Home » , , , , » ISLAM DAN POLITIK KEPEMIMPINAN; SENYAWA TAK TERPISAHKAN

ISLAM DAN POLITIK KEPEMIMPINAN; SENYAWA TAK TERPISAHKAN

Posted by Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT on Friday, April 7, 2017

 Kajian Online WA  Hamba الله SWT

Rabu, 5 April 2017
Rekapan Kajian Link Grup Bunda, Nanda, Ikhwan
Narasumber : Ustadz Farid Nu'man
Tema : Politik dan Pemerintahan
Editor : Rini Ismayanti



Dzat yang dengan Kebesaran-Nya, seluruh makhluk menyanjung dan mengagungkan-Nya...
Dzat yang dengan Keperkasaan-Nya, musuh-musuh dihinakan lagi diadzab-Nya...
Dzat yang dengan Kasih dan Sayang-Nya, kita semua mampu mengecap manisnya Islam dan indahnya ukhuwah di jalan-Nya, memadukan hati kita dalam kecintaan kepadaNya, yang mempertemukan kita dalam keta'atan kepadaNya, dan menghimpunkan kita untukuk mengokohkan janji setia dalam membela agamaNya.

AlhamduliLlah... tsumma AlhamduliLlah...

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada tauladan kita, Muhammad SAW. Yang memberi arah kepada para generasi penerus yang Rabbaniyyah bagaimana membangkitkan ummat yang telah mati, memepersauntukan bangsa-bangsa yang tercerai berai, membimbing manusia yang tenggelam dalam lautan sayaahwat, membangun generasi yang tertidur lelap dan menuntukun manusia yang berada dalam kegelapan menuju kejayaan, kemuliaan, dan kebahagiaan.

Amma ba'd...
Ukhti fillah sekalian. Agar ilmunya barokah, maka alangkah indahnya kita awali dengan lafadz Basamallah

Bismillahirrahmanirrahim...                       

ISLAM DAN POLITIK KEPEMIMPINAN; SENYAWA TAK TERPISAHKAN

Defisi As Siyasah (Politik)

Secara bahasa (lughatan), As Siyasah berasal dari kata سَاسَ yang artinya  mengatur, memimpin, dan memerintah. ساس القوم  (Saasa Al Qauma): mengatur, memimpin, dan mengatur kaum itu.  السائس (As Saa –is): pengatur, pemimpin, manajer, administrator.   (Ahmad Warson, Al Munawwir, Hal. 677).

 Sedangkan السياسة (As Siyaasah) artinya: administrasi, manajemen.  (Ibid, Hal. 678)

  Dikatakan  سَاسَ الرَّعِيّة يَسُوسها سِيَاسَة (Saasa Ar Ra’iyyah yasuusuha siyasatan): mengatur  rakyat dengan siyasah (politik).  (Zainudddin Ar Razi, Al Mukhtar Ash Shihah, 1/154).

 Dikatakan pula  ساسَ وسِيسَ عليه (Saasa wa siisa ‘alaih): mendidik dan dididik.  (Fairuzzabadi, Qamus Al Muhith, 2/89)

  Jadi, dari sisi bahasa, mana politik adalah berputar pada mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, dan mendidik. Seluruhnya adalah makna positif dan mulia, tidak ada cela dengan definisi politik.

Definisi Secara Terminologis (Sayaar'an)

Makna secara syariat (syar’an), telah didefinisikan secara brilian oleh Imam Ibnu Aqil Al Hambali Rahimahullah , sebagaimana dikutip oleh Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah sebagai berikut:

السِّيَاسَةُ مَا كَانَ مِنْ الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ النَّاسُ مَعَهُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ ، وَإِنْ لَمْ يُشَرِّعْهُ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ ؛ فَإِنْ أَرَدْتَ بِقَوْلِكَ " لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ " أَيْ لَمْ يُخَالِفْ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَصَحِيحٌ ، وَإِنْ أَرَدْتَ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَغَلَطٌ وَتَغْلِيطٌ لِلصَّحَابَةِ ؛ فَقَدْ جَرَى مِنْ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ الْقَتْلِ وَالْمَثْلِ مَا لَا يَجْحَدُهُ عَالِمٌ بِالسِّيَرِ ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ إلَّا تَحْرِيقُ الْمَصَاحِفِ كَانَ رَأْيًا اعْتَمَدُوا فِيهِ عَلَى مَصْلَحَةٍ ، وَكَذَلِكَ تَحْرِيقُ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ الزَّنَادِقَةَ فِي الْأَخَادِيدِ ، وَنَفْيُ عُمَرُ نَصْرَ بْنَ حَجَّاجٍ .

  “As Siyaasah (politik) adalah aktifitas yang memang  melahirkan maslahat bagi manusia dan menjauhkannya dari kerusakan (Al fasad), walau pun belum diatur oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan wahyu Allah pun belum membicarakannya. Jika yang Anda maksud “politik harus sesuai syariat” adalah politik tidak boleh bertentangan dengan nash (teks) syariat, maka itu benar.  Tetapi jika yang dimaksud adalah politik harus selalu sesuai teks syariat, maka itu keliru dan bertentangan dengan yang dilakukan para sahabat. Para khulafa’ur rasyidin telah banyak  melakukan kebijaksanaan sendiri yang tidak ditentang oleh para sahabat nabi lainnya, baik kebijakan dalam peperangan atau penentuan jenis hukuman. Pembakaran mushhaf (kecuali mushhaf Utsmani, pen) yang dilakukan oleh Utsman semata-samata pertimbangan akal demi tercapainya maslahat. Demikian pula Ali bin Abi Thalib yang membakar orang zindiq di Akhadid. Umar bin Al Khathab juga pernah mengasingkan Nashr bin Hajjaj." (I'lamul Muwaqi'in, 6/26)

Al ‘Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah juga berkata:

فَلَا يُقَالُ : إنَّ السِّيَاسَةَ الْعَادِلَةَ مُخَالِفَةٌ لِمَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ ، بَلْ هِيَ مُوَافِقَةٌ لِمَا جَاءَ بِهِ ، بَلْ هِيَ جُزْءٌ مِنْ أَجْزَائِهِ ، وَنَحْنُ نُسَمِّيهَا سِيَاسَةً تَبَعًا لِمُصْطَلَحِهِمْ ، وَإِنَّمَا هِيَ عَدْلُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، ظَهَرَ بِهَذِهِ الْأَمَارَاتِ وَالْعَلَامَاتِ .

  “Maka, tidaklah dikatakan, sesungguhnya politik yang adil itu bertentangan dengan yang dibicarakan syariat, justru politik yang adil itu bersesuaian dengan syariat, bahkan dia adalah bagian dari elemen-elemen syariat itu sendiri. Kami menamakannya dengan politik karena mengikuti istilah yang mereka buat. Padahal itu adalah keadilan Allah dan RasulNya, yang ditampakkan tanda-tandanya melalui politik.” (Ibid)

Apa yang diulas Imam Ibnul Qayyim ini adalah benar, sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ

  “Adalah Bani Israil, dahulu mereka di-siyasah-kan oleh para nabi.”  (HR. Muttafaq ‘Alaih)

  Maka, politik yang adil merupakan perilaku para nabi terhadap umatnya terdahulu, dengan kata lain politik adalah salah satu warisan para nabi.

