THAHARAH DAN SHALAT

Posted by Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT on Friday, March 6, 2015


Kajian Online Telegram Hamba اَللّه  Taala


Hari / Tanggal : Jum'at,  06 Maret 2015
Narasumber :  Ustadz Kholid, Ustadz Dian, Ustadz Dodi
Tema : Thaharah & Hadist
Editor : Ana Trienta

Oke, kita ngaji kitab Thaharoh dari kitab Bulughul maram. biar lengkap kalau ustadz Haidir kaji kitab nikah ana yang kitab thaharohnya.

Kitab ath-Thaharoh (كتاب الطهارة)

Imam Ibnu Hajar -rahimahullah- memulai kitab beliau “Bulughul Maram” dengan kitab ath-thaharoh sebagaimana para ulama lainnya dalam menulis kitab-kitab fikih. Para ulama mendahulukan kitab Thaharah karena beberapa alasan, di antaranya:

a. Hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seputar syiar-syiar Islam dimulai dengan sholat, lalu zakat, puasa, dan haji setelah syahadatain. Seperti disebutkan dalam hadits  Abdullah bin Umar -radhiyallahu ‘anhuma- yang berbunyi:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - « بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ » 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  telah bersabda, “Islam dibangun di atas lima rukun; syahadatain, menegakkan sholat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan (Muttafaqun ‘alihi)

Di sini shalat menjadi rukun pertama yang bersifat amaliyah sehingga didahulukan dari selainnya. Namun sholat memiliki kunci yang menjadi syarat sahnya yaitu thaharah. Karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


« مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ »

Kunci pembuka shalat adalah thaharoh dan pengharamnya adalah takbir dan pembubarnya (penutupnya) adalah taslim (baca salam). (HR at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi).

Thaharah menjadi syarat sah sholat yang terpenting sebagaimana dijelaskan Allah Ta’ala dalam firmanNya :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَايُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Maaidah/5:6)


Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:


لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

"Allah tidak menerima sholat salah seorang kalian apabila berhadats hingga berwudhu."

b. Thaharah adalah takhliyah (pensucian atau pengosongan), karena ia adalah pembersihan dan pensucian. Dikatakan para ulama “at-takhliyah qabla at-tahliyah” (Pemurnian sebelum penghiasan)”.

c. Thaharah adalah syarat sah shalat yang paling banyak rincian dan cabang permasalahannya.

Karena itulah para ulama penulis kitab fikih mendahulukan kitab at-thaharaoh atas selainnya. Imam ash-Shan’ani -rahimahullah- berkata: “Beliau (Ibnu Hajar) memulai dengan (kitab) thaharah karena mengikuti tata cara para penulis (buku fikih) dan untuk mendahulukan perkara agama dari selainnya. Juga untuk memperhatikan amalan yang terpenting, yaitu shalat. Ketika thaharah menjadi salah satu syarat shalat, maka beliau memulai dengannya. Kemudian ketika air adalah yang diperintahkan secara asal untuk dijadikan alat bersuci maka beliau dahulukan juga”. (Subulus Salam 1/80).

Demikian juga Imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani -rahimahullah- menjelaskan sebab didahulukannya kitab ath-thaharah dari yang lainnya dalam penulisan kitab fikih dengan menyatakan, “Ketika kunci shalat yang merupakan tiang agama maka para penulis kitab fikih membuka karya tulis mereka dengannya”. (Nailul Authaar 1/23).

Pernyataan imam ibnu Hajar : (كِتَابُ الطَّهَارَةِ)  terdiri dari dua kosa kata yaitu: kata (كِتَاب) dan kata (الطَّهَارَة)  .

 Pengertian Kata Kitab.

Kata (كِتَاب) dalam bahasa Arab adalah mashdar dari kata (كَتَبَ – يَكْتُبُ – كِتَابًا وَ كِتَابَةً وَ كُتْبًا ) Susunan kata dari huruf tiga ini memiliki pengertian kumpul atau bersatu. Di antara pengertian ini adalah pernyataan: (اكْتَتَبَ بَنُوْ فُلاَنٍ) apabila berkumpul dan (الْكَتِيْبَةُ) bermakna kumpulan kuda perang dan (الْكِتَابُ) karena berkumpulnya kata-kata dan huruf. Dinamakan sebagai kitab karena mengumpulkan yang diletakkan padanya. (Fathul Majid tahqiq Asyraf Abdul Maqshud 1/17)

Kitab dalam istilah para ulama adalah semua yang ditulis di atas kertas untuk disampaikan kepada orang lain atau yang ditulis untuk menjaga dari kelupaan. Namun kata kitab juga digunakan para ulama untuk semua yang menyatukan beberapa bab pembahasan dan fasal (lihat Taudhih al-Ahkaam 1/113 dan Nailul Authar 1/23). Penggunaan yang kedua inilah yang dimaksudkan dari pernyataan Ibnu Hajar -rahimahullah-: Kitab at-Thaharah.

