al-Aswad
supaya bertanya beliau, lalu beliau bersabda, "Hendaklah dia membasuh
kemaluannya dan berwudhu."(Shahih Bukhari, no.209 dan Shahih Muslim, no.
303)
Imam Nawawi menjelaskan, bahwa hadits
ini merupakan dalil bahwa madzi tidak mewajibkan mandi, namun mewajibkan wudhu.
Adapun mengenai alasan tidak wajibnya mandi bagi orang yang mengeluarkan wadi
adalah sebab tidak adanya dalil yang mewajibkan mandi ketika mengeluarkan
wadi, karena kewajiban sesuatu harus ada dalilnya, selain itu jika madzi tidak
mewajibkan mandi, padahal madzi mendekati sifat-sifat mani, tentunya wadi juga
tidak mewajibkan mandi, karena sifat-sifat wadi lebih dekat dengan sifat-sifat
air kencing.
Q : Klo soal hadas ini akhirnya
terkait dengan mahzab sepertinya ya? Ada mahzab yang membolehkan memegang dan
membaca alquran... ada yang melarangnya. Ada tidak dalil tentang keduanya?
A : Perbedaan pendapat tentang wanita
haid menyentuh dan membaca Al Quran dikarenakan perbedaan penafsiran Al Quran
dan hadits yang ada. Jadi, jangan jadikan perbedaan pendapat (khilafiyah) yang
ada untuk saling bermusuhan dan saling membenci di kalangan umat muslim satu
dengan yang lainnya. Saya paparkan perihal tersebut, agar kita sama-sama bisa
saling memaklumi sebuah pendapat yang mungkin berbeda dengan pendapat yang kita
pegang selama ini. Bisa saling menghormati satu dengan yang lainnya..
1. Pendapat Yang Mengatakan Tidak
Boleh Menyentuh dan Membaca Al Quran
Berdasarkan ayat Al Quran :
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan” [Al-Waqi’ah : 79]
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan” [Al-Waqi’ah : 79]
Berdasarkan ayat ini, sebagian ulama
melarang bagi wanita haid untuk membaca Al Quran. Sekedar menyentuhnya saja
tidak boleh, apalagi membacanya. Selain itu pendapat ini didukung beberapa hadits
di bawah :
أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إلَّا طَاهِرٌ
Tidaklah menyentuh al-Qur’an melainkan orang yang suci. [ Hadis daripada ‘Amr bin Hazm radhiallahu ‘anh, dikeluarkan oleh Ibn Hibban, al-Hakim, Baihaqi dan lain-lain melalui beberapa jalan yang setiap darinya memiliki kelemahan. Namun setiap darinya saling menguat antara satu sama lain sehingga dapat diangkat ke taraf sahih, atau setepatnya sahih lighairihi.]
Tidaklah menyentuh al-Qur’an melainkan orang yang suci. [ Hadis daripada ‘Amr bin Hazm radhiallahu ‘anh, dikeluarkan oleh Ibn Hibban, al-Hakim, Baihaqi dan lain-lain melalui beberapa jalan yang setiap darinya memiliki kelemahan. Namun setiap darinya saling menguat antara satu sama lain sehingga dapat diangkat ke taraf sahih, atau setepatnya sahih lighairihi.]
Hadits di atas dinyatakan shahih
lighairihi. Mengapa..?! hadits tersebut diriwayatkan melalui beberapa jalur
sanad, jika hadits tersebut berdiri sendiri-sendiri bisa disebut hadits dhaif,
tetapi jika berdiri bersama-sama dengan menghubungkan jalur2 sanad yang ada,
maka hadits tersebut bisa disebut hadits shahih, sehingga shahihnya dinamakan shahih
lighairihi.. dan sebuah hadits shahih bisa dijadikan acuan/dasar untuk sebuah
pendapat dalam fiqih..
Ada juga hadits lainnya, yakni
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
Tidak boleh membaca sesuatu ayat Al-Quran bagi orang junub dan tidak pula haid. [Hadis daripada Ibnu Umar. Diriwayatkan at-Tirmidzi;Ibn Majah dan al-Baihaqi. Dikeluarkan oleh Imam an-Nasa’I di dalam Sunannya no.588 dan at-Tirmidzi didalam sunanya no.121).
لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
Tidak boleh membaca sesuatu ayat Al-Quran bagi orang junub dan tidak pula haid. [Hadis daripada Ibnu Umar. Diriwayatkan at-Tirmidzi;Ibn Majah dan al-Baihaqi. Dikeluarkan oleh Imam an-Nasa’I di dalam Sunannya no.588 dan at-Tirmidzi didalam sunanya no.121).