  Imam An Nawawi Rahimahullah mengomentari hadits ini, katanya:

أَيْ : يَتَوَلَّوْنَ أُمُورهمْ كَمَا تَفْعَل الْأُمَرَاء وَالْوُلَاة بِالرَّعِيَّةِ ، وَالسِّيَاسَة : الْقِيَام عَلَى الشَّيْء بِمَا يُصْلِحهُ .

  “Yaitu: mereka (para nabi) mengurus urusan mereka (Bani Israil) sebagaimana yang dilakukan para pemimpin (umara’) dan penguasa terhadap rakyat.  As Siyasah: adalah melaksanakan sesuatu dengan apa-apa yang membawa maslahat.” (Al Minhaj Sayaarh Shahih Muslim, 6/316)

  Al Hafizh  Ibnu Hajar Rahimahullah memberikan sayaarah (penjelasan) sebagai berikut:

وَفِيهِ إِشَارَة إِلَى أَنَّهُ لَا بُدّ لِلرَّعِيَّةِ مِنْ قَائِم بِأُمُورِهَا يَحْمِلهَا عَلَى الطَّرِيق الْحَسَنَة وَيُنْصِف الْمَظْلُوم مِنْ الظَّالِم .
 
  “Dalam hadits ini terdapat isayaarat, bahwa adanya keharusan bagi rakyat untuk memiliki pemimpin yang akan mengurus urusan mereka dan membawa mereka kepada jalan kebaikan, dan menyelamatkan orang yang dizalimi dari pelaku kezaliman.”  (Fathul Bari, 6/497)

  Demikianlah hakikat As Siyasah Asy Sayaar’iyyah yang dipaparkan oleh para ulama kredibel berdasarkan pemahamannya terhadap kesucian syariat Islam. Politik –pada dasarnya – adalah mulia, penuh keadilan, memiliki maslahat, mengurangi mafsadat, jauh dari kekotoran hawa nafsu dunia; intrik, menghalalkan segala cara, tipu menipu, dan saling sikut. Dengan kata lain, politik merupakan salah satu bentuk amal shalih bagi manusia, baik laki-laki atau perempuan. Namun, penyikapan dan penilaian manusia terhadap politik telah berubah seiring perubahan realita politik itu sendiri, setelah diracuni oleh pemikiran Nicolo Machiaveli, yakni tubarrirul wasilah (menghalalkan segala cara). Politik hari ini telah jauh dari dasar-dasar syariat, melainkan berkiblat kepada politik kezaliman yang dikembangkan oleh para tiran. Hingga akhirnya seorang reformis seperti Sayaaikh Muhammad Abduh pun berkata: aku berlindung kepada Allah dari politik, politikus, kajian politik, dan membicarakan politik.

 Demikianlah kabut yang telah menutupi wajah politik sejak berabad-abad lamanya hingga  hari ini. Tetapi, realita hari ini bukanlah hakikat politik itu sendiri, melainkan lebih tepat disebut sebuah kejahatan yang berdiri sendiri atau ‘penumpang gelap’ dalam dunia politik.

Selanjutnya ...

Urgensi Kepemimpinan dan Kekuasaan Dalam Islam

 Sayaaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, beliau berkata:

يجب أن يعرف أن ولاية أمر الناس من أعظم واجبات الدين بل لا قيام للدين ولا للدنيا إلا بها . فإن بني آدم لا تتم مصلحتهم إلا بالاجتماع لحاجة بعضهم إلى بعض ، ولا بد لهم عند الاجتماع من رأس حتى قال النبي صلى الله عليه وسلم : « إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمّروا أحدهم » . رواه أبو داود ، من حديث أبي سعيد ، وأبي هريرة .
وروى الإمام أحمد في المسند عن عبد الله بن عمرو ، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : « لا يحل لثلاثة يكونون بفلاة من الأرض إلا أمروا عليهم أحدهم » . فأوجب صلى الله عليه وسلم تأمير الواحد في الاجتماع القليل العارض في السفر ، تنبيها بذلك على سائر أنواع الاجتماع . ولأن الله تعالى أوجب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، ولا يتم ذلك إلا بقوة وإمارة . وكذلك سائر ما أوجبه من الجهاد والعدل وإقامة الحج والجمع والأعياد ونصر المظلوم . وإقامة الحدود لا تتم إلا بالقوة والإمارة ؛ ولهذا روي : « إن السلطان ظل الله في الأرض » ويقال " ستون سنة من إمام جائر أصلح من ليلة واحدة بلا سلطان " . والتجربة تبين ذلك . ولهذا كان السلف - كالفضيل بن عياض وأحمد بن حنبل وغيرهما- يقولون : لو كان لنا دعوة مجابة لدعونا بها للسلطان

            “Wajib diketahui, bahwa kekuasaan kepemimpinan yang mengurus urusan manusia termasuk kewajiban agama yang paling besar, bahkan agama dan dunia tidaklah tegak kecuali dengannya. Segala kemaslahatan manusia tidaklah sempurna kecuali dengan memadukan antara keduanya (agama dan kekuasaan),  di mana satu sama lain saling menguatkan. Dalam perkumpulan seperti inilah diwajibkan adanya kepemimpinan, sampai-sampai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Jika tiga orang keluar bepergian maka hendaknya salah seorang mereka menjadi pemimpinnya.” Diriwayatkan Abu Daud dari Abu Said dan Abu Hurairah.  

            Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Abdullah bin Amru, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sebuah tempat di muka bumi ini melainkan mereka menunjuk seorang pemimpin di antara mereka.”

Rasulullah mewajibkan seseorang memimpin sebuah perkumpulan kecil dalam perjalanan, demikian itu menunjukkan juga berlaku atas  berbagai perkumpulan lainnya. Karena Allah Ta’ala memerintahkan amar ma’ruf dan nahi munkar, dan yang demikian itu tidaklah sempurna melainkan dengan kekuatan dan kepemimpinan.

Demikian juga kewajiban Allah lainnya seperti jihad, menegakkan keadilan, haji, shalat Jumat hari raya, menolong orang tertindas, dan menegakkan hudud. Semua ini tidaklah sempurna kecuali dengan kekuatan dan imarah (kepemimpinan). Oleh karena itu diriwayatkan: “Sesungguhnya sultan adalah naungan Allah di muka bumi.”