 Pengertian Kata Thaharah dan Pembagiannya.

Sedangkan pengertian Thaharah dalam bahasa Arab memberikan pengertian kebersihan dan kesucian dari kotoran baik yang berujud dzat (hissiyah) atau yang ma’nawiyah. (Taudhih al-Ahkaam 1/113 dan master textbook GHDT 5083 hlm 10). Di antara kotoran yang bewujud (hissiyah) adalah kencing dan tinja. Sedangkan contoh yang ma’nawiyah adalah syirik dan semua kebejatan akhlak. 

Dengan demikian thaharah terbagi menjadi dua;

Pertama: Thaharoh ma’nawiyah yang ada di kalbu, seperti dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala:

أُوْلاَئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْي وَلَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمُ

"Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat dan mereka beroleh siksaan yang besar." (QS. 5:41)

Juga dalam firmanNya:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta'atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya." (QS. 33:33)

Thaharah ma’nawiyah ini menjadi bagian dari ilmu aqidah.

Kedua: Thaharah Hissiyah. Ini yang menjadi bagian dari pembahasan ilmu fikih yang menjadi tujuan penulisan kitab Bulughul Maram.

Tentang pembagian Thaharah ini, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin -rahimahullah- menyatakan, “Thaharah dalam syariat digunakan untuk dua pengertian:

a. Thaharah qalbu (pensucian kalbu) dari kesyirikan dalam ibadah, sikap benci dan permusuhan kepada hamba Allah Ta’ala yang mukmin. Ini lebih penting daripada thaharah badan, bahkan tidak mungkin thaharah badan terlaksanakan dengan adanya kotoran syirik. Allah Ta’ala berfirman:


إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَس

"Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis" (QS.At Taubah : 28)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda :


إِنَّمَا الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ

"Sesungguhnya mukmin itu tidak najis" (Muttafaqun ‘alaihi).

b. Thaharah hissiyah (thaharah badan).” (Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zaad al-Mustaqni’ 1/25).
Thaharoh Hissiyah atau thaharah badan ini didefinisikan para ulama fikih dengan:


اِرْتِفَاعُ الحَدَثِ بِالْمَاءِ أو التُرَابِ الْمُطَهِّرَيْنِ وَ فِيْ مَعْنَاهُ وَ زَوَال النَّجَسِ

"Mengangkat hadats dengan air atau debu yang mensucikan dan yang semakna (dengan pengangkatan hadats) dengannya serta menghilangkan najis."

Dari definisi ini ada beberapa istilah yang perlu dijelakan:

a. (اِرْتِفَاعُ الحَدَثِ بِالْمَاءِ أو التُرَابِ الْمُطَهِّرَيْنِ)  Hadats adalah sifat yang ada dalam badan mencegah dari shalat dan sejenisnya yang disyaratkan padanya thaharah. Sehingga mengangkat hadats adalah menghilangkan sifat hukum tersebut. Mengangkat hadats ini dapat dilakukan dengan air dan debu. Mengangkat hadats dengan menggunakan air pada wudhu dan mandi dan menggunakan debu dalam tayammum.

b. (وَ فِيْ مَعْنَاهُ) maksudnya adalah bersuci yang dianjurkan namun tidak dalam rangka mengangkat hadats seperti memperbaharui wudhu orang yang belum batal wudhunya dan mandi-mandi sunnah.

c. (وَ زَوَالُ النَّجَسِ) bermakna hilangnya najis. Penggunaan kalimat (hilangnya najis) lebih umum dari kalimat menghilangkan najis (إِزَالَةُ النَّجَسِ), karena kata menghilangkan (إِزَالَة) merupakan perbuatan mukallaf. Sedangkan kata hilangnya najis bisa dengan perbuatan mukallaf dan bias juga perbuatan yang lain, seperti seandainya turun hujan di tanah yang terkena najis atau mengenai pakaian yang terkena najis sehingga hilang najisnya, maka itu membuatnya suci, sebab dalam menghilangkan najis tidak disyaratkan niyat .