Berdasarkan dalil2 tersebut di atas,
maka diambillah sebuah pendapat yang melarang wanita haid membaca Al Quran.
2. Pendapat Yang Membolehkan Wanita
Haid Menyentuh dan Membaca Al Quran
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan” [Al-Waqi’ah : 79]
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan” [Al-Waqi’ah : 79]
Untuk memahami makna sebuah ayat Al
Quran, tentu kita harus belajar, bagaimana para pakar tafsir Al Quran
menafsirkan ayat tersebut.
Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya
menerangkan penjelasan/ tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain bahwa tidak ada
yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana
ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya. Mari kita simak ayat2 sebelumnya dan
bagaimana penafsiran para shahabat terhadap ayat tersebut :
إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيمٌ {77} فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ {78} لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ {79}
77. Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia
78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh),
79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan
77. Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia
78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh),
79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan
Ibnu Katsir menafsirkan ayat “fii
Kitabim-maknun” (QS 56;77) berarti di langit, yakni di al-Lauh al-Mahfuz.
Demikian pula pendapat Anas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak,
Abu Sya’tsa’ , Jabir bin Zaid, Abu Nuhaik, As Suddi, ‘Abdurrohman bin Zaid bin
Aslam, dan selain mereka sebagaimana diterangkan dalam kitab Ibnu Katsir.
Dalam kitab tafsir Tafsir Ath Thobari
XI/659 bahwa Ibnu Zaid Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat dan para Nabi.
Para utusan (malaikat) yang menurunkan dari sisi Allah disucikan; para nabi
disucikan; dan para rasul yang membawanya juga disucikan.”
Dalam kitab tersebut juga diterangkan Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.”
Dalam kitab tersebut juga diterangkan Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.”
Demikian juga keterangan beberapa
sahabat dan tabi’in sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir al-Thabari
dalam Jamii al-Bayan [Dar al-Fikr, Beirut 1999, riwayat no: 25955 – 25970.
Lihat juga al-Mawardi – Al-Nukatu wa al-‘Uyun (Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut), jld. 5, ms. 463-464.]
Jika kita kaji dari jenis bentukan
isimnya dalam ayat tersebut pun, kita akan mendapatkan penjelasan bahwa lafadz
yang digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk isim maf’ul-nya
(orang-orang yang disucikan), bukan dalam bentukisim fa’il (orang-orang yang
bersuci). Perhatikan kalimatnya : “Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an)
kecuali mereka yang telah disucikan,” yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan
sebagai faa’il (subyek).”
Ulama yang membolehkan wanita haid
membaca Al Quran juga menggunakan dasar Hadits dari
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ قَدِمْتُ مَكَّةَ وَأَنَا حَائِضٌ وَلَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ وَلاَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ قَالَتْ فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ افْعَلِي كَمَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shofa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thowaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)
‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shofa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thowaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)
Berdasarkan dalil tersebut di atas,
yang tidak diperbolehkan hanya thawaf saja, sedangakn amal orang yang beribadah
haji lainnhya tetap diperbolehkan termasuk berdzikir, membaca AL Quran dan
lain-lain.
Thawaf tidak boleh, karena thawaf
menurut hadits dari Ibnu Abbas itu seperti shalat..
“Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun di dalamnya dibolehkan sedikit bicara.” (HR. An Nasai no. 2922)
“Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun Allah masih membolehkan berbicara saat itu. Barangsiapa yang berbicara ketika thawaf, maka janganlah ia berkata selain berkata yang benar.” (HR. Ad Darimi no. 1847 dan Ibnu Hibban no. 3836).
“Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun di dalamnya dibolehkan sedikit bicara.” (HR. An Nasai no. 2922)
“Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun Allah masih membolehkan berbicara saat itu. Barangsiapa yang berbicara ketika thawaf, maka janganlah ia berkata selain berkata yang benar.” (HR. Ad Darimi no. 1847 dan Ibnu Hibban no. 3836).
Hadits di atas memang digolongkan
sebagai hadits mauquf, yaitu hanya sampai pada sahabat dan tidak sampai pada
Rasulullah.. tetapi, hadits mauquf adalah ucapan para shahabat yang telah
belajar langsung kepada Rasulullah, tidak mungkin beliau berkata bohong atau
mengarang cerita sendiri, maka bisa dijadikan dasar sebuah pendapat dalam
agama, karena bisa digolongkan termasuk atsar para shahabat.