 Juga dikatakan: “Enam puluh tahun bersama pemimpin zalim masih lebih baik disbanding semalam saja tanpa pemimpin.” Pengalaman membuktikan hal itu. Oleh karena itu, para salaf – seperti Al Fudhail bin ‘Iyadh dan Ahmad bin Hambal serta yang lain- mengatakan: “Seandainya kami memiliki doa yang mustajab, niscaya akan kami doakan pemimpin.” (Sayaaikhul Islam Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Sayaar’iyyah, Hal. 169. Mawqi’ Al Islam)

Kekuasaan dan Agama adalah Saudara Kembar

Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali Rahimahullah berkata:

فإن الدنيا مزرعة الآخرة، ولا يتم الدين إلا بالدنيا. والملك والدين توأمان؛ فالدين أصل والسلطان حارس، وما لا أصل له فمهدوم، وما لا حارس له فضائع، ولا يتم الملك والضبط إلا بالسلطان

“Sesungguhnya dunia adalah ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama merupakan  pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin.” (Imam Al Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, 1/17. Mawqi’ Al Warraq)

Maka, ide pemisahan Islam dengan politik, pemisahan Islam dengan kekuasaan, pemisahan Islam dengan kepemimpinan, adalah ide rusak yang meracuni sebagian politisi muslim, yang asasnya adalah sekulerisme. Wallahul Musta'an

Farid Nu'man Hasan
Join Telegram: bit.ly/1Tu7OaC

TANYA JAWAB

PERTANYAAN GRUP BUNDA
G 7
Q : Sehubungan dengan memimpin dan dipimpin oleh seorang kepala dalam negara rumah tangga : dimana bisa mempelajari ilmu kepemimpinan yang islami dengan menetralisir EGO (jika tidak mau dikategorikan menurunkan ego). Ngakunya kepala rumah tangga, tapi tidak bisa mengambil keputusan untuk kemaslahatan anak istri kalo didiskuaikan untuk meluruskan jalur, katanya tanggung jawab dia adalah urusannya dengan Allah saja ...
A : Politik dengan makna dasarnya yang asli, yaitu mengatur, mengurus, memenej, tentu ada dibebagai sisi hidup kita, termasuk rumah tangga.
Suami dengan segala macam tugasnya di rumah, maka dia telah berpolitik. Begitu pula istri.
Suami memang pemimpin, tapi tidak semua pemimpin memiliki jiwa dan karakter pemimpin. Ke-qawwam-an laki-laki terhadap wanita di rumah tgga, bukan hanya given, dan status fungsional dari syariat, tapi juga sesuatu yang nurture/mesti dibentuk dan diupayakan oleh lingkungannya.

Oleh karena itu, suami harus mujahadah/sungguh2 untuk mnjadi pemimpin, istri membantunya, mensugesti suami bahwa dia bisa menjadi pemimpinnya, tidak melemahkan dan menjatuhkannya.

Wallahu a'lam

G 7
Q : Saya yakin dulu ulama kita menyadari betul tentang ilmu siyasah ini sehingga dibentuklah oranganisasi yang dapat mendukung perjuangan ulama ini, namun kenyataan sekarang justru pengaburan ilmu siyasah juga dilakukan oleh para ulama modern lalu bagaimana menurut pendapat ustadz. Jazakallah khoir
A : Perlu disadari, bahwa politik secara value dan normatif memang mulia, seperti yang saya jelaskan dalam artikel ...

Tapi, secara waqi'/realita, banyak pelaku politik yang brutal dan jahat .. shgga realita inilah yang dijadikan standar untuk menilai politik, termasuk dalam penilaian cendekiawan muslim, sehingga merekaa antipati dengan politik, hopeless, bahkan menggagas pemisahan agama dan politik.
Jelas itu sikap yang tidak tepat, walau kita paham kenapa mereka seperti itu. Sebab, menilai sebuah konsep harus dari konsep itu sendiri, bukan dari prilaku oknum-oknumnya. Wallahu a'lam

G 2
Q : assalamualaikum ustadz, mhn penjelasannya Apa yang d makasd dengan : Kejahatan yang brdiri sendiri atau penumpang gelap dalam dunia politik? Sayaukron
A : Wa'alaikumussalam, yaitu .. orang yang mengotori politik dengan cara politik yang jahat. Politik itu ibaratnya gerbong yang mengantarkan pada tujuan baik, tapi gerbong tersebut diisi oleh penumpang yang merusaknya. Jadi bukan gerbongnya yang salah tapi penumpangnya. Wallahu a'lam

G-5
Q : Saat ini partai politik identik dengan ‘hanya’ concern terhadap urusan kekuasaan, lalu bagaimana dalam Islam apakah peran partai politik di tengah umat memang seperti itu atau bagaimana
A : Masalah kekuasaan hanyalah potongan dari politik Islam. Sejatinya politik Islam itu pelayanan kepada umat agar umat semakin dekat dengan kebaikan dan jauh dari keburukan. Kekuasaan hanyalah salah satu instrumen, dan berpenting sebagai alat pukul kemungkaran. Seharusnya partai-partai Islam bisa mendidik umat secara konfrenhensif, tidak melulu kekuasaan. Wallahu a'lam

G-5
Q : Bagaimana deskripsi aktualisasi politik Ulama’ saat ini?
A : Ulama saat ini, kinteks Indonesia,  masih belum signifikan perannya, kecuali dimanfaatkan pada masa election saja untuk menarik masa dan pemilih. Sharusnya tidak seperti itu. Ulama mesti menjadi tempat bertanya, berdiskusi, bahkan bisa berperan langsung, agar politik itu santun dan  bermoral. Maka, anjuran dari orang sekuler "ulama sebaiknya mengurus pesantren aja" adalah anjuran beracun, yang dapat membuat leluasa penjahat politik. Wallahu a'lam

G-2
Q : Sekarang ini banyak sekali olok-olok seperti,  surga ditentukan nomor pilihan PILKADA dan sejenisnya. Apakah ada yang salah dalam penjelasan tentang larangan pemimpin kafir? Ataukah memang mereka hobby menjadi kan kita bahan olokan? Bagaimana sikap yang tepat untuk olok2 tsb? jika hukum di negara ini tidak bisa dipercaya lagi, apa yang bisa kita lakukan ustadz?
A : Tidak ada yang salah dari ketetapan haramnya memikih orang kafir sebagai pemimpin daerah atau negara. Istiqamahlah dalam hal itu.
Ada pun olok-olok itu, merupakan kebiasaan yang sudah sama-sama diketahui. Allah pun menceritakan bahwa orang kafir dan munafik suka istihza/olok-olok terhadap kaum muslimin dan Islam. Jadi kita sadar betul begitulah mereka. Wallahu a'lam

G 5
Q : Ustadz bagaimana cara menjawab "yang penting itu daulah berdiri dulu, klo daulah tegak semua masalah insayaaAllah beres". Tapi sepemahaman teman saya, bukankah membina individu itu urgent, tegaknya daulah tanpa individu yang komitment apa mungkin mnjadi lebih baik? Ini jujur buat saya jadi bingung. Bisa tolong bantu jelaskan ustadz
A : Semuanya penting, tidak ada yang dianaktirikan dalam perjuangan. Secara abjadiyah perjuangan mebina pribadi Islami memang didahulukan dibanding negara Islami. Sebab bagaimana mungkin 10 km bisa diraih kalau 1 m belum dimulai.  Tapi, dari sisi urgensitas, semuanya penting dan vital. Dakwah kultural di masyarakat agar terwujud clean society dan dakwah struktural di lembaga pemerintahan agar twujud clean goverment. Paduan keduanya itulah maayarakat Islami bisa terwujud.

Wallahu a'lam                       

G-3
Q : Ustadz..pro dan kontra dalam demokrasi banyak terjadi... yang mau saya tanyakan,, dlu di tahun 2008 saya daftar haji,,dan Alhamdulillah 1 tahun saya dftar brgkt, langsung dapat Porsi,, nah pada wktu itu banyak yang Demo ke ke Ged. Sate bandung.. tadinya saya gk mau ikut Demo, karena saya blum pernah,, tapii rekan mengajak untuk Demo karena kuota haji jawa barat di batasin,, dengan alasan solidaritas sesama teman...dan katanya ini bukan demons kekerasan,,  tapii baik...Amar ma'ruf Nahi munkar.. Afwan sekali lagi ,itu gimana Ustd Farid... mohon tausiahnya...
Q : Bagaimana dengan Demo dalam pandangan Islam...? Karena terkadang  ada yang demo kekerasan,dan jatuh korban yang tidak berdosa... baik nyawa... mau pun Luka-luka....
A : Ini tidak bisa dipukul rata. Masalah demonstrasi, jika aksinya anarkis, bakar-bakaran, mencaci maki sesama muslim .. tentu haram.