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa thaharoh badan terbagi menjadi dua:

1. Thaharoh dari hadats. Thaharah dari hadats ini terbagi menjadi dua; thaharah dari hadats kecil dengan wudhu atau penggantinya yaitu tayammum dan thaharah dari hadats besar dengan mandi wajib atau penggantinya yaitu tayammum.

2. Thaharah dari najis. Thaharah badan ini membutuhkan alat dan sarana yang digunakan untuk bersuci, menghilangkan najis dan mengangkat hadats. Alat yang dijelaskan Allah Ta’ala sebagai alat bersuci adalah air , seperti dalam firman Allah :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَايُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Maaidah/5:6)

Karena itulah Imam Ibnu Hajar mengedepankan permasalahan air dalam kitab thaharah ini, dengan menyatakan: (بَابُ الْمِيَاه) yaitu bab tentang air. Imam an-Nawawi -rahimahullah- menjelaskan tentang urutan ini dalam pernyataan beliau: Para penulis kitab fikih memulai dalam kitab-kitab fikih dengan kitab thaharah kemudian bab tentang air (بَابُ الْمِيَاه)  karena keselarasan yang indah dan mengamalkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan Imam al-Bukhori dan Muslim dari hadits Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhuma- bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam   pernah bersabda:

« بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ » .

"Islam dibangun di atas lima rukun; syahadatain, menegakkan sholat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan (Muttafaqun ‘alihi). (di sini) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  memulai setelah iman dengan shalat, sehingga mendahulukan sholat lebih penting menurut para penulis tersebut dalam kitab-kitab fikih”. (al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzdzab 1/80).

Semoga bermanfaat. In sya Allah berlanjut pada jum'at depan materinya. Silahkan dibuka tanya jawab dan ngobrol-ngobrol santainya.

TANYA JAWAB

1. Ustad apa hukumnya berwudhu dengan air yang sudah di campur sitrun (bubuk pembening air) soalnya dirumah airnya cepet banget berubah kuning. Lalu apa iya dalam berwdhu dilarang bicara?
Jawab
Boleh dan masih bisa digunakan untuk bersuci. Tidak ada larangan bicara dalam wudhu yang dilarang itu dalam sholat.

2. Ustad  bagaimana hukumnya sholat  sambil nangis? Terkadang di saat sedih bisa terbawa gitu
Jawab
Sholat menangis baik dan bagus karena akan menambah kekhusyuan. Walau sbbnya karena dalam keadaan sakit atau sedih.

3. Ustadz kalo membayar hutang sholat sebaiknya hari itu juga atau menunggu besoknya? 
Jawab
Hutang sholat?? Gimana tuhh??

>Maksudnya itu misalkan hari ini ga bisa sholat dzuhur karena sebab tertentu nah itu kan terhitung kita hutang sholat.
Jawab
Hutang sholat dalam artinya ketika kita meninggalkan sholat karena sebab. Hati hati terhadap sholat ini yaaa. Ibadah apa yang pertama kali dinilai? Shalat

Para ulama sepakat bahwa prinsipnya shalat yang terlewat karena terlupa wajib dikerjakan begitu ingat, dan tidak boleh ditunda atau diselingi terlebih dahulu dengan melakukan shalat yang lain. Jika sholatnya tidak benar.. Maka amalan lain tidak perlu lagi dinilai. Jika ada yang lalai sholat, maka lebih baik berhati hatilah. Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa qadha' shalat yang terlewat wajib untuk segera ditunaikan. Keduanya berpendapat kewajiban shalat qadha' bersifat segera atau fauriy (فوري)Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang memerintahkan untuk segera melakukan shalat begitu ingat tanpa menunda-nundanya.

مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا

"Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda,”Siapa yang terlupa shalat, maka lakukan shalat ketika ia ingat" (HR. Bukhari)

Sedangkan mazhab Asy-Syafi'iyah menyebutkan bahwa seseorang yang tertinggal dari mengerjakan shalat, wajib atasnya untuk mengganti shalatnya. Namun tidak diharuskan untuk dikerjakan sesegera mungkin, apabila udzur dari terlewatnya shalat itu diterima secara syar'i. Dalam hal ini kewajiban qadha' shalat itu bersifat tarakhi (تراخي).