Menilik hal tersebut, maka thawaf tidak diperbolehkan untuk dilakukan oleh wanita haidh seperti larangan untuk shalat. Selain itu, berdzikir, membaca Al Quran dan sebagainya yang biasa dilakukan orang yang beribadah haji, tidak dilarang.
Menilik hal tersebut, maka thawaf tidak diperbolehkan untuk dilakukan oleh wanita haidh seperti larangan untuk shalat. Selain itu, berdzikir, membaca Al Quran dan sebagainya yang biasa dilakukan orang yang beribadah haji, tidak dilarang.
Sekarang, mari perhatikan hadits
tentang tidak boleh membaca Al Quran kecuali orang yang suci. Hadits tersebut
berbunyi : “
لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
hadits Ibn Umar: “Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’an seorang yang dalam keadaan junub atau haid” , maka ia diriwayatkan oleh (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar).
hadits Ibn Umar: “Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’an seorang yang dalam keadaan junub atau haid” , maka ia diriwayatkan oleh (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar).
Ia adalah hadis yang dha’if,
didha’ifkan oleh al-Bukhari, al-Baihaqi dan selainnya.
Kedha’ifan yang terdapat padanya adalah jelas. [Majmu’ Syarh al-Muhazzab (Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, Beirut 2001), jld. 2, ms. 123-125 (Kitab Taharah, Bab Apa yang mewajibkan mandi, Bab Hukum terhadap 3 perkara).]
Al Baihaqi (si periwayat hadits tersebut) berkata, “Pada hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail al Bukhari menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata, ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Isma’il bin Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Isma’il adalah munkar haditsnya (apabila) gurunya berasal dari Hijaz dan ‘Iraq’.”
Al ‘Uqaili berkata, “Abdullah bin Ahmad berkata, ‘Ayahku (Imam Ahmad) berkata, ‘Ini hadits bathil. Aku mengingkari hadits ini karena adanya Ismail bin ‘Ayyasi’ yaitu kesalahannya disebabkan oleh Isma’il bin ‘Ayyasi’.”
Kedha’ifan yang terdapat padanya adalah jelas. [Majmu’ Syarh al-Muhazzab (Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, Beirut 2001), jld. 2, ms. 123-125 (Kitab Taharah, Bab Apa yang mewajibkan mandi, Bab Hukum terhadap 3 perkara).]
Al Baihaqi (si periwayat hadits tersebut) berkata, “Pada hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail al Bukhari menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata, ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Isma’il bin Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Isma’il adalah munkar haditsnya (apabila) gurunya berasal dari Hijaz dan ‘Iraq’.”
Al ‘Uqaili berkata, “Abdullah bin Ahmad berkata, ‘Ayahku (Imam Ahmad) berkata, ‘Ini hadits bathil. Aku mengingkari hadits ini karena adanya Ismail bin ‘Ayyasi’ yaitu kesalahannya disebabkan oleh Isma’il bin ‘Ayyasi’.”
Ada juga hadits yang membahas hal
tersebut :
أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إلَّا طَاهِرٌ
Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni dan lain-lain)
Sanad hadits ini dho’if namun memiliki sanad-sanad lain yang menguatkannya sehingga menjadi shahih li ghairihi .
Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni dan lain-lain)
Sanad hadits ini dho’if namun memiliki sanad-sanad lain yang menguatkannya sehingga menjadi shahih li ghairihi .
Menurut ulama yang berpendapat boleh
menyentuh Al Quran dalam kondisi junub dan haid, kata thohir di dalam hadits
tersebut adalah bersih dari najis, sedangkan orang beriman itu tidak najis.
Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu
Hurairah, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan
aku dalam keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera aku mandi
kemudian aku datang (menemui beliau), lalu beliau bersabda, “Kemana engkau tadi
wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak
suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci)”. Maka beliau bersabda,
سُبْحَانَ اللهِ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ
“Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis”).
سُبْحَانَ اللهِ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ
“Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis”).
Imam Asy Syaukani berkata dalam
Nailul Author, Kitab Thoharoh, Bab Wajibnya Berwudhu Ketika Hendak Melaksanakan
Sholat, Thowaf, dan Menyentuh Mushhaf: “Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba
yang tidak najis, sedangkan seorang mu’min selamanya bukan orang yang najis
berdasarkan hadits di atas.