Ada pun muzhaharah saliimah/demonstrasi damai, untuk menyampaikan sebuah pendapat, menekan kezaliman, atau membela muslim tertindas, maka para ulama berbeda pendapat.

Di Antara yang melarang, seperti Sayaaikh bin Baaz, Sayaaikh Utsaimin (beliau membolehkan jika dinegeri non muslim), Sayaaikh Shalih Fauzan, dll.

Di antara yang membolehkan, seperti Sayaaikh Wahbah Az Zuhaili, Sayaaikh Al Qaradhawi, Sayaaikh Abdullah Al Faqih, Sayaaikh Abu Sayauja Al Azhari, dan umumnya ulama Al Azhar, dll.

Lengkapnya silahkan buka: bit.ly/1Tu7OaC

Wallahu A'lam                       

Q : Bagaimana dengan politik memilih wakil rakyat atau presiden di tanah air ini apa sudah sesuai syari..Sedang tidak di contoh kan pada jaman Rasul
A : Bukan hanya pemilu yang tidak ada di zaman nabi, hampir mungkin 90 persen hal-hal yang baru kita lakukan dan nikmati juga tidak ada pada masa nabi. Tapi, apakah lantas langsung dikatakan terlarang?
Dalam urusan duniawi, termasuk tata cara memilih pemimpin, berbeda dengan masalah ibadah ritual yang memang mesti ada ctahunya. Dalam maslh ini "apakah ada ctahunya?" , tapi "apakah ada larangannya?"

Oleh karena itu para ulama kibar memandang tidak masalah pemilu.

Silahkan lihat ini
Majelis Indahnya Berbagi:
Fatwa-fatwa Ulama Tentang Pemilu

1. Asyh Syeikh Dr. Abdullah Al-Faqih Hafizhahullah

Beliau ditanya tentang hukum mencalonkan diri dalam parlemen untuk maslahat kaum muslimin, dan hukum memilih partai sekuler, Beliau menjawab:

فإنه لا يجوز التعاون مع الأحزاب العلمانية والشيوعية، لما تعتقده من أفكار إلحادية، فإن الترجمة الصحيحة للعلمانية هي: اللادينية أو الدنيوية، ومدلول العلمانية المتفق عليه يعني عزل الدين عن الدولة وحياة المجتمع، كما أن معنى الشيوعية يقوم على أساس تقديس المادة، وأنها أساس كل شيء، كما أنه مذهب فكري يقوم على الإلحاد، وعدم الاعتراف برب الأرض والسماوات، أما عن دخول المجالس النيابية عن طريق الانتخابات وغيرها، فالأصل أن نفع المسلمين بأي وسيلة لا تؤدي إلى الإثم أمر مشروع في الجملة، فمن كانت نيته بالترشيح لهذه المجالس خدمة المسلمين وتحصيل حقوقهم، فلا نرى مانعاً من ذلك، وقد بينا ذلك بإذن الله في الفتوى رقم:
5141.

Tidak boleh bekerjasama dengan partai-partai sekuler dan komunis, karena dasar pemikiran mereka adalah anti Tuhan. Penjelasan yang benar tentang sekulerisme adalah anti agama, dan yang disepakati tentang sekulerisme adalah menghapuskan agama dari negara dan kehidupan masyarakat. Sebagaimana makna komunisme yang merupakan pemikiran yang didasari sikap pemujaan kepada materi, dan materialisme merupakan pondasi semuanya, sama halnya dengan pemikiran yang ditegakkan oleh atheis, yang menghilangkan sama sekali pengakuan atas adanya Tuhannya bumi dan langit.

Ada pun masuk ke dalam majelis perwakilan (parlemen) melalui jalan pemilu dan selainnya, maka pada dasarnya melahirkan manfaat bagi kaum muslimin dengan cara apa saja yang tidak membawa pada dosa, itu merupakan cara yang diperintahkan syariat secara umum. Maka, siapa saja yang niat pencalonannya adalah untuk melayani kaum muslimin dan mengambil hak-hak mereka, maka kami memandang hal itu tidak terlarang. Kami telah jelaskan hal ini, dengan izin Allah, dalam fatwa No. 5141. (Fatawa Asy-Sayaabakah Al-Islamiyah,1/565)

Beliau juga menasihati agar tidak sembarang memakai fatwa ulama sebuah negara untuk keadaan di negara lain, khususnya tentang larangan ikut serta dalam pemilu, karena masing-masing negara punya keadaan yang tidak sama. Maka, adalah hal aneh memaksakan pendapat ulama yang mengharamakaan pemilu di negerinya, untuk diberlakukan disemua negara muslim. Dalam masalah ini dibutuhkan pemahaman fiqhut tanzil,  tahqiqul manath,  kecerdasan berfiqih, bukan asal comot fatwa ulama, sebagaimana yang dilakukan banyak para pemuda yang semangat beragama, tapi mereka laksana Ar-Ruwaibidhah zaman ini. Ar-Ruwaibidhah adalah orang bodoh tapi sok membicarakan urusan orang banyak.

Asy Syeikh mengatakan:

لأن مبنى الأمر عندئذ على فقه المصالح والمفاسد، وأهل العلم من كل بلد هم أقدر الناس على تقدير هذه الأمور، فإنهم أدرى بملابسات بلادهم وأحوالها

Dikarenakan masalah ini dibangun atas dasar pemahaman maslahat dan mafsadat (kerusakan), dan setiap ulama di masing-masing negara adalah pihak yang paling tahu tentang ukuran hal-hal tersebut (maslahat dan mafsadat), dan mereka juga mengetahui keadaan negerinya dan hal-hal seputarnya. (Ibid, 7/4)

2. Asy Syeikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al-Khudhairi (Ulama Saudi, Anggota Hai’ah At Tadariis di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh)

Beliau ditanya tentang kaum muslimin yang tinggal di Barat, bolehkah ikut pemilu di sana yang nota bene calon-calonnya adalah kafir.

المسلمون الذين يعيشون في بلاد غير إسلامية يجوز لهم على الصحيح المشاركة في
انتخاب رئيس للبلاد أو انتخاب أعضاء المجالس النيابية إذا كان ذلك سيحقق مصلحة للمسلمين أو يدفع عنهم مفسدة، ويحتج لذلك بقواعد الشريعة العامة التي جاءت بتحقيق
المصالح ودرء المفاسد، واختيار أهون الشرين، وعلى المسلمين هناك أن يقوموا بتنظيم
أنفسهم وتوحيد كلمتهم لكي يكون لهم تأثير واضح وحضور فاعل يؤخذ في الحسبان عند
اتخاذ القرارات الهامة التي تخص المسلمين في تلك البلاد أو غيرها.