Tetapi bila sebab terlewatnya tidak diterima secara syar'i, seperti karena lalai, malas, dan menunda-nunda waktu, maka diutamakan shalat qadha' untuk segera dilaksanakan secepatnya. Bolehnya menunda shalat qadha' yang terlewat dalam mazhab ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari berikut ini :

لاَ ضَيْرَ - أَوْ لاَ يَضِيرُ - ارْتَحِلُوا فَارْتَحَل فَسَارَ غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ نَزَل فَدَعَا بِالْوَضُوءِ فَتَوَضَّأَ وَنُودِيَ بِالصَّلاَةِ فَصَلَّى بِالنَّاسِ

Rasulullah beliau menjawab,"Tidak mengapa", atau " tidak menjadi soal". "Lanjutkan perjalanan kalian". Maka beliau SAW pun berjalan hingga tidak terlalu jauh, beliau turun dan meminta wadah air dan berwudhu. Kemudian diserukan (adzan) untuk shalat dan beliau SAW mengimami orang-orang. (HR. Bukhari).
Wallahu a'lam bishshawab

Benang merahnya saya dengan Ust. Dian adalah → Terlupa atau Ketiduran, maka Qodho.
para  ulama mengqiyaskan, jika tak sengaja saja harus diqadha, apalagi sengaja. Kesimpulan yang bisa saya ambil: ketika seseorang meninggalkan shalat fardhu, baik sengaja atau tidak, maka ada kewajiban atasnya untuk mengganti shalatnya itu sebanyak jumlah yang ditinggalkan.

Diluar dari itu jika sengaja dan lalai, maka ada dua pendapat.

Pendapat 1 yang disajikan Ust. Dian diatas
Pendapat 2 jika memang dia malas, menggangap tidak penting, dlsbnya maka tidak boleh Qodho.

Saya cenderung mengikuti pendapat kedua. Jika ada orang yang tidak pernah sholat dari umur baligh sampai usia 50, karena kelalaiannya dan tersadar diusia 50, bisa kerepotan juga jika harus di qodho semua sholatnya.

Ibnu Hazm di dalam kitab Al Muhalla menukil pendapat sebagian sahabat dan tabi’in mengatakan bahwa qadha shalat bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat itu tidaklah ada karena اللّهُ  ta’ala telah menetapkan batas waktu tertentu untuk shalat. Selain itu, pengqadhaan shalat itu termasuk ke dalam perkara syariat. Syariat itu hanya boleh ditetapkan oleh Allah ta’ala melalui lisan Rasul-Nya ﷺ  .

Pada kenyataannya tidak ada dalil shahih yang dengan jelas menetapkan hukum qadha shalat bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja. Sekali lagi di ulangi  →  dengan sengaja. Kalau kita perhatikan, memang ada perbedaan antara mazhab hanabilah dengan tiga mazhab yang lain.

Demikian difatwakan oleh banyak sumber, seperti Bin Baz, Utsaimin, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hazm dan lain-lainnya. mereka berpendapat tidak wajib qadha jika sengaja. Rupanya memang sudah ada perbedaan mendasar antara jumhur ulama yang terdiri dari mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah di satu pihak, dengan pendapat mazhab Al-Hanabilah di pihak yang lain. Jumhur ulama sepakat bahwa orang yang meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja, tidak divonis sebagai orang yang murtad atau kafir. Asalkan dalam dirinya masih meyakini bahwa shalat itu fardhu hukumnya. Sedekar meninggalkannya tidak kafir tetapi dosa besar.

Lain halnya dalam mazhab Al-Hanabilah, dalam pandangan mazhab ini orang yang sengaja meninggalkan shalat fardhu, mereka jatuhkan vonis murtad dan kafir. Lepas dari apakah yang bersangkutan meyakini atau tidak meyakini kewajiban shalat itu. Pokoknya, tidak shalat secara sengaja tanpa udzur yang syar'i, hukumnya murtad dan kafir. Dan ternyata dari pandangan inilah fatwa untuk tidak perlu mengqadha' shalat itu bermula. Karena statusnya sudah kafir, maka orang kafir memang tidak perlu shalat. Jadi memang tidak ada qadha'. Yang ada cuma bertaubat untuk balik lagi masuk Islam, lalu memperbanyak amal ibadah, termasuk shalat-shalat sunnah.