Maka tidak sah membawakan arti
(hamba) yang disucikan bagi orang yang tidak junub, haid, orang yang berhadats,
atau membawa barang najis. Akan tetapi, wajib untuk membawanya kepada arti:
Orang yang tidak musyrik sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.”(QS. At Taubah: 28)
yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.”(QS. At Taubah: 28)
Jadi, yang najis adalah orang2
musyrik, sedangkan orang2 beriman tidak najis (suci).
3. Pendapat Yang Tidak Boleh
Menyentuh Al Quran Tetapi Membolehkan Membacanya.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama
(jumhur), karena tidak ada dalil shahih yang melarang untuk membaca Al Quran
kecuali larangan menyentuhnya. Sedangkan yang dimaksud dengan menyentuh Al
Quran adalah menyentuh mushaf Al Quran.
لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
hadits Ibn Umar: “Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’an seorang yang dalam keadaan junub atau haid” , maka ia diriwayatkan oleh (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar).
hadits Ibn Umar: “Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’an seorang yang dalam keadaan junub atau haid” , maka ia diriwayatkan oleh (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar).
Ia adalah hadis yang dha’if,
didha’ifkan oleh al-Bukhari, al-Baihaqi dan selainnya. Baca penjelasan di atas.
Sedangkan yang shahih adalah dalil
tidak boleh menyentuh Al Quran sesuai dalil :
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan” [Al-Waqi’ah : 79]
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan” [Al-Waqi’ah : 79]
Dan dalil :
أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إلَّا طَاهِرٌ
Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni dan lain-lain). Silahkan baca penjelasan sebelumnya di atas.
Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni dan lain-lain). Silahkan baca penjelasan sebelumnya di atas.
Dalil shahih yang ada hanya sekedar
tidak boleh menyentuh mushaf, akan tetapi membaca Al Quran masih diperbolehkan
karena tidak ada dalil shahih yang melarangnya.
Catatan :
Semoga perbedaan pendapat yang saya tulis di atas bisa menjadikan kita lebih bisa saling menghormati dan memahami antara satu muslim dengan muslim lainnya. Keep “ukhuwah”, kick “permusuhan”
Semoga perbedaan pendapat yang saya tulis di atas bisa menjadikan kita lebih bisa saling menghormati dan memahami antara satu muslim dengan muslim lainnya. Keep “ukhuwah”, kick “permusuhan”
Q : Kalau bersentuhan suami istri,
wudhunya batal mbak?
A : Jika suami istri bisa berpegangan
dan bersentuhan lebih bebas, bagaimana jadinya jika salah satu atau keduanya
sudah berwudhu? Apakah batal seperti halnya bersentuhan dengan lawan jenis
bukan muhrim lainnya?
Secara umum ada tiga pendapat berbeda
dalam hal ini. Imam Syafi'i dan ulama dari kalangannya berpendapat bersentuhan
kulit tanpa aling-aling, baik itu dengan istri sendiri, bisa membatalkan wudhu.
Meskipun ia bersentuhan tanpa syahwat.
Imam Syafi'i, seperti ditulis Ibnu
Rusyd berpendapat, bahwa siapa yang menyentuh lawan jenisnya tanpa alat, baik
menimbulkan berahi atau tidak, maka batal wudhunya. Di sisi lain, ada riwayat
lain menyatakan bahwa dalam hal wudhu, Imam Syafi'i mempersamakan istri dengan
semua mahram.
Dasarnya tafsir ayat 43 surat
an-Nisa. Dalam penjelasan hal-hal yang membatalkan wudhu, kata laamastum dalam
aulaamastum nisaa ditafsirkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi sebagai
menyentuh perempuan, bukan bersetubuh dengan perempuan. Abdullah bin Mas'ud
juga mengartikan laamastum selain jima'
Dalam kitab Fathul Mu'in disebutkan
beberapa faktor yang membatalkan wudhu. Di antaranya bertemunya dua kulit
antara pria dan wanita meskipun tanpa syahwat. Nahdlatul Ulama (NU) yang
memakai mazhab Syafi’i dalam fikihnya berpendapat dalam situs resminya, bersentuhan
tangan dan kecupan kepada istri bisa membatalkan wudhu. NU mengutip hadis dari
yang diriwayatkan Abdullah bin Umar, "Sentuhan tangan seorang laki-laki
terhadap istrinya atau menyentuhnya dengan tangan wajiblah atasnya
berwudhu." (HR Malik dan as-Syafii).