Kaum muslimin yang tinggal di negeri non-muslim, menurut pendapat yang benar adalah boleh berpartisipasi dalam pemilihan presiden di berbagai negara, atau memilih anggota majelis perwakilan jika hal itu dapat menghasilkan maslahat bagi kaum muslimin atau mencegah kerusakan bagi mereka. Dan, hujjah dalam hal ini adalah adanya berbagai kaidah syariat umum yang memang mendatangkan berbagai maslahat dan mencegah berbagai kerusakan, dan memilih yang lebih ringan di antara dua keburukan, dan mestilah bagi kaum muslimin di sana mengatur diri mereka, menyatukan kalimat mereka, agar mereka memperoleh pengaruh yang jelas. Kehadiran mereka bisa memberikan kontribusi atas berbagai keputusan-keputusan penting khususnya bagi kaum muslimin di negeri itu dan lainnya. (Fatawa Istisayaarat Al-Islam Al-Yaum, 4/506)

3. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Beliau ditanya tentang pemilu di Kuwait, yang diikuti oleh para aktifis Islam, Beliau menjawab: 

أنا أرى أن الانتخابات واجبة, يجب أن نعين من نرى أن فيه خيراً, لأنه إذا تقاعس أهل الخير من يحل محلهم؟ أهل الشر, أو الناس السلبيون الذين ليس عندهم لا خير ولا شر, أتباع كل ناعق, فلابد أن نختار من نراه صالحاً 
فإذا قال قائل: اخترنا واحداً لكن أغلب المجلس على خلاف ذلك, نقول: لا بأس, هذا الواحد إذا جعل الله فيه بركة وألقى كلمة الحق في هذا المجلس سيكون لها تأثير 

Saya berpendapat, bahwa mengikuti pemilu adalah wajib, wajib bagi kita memberikan pertolongan kepada orang yang kita nilai memiliki kebaikan, sebab jika orang-orang baik tidak ikut serta, maka siapa yang menggantikan posisi mereka? Orang-orang buruk, atau orang-orang yang tidak jelas keadaannya, orang baik bukan, orang jahat juga bukan, yang asal ikut saja semua ajakan. Maka, seharusnya kita memilih orang-orang yang kita pandang adanya kebaikan. Jika ada yang berkata: “Kita memilih satu orang tetapi kebanyakan seisi majelis adalah orang yang menyelesihinya.” Kami katakan: “Tidak apa-apa, satu orang ini jika Allah jadikan pada dirinya keberkahan, dan dia bisa menyatakan kebenaran di majelis tersebut, maka itu akan memiliki dampak baginya.” (Liqo Bab Al-Maftuuh kaset No. 211)

4. Syeikh Abdul Muhsin Al-Ubaikan Hafizhahullah

Beliau ditanya tentu ikut memberikan suara dalam pemilu sebagai berikut:

السؤال : السلام عليكم و رحمة الله و بركاته كيف حالك ياشيخ يا شيخ عندي سؤال وهو فيما يتعلق بالإنتخابات هل ننتخب أو لا وأرجو ان توضحو لي مرفوقين بالدليل أفتوني مأجورين إن شاء الله وارجو أن يكون في اقرب وقت لأنها لا تبقى عليها إلا 7 أيام فقط والسلام عليكم و رحمة الله و بركاته

الإجابة:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته. الدخول في الانتخابات مطلوب حتى لا يأتي أهل الشر فيستغلون هذه المناصب لبث شرورهم وهذا ما يفتي به سماحة الشيخ ابن باز والعلامة الشيخ ابن عثيمين رحمهم الله


Pertanyaan: Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh. Apa kabar Syeikh, Ya Syeikh saya da pertanyaan terkait pemilu, apakah kita mesti ikut pemilu? Saya harap Anda menjelaskan kepadaku dengan dalil-dalil, semoga Allah Ta’ala memberikan pahala, dan aku harap Anda menjawabnya secepatnya. Was Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Jawaban: Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Berpartisipasi dalam pemilu adalah suatu hal yang dituntukut untuk dilakukan supaya orang yang jahat tidak bisa menjadi anggota dewan untuk menyebarluaskan kejahatan mereka. Inilah yang difatwakan oleh Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin”. (Sumber:httapi://al-obeikan.com/show_fatwa/619.html)

5. Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah

Al Lajnah Ad-Daimah adalah lembaga fatwa kerajaan Arab Saudi, fatwa ini dikeluarkan ketika masih diketuai oleh Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah. Mereka ditanya tentang hukum ikut pemilu di sebuah negeri yang negaranya tidak memakai hukum Allah Ta’ala. Mereka menjawab:

لا يجوز للمسلم أن يرشح نفسه رجاء أن ينتظم في سلك حكومة تحكم بغير ما أنزل الله، وتعمل بغير شريعة الإسلام، فلا يجوز لمسلم أن ينتخبه أو غيره ممن يعملون في هذه الحكومة، إلا إذا كان من رشح نفسه من المسلمين ومن ينتخبون يرجون بالدخول في ذلك أن يصلوا بذلك إلى تحويل الحكم إلى العمل بشريعة الإسلام، واتخذوا ذلك وسيلة إلى التغلب على نظام الحكم، على ألا يعمل من رشح نفسه بعد تمام الدخول إلا في مناصب لا تتنافى مع الشريعة الإسلامية.

Tidak boleh bagi seorang muslim mencalonkan dirinya, dengan itu dia ikut dalam sistem pemerintahan yang tidak menggunakan hukum Allah, dan menjalankan bukan syariat Islam. Maka tidak boleh bagi seorang muslim memilihnya atau selainnya yang bekerja untuk pemerintahan

seperti ini, KECUALI jika orang yang mencalonkan diri itu berasal dari kaum muslimin dan para pemilih mengharapkan masuknya dia ke dalamnya sebagai upaya memperbaiki agar dapat berubah menjadi pemerintah yang berhukum dengan syariat Islam, dan mereka menjadikan hal itu sebagai cara untuk mendominasi sistem pemerintahan tersebut. Hanya saja orang yang mencalonkan diri tersebut, setelah dia terpilih tidaklah menerima jabatan kecuali yang sesuai saja dengan syariat Islam. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah No. 4029, ditanda tangani oleh Syeikh bin Baaz, Syeikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Syeikh Abdullah Ghudyan, Syeikh Abdullah bin Qu’ud)

6. Fatwa Al-Majma’ Al-Fiqhi Al-Islami, dalam pertemuan ke 19 Rabithah ‘Alam Islami, di Mekkah Pada 22-17 Sayaawwal 1428H (3-8 November 2007M)

Mereka mengeluarkan fatwa bahwa hukum pemilu tergantung keadaan di sebuah Negara, di antaranya:

 مشاركة المسلم في الانتخابات مع غير المسلمين في البلاد غير الإسلامية من مسائل السياسة الشرعية التي يتقرر الحكم فيها في ضوء الموازنة بين المصالح والمفاسد، والفتوى فيها تختلف باختلاف الأزمنة والأمكنة والأحوال.

Partisipasi seorang muslim dalam pemilu bersama non-muslim di negeri non-muslim, termasuk  permasalahan As-Siyasah Asy Sayaar’iyah yang ketetapan hukumnya didasarkan sudut pandang pertimbangan antara maslahat dan kerusakan, dan fatwa tentang masalah ini berbeda-beda sesuai perbedaan zaman, tempat, dan situasi. (selesai kutipan)

Jadi, tidak benar memutlakan keharamannya, sebagaimana tidak benar memutlakan kebolehannya, semuanya disesuaikan dengan situasi yang berbeda-beda. Di negeri Indonesia, inilah cara yang paling mungkin berpartisipasi bagi seorang muslim untuk memperbaiki keadaan pemerintahan negaranya. Di tambah lagi, negeri ini masih negeri muslim, bukan negeri kafir walau sistem dan hukum yang berlaku belum Islami.