Namun dalam pandangan jumhur ulama, orang yang tidak shalat itu tetap beragama Islam. Tentu ketika dia meninggalkan shalat, pastilah berdosa besar dan wajib bertaubat serta minta ampun dari Allah. Cuma, ya statusnya tetap muslim. Dan sebagai muslim, tetap wajib shalat. Kalau ditinggalkan, maka wajib diganti dengan melakukan shalat qadha'. Di antara dalil tidak adanya syariat mengqadha shalat bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja adalah hadits Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ  bersabda:

الَّذِي تَفُوتُهُ صَلَاةُ الْعَصْرِ كَأَنَّمَا وُتِرَ أَهْلَهُ وَمَالَهُ

“Barangsiapa yang luput darinya shalat Ashar, maka seolah-olah dia telah kehilangan keluarga dan hartanya.” [HR Al Bukhari (552) dan Muslim (626)]

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat Ashar dengan sengaja maka tidak ada jalan untuk mendapatkannya kembali. Kalau seandainya dia bisa mendapatkannya kembali dengan menggantinya, maka tidaklah ada bedanya dia dengan orang yang meninggalkan shalat karena uzur yang diperbolehkan.

Sekilas nampaknya fatwa untuk tidak perlu mengqadha' shalat ini lebih mudah. Dan saya pribadi nyaris lebih sering mendengar fatwa ini ketimbang fatwa yang mewajibkan qadha' shalat yang ditinggalkan dengan sengaja. Tetapi setelah tahu ternyata tidak perlu qadha' itu berdasarkan fatwa bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja itu kafir, bulu kuduk saya rada merinding juga. Hmm serem juga fatwa itu.

Kalau orang divonis kafir, lepas kenapa sebabnya, maka ada banyak konsekuensi lainnya, antara lain :

1. Gugur Pahala Sebelumnya
Banyak ulama mengatakan bahwa orang yang murtad dari Islam, maka amal-amal shalih yang pernah dikerjakan akan ikut musnah bersama dengan kemurtadannya. Wah, sayang banget.. Bahkan sebagian fatwa ulama menyebutkan, bila seorang yang sudah pernah pergi haji kemudian murtad, maka begitu dia balik lagi menjadi muslim, dia wajib mengerjakan lagi ibadah haji dari mula. Wah, rugi juga ya. Uang 35 juta bukan uang kecil, lagian nunggu waiting list-nya juga nggak sebentar.

2. Pernikahannya Bubar
Karena seseorang berstatus murtad dan jadi orang kafir, maka istrinya yang dinikahi dengan sah otomatis menjadi putus hubungan. Karena syariat Islam mengharamkan perkawinan beda agama. Istilahnya memang bukan cerai, tetapi fasakh. Hal itu pernah dialami oleh puteri Rasulullah SAW, ketikA beliau masuk Islam dan ikut hijrah ke Madinah, sementara suaminya tidak mau masuk Islam, alias tetap dengan kekafirannya. Maka kalau vonis buat orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah murtad / kafir, kasihan sekali istrinya. Tiba-tiba jadi janda karena suaminya jadi kafir. Dan mereka diharamkan melakukan hubungan suam istri karena pernikahan mereka batal.

3. Tidak Boleh Jadi Wali
Orang kafir tidak boleh menjadi wali pernikahan puterinya yang beragam Islam. Kasihan sekali anak perempuannya, tidak bisa dinikahkan oleh bapaknya, karena bapaknya meninggalkan shalat dengan sengaja dan tiba-tiba jadi orang kafir.

4. Tidak Memberi Harta Warisan dan Tidak Menerima Warisan
Hukum waris dalam syariat Islam tegas menyebutkan bahwa orang kafir tidak boleh menerima warisan dari pewarisnya yang muslim. Dan sebaliknya, juga tidak bisa memberi warisan kepada ahli warisnya yang muslim.

Maka saya pribadi, terserah orang lain mau setuju atau tidak, lebih cenderung kepada pendapat jumhur ulama saja, bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hukumnya berdosa besar, dia wajib bertaubat, tetapi statusnya tidak murtad. Dia tetap beragama Islam. Tetapi karena dia berhutang shalat, maka dia wajib membayarkan hutang shalatnya itu alias mengqadha', berapa pun banyaknya dan selama apa pun terpaut waktunya. Itulah fatwa jumhur ulama. Wallahua'lam bishshawab.

>Setuju. Kan tidak ada membahas murtad murtadan dan kafir kafiran disini. Hanya Qodho saja
Jawab
Makanya → Ngga usah ketinggalan lah sholatnyaaa. Jadi ngga bingung kaaann. Yang menyepelekan sholat akan disepelekan jugaloh didunia dan akhirat nanti

Kita cukupkan kajiannya, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat

Doa Kafaratul Majelis :

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك

Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”.   

                          ​السَّلاَمُ عَلَيْكُم وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

Thanks for reading & sharing Kajian On Line Hamba اللَّهِ SWT

0 komentar:

Post a Comment

Ketik Materi yang anda cari !!