Pendapat kedua adalah persentuhan
antara suami istri baik disertai atau tidak dengan syahwat tidak membatalkan
wudhu. Pendapat ini dianut Imam Hanifah. Menurutnya, hanya persetubuhan yang
membatalkan wudhu. Dalilnya pun sama, surat an-Nisa ayat 43. Namun, laamastum
di sini ditafsirkan dengan jima' atau persetubuhan.
Syekh Salih bin Muhammad bin Utsaimin
berpendapat tidak batal wudhunya suami istri yang bersentuhan bahkan berciuman.
Dasarnya adalah hadis dari Aisyah RA. Aisyah RA meriwayatkan, Nabi SAW mencium
salah satu istrinya kemudian melaksanakan shalat tanpa berwudhu lagi (HR Ahmad,
Tirmidzi, Abu Daud). Hadis ini diperselisihkan di kalangan ulama mengenai
derajatnya. Syekh Nashiruddin al-Albani menshahihkannya. Tidak utuhnya para
ulama menerima derajat shahih hadis ini juga menjadi penyebab perbedaan
pendapat masalah ini.
Pendapat ketiga dari mazhab Malik dan
Hanbali yang menyatakan batalnya wudhu akibat persentuhan yang mengakibatkan
birahi, baik terhadap suami istri ataupun selainnya. Ibnu Qudamah lebih
menekankan hukum asalnya tidak membatalkan, namun jika keluar madzi dan mani
maka wudhunya batal.
Q : Kalau bersentuhan dengan bapak,
paman kandung, kakak adik , wudhunya batal tidak?
A : Berikut penjelasan mahrom untuk
laki-laki. Ketika laki-laki bersentuhan kulit dengannya tidak membatalkan wudhu
dan juga tidak boleh dinikahi oleh laki-laki tersebut :
حرمت عليكم امهاتكم وبناتكم واخواتكم وعماتكم وخالاتكم وبنات الاخ وبنات الاخت
Disebutkan oleh Allah SWT di dalam Al
Qur an, ada tujuh mahrom bagi laki-laki yang mempunyai hubungan nasab dengan
laki-laki tersebut (hubungan darah) yaitu :
1. Ibu. Laki-laki bersentuhan kulit
dengan ibu kita tidak membatalkan wudhu.
2. Albint (anak perempuan)
3. Alukht (saudara perempuan), kakak atau adik perempuan
4. Al’ammah (bibi atau saudara perempuan dari bapak)
5. Alkholah (bibi atau saudara perempuan dari ibu)
6. Bintul akh (anak perempuan dari saudara laki laki atau keponakan)
7. Bintul ukht (anak perempuan dari saudara perempuan atau keponakan)
2. Albint (anak perempuan)
3. Alukht (saudara perempuan), kakak atau adik perempuan
4. Al’ammah (bibi atau saudara perempuan dari bapak)
5. Alkholah (bibi atau saudara perempuan dari ibu)
6. Bintul akh (anak perempuan dari saudara laki laki atau keponakan)
7. Bintul ukht (anak perempuan dari saudara perempuan atau keponakan)
Bagi perempuan, mahromnya
kebalikannya, maka mahromnya perempuan adalah sebagai berikut:
1. Bapaknya
2. Anak laki-lakinya
3. Saudara laki-lakinya
4. Saudara laki-laki bapaknya (pamannya)
5. Saudara laki-laki ibunya (pamannya)
6. Ibnul akh (anak laki dari saudara lakij-lakinya atau keponakan laki-laki)
7. Ibnul ukht (anak laki dari saudara perempuannya atau keponakan laki-laki).
1. Bapaknya
2. Anak laki-lakinya
3. Saudara laki-lakinya
4. Saudara laki-laki bapaknya (pamannya)
5. Saudara laki-laki ibunya (pamannya)
6. Ibnul akh (anak laki dari saudara lakij-lakinya atau keponakan laki-laki)
7. Ibnul ukht (anak laki dari saudara perempuannya atau keponakan laki-laki).
Alhamdulillah, kajian
kita hari ini berjalan dengan lancar. Semoga ilmu yang kita dapatkan berkah dan
bermanfaat. Aamiin....
Segala yang benar dari
Allah semata, mohon maaf atas segala kekurangan. Baiklah langsung saja kita
tutup dengan istighfar masing-masing sebanyak-banyaknya dan do'a kafaratul
majelis:
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك
Subhanakallahumma wabihamdika
asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya
Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah
melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT
0 komentar:
Post a Comment