 Dan, masih banyak lagi fatwa para ulama yang membolehkan pemilu dan semisalnya.

Wallahu a'lam

G-5
Q : Mau tanya bagaimanaa cara kita bisa yakinkan diri bahwa pilihan politik kita baik (islam juga).. karena seringkali kita kecewa dengan pilihan yang sudah kita yakini baik.. karena politik merubah orang baik jadi tidak baik, banyak korupsi dll.
A : Kita menilai orang dari yang tampak, nahkum bizhawahir. Selama dia baik, rekam jejaknya ok, kerjanya bagus, dan dia muslim maka itu yang kita pilih. Walau kita tidak tahu gimana hatinya, jujurkah, tuluskah ... Kalau kemudian hari dia berulah, kita tidak dihukum atas kejadian yang akan datang, karena itu diluar kemampuan kita.
Wallahu a'lam

Q : Mo tanya ustadz apa yang seharusnya dilakukan umat Islam hari ini dengan pemerintahan yang sekarang yang semakin hari menyuduntukan Islam, apakah revolusi itu perlu ataukah kita membuat aksi damai saja dan memohon kpada Allah? Sebagai umat Islam rasanya geram dengan kondisi saat ini tapi ga tau mesti gimana, bisanua berharap dan berdoa
A : Tetap kritis, bukan skeptis, selama masih ada harapan dan pintu tobat kpada pemimpin model begitu maka kita tetap mendoakan kebaikan agar dia berubah. Tapi, jika permusuhan kepada Islam terang-terangan dan nyata,  maka hendaknya menasihatinya bersama para ulama dan umat. Pressure agar dia berubah. Wallahu a'lam

G6
Q : Bagaimana cara memilih partai yang baik, karena sistem pemilihan pemimpin dnegara kita kan selalu melalui pilkada sementara pilkada sendiri identik dengan partai..Dan kadang memberi pemahaman teman tentang politik itu agak susah..
A : Politik di Indonesia itu dunia bergetah, partai sebagus apa pun pasti pernah kena getahnya. Pilihlah partai yang getah dan nodanya paling sedikit, dan masih menjalankan moral Islam sebagaiai bingkai geraknya. Wallahu a'lam

Q : Justru sekarang yang BerKembang Malah wacana peMisahan politik dan agama. Ini malah d LoNtarkan oleh penguasa ( presiden). Apa penguasa seperti ini masih wajib didengarkan??.. melihat statemen nya yang Selalu meresahkan.
A : Fondasi berfikirnya memang sudah sekuler, banyak umat Islam memandang Islam sebagai ritual saja, baik orang awam dan terpelajarnya. Bagi merekaa, jangan bawa Islam kalau bicara seni, budaya, ekonomi, politik, dsb .. Islam hanya ada di masjid, pesantren, dan majelis ta'lim. Untuk perkataan yang keliru tentu kita tidak menerimanya, dari siapa pun itu.

Wallahu a'lam

Q : Justru banyak aktifis Islam dari goloNgan tertentu mengatakan kafir ,musyrik..dll...terhadap muslim yang berjuang lewat politik..ini justru jadii penggembosan dari perjuangan politik itu sendiri ustadz...bagaimana?
A : Ya, sejak dulu memang begitu. Pada sisi ekstrim selalu ada, perbedaan metode perjuangan disikapi seolah beda aqidah, akhirnya mudah mengkafirkan. Kepada orang seperti ini jangan terlalu dihiraukan, energi kita lebih baik digunakan untuk kaum muslimin yang masih mengambang. Semuanya bertanggungjawab atas pilihan sikapnya masing-masing.

Wallahu a'lam

Q : Sebagiian orang juga akhirNya lelah dan menyalahkn politik...sebab banyak partai politik yang asasNya islam. Tapi tidak Konsisten. Contohnya sekarang...banyak partai islam yang malah mendukung penista agama..
Mohon pencerahan.
A : Partai Islam harus konsisten dengan perjuangan Islam. Walau namanya partai Islam, tapi alergi dengan agenda umat Islam, ya hanya kulitnya saja yang Islam. Biasanya umat yang akan memberikan sanksi moral kepada partai Islam yang seperti ini, dia akan dijauhi. Wallahu a'lam

G 7
Q : Puncak demokrasi di Indonesia=pemilu. Pada praktiknya pada saat pemilihan pemimpin mulai dari desa sampai presiden, politik uang, kampanye hitam masih sering terjadi. Bagaimana hukum dari politik uang n kampanye hitam tsb?
Khusus politik uang, masyarakat awam yang kurang mampu kadang justru berharap n merasa beruntukung dengan ada nya praktek tsb.
Bagaimana harusnya menyikapi "uang" tsb?
A : Politik uang adalah pembodohan, selain memang diharamakaan. Sebab itu risayawah. Muslim dan muslimah yang sudah paham mesti menyadarkan besarnya dosa risayawah kpada umat. Tolak uangnya, tolak pula orangnya. Partai-partai seharusnya mampu mendidik kader dan simpatisannya untuk tidak melakukannya, sebab politik uang hanyalah kenikmatan sesaat, tapi merana berkepanjangan, akibat memilih siapa yang bayar bukan memilih siapa yang pantas dan benar. Wallahu a'lam

G 4
Q : Bagaimana dengan pemimpin wanita. Batasan memilihnya dalam artian.. Tidak boleh sebagai presiden tapi boleh sebagai gubernur dan di bawahnya?.
A : Dalam hal ini ada yang disepakati dan diperselisihkan.

Wanita sebagai imamul a'zham, seperti khalifah, telah disepakati keharamannya.
Wanita sebagai bukan imamul a'zham, seperti gubernur, walikota, dan semisalnya, diperselisihkan ulama.
Imam 3 madzhab, Maliki, Sayaafi'i,  Hambali,  melarang, berdasarkan dalil2 umum bahwa laki2 adalah pemimpin bagi wanita ..
Sedangankan Hanafi  membolehkan, juga Ibnu Hazm, Sayaaikh Al Ghazali, Sayaaikh al Qaradhawi, serta ulama di Darul Ifta, Al Azhar Mesir. Alasannya, karena dulu Umar bin Khathab mengangkat wanita sebagai kepala pasar, padahal masih banyak laki-laki yang mampu.

Wallahu a'lam

G1
Q : Ustadz punten jadi begini seseorang bekerja di sebuah instansi. Dalam sebuah acara di sepakati forum klo proposal di lebih kan mark up. Dan saya kebagian yang membuat proposalnya. Alasannya biasanya dana yang turun hanya 1/2 dari yang panitia ajukan. Makanya harus di 2 kali lipatkan saat mengusulkan pencairan dana. Apa pengambilan kesepakatan seperti ini termasuk dosa? Dan bagaimana dengan posisi saya yang tak bisa mengelak dari tugas, meski saya tahu ini tak sesuai hati nurani?
A : Rasulullah bersabda: man ghasysayaana laisa minna- brgsiapa yang menipu kami maka bukan gol kami. Hr. Muslim

Maka, mark up itu kebohongan, apa pun alasannya. Tugas kita adalah usaha, mengajukan proposal, mau dikabulkan 1/2, 1/3, atau berapa saja, kita cari sumber lain. Allah melihat pada perjuangan, bukan pada hasilnya.
Jika hati kita berontak, itu bagus .. karena Nabi bersabda ketika ditanya apa itu dosa ?
Maa haaka fi shadariik, apa-apa yang membuat dadamu gelisah ..
Jalan keluarnya, mungkin bisa diambahkan "biaya tidak terduga" untuk mengcover kekurangan yang bisa jadi ada.

Wallahu a'lam

G-5
Q : Bagaimna meluruskan atau membuka wawasan teman yang menganggap bahwa jangan kaitkan kepemimpinan dengan agama. Karena ini masalah profesionalitas untuk memimpin.
A : Ya, sampaikan saja ayat atau hadits, perkataan sahabat, dan ulama, terkait kepemimpinan dalam Islam.

Sebagai contoh, ayat tentang kewajiban menegakkan qisos, tentu ini bukan kewajiban individu, rt rw, atau dkm masjid, tapi ini kewajiban negara. Artinya, ayat ini hanya bisa dijalankan oleh lembaga negara, itu tanda tidak bisa dipisahkan antara Islam dengan negara. Masih banyak ayat lainnya.

Wallahu a'lam

Q : Bolehkah demi kebutuhan perut seseorang menerima suap sekuan ratus ribu, asal nyoblos si A, tapi dalam hatinya dia tetap ingin milih B yang dia anggap sholih dan baik. Apa ini termasuk dosa. #antisipasi serangan fajar jkt
A : Alasannya tidak syar'iy, tidak dalam kondisi darurat (darurat itu terancam agama, nyawa, harta, akal, dan keturunan),  maka sama sekali tidak boleh menerima suap. Wallahu a'lam        
              
G-6
Q : Mohon dikasih tips nya aja. Klo ada pemilu. Baik milih legislatif atau apapun. Apa yang kita jadikan acuan?
Jika kedua calon sama baiknya. Jadi bagaimana?
Jika tidak ada yang baik lalu bagaimana?
Bolehkan kita tidak usah memilih. Sebab takut nanti ternyata pilihan kita tsb yang casing nya bagus. Ternyata ga amanah di kemudian hari. Apakah kita kena imbas "dosa kesalahan" dia?
A :  Jika keadaannya seperti yang disampaikan, maka perangkat yang kita gunakan adalah fiqhul muwazanah (fiqih pertimbangan) ..

- jika semuanya baik secara pribadi (dengan catatan muslim semua), pilih yang paling dekat dengan da'wah Islam

- jika semuanya peduli dengan da'wah Islam, pilih yang paling kuat dan tegas

- jika tidak ada yang baik, pilih yang paling minim kmgkinan madharat/bahayanya kpada Islam

Kita memilih sesuai yang kita saksikan saat itu, kita tidak dibebani atas apa yang terjadi nanti, walau kita juga mesti menganalisa kemungkinannya,  jika dia berubah mnjadi jahat atau buruk di belakang hari kita tidak ikut andil kesalahannya sbb dahulu memilih dia saat dia masih baik, atau memang dia bersandiwara menampilkan kebaikan untuk menipu para pemilihnya.

Wallahu a'lam

G 6
Q : Bagaimana menyikapi jika ada saudara kita yang lebih memilih golput aja karena sudah tidak percaya pada partai dan demokrasi walaupun basis partainya islami
A : Semua orang berhak mengambil sikap, golput juga sikap. Dahulu, kata Al Waqidi ada 7 sahabat nabi yang abisatein, tidak membai'at Ali atau Muawiyah Radhiallahu 'Anhuma.
Tapi semua sikap mesti ditimbang 2 sisi manfaat dan madharatnya bagi umat Islam. Apalagi jk 1 suara dalam sistem yang ada sgt dihargai, beda 1 suara tetap beda. Jugan lupa, semua sikap baik memilih atau tidak, sama2 ada tanggungjawab sosial dan akhiratnya. Selama dianggap yang bertanggung jawab hanya yang memilih, padahal diam saja juga akan diminta tanggungjawabannya.

Wallahu a'lam

G 7
Q : Apa yang harus kami lakukan sebagai warga negara Muslim ketika berada di dalam negara yang menganut paham Demokratis? Sedangkan kebijakan (makro, fiskal, moneter, hukum) dalam negara demokratis terkadang banyak yang menyimpang dari ajaran Islam.
A : Wa'alaikumussalam, ya .. kita tinggal di negeri yang tidak ideal dan kondusif menjalankan Islam secara kaffah. Mulai dicurigai, dimusuhi, dianggap makar, dicap radikal, dll.
Maka, lakukan saja agenda keislaman sejauh yang kita bisa dulu .. fattaqullaha mastatha'tum (bertawalah kpada Allah semampumu)
Kaidah: maa laa yudariaku kulluh laa yutraku kulluh (apa2 yang tidak bisa diambil semuanya, maka yang sedapatnha aja jugan ditinggalkan).
Allah melihat perjuangan kita, hasilnya serahkan kpada Allah .. waquli'maluu fasyrallahu 'amalakum wa rasuluhu wal mu'minun (bekerjalah kamu maka Allah, RasulNya, dan orang beriman akan melihat pekerjaanmu)

Wallahu a'lam

Q : Apa bedanya syuro dengan pengambilan keputusan dengan cara demokratis.
A : Syuro itu musyawarah untuk mufakat, sedangkan demokrasi itu voting dengan suara terbanyak.

G-5
Q : Ustadz bagaimana menyikapi saudara muslim yang masih memandang demokrasi haram sementara contoh pilkada jkt sangat urgent bagi muslim untuk memilih dan memenangkn pemimpin muslim
A : Kita tidak memaksakan semua muslim mesti sepaham dalam menilai demokrasi sebagai sebuah alat yang tersedia di negara ini. Lebih baik energi kita, kita gunakan untuk menyadarkan muslim floating mass yang mudah diombang ambing oleh money politic, dan tidak mau tahu dengan diskusi halal haram demokrasi. Prioritas saja. Wallahu a'lam

G-2
Q : Bolehkah seorang muslim mencalonkan dirinya sebagai pemimpin karena ingin membela keberlangsungan/kelestarian agamanya?
A : Bukan hanya boleh, tapi sgt bagus jika memang niatnya seperti itu, bukan niat untuk memoerkaya diri dan kelompoknya. Dengan sayaarat memang dia cakap dan mampu.
Bukankah kita selalu berdoa  ... waj'alna lil muttaqina imaama ? Ya Allah jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang2 beriman? Banyak orang2 yang scr ekstrim menilai buruk orang yang minta jabatan, padahal mereka sendiri berdoa minta jadi pemimpin, tapi merekaa tidak sadar.
Abul Hasan Al Mawardi mngatakan tidak makruh orang yang minta jabatan jk dia layak, ini juga dikatakan para ulama lainnya. Ada pun kisah nabi menolak Abu Dzar yang minta jabatan, karena Beliau lemah dan sgt sederhana, padahal seorang pejabat itu membutuhkan banyak dana dalam mengelola negara, khwatir kessederhanaannya kebawa dalam pengelolaan negara yang mmbutuhkan banyak biaya.
Dalam kesempatan lain nabi membolehkan sahabatnya yang minta diangkat jadi imam di kaumnya.

Wallahu a'lam

Q : Apakah ada batasnya keterlibatan seorang muslim dalam demokrasi, misal sejauh mana dia masuk ke dalam pemerintahan?
A : Keterlibatan dengan demokrasi hanya untuk menekan madharat dan mengambil maslahat yang maksimal, maka mesti ada evaluasi periodik apakah target-target yang dimaksud sudah tercapai atau belum.
Demokrasi bukan barang sakral, ringan saja kita memandangnya, kita bisa meninggalkannya sebagaimana kita bisa memanfaatkannya, sbb demokrasi bukan ideologi umat Islam.

Wallahu a'lam

PERTANYAAN GRUP IKHWAN :

Q : Bagaimana sikap seorang muslim, terhadap pemerintahan di negara yang ditinggalinya bilamana pemerintah tersebut zalim?
A : Ini panjang pembahasannya, tapi secara umum ada 3 sikap yang terpampang dalam sejarah umat Islam dalam menyikapi pemimpim zalim.
1. Menasihatinya, dan contohnya banyak.
2. Tidak mentaatinya.
Dalam hal ini ada dua model, pertama yaitu tidak mentaatinya dalam hal maksiat saja. Kedua, tidak mentaatinya secara mutlak sebagai bentuk ketidaksetujuan atas kezalimannya.

Imam Ar Razi mengatakan, taat kepada  Allah, Rasul, dan Ahli ijma’ adalah pasti (qath’i), ada pun terhadap pemimpin dan penguasa, tidaklah taat secara pasti, bahkan kebanyakan adalah haram, karena mereka tidaklah memerintah melainkan dengan kezaliman (li annahum Laa ya’muruuna illa bizh zhulmi). (Mafatihul Ghaib, 5/250)

Firman Allah Ta’ala:

“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Sayau’ara: 151-152)

Berkata Abul A’la Al Maududi dalam Al Hukumah Al Islamiyah, “Janganlah engkau semua mentaati perintah para pemimpin dan panglima yang kepemimpinannya akan membawa kerusakan terhadap tatanan kehidupan kalian.”

Ayat lain:

“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (QS. Al Kahfi: 28)

Taat kepada penguasa yang zalim merupakan bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam dosa dan kesalahan, padahal Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan kesalahan.” (QS. Al Maidah:2)

3. Memakzulkannya
Jika kezalimannya memang sudah layak dimakzulkan (dicopot).  Karena apakah di copot?
Karena Apa Pemimpin Mesti dicopot? - Pandangan Imam Abul Hasan Al Mawardi Asy Sayaafi'i Rahimahullah  dan Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah

Berikut ini pandangan Imam Abul Hasan Al Mawardi dalam Al Ahkam As Sulthaniyah  tentang keadaan yang membuat dibolehkannya dicopotnya seorang pemimpin:

وإذا قام الإمام بما ذكرناه من حقوق الأمة فقد أدى حق الله تعالى فيما لهم وعليهم ، ووجب له عليهم حقان الطاعة والنصرة ما لم يتغير حاله والذي يتغير به حاله فيخرج به عن الإمامة شيئان : أحدهما جرح في عدالته والثاني نقص في بدنه . فأما الجرح في عدالته وهو الفسق فهو على ضربين : أحدهما ما تابع فيه الشهوة .
والثاني ما تعلق فيه بشبهة ، فأما الأول منهما فمتعلق بأفعال الجوارح وهو ارتكابه للمحظورات وإقدامه على المنكرات تحكيما للشهوة وانقيادا للهوى ، فهذا فسق يمنع من انعقاد الإمامة ومن استدامتها ، فإذا طرأ على من انعقدت إمامته خرج منها ، فلو عاد إلى العدالة لم يعد إلى الإمامة إلا بعقد جديد .....

Jika imam (pemimpin) sudah menunaikan hak-hak umat seperti yang telah kami sebuntukan sebelumnya, maka otomatis ia telah menunaikan hak-hak Allah Ta’ala, hak-hak mereka, dan kewajiban-kewajiban mereka. Jika itu telah dia lakukan, maka dia punya dua hak dari umatnya.

Pertama, ketaatan kepadanya.

Kedua, membelanya selama keadaan dirinya belum berubah.

Ada pun dua hal yang dapat merubah keadaan dirinya, yang dengan berubahnya kedua hal itu dia  mesti mundur dari kepemimpinannya:

1. Adanya cacat dalam ke- adalah-annya.
2. Cacat tubuhnya

Ada pun cacat dalam ‘adalah (keadilan) yaitu kefasikan, ini pun ada dua macam; Pertama, dia mengikuti sayaahwat (dalam prilaku); Kedua, terkait dengan sayaubhat (pemikiran).

Bagian pertama (fasik karena sayaahwat) terkait dengan perbuatan anggota badan, yaitu dia menjalankan berbagai larangan dan kemungkaran, baik karena menuruti hawa sayaahwat, dan tunduk kepada hawa nafsu. Kefasikan ini membuat seseorang tidak boleh diangkat menjadi imam (pemimpin), dan juga sebagai pemutus kelangsungan imamah (kepemimpinan)-nya.

Jika sifat tersebut terjadi pada seorang pemimpin, maka dia harus mengundurkan diri dari imamah-nya. Jika ia kembali adil (tidak fasik), maka imamah tidak otomatis kembali kepadanya, kecuali dengan pengangkatan baru. .......... (Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 28. Mawqi’ Al Islam)

Jika seorang pemimpin fasiq bisa dicopot, tentunya pemimpin kafir radikal lebih layak untuk dicopot.

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani  Rahimahullah berkata:

 أَنَّهُ يَنْعَزِلُ بِالْكُفْرِ إِجْمَاعًا فَيَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ الْقِيَامُ فِي ذَلِكَ فَمَنْ قَوِيَ عَلَى ذَلِكَ فَلَهُ الثَّوَابُ وَمَنْ دَاهَنَ فِعْلَيْهِ الْإِثْمُ وَمَنْ عَجَزَ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْهِجْرَةُ من تِلْكَ الأَرْض

" Sesungguhnya pemimpin dilengserkan karena kekufuran yang meraka lakukan menurut ijma' ulama. Wajib setiap muslim melakukan hal itu. Siapa yang mampu melakukannya, maka dia mendapat pahala. Dan siapa yang basa-basi dengan mereka, maka dia mendapat dosa. Dan siapa yang tidak  mampu, wajib baginya untuk hijrah dari daerah itu".  ( Fathul Bari, 13/123)

Cara mencopotnya tentu dengan cara yang paling minim madharatnya, walau dalam sejarah umat ini bisa dilakukan oleh Ahlul Halli wal Aqdi, atau pernah dengan people power.

Wallahu A'lam


Alhamdulillah, kajian kita hari ini berjalan dengan lancar. Semoga ilmu yang kita dapatkan berkah dan bermanfaat. Aamiin....

Segala yang benar dari Allah semata, mohon maaf atas segala kekurangan. Baiklooah langsung saja kita tutup dengan istighfar masing-masing sebanyak-banyakanya dan do'a kafaratul majelis:


سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك

Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika


“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”

Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT

0 komentar:

Post a Comment

Ketik Materi yang anda cari !!